POV AishApa kira-kira tugas terkahir Jex sebagai mafia? sepanjang perjalanan Jakarta - Bandung aku terus berpikir keras. "Sayang, apa sebenernya yang harus diselesaikan? kamu tidak berniat membunuh seseorang 'kan?""Tidak, istriku. Ada wasiat dari Ayah. Setelah itu, hidupku akan bebas.""Apa?""Nanti aku beritahu, lebih baik kamu tidur. Kamu pasti lelah.""Baiklah."Jex bukan orang yang bisa dipaksa untuk bicara. Maka aku ikuti saja keinginannya. Yang terpenting, dia sudah tidak terobsesi lagi oleh dendam. Aku hanya ingin kami bisa hidup bahagia tanpa di bayang-bayangi kecemasan. Ternyata hidup menjadi bagian dari seorang mafia sangat tidak nyaman. Meskipun uang berserakan di mana-mana. ****Satu bulan berlalu, Perlahan Jex menyelesaikan tugas terakhirnya. Dia menyerahkan semua saham perusahaan Sagar Buana pada Denis. Dengan rasa tak percaya, Denis mau menerimanya. Jex hanya akan mengambil sedikit harta untuk membeli tanah dan modal untuk memulai hidup baru di desa emak dan bapakku
"Neng, Mas pamit tugas luar kota dulu, yah. Cuman tiga hari doang. Jangan kangen," goda Mas Wisnu saat aku memakaikan dia dasi."Hehehe, sok tahu. Mas, yang bakal kangen aku.""Pasti kalau itu. Sehari gak bertemu saja, rasanya seperti setahun.""Halah, lebay," kekehku."Makasih, Sayang." Mas Wisnu mencium keningku. Meskipun belum ada buah hati, rumah kami selalu terasa hangat. Mas wisnu adalah tipe suami soswet sepanjang masa. Dia juga gigih bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. "Jangan lupa ngabarin ya, Mas," ucapku sendu.Mas Wisnu kerja di perusahaan BUMN yang bergerak di bidang minyak bumi. Dia simpan di perusahan pusat, Jakarta. Namun, kadang-kadang dia harus mengontrol kondisi perusahaan cabang, yang ada di luar kota."Siap, kamu juga semangat mengelola kafenya, Elina Sayang.""Siap Bapak Wisnu hardana yang tampan." Kami tergelak bersama. kemudian, saling memandang. Ada yang aneh dari sorot matanya. Dia terlihat sendu meski tersenyum. Rasa takut kehilangan sangat kuat mendom
"Serius, Mbak, mau memata-matai Mas Wisnu, cuman karena Kuintansi WO?" tanya Aish memastikan keputusanku yang mendadak."Yakin 100%," jawabku mantap sambil memanaskan motor.Di rumah ini, hanya ada satu mobil. Sering dibawa Mas Wisnu bekerja. Biasanya, aku hanya menggunakan motor jika berpergian kemana-mana. Aku pernah minta dibelikan mobil, tapi Mas Wisnu menolak. Katanya, cukup satu saja. Uangnya lebih baik ditabung. Sampai saat ini, aku tidak tahu, berapa banyak tabungannya. Mas Wisnu hanya memberi jatah bulanan saja. Gaji bulanan, tidak sepenuhnya diberikan kepadaku. Bodohnya diriku, yang terlalu percaya."Tapi, Mbak, kecemburuan Mbak tidak beralasan. Masa cuman karena Kuintansi WO, langsung berpikir aneh-aneh. Bisa saja, Mas Wisnu hanya membantu temannya untuk membayarkan jasa WO.""Mustahil, Aish." Mataku menatap tajam padanya. Heran, adikku kenapa lebih membela Mas Wisnu dibandingkan aku."Gak ada yang mustahil, Mbak. Mas Wisnu itu baik, dan setia. Gak mungkin macam-macam.""Ih
"Apa Anda serius mau membantu kami, Pak Arka?" tanyaku penuh selidik."Tentu," jawab Pak Arka sambil menaikkan kedua alisnya."Baiklah, apa rencana Mas Arka?" tanya Aish antusias. "Tapi, Aish, kita jangan terlalu percaya sama dia. Kalau dia berbohong dan menutupi kebenarannya gimana?" bisikku pada Aish."Tenang saja, saya benar-benar akan membantu. Karena saya tida tega melihat istri yang dibohongi oleh suaminya," ujar Arka seakan mendengarkan ucapanku pada Aish."Mangkannya jangan suudzon," ujar Aish tepat di kupingku.Aku hanya melotot kepadanya. Dasar adik tidak sehati. Harusnya dia tidak memojokkanku. Agar aku tidak salah tingkah."Bagaimana, setuju dengan bantuan dan rencana saya?" tanya Arka sambil menyodorkan tangannya."Setuju," jawab Aish tanpa meminta persetujuan dariku.Gadis ingusan itu, malah cari perhatian kepada Arka. Dia terus tersenyum, sementara tangannya masih berjabatan."Aish." Aku senggol dia, agar melepaskan tangan Arka."Eh, hilaf Mbak." Tanpa merasa dosa, Ai
"Tenang, Mbak. Jangan ngamuk sekarang. Lebih baik kita pulang, dan persiapkan kado terindah untuk pernikahan mereka," lirih Aish."Ayok, kita keluar dari sini. Mbak butuh waktu menenangkan diri." Aish menarikku menuju kasir, dan mengajakku pergi."Ah! tega sekali Mas Wisnu menghianatiku. Apa kurangku selama ini, hah? tega sekali kamu, Mas!" teriakku.Aish sengaja mengajakku ke sebuah taman. Dia bilang, aku bebas mengekspresikan segala rasa sakit yang ada di hati pada tempat ini. Taman ini cukup luas, dengan pepohonan yang rindang. Cukup memberi ketenangan kepadaku. Untung saja, suasana tidak terlalu ramai, sehingga bebas berteriak. Meskipun, sesekali, ada beberapa orang yang menatap heran. Mungkin, dia pikir aku gila."Udah ngamuknya, Mbak?" tanya Aish enteng sambil duduk minum es teh."Ih, Aish, kamu kenapa tenang banget sih? harusnya ikut kesel dong. Mbakmu ini dikhianati, bahkan mau dipoligami. Edan, kamu malah setenang itu.""Hahaha, terus aku harus apa, Mbak? ngamuk-ngamuk di sin
"Sekarang," intruksiku. Aish langsung datang bersama gerombolan preman. Disusul tim pemadam membawa selang hydrant. Semua mata menatap tanpa berkedip. Pertunjukan spesial, akan dimulai. "Serang!" teriak Aish. "Apa-apaan, ini?" tanya Aida panik. Brak! Brak! Para preman langsung mengubrak-abrik meja, kursi dan merusak pelaminan serta hiasan pesta lainnya. Sedangkan para pemadam, menyemprotkan air berkekuatan tinggi. Menyiram para tamu undangan dan keluarga Mas Wisnu di pelaminan. Satu petugas lainnya, khusus menyiram Aida dan Mas Wisnu. "Arrgh!" Para tamu undangan berhamburan keluar tempat resepsi. "Arrgh! gila kamu Elina!" teriak Aida histeris saat terkena semprotan air. Aku sengaja menepi ke tempat yang aman dari penyemprotan. Menjauh dari mereka. Rasanya Puas melihat kericuhan ini. Ide Aish dan Arka memang luar biasa. Dibandingkan harus bersikap kriminal dengan cara mencekik atau mengancam mereka, lebih baik, mengacaukan acaranya dengan perbuatan konyol seperti ini. Tidak aka
"Oh, tentang uang itu. Tidak usah dikembalikan." Aku mengernyitkan dahi, mencerna ucapan Arka. Lalu, menatap Aish meminta pendapat atas kebingunganku. Aish hanya tersenyum santai. "Maksud anda gimana, yah? Maaf Pak, Anda pikir saya tidak mampu membayarnya? Saya bisa bayar sendiri. Jadi, Bapak gak usah repot-repot membayarkannya. Tolong, diterima. Jangan macam-macam," hardikku. "Bukan gitu maksud saya, Mbak Elin. Tolong jangan salah paham." "Terus maksud Bapak apa?" tanyaku dengan intonasi tinggi. "Saya tidak ingin, uangnya dikembalikan karena ingin menjalin kerja sama sama Mbak Elin. Jadi, anggap saja, uang itu modal awal saya." Kepalaku makin oleng mendengar penjelasan Arka. Sebenernya apa yang dia mau? ribet dan berbelit-belit. "Aduh, Mbak Elin Lola banget. Jadi, Mas Arka mau colab bisnis di bidang restoran sama Mbak Elin," papar Aish geregetan. "Kerja sama? Anda tahu dari mana saya punya bisnis restoran?" "Aish yang cerita. Saya jadi tertarik menjadi panter bisnis anda. Keb
"Mbak Elin!""Astagfirulloh, kenapa sih, teriak-teriak."Suara cetar Aish menyadarkanku dari lamunan. Kembali ke rumah, malah mengingatkanku pada memori indah selama enam tahun ini, bersama Mas Wisnu."Lagian ngelamun Mulu. Mulai di perjalanan, sampai di rumah, masih aja ngelamun. Tenang ajah, Mas Wisnu pasti pulang," tegur Aish.Sejak siang, sampai malam ini, bayangan Mas Wisnu dan kejadian kemarin, masih terekam jelas di ingatan. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, akan tetapi, semuanya memang sudah terjadi. Bukan khayalan apalagi bunga tidur."Apa iya, Aish?""Iya. Dia kelihatannya masih sayang sama Mbak. Tapi kenapa mendua, yah? sepertinya, ada misteri yang harus kita pecahkan, Mbak.""Misteri?""Iya. Dari ucapan dan tatapan Mas Wisnu sama Ibunya, Aish yakin, ada yang tidak beres tentang pernikahan Mas Wisnu dan Aida.""Hal yang tidak beres apa, Aish?""Ya, mana Aish tahu. Ini baru dugaan. Mangkanya, kita cari tahu.""Bener juga, sih. Terus Mbak harus apa