Share

BAB 4

last update Last Updated: 2022-06-10 02:34:14

Brian membawa mobilnya pergi dari depan Satlantas, gadis menyebalkan bernama Heni Saraswati itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Karena gadis itu, dan juga kecerobohannya sendiri, Brian yang seharusnya sejak tadi sudah sampai rumah dan tidur, harus menunda waktu tidurnya sampai selama ini!

Ia melirik jam tangan, hampir tengah hari! Astaga, kepala Brian mendadak terasa begitu sakit. Brian mendesah, membawa mobilnya terus melaju menyusuri jalanan untuk sampai ke rumah kontrakan yang dia sewa untuk satu tahun ke depan.

Ada rumah Om Julius sebenarnya, namun Brian tidak mau merepotkan. Lebih tepatnya dia tidak ingin diganggu siapapun ketika dia sudah sampai di rumah ketika beres berjaga. Rasanya setelah jaga, apalagi jaga malam, Brian ingin langsung tidur tanpa ada distraksi apapun. Apalagi anak-anak omnya begitu jahil dan super semua, Brian bisa depresi lama-lama kalau tinggal di sana!

"Heni Saraswati."

Entah mengapa secara tiba-tiba bibir Brian menyebutkan nama itu. Bayangan wajah cantik tadi kembali terlintas dalam benak Brian. Kenapa jadi dia memikirkan gadis itu terus-terusan?

"Cakep sih, tapi somplak!" Brian terkekeh, teringat bunyi perut Heni yang super duper kenceng tadi.

Tawa Brian meledak, hilang sudah rasa kesal yang tadi menyelimuti hatinya. Lucu juga kalau diingat-ingat. Brian terus membawa mobilnya memasuki area perumahan tempat dia menyewa satu rumah berukuran 30/60 yang cukup nyaman sekali ditempati.

Pemilik rumah adalah sepasang suami-istri yang agaknya punya banyak rumah. Dengar-dengar mereka punya rumah kost 50 pintu, khusus putri tapi. Jadilah Brian tidak mereka tawari ngekost di rumah kost mereka. Brian membelokkan mobil, memasukkan mobil ke dalam rumah yang memang tidak ada pagarnya. Setelah beres melepaskan seat belt dan mematikan mesin mobil, Brian bergegas turun.

Setelah mandi bersih-bersih, pokonya Brian mau tidur tanpa gangguan! Matanya sudah cukup berat dan tubuhnya sudah sangat lelah. Kebiasaan kalau Brian jaga pasti pasien full penuh! Sebuah kutukan yang menjerat Brian sejak koas sampai sekarang. Kutukan yang membuat teman-teman Brian malas jika harus jaga bersama dengan dirinya. Padahal Brian sendiri juga tidak mau menanggung kutukan ini.

Brian menutup pintu depan, langsung masuk ke kamar mandi yang ada di belakang rumah dan menepuk jidat ketika menyadari ia bahkan kehabisan pasta gigi dan shampo!

"Astaga! Mau mampir lupa tadi!"

Diusapnya wajah dengan gusar. Dia sudah berencana hendak mampir ke minimarket tadi. Beli pasta gigi, shampo dan banyak lagi kebutuhan pribadinya yang habis. Dan sekali lagi, gara-gara Heni, Brian lupa itu semua!

Brian menutup pintu kamar mandi. Tidak masalah! Sabun masih ada, absen gosok gigi sekali tidak masalah, kan? Nanti juga setelah bangun tidur dia akan langsung membeli perlengkapan yang habis kok. Dan untuk shampo, rasanya Brian akan menerapkan teknik pengenceran 1:1000. Yang penting berbusa, begitu, kan, prinsipnya?

Guyuran air sedikit menyegarkan kepala Brian yang sejak kemarin malam panas. Ditambah kecelakaan yang tadi harus dia alami. Kenapa rasanya hari ini Brian begitu sial?

***

Brian mengerjapkan mata. Menggeliat sambil merentangkan kedua tangannya ke atas. Segar sekali rasanya badan ini? Perlahan-lahan dia mulai membuka matanya dan mendapati jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Ia segera bangkit, duduk sejenak di tepi ranjang untuk mengumpulkan sisa nyawanya sebelum bangkit dan melangkah ke luar kamar.

Cuci muka adalah hal yang hendak dia lakukan. Setelah itu mengambil dompet dan kunci mobil di kamar dan pergi ke minimarket guna membeli kebutuhan pribadinya yang kebetulan habis.

Mungkin setelah beli perlengkapan pribadi, Brian hendak langsung pergi ke barber shop. Sedikit potong rambut untuk buang sial dan berharap bisa sedikit mengurangi kadar kutukannya yang makin hari Brian rasa makin mengerikan!

"Moga nggak ketemu yang aneh-aneh lagi ya Allah!" gumam Brian sebelum melangkah keluar dari dalam rumah.

Dia segera masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesin mobil dan membawa mobilnya pergi dari depan rumah kontrakannya. Ada banyak minimarket di sekitar sini, dan tujuan Brian tentu minimarket paling lengkap. Walaupun sebenarnya ada yang lebih dekat, tetapi menurut Brian yang hendak dia tujuan itu lebih lengkap dan tersedia banyak brand yang biasa dia pakai.

"Gini amat hidup, Ya Allah!" Brian mulai sambat. "Susah payah sekolah biar jadi dokter, berjuang biar bisa masuk spesialis demi buat jadi mantu idaman, eh malah diduluin orang!"

Siapa lagi kalau bukan Karina yang Brian maksud? Tau begitu sejak dulu saja Brian gebet adik dari Kelvin itu. Salah Brian sendiri yang terlalu naif dan terlalu menggampangkan, ujungnya? Dia ditikung, kan? Mana sudah spesialis lagi lelaki yang kini berstatus suami Karina itu. Sialan memang!

"Dari dulu memang spesialis itu sebuah ancaman! Mau calon spesialis kek, udah spesialis kek, sama saja! Incaran para calon dokter atau yang sudah dokter pun tentu yang udah punya gelar Sp. di belakang nama mereka, kan? Meresahkan memang!"

Sebuah fakta di dunia pendidikan kedokteran yang mungkin juga sudah menjadi rahasia umum. Kalau kebanyakan para koas atau dokter umum, tentu membidik dokter spesialis untuk dijadikan suami. Ya mungkin tidak semua, tapi kebanyakan seperti itu. Apalagi kalau bapak mereka sama-sama dokter, bisalah saling menjodohkan anak mereka. Teman seperjuangan Brian kemarin dijodohkan dengan residen anak, mahasiswa papanya sendiri. Padahal si residen ini punya pacar yang juga dokter, eh ditinggal karena si bapak dedek koas ini kepala departemen anak! Sungguh ironis!

"Ayo semangat lanjut spesialis, Yan! Harus jadi spesialis pokoknya!" gumam Brian memberikan semangat pada dirinya sendiri.

Walaupun pada akhirnya dia tidak bisa mendapatkan Karina, tetapi jadi seorang dokter spesialis adalah cita-cita mutlak Brian. Dia ingin jadi dokter spesialis bukan hanya karena ingin menikahi Karina saja.

"Dokter Brian Alesandro spesialis obstetri ginekologi!"

Brian tersenyum, membayangkan kemudian dia menyandang gelar itu di belakang namanya. Keren? Sudah pasti! Tapi bukan hanya keren semata yang Brian cari. Tapi passion Brian sejak dulu memang sudah dia sadari sejak koas di bagian kandungan. Bagaimana dia melihat seniornya bisa menjadi orang pertama yang menyapa para bayi itu ketika pertama kali keluar dari rahim ibunya ... rasanya begitu spesial sekali di mata Brian. Hal yang lantas membuat Brian bertekad bahwa kelak dia harus menjadi seorang Obsgyn!

Di mana selain menjadi saksi dan orang yang pertama kali menyapa para bayi itu, Brian juga akan bisa menjadi tangan yang digunakan Tuhan untuk mewujudkan harapan pasangan yang sudah lama menginginkan hadirnya momongan. Dia akan bekerja sama dengan sejawat di bagian andrologi nantinya, mewujudkan mimpi pasangan itu untuk bisa memiliki garis keturunan.

Keren?

Itu sudah pasti! Tapi Brian bersikukuh menjadi dokter, dokter kandungan, sekali lagi bukan karena ingin terlihat keren. Tetapi ingin menjadi alasan orang tersenyum bahagia, membantu sesama dan menyelesaikan masalah orang yang berkaitan dengan kesehatan mereka.

Senyum Brian hilang ketika mendadak wajah, suara dan bahkan suara perut Heni kembali terlintas dalam benaknya. Matanya melotot kesal, ia mendengus perlahan sambil menggelengkan kepala.

"Kok jadi dia lagi yang nongol di otak sih? Kenapa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elma Faradila
Mkin penasaran sama crtanyaaa,baru nyampe BAB 4.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mendadak Kawin   EP. END

    “Suka?”Heni berdiri di depan cemin besar yang ada di kamar itu. Dan dia dan Brian yang sama-sama masih telanjang bulat, bedanya kini di leher Heni melingkar sebuah kalung dengan liontin berbentuk pita bertabur permata.“Bagus banget, Mas!” sahut Heni dengan begitu riang. Sebenarnya dia sudah tahu tentang kalung ini, tetapi tentu ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi pura-pura syok dan terkejut adalah jalan ninja untuk membahagiakan Brian.“Kalung yang aku kasih buat seserahan itu katamu terlalu besar rantainya, jadi ini aku belikan yang rantai kecil dan tipis biar kamu nyaman pakainya. Tahu apa yang spesial dari kalung ini?”Heni menatap wajah Brian dari pantulan cermin, Brian masih berdiri di belakangnya, memeluk tubuh Heni dari belakang dan menyandarkan kepaal di bahu Heni.“Nggak! Memang kenapa? Apa yang spesial?”Brian tersenyum, “Kalung ini aku beli dari gaji terakhir aku dari rumah sakit kemarin, Sayang. Jadi sisa yang aku kirim ke kamu aku beliin ini buat kenang-kenangan.

  • Mendadak Kawin   EP. 8

    Keringat Brian mengucur. Jangan tanyakan kenapa. Segala macam hasrat dan gairahnya meledak-ledak sempurna hari ini. Tubuh yang selama ini Brian rindukan, kini ada di hadapannya dan dalam mode pasrah. Membuat Brian ingin rasanya segera menyerang tubuh itu kalau saja dia tidak ingat ada janin dalam rahim Heni yang juga harus dia pikirkan.Ia tidak boleh sembarangan, terlalu kasar dan menggebu-gebu, tentu Brian tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Ia sudah begitu ingin menggendong darah dagingnya sendiri.“Kalau ada yang sakit bilang, ya?” desis Brian yang masih mencoba menahan diri.Heni tersenyum, wajahnya merah padam. Mengingatkan Brian pada momen di mana mereka pertama kali melakukan hal ini. Malam di mana Heni menyerahkan diri sepenuhnya pada Brian untuk disentuh dan saling menikmati satu sama lain.Brian mengelus lembut bibir memerah yang sedikit bengkak dan basah itu. Sebelumnya ia tidak percaya bahwa ada bibir yang rasanya begitu manis. Dan setelah mengenal bibir ini, Brian baru pe

  • Mendadak Kawin   EP. 7

    Heni tersenyum melihat betapa rapi baju di dalam lemari. Kenapa tumben? Heni meneliti baju-baju suaminya, menumpuknya agar ada lebih banyak space untuk bajunya. "Coba kalo aku di sini nanti, masih mau rapi kayak gini apa bergantung kayak dulu?" desis Heni seraya menata pakaiannya di dalam lemari. Heni menarik tumpukan baju Brian untuk dia jadikan satu, tiba-tiba suara benda jatuh itu mengalihkan fokus Heni. Heni menatap ke lantai di mana suara itu berasal. Ia tertegun ketika menemukan ada kotak bludru berwarna biru tergeletak di bawah kakinya. "Itu apa?" Heni buru-buru meletakkan tumpukan pakaian sang suami, ia lantas memungut benda itu dari lantai, mengamatinya dengan saksama lalu dengan penuh rasa penasaran ia membuka kotak itu dan tertegun melihat benda apa yang ada di dalam sana. Mata Heni terpaku, rasanya jantung Heni seperti hendak berhenti berdetak. Matanya memanas, bayang-bayang air mata mengambang di pelupuk mata. Dengan tangan bergetar Heni meraih benda yang ada di dala

  • Mendadak Kawin   EP. 6

    “Bun ... masa udah harus balik, sih?” Heni nampak tidak terima, mereka baru saja sampai di apartemen dan bundanya itu sudah ribut harus kembali ke Tangerang sekarang? Brian saja padahal belum balik!“Aduh, Sayang ... sebenarnya Bunda juga masih pengen di sini, cuma ini dadakan dan penting banget.” Irma mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap anak gadis kesayagannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.“Yah ... Bunda!” renggek Heni macam anak kecil. Masa iya dia hanya kumpul satu hari dengan Irma, sih? “Dipending nggak bisa, Bun?”“Nggak bisa! Bentar Bunda mau nelpon suami kamu dulu, mau minta maaf kalo Bunda harus pulang lebih cepat.”Heni menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk. Ia baru tahu kalau sekarang ini Irma sesibuk itu. Bisa Heni lihat Irma tengah menghubungi sesorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Brian, suami dari Heni.“Udahlah, nanti kapan-kapan kalau Mas pas pulang Mas ajak bunda kesini lagi.” Bagas mendadak munc

  • Mendadak Kawin   EP. 5

    Heni membelalak ketika melihat sosok itu berdiri di sebelah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Itu kan ... senyum Heni merekah. Ia sudah begitu rindu pada Karina dan dengan sangat kebetulan Karina malah stand by menunggunya di depan rumah? Luar biasa sekali!“Heni!” teriaknya dengan suara khas Karina yang tidak ada duanya.Heni buru-buru turun dari mobil, melangkah mendekati sahabatnya itu dan memeluknya erat-erat.“Kamu bahkan nungguin aku di sini?” tanya Heni disela-sela rasa harunya bisa kembali bertemu dengan Karina.“Sebelum kamu nyusul lakikmu ke Jogja, nanti kita nggak bisa ketemu lagi, kan?” desisnya lirih lalu melepaskan pelukan mereka. Mata Karina tertuju pada perut Heni yang sudah menyembul, membuat senyum Karina merekah sempurna.“Aduh ... calon mantu!” desis Karina sambil mengelus perut itu dengan lembut.“Amin!” jawab Heni lalu memperhatikan perut Karina dengan saksama. “Loh ... Rin? Tuaan aku umurnya kok perut kamu le—““Eh Tante!” Karina bergegas menghampiri Irma,

  • Mendadak Kawin   EP. 4

    Heni melambaikan tangan ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya, bisa dia lihat sosok itu pun turut melambaikan tangan. Kalau saja Heni tidak ingat ada janin dalam perutnya sekarang ini, rasanya ia sudah melompat ke arah orang itu dan memeluknya erat-erat.“Bunda!” lansung Heni menghambur ke dalam pelukan sosok itu. Air mata Heni kontan menitik, sudah cukup lama ia tidak bersua langsung dengan ibunya seperti ini.“Baik-baik saja, kan, Sayang? Aduh cucu Bunda ... kalian sehat, kan?” Irma melepaskan pelukan, langsung menatap perut anak bungsunya yang sudah terlihat menyembul.“Baik, Bun. Bunda juga baik selalu, kan?” Heni menyeka air matanya, segala rasa rindunya terbayar sudah hari ini.“Baik! Nunggu lama tadi, Hen? Ini apa aja yang mau dibawa?” Irma mengalihkan pandangan pada beberapa koper yang ada di belakang Heni, sementara Heni tersenyum lebar pada sosok yang turun dari mobil itu.“Mas Bagas!” teriak Heni tidak kalah antusias dan bahagia, bagaimanapun, setelah bapak meninggal,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status