"Aku nggak pernah masuk ke tempat-tempat kaya gini, Kak," keluh Rara sambil memperhatikan sekeliling. Club yang baru mereka masuki tergolong mewah dan tampak seperti restauran mahal yang terkonsep. Hanya saja lampu-lampu di sana di buat remang-remang meskipun dominan warna biru."Makanya aku ajak kamu ke sini biar punya pengalaman." Samuel mengambil tempat duduk di bar dan menyuruh Rara duduk di sampingnya."Aku pesen es jeruk aja deh, Kak."Samuel terbahak mendengar permintaan Rara. Polosnya gadis ini. "Mana ada di sini es jeruk, Rara," kekehnya. Dia lalu meminta bartender untuk membuatkan Rara minuman yang paling ringan kadar alkoholnya. Sementara untuk dirinya, dia meminta satu botol penuh."Nih, cobain." Samuel menyodorkan gelas berkaki panjang yang isinya cairan berwarna biru dengan topping satu buah cherry pada Rara."Nggak mau ah, Kak. Takut mabok," tolak Rara."Cobain dulu, nggak usah protes."Rara mendengus. Minuman macam apa ini, gerutunya dalam hati. Tapi, karena tatapan Sa
Bab 15. Dipuji."Ada apa, nih?" tanya Samuel seraya menatap tajam pada pria paruh baya itu."Cuma mengobrol sama nona cantik ini, kok," sahut si pria berbadan gempal itu. Sepertinya dia sedikit sungkan dengan Samuel karena tahu siapa pemuda tampan di hadapannya itu. "Maaf, saya pamit dulu," ucapnya kemudian seraya beranjak pergi."Kamu nggak diapa-apain kan, Ra?" Samuel mengalihkan pandang pada Rara."Enggak, Kak," jawab Rara sambil menggeleng. Padahal pria itu secara ucapan sudah melecehkannya dan Rara masih dongkol."Ayo, pulang," ajak Samuel. Keduanya lalu keluar meninggalkan club. Mobil Samuel beserta sang supir sudah menunggu di depan."Beneran nggak diapa-apain?" tanya Samuel saat melihat Rara cemberut di sampingnya."Enggak, Kak.""Kok mukanya asem gitu?""Nggak papa, Kak. Cuma sebel aja sama kata-kata om-om itu.""Emang dia ngomong apa?"Rara manyun. "Dikiranya aku cewek penghibur yang dibawa Kak Sam. Terus dia ngasih kartu nama, katanya abis sama Kak Sam aku bisa kerja sama d
Seperti biasa, Rara menaruh guling di tengah-tengah kasur sebagai pembatas antara dirinya dan Samuel tidur. Saat dia merebahkan badan, tak sengaja tatapan matanya berhenti pada wajah Samuel yang berjarak beberapa centi darinya. Pemuda itu sudah memejamkan mata. Rara memperhatikan sejenak wajah tampan yang terlihat begitu damai itu. Gadis itu berpikir sejenak mengenai nasib Samuel yang tidak beruntung dalam hal asamara. Sebenarnya perempuan bernama Bianca itu bodoh atau apa. Apa kurangnya Samuel. Tampan, gitaris hebat dan kaya. Ya, meskipun dia menyebalkan. Jika dirinya menjadi Bianca ...."Ngapain liat-liat?" "Hah?!" Rara tersentak. Samuel tiba-tiba membuka mata. Jadi dia cuma pura-pura tidur. Aduh, dirinya tertangkap basah memperhatikan Samuel. "Naksir?" "Dih, enggak ya, Kak. Aku cuma lagi kasihan aja sama kamu!" sungut Rara sambil beringsut memunggungi Samuel. "Kasihan kenapa?" desak Samuel. "Ya kasihan aja nggak bisa move on," sahut Rara asal. Samuel tergelak. "Lebih kasihan
Rara iseng melamar pekerjaan melalui internet, menjadi guru musik di sebuah sekolah dasar international. Dia merasa banyak waktu luang sekarang karena jadwal latihan dengan Stonedhell hanya sabtu dan minggu.Tanpa diduga, keesokan harinya dia mendapatkan email kalau dirinya diterima di sekolah itu dan diharapkan kehadirannya sesegera mungkin untuk wawancara. Hari ini dipilih Rara untuk datang ke calon tempat kerjanya. Pagi-pagi dirinya sudah sibuk mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk dipakai wawancara.Saat akan berganti baju, dia memeriksa Samuel di atas kasur yang sepertinya masih terlelap. Sudah pasti Samuel bangunnya siang."Mau ke mana?""Aaargh!" teriak Rara terkejut bukan main. Dia belum sempat memakai kemeja dan hanya mengenakan rok serta atasnya masih dalam balutan bra. "Kak Sam kok udah bangun?!" ujarnya gusar sambil menutupi bagian dadanya dengan kemeja."Apa, sih, Ra. Heboh banget. Udah lihat juga aku tadi kamu pake celana dalam sama bra doang."Rara menutup mulutnya
Lagu Frederic Chopin Nocturne In D Sharp Minor mengalun di studio pribadi milik Samuel. Yang memainkannya tentu saja Rara yang hari itu sedang bosan. Main piano adalah jalan satu-satunya untuk membuat moodnya kembali membara.Rara baru berhenti menekan tuts tuts hitam putih saat pintu studio diketuk seseorang."Mbak Rara, ada yang nyari." Bu Via melongok dari balik pintu."Siapa, Bu?" tanya Rara."Orangnya masih di pos satpam. Dia bilang dia ayahnya Mbak Rara. Namanya ... mmm ... Pak Arkan.""Hah!" Rara terkejut bukan main. "Orangnya kaya apa, Bu?" tanyanya penasaran."Saya nggak tahu, Mbak. Mau ngecek aja ke pos satpam apa gimana? Soalnya masih ditahan sama Pak Guntur. Takutnya orang iseng atau malah berniat nggak baik."Rara mengangguk-angguk. Dia penasaran juga apa memang ayahnya yang datang mencari dirinya. Arkan memang nama ayahnya. Tapi, kenapa tiba-tiba dia mencari Rara. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya sekarang."Itu, Mbak ... kayaknya orangnya masih di pos satpam," tunjuk
"Sam, ada yang nyari." Riana; pengurus studio sekaligus yang mengurus akomodasi Stonedhell saat tour atau manggung, melongok dari balik pintu ruang studio musik di mana Samuel dan yang lainnya sedang berkutat dengan alat-alat musik mereka."Siapa?" tanya Samuel seraya menghentikan petikan gitarnya. "Liat aja sendiri, deh." Samuel mendecak sebal. Kalau ternyata yang mencarinya fans atau wartawan, dia bersumpah akan memotong gaji Riana. Namun, saat dia masuk ke ruang tamu, dia tertegun. Sosok ramping yang dibalut pakaian elegan itu berdiri di sisi meja kabinet membelakanginya. Dia sedang menatap poster personel Stonedhell yang terpajang di dinding. "Bi?" panggil Samuel dengan tenggorokan tercekat. Bianca memutar badan dan tersenyum. "Hai, Sam ... apa kabar?" sapanya. "Baik. Kamu ... ada perlu apa ke sini?" tanya Samuel. Matanya masih menatap sosok Bianca yang masih cantik seperti biasanya. Meskipun sepasang mata indah itu tampak sedikit sembab, atau kurang tidur mungkin. Samuel mak
"Ngapain sih ngeliatin aku kaya gitu, Kak?" tanya Rara sambil mengerutkan kening. Aneh sekali Samuel memandanginya seperti itu sambil senyum-senyum sendiri."Penampilan kamu hari ini beda," sahut Samuel. Tadi pagi saat dia bangun, Rara sudah berangkat ke sekolah jadi dia tidak sempat melihat penampilan Rara.Rara mendesis seraya membuka pintu mobil dan menghambur keluar. Suara gelak tawa Samuel terdengar di belakangnya."Tapi rok kamu ketinggian nggak, sih?" ujar Samuel yang kini sudah berada di sampingnya. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah."Masa?" Rara memeriksa rok sepannya yang setinggi lutut. "Nggak, ah. Standar ini.""Yaa, untuk ukuran guru SD, agak terlalu seksi, sih. Tapi bagus kok, aku suka." Setelah mengatakan itu, Samuel berjalan mendahului Rara menuju ke taman belakang rumah.Dada Rara tiba-tiba berdebar mendengar ucapan Samuel. Apa maksudnya dia bilang suka. Ah, mungkin bukan apa-apa. Rara mengibaskan tangan menganggap ucapan Samuel hanya angin lalu.Saat itu Rara me
Di studio Stonehell, Rara sibuk memasang peralatan keyboardnya. Di sampingnya ada Ana dan Lily; para pemain biola, juga sibuk dengan biola mereka. Samuel belum kelihatan batang hidungnya. Tadi Rara berangkat sendiri karena Samuel sudah pergi dari rumah sejak pagi."Sini aku bantuin." Suara Nathan terdengar di samping Rara. Pemuda itu meraih kabel yang sedang dipegang oleh Rara yang tampak kesulitan memasukannya ke dalam lubang output."Makasih, Kak," ucapnya setelah Nathan selesai."Coba suaranya, Ra," pinta Nathan.Rara segera mengetes suara keyboardnya. "Aman, Kak."Nathan tersenyum. Manis sekali di mata Rara. Keduanya saling tatap untuk beberapa saat hingga terputus saat pintu studio dibuka seseorang. Samuel muncul dan langsung menatap ke arah Rara dan Nathan."Sorry, telat," ucap Samuel seraya melirik Rara sekilas, kemudian berjalan menuju gitarnya di stand.Entah kenapa Rara merasa Samuel hari itu terlihat muram. Rara menduga pasti ada hubungannya dengan Bianca. Samuel pergi seja