"Ngapain sih ngeliatin aku kaya gitu, Kak?" tanya Rara sambil mengerutkan kening. Aneh sekali Samuel memandanginya seperti itu sambil senyum-senyum sendiri."Penampilan kamu hari ini beda," sahut Samuel. Tadi pagi saat dia bangun, Rara sudah berangkat ke sekolah jadi dia tidak sempat melihat penampilan Rara.Rara mendesis seraya membuka pintu mobil dan menghambur keluar. Suara gelak tawa Samuel terdengar di belakangnya."Tapi rok kamu ketinggian nggak, sih?" ujar Samuel yang kini sudah berada di sampingnya. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah."Masa?" Rara memeriksa rok sepannya yang setinggi lutut. "Nggak, ah. Standar ini.""Yaa, untuk ukuran guru SD, agak terlalu seksi, sih. Tapi bagus kok, aku suka." Setelah mengatakan itu, Samuel berjalan mendahului Rara menuju ke taman belakang rumah.Dada Rara tiba-tiba berdebar mendengar ucapan Samuel. Apa maksudnya dia bilang suka. Ah, mungkin bukan apa-apa. Rara mengibaskan tangan menganggap ucapan Samuel hanya angin lalu.Saat itu Rara me
Di studio Stonehell, Rara sibuk memasang peralatan keyboardnya. Di sampingnya ada Ana dan Lily; para pemain biola, juga sibuk dengan biola mereka. Samuel belum kelihatan batang hidungnya. Tadi Rara berangkat sendiri karena Samuel sudah pergi dari rumah sejak pagi."Sini aku bantuin." Suara Nathan terdengar di samping Rara. Pemuda itu meraih kabel yang sedang dipegang oleh Rara yang tampak kesulitan memasukannya ke dalam lubang output."Makasih, Kak," ucapnya setelah Nathan selesai."Coba suaranya, Ra," pinta Nathan.Rara segera mengetes suara keyboardnya. "Aman, Kak."Nathan tersenyum. Manis sekali di mata Rara. Keduanya saling tatap untuk beberapa saat hingga terputus saat pintu studio dibuka seseorang. Samuel muncul dan langsung menatap ke arah Rara dan Nathan."Sorry, telat," ucap Samuel seraya melirik Rara sekilas, kemudian berjalan menuju gitarnya di stand.Entah kenapa Rara merasa Samuel hari itu terlihat muram. Rara menduga pasti ada hubungannya dengan Bianca. Samuel pergi seja
Konser besar Stonedhell akan diadakan dua hari lagi. Rara merasa sedikit berdebar-debar mengingat konser itu akan menjadi pertama kalinya dia tampil di depan ribuan atau bahkan jutaan orang meskipun dirinya hanya pemain additional.Lagu-lagu hits Stonedhell sudah berhasil dia kuasai. Namun, bisa saja nanti di atas panggung dia akan terserang demam panggung sehingga otaknya tiba-tiba blank. Bisa-bisa dia dipecat oleh Samuel.Seharian ini dia berlatih tanpa henti kecuali saat makan siang. Itu pun karena Bu Via yang memaksanya. Sementara Samuel tidak kelihatan batang hidungnya di rumah. Mungkin dia di studio atau di tempat yang tidak diketahui Rara.Menjelang malam, Rara memutuskan untuk keluar dari studio pribadi Samuel dan menemui Bu Via di dapur."Bu, mau masak makan malam?" tanya Rara. Wanita paruh baya itu sedang sibuk mencuci sayuran."Iya, Mbak. Mas Samuel tadi telepon, katanya mau makan di rumah.""Ohh, Bu Via mau masak apa?" Rara melongok dari balik punggung wanita itu."Mas Sam
Rara tidak tahu sebelumnya kalau ada acara after party setelah konser selesai. Semua crew Stonedhell berada di bar rooftop sebuah hotel berbintang. Rara pun terpaksa ikut ke tempat itu meskipun yang dia minum hanya lemon juice.Dia lihat Samuel masih berbicara dengan manager Stonedhell, Agustian, sedang Nathan dan yang lainnya duduk menikmati minuman mereka di meja bar.Rara memilih kursi di sudut ruangan sambil memperhatikan sekeliling. Tempat itu sepertinya sudah dibooking untuk Stonedhell dan crew."Minum apaan tuh, Ra?" tanya Lily yang kini duduk di samping Rara. Sementara Ana duduk di kursi seberang."Lemon juice," sahut Rara sambil meringis."Lemon juice doang? Nggak ada campuran apa-apa, gitu?" Ana mengerutkan kening."Enggak. Emang harus dicampur apa?" tanya Rara bingung."Vodka kek, apa kek."Rara menggeleng keras. "Nggak ah, nanti kepalaku pusing."Ana dan Lily seketika meloloskan tawa mendengar ucapan Rara yang polos. "Pantesan Kak Sam gemes banget sama kamu, ya ... kamunya
Samuel menoleh ke arah tempat di mana Rara dan Nathan tadi duduk, tapi keduanya sudah tidak ada di sana. Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh bar, rupanya mereka ada di luar, mengobrol di dekat dinding pembatas balkon."Sorry, Bi ... aku harus pulang. Capek," pamit Samuel disambut senyuman tipis Bianca.Samuel meninggalkan Bianca dan melangkah ke arah Rara dan Nathan. "Ra, ayo pulang," ajaknya."Sekarang, Kak?" tanya Rara."Iya, sekarang." Samuel menatap ke arah Nathan yang tampak tak terlalu suka dengan kehadiran Samuel."Ya udah, deh. Padahal lagi asyik ngobrol sama Kak Nathan," ucap Rara sambil bibirnya manyun. Nathan hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis."Aku capek," sahut Samuel seraya meminta Rara memberikan tangannya untuk digandeng. Rara menurut saja. Tampaknya Samuel sedang bad mood. Pasti karena bertemu dengan Bianca. Perempuan itu juga masih berada di tempatnya, tersenyum seraya melambai ke arah Samuel dan Rara saat melintasinya."Kenapa mukamu gitu, Kak? Ngomo
"Kamu saya pecat!"Ah, Rara sudah menduganya. Kejadian beberapa saat lalu tidak mungkin tidak berakibat buruk, saat dia tidak sengaja menumpahkan minuman ke pakaian salah satu pengunjung restauran. Si pengunjung marah besar dan memaki-maki dirinya, sampai memanggil managernya, Alina, dan berujung pada pemecatan Rara.Baiklah. Rara harus segera pergi dari restauran yang baru beberapa minggu menjadi tempatnya bekerja. Gaji saja belum sempat dia terima, malah sudah harus angkat kaki. Tapi mau bagaimana lagi, semesta sepertinya sedang tidak berpihak pada Rara."Mana belum bayar kos udah tiga bulan," keluh Rara sambil duduk sembarang di trotoar, memandangi mobil yang lalu lalang di jalan raya.Sejak lulus SMA setahun lalu, Rara memang sudah harus keluar dari rumahnya, karena tidak tahan menghadapi ibu tiri yang lebih kejam dari ibu kota. Ayahnya pun tak keberatan dia pergi. Mungkin pikirnya, kepergian Rara akan mengurangi beban keluarga. Adik tiri Rara akan masuk ke sekolah menengah dan te
Seorang resepsionis di sebuah hotel bintang lima tampak gugup saat Samuel menanyai keberadaan Bianca, kekasihnya, di salah satu kamar. Wajah gadis berbalut cardigan biru itu pucat pasi. Beberapa orang pengunjung yang mengantri check in hanya bisa menyaksikan interaksi keduanya dengan tegang."Saya cuma mau tahu apa ada nama Bianca Downey di hotel ini, ngerti?" tekan Samuel. Dadanya sudah bergemuruh menahan amarah sejak beberapa saat lalu saat dia mendapat kabar dari orang kepercayaannya, bahwa Bianca check in di hotel yang sedang didatanginya ini, dengan seorang pria yang cukup populer dalam industri perfileman tanah air."Maaf, Pak. Saya tidak bisa memberitahu ke pihak luar privasi tamu kami. Saya hanya menjalankan prosedur hotel, Pak," timpal si resepsionis dengan suara bergetar."Denger, ya ... Irene," ucap Samuel sembari membaca name tag di dada si resepsionis. "Kamu tahu ...." Belum sempat Samuel melanjutkan kata-kata, pandangan matanya menangkap dua sosok pria dan wanita yang ba
"Rara Setyaningrum!"Rara terkesiap mendengar namanya dipanggil oleh seorang wanita yang baru saja keluar dari balik pintu bercat putih. Sudah pasti ini adalah gilirannya untuk melakukan audisi di depan para personel Stonedrock."Sudah siap?" tanya wanita itu saat melihat Rara hanya bengong."I-iya, sudah," jawab Rara gugup. "Mari," kata wanita itu mempersilahkan Rara masuk. Rara menggendong softcase keyboardnya dan mengikuti wanita itu masuk ke dalam ruangan luas yang hanya ada empat kursi dan satu meja. Tiga kursi di antaranya diduduki tiga orang pemuda berambut panjang, dan satu kursi lagi kosong. "Rara, ya?" tanya salah seorang pria berbalut kemeja kotak-kotak sambil melemparkan senyum pada Rara. "I-iya, Kak," sahut Rara gugup. "Jangan nervous gitu, dong. Kita nggak gigit kok." Ucapan salah seorang pemuda membuat dua lainnya meloloskan tawa. Rara hanya meringis. Dibantu oleh salah seorang crew, Rara menyetting keyboardnya. Pria berjenggot yang membantunya menyiapkan alat mus