Share

Part 3 - Surat Kontrak

Deg!

 

A-apa jangan-jangan, wanita yang keluar dari rumahnya tadi itu, istrinya? Bukan adiknya? Atau kakaknya?

 

"Saya tidak mau tahu. Pokoknya, Tuan harus bertanggung jawab dengan menikahi saya. Kalau tidak, saya akan memberitahu istri Anda."

 

"Kamu mengancam saya?!"

 

"Ya. Memang kenapa? Anda takut?"

 

"Bukannya taβ€”"

 

Ucapannya terhenti ketika suara telepon genggamku yang bernada dering "Ayat Kursi" memekakkan telinga.

 

"Kenapa berhenti bicara? Panas?" Aku menghardiknya.

 

Lalu, kujawab panggilan telepon yang ternyata dari Abah. "Assalamu'alaikum, Abah." Aku memelankan suara, berpura-pura sedih.

 

"Rimaaar. Kamu di mana?" teriak Abah di ujung saluran telepon. Abah penasaran juga. Dia pasti mengkhawatirkanku.

 

"Ri-rimar di tempat orang yang ngehamilin Rimar, Bah."

 

"Apa!" Volume suara Abah benar-benar membuat telingaku berdengung. Tahu-tahu, Abah mematikan teleponnya saat itu juga.

 

"Ehm. Jadi, gimana?" Aku melanjutkan pembicaraan tadi.

 

"Saya tidak takut dengan ancaman gadis murahan sepertimu!"

 

"Apa Anda bilang! Saya bukan gadis murahan seperti yang Anda maksud! Aset saya sangat berharga. Anda saja yang menikmatinya gratisan! Tidak tahu diri!"

 

"Kaβ€”"

 

Ucapannya terpotong lagi saat ponselku berdering yang kedua kalinya. Kali ini panggilan video call dari Abah.

 

"Ehm. Iya, Abah?"

 

"Mana?"

 

"Apanya?"

 

"Si Penjahat Kelamin yang udah ngehamilin anak Abah?"

 

Aku menggeser telepon dan menghadapkan layar ke arah si Sergio itu. Dia malah duduk santai bersandar, dengan satu kaki melipat di atas kaki lainnya.

 

"Ooh, jadi dia orangnya. Siapa namanya, Rim?"

 

"Gio, Abah." Aku menjawabnya cepat.

 

"Apa? Gio?!" Lelaki bermata cokelat itu terkejut saat aku menyebutkan nama pendeknya.

 

Lalu, mulutnya terlihat bergumam, entah tentang apa. Aku tak memedulikannya. Kulihat Abah mendekatkan wajahnya hingga memenuhi layar.

 

"Nak Gio, gimana? Kapan mau tanggung jawab sama jabang bayi yang ada di perut Rimar?"

 

"Mohon maaf. Saya sudah bertanggung jawab, Pak, tetapi Rimarnya menolak."

 

"Apa?! Kenapa?"

 

Aku mengambil secarik kertas kecil yang dibawa pengacara tadi dan menunjukkannya.

 

"Ini bentuk tanggung jawabnya, Bah." 

 

Abah memicingkan mata untuk memperjelas penglihatannya.

 

"Berapa itu enolnya, Rim?"

 

"Delapan, Bah."

 

"Apa? Harga diri anak saya cuma dihargai seratus juta? Gila! Kamu pikir, saya enggak punya uang sebanyak itu?!" pekik Abah.

 

Memangnya, Abah punya uang sebanyak itu, ya? Aku meminta uang pulsa lima puluh ribu saja, sulitnya minta ampun.

 

"Silakan, sebutkan apa dan berapa yang kalian minta? Saya sangat sibuk!"

 

"Nikahi anak saya!"

 

Si Sergio malah menyeringai. Dia benar-benar meremehkanku.

 

"Kenapa saya harus menikahi anak Anda yang seorang tukang bersih-bersih hotel? Asal Anda tahu kalau saya ini sudah beristri. Level istri saya itu, jauh di atas anak Anda, baik bibit, bebet, dan bobotnya. Wanita bayaran lain, saya beri cek dengan jumlah separuhnya dari ini, mereka tidak keberatan. Mereka langsung tutup mulut dan menganggap semuanya selesai."

 

Kurang ajar sekali mulutnya. Dia coba-coba menyamakanku dengan kupu-kupu malam.

 

Lantas, kulihat Abah meletakkan ponselnya di suatu tempat dan menjauhkan jarak ke layar. Abah menunjukkan sebilah golok yang sedang diasahnya.

 

"Ooh, jadi Nak Gio menyamakan Rimar dengan wanita bayaran di luar sana? Perlu Nak Gio tahu, saya tidak peduli Rimar jadi istri kesatu, kedua, atau kesebelas pun. Yang jelas, Nak Gio harus bertanggung jawab atas kehidupan di dalam rahimnya."

 

Lelaki itu mengubah posisi duduknya saat melihat Abah berbicara sambil menunjukkan goloknya. Sepertinya, dia merasa sedikit ketakutan akan ancaman Abah. Rasakan kau!

 

Selama beberapa menit, lelaki yang sedang duduk sambil menangkubkan tangannya di depan mulut itu tampak sedang memikirkan sesuatu.

 

"Baiklah. Ini tawaran terakhir saya. Saya akan menikahimu ... dengan syarat kontrak bahwa saya hanya akan bertanggung jawab sampai anak itu lahir. Setelahnya, saya akan menceraikanmu. Kamu bawa anak itu bersamamu dan saya akan menanggung semua biaya hidupnya. Bagaimana?"

 

Abah bertanya dan menyerahkan semua keputusannya padaku.

 

"Saya juga mengajukan syarat. Saya akan tinggal di rumahmu selama kehamilan anak ini."

 

Aku mematikan panggilan video call Abah secara sepihak.

 

"Apa maksudmu?! Kamu mau merusak rumah tangga saya?!"

 

"Jangan salahkan saya! Salahkan ularmu yang kabur dari kandangnya! Dia harus bertanggung jawab atas bibit yang terpaksa bertumbuh ini. Saya tidak mau tahu!"

 

"Saya akan memberikanmu rumah atau apartemen untukmu tinggal sementara!"

 

"Maaf, saya tidak berniat mengubah syaratnya!"

 

Ekspresi wajahnya tampak depresi. Aku tidak mau tahu. Aku harus tinggal di rumah mewahnya walaupun harus bersama istrinya. Anak ini harus merasakan kehidupan seperti yang dijalankan Ayahnya. Merasakan kasih sayang ayahnya ... dan yang pasti, hidupnya harus terjamin.

 

Aku ingin menanyakan perihal anaknya dari istri pertama. Namun, sayang sekali, aku segan untuk bertanya lebih lanjut. Tenagaku sudah habis karena sejak pagi terus muntah-muntah. Nanti juga aku akan tahu semuanya saat tinggal di rumah itu.

 

"Baiklah." Akhirnya, dia menyetujuinya.

 

"Pak Sumanto, tolong buatkan surat perjanjian kontraknya." Dia memerintah lelaki yang duduk di seberangku.

 

"Baik, Pak."

 

Tidak sampai sepuluh menit, surat kontraknya selesai. Aku membacanya dengan teliti. Semuanya sudah sesuai dengan kesepakatan kami tadi.

 

"Silakan ditandatangani. Saya yang akan menentukan di mana dan kapan akad nikahnya."

 

"Baik. Saya tidak keberatan. Kalau boleh tahu, kapan? Saya harus menyiapkan semuanya."

 

"Tidak perlu. Cukup bawa diri saja. Saya dan kamu hanya akan melangsungkan akad nikah di KUA."

 

"Lalu, kapan Anda akan memberitahu istri Anda tentang saya?"

 

"Itu urusan saya. Silakan pulang. Saya harus meneruskan pekerjaan saya!" Dia bangkit dari sofa dan melangkah kembali ke kursi. Di atas mejanya terdapat papan bertuliskan Direktur Sergio Ibrahim, SE.

 

Hidupku benar-benar seperti cerita telenovela. Aku merasakan pusing yang sangat ketika berdiri. Pandanganku rasanya gelap. Rasa ingin muntah jangan ditanya, sejak pagi aku mencoba menahannya. Aku harus kuat, minimal sampai kembali ke rumah. Baiklah, Marimar kuat, Marimar kuat.

 

Bruaak!

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nunyelis
mending pisah rumahlah dr istri pertamanya...mw2nya satu atap...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status