"Dia siapa, Sayang?""Duduklah. Aku akan memperkenalkannya."Wanita dengandress panjang rumahan dan modis itu kembali duduk setelah mengecup pipi Mas Gio. Aah, silakan saja. Aku tak akan cemburu sedikit pun."Perhatian, tolong dengarkan semuanya." Suara Mas Gio tampak berat dan jantan."Dia siapa, Kak? Pembantu baru, ya?" celetuk seorang gadis yang paling muda di antara yang lainnya.Enak saja aku dibilang pembantu. Walaupun penampakanku memang terlihat jauh dari apa yang ditampakkan mereka. Setidaknya, jangan melihat orang dari penampilan. Lagi pula, aku tidak jelek-jelek amat, hanya kekurangan polesan cushionbermerk.Hmm, sepertinya, aku harus menyiapkan kelapangan hati saat tinggal di sini."Semuanya, perkenalkan. Ini Marimar, istri keduaku.""Apa? Dia siapa, Gio?" tanya wanita paruh baya dengan pakaian muslimah dan cantik."Ini ... istri kedua Gio, Ma,
"Marimar,""Iya, Tuan."Pria berkumis tipis itu menarik kedua tanganku, mengusapnya dengan halus. Perlahan ia mengangkatnya, mendekatkannya, lalu mengecup tanganku seraya tersenyum simpul. Aku tersipu.Di sebuah meja makan bundar dalam sebuah restoran mewah dengan dekorasi berwarna emas, kami duduk menanti pesanan. Tak ada siapa pun di sana selain para pegawai restoran karena tempat itu khusus di-bookingolehnya.Ia menarik kursi yang aku duduki sampai berada persis di sampingnya. Lengannya melingkari pinggang mungilku. Hmm, jantung rasanya bertalu-talu dengan keras.Aku duduk malu-malu dalam sandaran dadanya yang berbentuk seperti bar cokelat. Ia mengangkat daguku lima sentimeter ke atas. Aku segera menunduk malu karena pandangan kami saling berpautan."Silakan dinikmati hidangannya, Tuan dan Nyonya Sergio." Para pelayan bergegas pergi setelah menyapa kami dan meletakkan banyak sekali menu di atas
"Kamu tidak usah sok suci di rumah ini! Karena kamu tidak lebih dari benalu!"Ucapannya itu membuat hatiku memanas. Aku menatapnya dan semakin membuat rasa mualku memuncak sampai akhirnya tak bisa kutahan lagi."Aaaaaaaaaakkkkkkkhhh ...." Mbak Sari berteriak kaget.Ia melonjak kaget dan membulatkan matanya penuh. Kulihat, wajahnya pelan-pelan menoleh ke arahku. Penuh emosi yang tersulut. Memang hanya dia yang emosi? Salah siapa memancing macan hamil?"Ma-maaf—""Kamu ...?!"Plak!Pipiku mendapat cap tangannya dengan keras. Lebih keras daripada tamparannya Abah beberapa waktu lalu, tetapi hatiku lebih sakit mendengar kata-katanya sepagian itu."Maaf, Mbak. Saya ... saya tidak sengaja.""Dasar wanita kotor! Kamu benar-benar menjijikan, tau!" pekiknya."Maaf, Mbak. Itu ... itu keluar begitu saja." Aku menyeka aliran air yang hendak keluar dari ekor mata. Aku berinisiatif
Ojekonlineyang kusewa berhenti di depan rumah megah berlantai dua. Aku segera turun dan lekas membayar tunai jasanya, kemudian berjalan pelan sambil memandangi rumah di depanku.Seakan masih tak percaya jika aku menjadi bagian dari keluarga pemilik rumah ini. Apalagi bermimpi menjadi seorang madu, tak pernah terlintas sedikit pun.Di teras rumah, aku melihat Bi Yuna sedang menyapu. Ia langsung menghampiri begitu menyadari kepulanganku."Nyonya, tadi Nyonya besar menitip pesan agar Nyonya Rimar menemuinya di kamar kalau sudah pulang.""Baik, Bi. Terima kasih, ya. Saya permisi masuk dulu."Mama pasti mau membicarakan hal yang tadi pagi disampaikannya. Aku masuk ke kamar untuk bersih-bersih sebelum menemui mamanya Mas Gio. Setelah selesai, aku segera melangkah menuju kamar yang terletak di lantai atas.Lantai dua hanya dihuni oleh mamanya Mas Gio dan Lisa—adiknya. Sebelum menaiki tangga, Mbak S
Jangan lupa subscribe & rate bintang 5 ya 😇____________________________________________Aku bisa pulang setelah menginap selama semalam di rumah sakit. Dokter bilang, aku tidak diperbolehkan bekerja selama seminggu. Baiklah, aku bisa sedikit bersantai.Mas Gio keluar dari mobil begitu saja tanpa menungguku. Jadi, aku harus jalan sendiri ke dalam, begitu? Padahal, aku membayangkan kalau Mas Gio membopongku seperti kemarin atau minimal memegang tanganku sampai kamar."Istirahatlah," ketusnya."Tuan, mau ke mana?""Saya harus bekerja. Emh... hati-hati dengan kehamilanmu," sahutnya sambil menggaruk dahi yang tidak gatal, kemudian dia berlalu meninggalkanku sendirian di kamar yang luas. Kamar dengan dekorasi yang elegan.Tidak adakah sedikit perasaan ingin menemaniku di kamar? Aku ini sedang mengandung anaknya. Aku butuh perhatian khusus dari seseorang.Aku terkejut ketika ponselku berdering ker
"Apa yang Mbak pasang di situ?" Aku menunjuk perutnya, "sampai Mbak tidak bisa hamil?"Mbak Sari membulatkan mata dengan sempurna. Dia tercengang karena ucapanku yang pasti tak akan disangkanya."Kamu? Jangan bicara sembarangan, ya!""Tentang apa? IUD?" Aku menantangnya. Terlintas di pikiranku kalau hanya IUD yang bisa mencegah kehamilan tanpa diketahui siapa pun."IUD atau apalah itu. Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan." Dia menjawabnya dengan penuh percaya diri."Emm ... baiklah."Terus saja seperti itu, Mbak. Aku akan mencari tahu apa yang kamu sembunyikan dan hiduplah dengan baik untuk saat ini."Ada lagi yang mau dibicarakan? Kalau tidak, silakan keluar dari kamar ini. Dan ... terima kasih sudah membuat saya bisa beristirahat."Aku l
Sampai beberapa hari kemudian, aku masih penasaran. Siapa pria yang ditemui Mbak Sari? Apa Mas Gio mengetahuinya?Aku ingin menanyakan pada Mas Gio, apakah dia merokok atau tidak? Tidak, jangan sekarang. Huh, banyak sekali teka-teki yang dimainkan Mbak Sari.Mulai dari wanita yang akan disingkirkan, rencana rahasianya, apa yang ada di dalam perutnya, dan terakhir pria yang ditemuinya.Ya, ampun. Apa aku harus berperan sebagai detektif abal-abal. Conan ... bantulah aku menyelesaikan deduksi ini."Kenapa melamun?"Aku terkesiap saat mendengar pertanyaan itu."Ah ... emm ... Pak Adit, selamat pagi." Aku menunduk malu."Pagi-pagi sudah melamun. Lihat lantai itu sampai tipis dari tadi di pel enggak pindah-pindah.""Ooh ...." Aku terkekeh. "Ma-maaf, Pak.""Sudah sarapan?""Sudah, Pak. Saya sudah sarapan.""Baiklah. Saya tinggal, ya? Jangan melamun lagi, nanti kerasukan
Alangkah kagetnya ketika aku ke luar kamar. Kebetulan, aku melihat Mbak Sari masuk dan maskernya terlepas. Wajah itu, tepatnya di sekitaran pipi membiru dan ada bekas luka di sudut bibir. Aku melirik ke kakinya, sama-sama membiru. Cepat-cepat dia memakai maskernya lagi saat menyadari kehadiranku.Ada apa dengannya?Dia tergesa-gesa untuk masuk ke kamar. Aku berhasil menahan lengannya."Mbak?""Lepas!" hardiknya."Mbak, ada yang bisa saya bantu?" Aku bertanya baik-baik, siapa tahu dia butuh tempat berbagi."Lepas kubilang!" Dia menyingkirkan tanganku. "Jangan ikut campur urusan saya!"Dia masuk kamar tapi berhenti sebentar sebelum menutup pintu. "Anggap tadi kau tidak melihat apa pun!" Dia memperingatkan.Aku masih berdiri di antara kamar kami. Mem