Share

Part 4 - Pernikahan Kontrak

Bruak!

Aku membuka mata perlahan. Gelap. Aku beberapa kali mengerjapkan mata mencoba memperjelas pandangan. Sebuah lampu di atas eternit tepat menyorot mataku.

Aku memperhatikan sekeliling, banyak orang berlalu lalang memakai seragam putih bersih. Ada ramai-ramai di ruangan sebelah kiriku. Di mana aku?

"Mbak, sudah sadar? Dook ...." 

Seorang wanita yang sedang duduk di samping dan menyapaku, lalu dia berdiri memanggil seorang dokter. Siapa dia? Sepertinya aku pernah melihatnya.

"Aku ... di mana?" tanyaku lirih sambil memegang lengannya. Dia pun menoleh.

"Mbak di rumah sakit. Tadi Mbak pingsan di depan meja saya."

"Mbak siapa?" Aku bertanya sambil memegang kening yang masih terasa nyut-nyutan.

"Saya Starla, sekretarisnya Pak Sergio, Mbak."

"Ooh ... istrinya Virgoun, ya?"

Si Mbak Starla malah terkekeh. "Saya belum menikah, Mbak."

"Selamat sore." Seorang dokter tampan membuka tirai biru yang menutupi tempatku berbaring. Kami (aku dan Mbak Starla) menoleh ke arahnya. Ia bersama seorang perawat yang kutaksir usianya sekitar tiga puluhan.

"Mbak Marimar, ya? Gimana keadaannya?"

"Harusnya saya yang nanya, Dok. Yaelah."

Si Dokter malah tersenyum tipis. "Maksud saya, gimana perasaannya sekarang?"

"Kesel, Dok."

Si Dokter malah mengernyitkan dahi sampai mengerut sekali.

"Ya, baiklah." Dokter itu malah menyerah. "Saya akan jelaskan, ya? Begini, kehamilan Mbak Marimar sekarang menginjak usia enam minggu. Saat ini, kondisi kehamilannya sangat lemah dan rentan karena trimester pertama. Jadi, tolong jangan bekerja terlalu berat dan jangan kecapean. Banyak makan-makanan bergizi juga supaya kondisi kesehatan Mbak dan janinnya sehat."

"Iya, Dok. Saya mengerti." Aku bergegas bangun dari tempat tidur dan melepaskan jarum infus yang menempel di lengan.

"Loh, Mbak mau ke mana?"

"Saya mau pulang aja, Dok."

"Tapi cairan infusnya belum habis, Mbak. Ditunggu dulu sampai habis, ya?"

"Biarin, Dok. Saya sudah kuat untuk pulang."

***

Aku sampai di rumah, diantar oleh Mbak Starla dan seorang supir. Kulihat ada motor Bang Umar di depan teras. Sungguh, aku takut kalau harus berhadapan dengannya. Dua lelaki di rumahku berperangai tegas dan keras semua.

Pelan-pelan aku melangkah masuk. Semoga saja Bang Umar dan istrinya ada di dapur supaya tidak melihat kedatanganku dan aku bisa langsung masuk ke kamar.

Aku melebarkan pintu rumah yang sudah sedikit terbuka dengan berjalan mengendap-endap.

"Rimar!" Itu suara Bang Umar. Aku menghentikan langkah detik itu juga. Detak jantungku tak karuan dan tanganku gemetaran. Aku menghembuskan napas perlahan, bersiap akan apa yang dilakukan oleh abangku itu.

"I-iya, Bang." Aku menjawab tanpa menoleh sedikit pun. Aku takut.

"Sini!" Bang Umar menarik paksa lenganku dan menghempaskan tubuhku ke sofa di ruang tamu.

"Aaw." Rasa mual langsung naik seketika sampai tenggorokan.

"Kamu berani mempermalukan keluarga, ya, Rimar?! Kenapa sampai bisa hamil?"

"Mana Rimar tau, Bang. Emangnya Rimar yang mau? Semuanya terjadi gitu aja."

"Emang kamu nggak bisa teriak! Nggak bisa nolak kalau diperkosa begitu?"

"Iih Abang, namanya juga diperkosa. Pasti dipaksa. Rimar, tuh dibekep. Trus dua tangan ini dipegang kuat-kuat, Rimar nggak bisa bergerak sama sekali, Bang."

Mata Bang Umar menatap tajam. Aku langsung menunduk tak berani memandangnya. Kedua tangan Bang Umar yang tadi sedang berkacak pinggang, tahu-tahu menggebrak meja di sampingnya.

Aku terperanjat. Sungguh jantung ini rasanya mau copot.

"Rimar! Apa kata tetangga nanti kalau tahu kamu hamil di luar nikah?! Mau disimpan di mana wajah keluarga kita, hah?! Bisa tidak, sekali saja kamu tidak menyusahkan keluarga?! Sejak dulu kamu selalu jadi beban keluarga!"

Ucapan tajam Bang Umar benar-benar menusuk. Bola mataku memanas dan berembun. Umi ... Rimar kangen Umi. Rimar nggak punya tempat berkeluh kesah lagi, Umi.

"Maafin Rimar, Bang. Ini bukan kehendak Rimar."

"Maaf? Maaf tidak bisa mengubah apa pun Rimar!"

"Bisa, Bang."

"Bisa apa?"

"Laki-laki itu mau tanggung jawab. Dia mau nikahin Rimar, Bang."

"Apa! Kamu tahu, 'kan kalau wanita hamil itu tidak boleh dinikahi atau pun dicerai?"

"Ta-tahu, Bang. Tapi mau gimana lagi? Rimar belum siap jadi bahan gunjingan orang nantinya. Rimar nggak mau kalau nanti anak ini lahir tanpa seorang ayah."

"Astaghfirullah!" Bang Umar geram. Ia menendang kaki meja di sampingku. 

"Umar, sudah. Adikmu lagi hamil jangan terlalu keras."

"Aaagggh! Terserah kamu aja. Abang cape ngurusin kamu!" 

Bang Umar menendang kaki meja lagi, lalu bergegas pergi ke dapur. Aku pun pergi ke kamar sambil mengusap air mata yang enggan berhenti mengalir. 

Waktu sudah mau masuk magrib, aku segera mandi dan berganti pakaian. Setelah mandi, aku mengambil air wudu untuk bersiap melaksanakan salat.

Aku bermunajat kepada Sang Pencipta. Aku menumpahkan semua isi hatiku, karena aku tidak punya siapa pun sebagai tempat bercerita.

Ya Allah, ampuni aku atas dosa dan kecelakaan ini. Mungkin ini bagian dari takdirku. Jadi, aku mohon bimbinglah aku untuk ke depannya.

Setelah selesai dengan beberapa doa, aku memuji nama-Nya. Tak lupa aku menitipkan doa dan salamku untuk almarhumah ibuku yang sudah berada di sisinya.

Selesai berdoa, aku menuju ke dapur untuk mendapatkan makanan. Ada nasi goreng dengan telur dadar di atas meja. Cukup untukku makan malam ini. Mengingat, sejak pagi belum ada secuil pun makanan masuk untuk janin dalam perutku.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya, Marimar binti Abdullah Somad, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang sebesar seratus juta rupiah, tunai."

Hari itu, aku resmi menjadi istri kedua dari lelaki berhidung bangir. Akad nikah hanya dihadiri oleh keluargaku tanpa didampingi oleh keluarga Sergio.

Apakah dia belum memberi tahu keluarganya perihal pernikahan ini? Jujur, aku sedih menjalani pernikahan seperti ini. Sejak dulu, aku mendambakan resepsi pernikahan impian seperti gadis-gadis pada umumnya.

Menikah dengan lelaki yang mencintai dan dicintai. Dihadiri oleh keluarga besar dan para kerabat. Menikah di gedung besar dan mewah. Lalu, menerima banyak kado dan ucapan selamat.

Aah ... pupus sudah cita-citaku. Kini, tinggal aku menjalani hari-hari sebagai seorang istri kedua dengan pria yang baru saja kukenal. 

***

Mobil yang ditumpangiku dan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu memasuki rumah yang beberapa waktu sebelumnya pernah kudatangi.

Setelah keluar dari mobil, dia jalan lebih dulu ke dalam rumah besar itu. Aku mengikuti di belakang tubuhnya yanh tinggi dan berisi.

Di ruangan besar yang seperti ruang keluarga itu ada beberapa orang yang sedang berkumpul. Apakah mereka mengenalku?

"Sayang, kok, sudah pulang?" Seorang wanita yang sedang duduk dan bercengkerama dengan yang lainnya, tiba-tiba berdiri dan menghampiri suamiku.

Tampaknya, dia istri dari si Sergio ini. Ah ... maksudku Mas Gio. Aku mencoba menghormatinya karena aku sudah berstatus sebagai seorang istri.

"Dia siapa, Sayang?"

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Wah bagaimana nasib marimar ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status