Home / All / Mengandung Bayi Bos / Part 4 - Pernikahan Kontrak

Share

Part 4 - Pernikahan Kontrak

Author: Zidney Aghnia
last update Last Updated: 2021-09-04 02:15:25

Bruak!

Aku membuka mata perlahan. Gelap. Aku beberapa kali mengerjapkan mata mencoba memperjelas pandangan. Sebuah lampu di atas eternit tepat menyorot mataku.

Aku memperhatikan sekeliling, banyak orang berlalu lalang memakai seragam putih bersih. Ada ramai-ramai di ruangan sebelah kiriku. Di mana aku?

"Mbak, sudah sadar? Dook ...." 

Seorang wanita yang sedang duduk di samping dan menyapaku, lalu dia berdiri memanggil seorang dokter. Siapa dia? Sepertinya aku pernah melihatnya.

"Aku ... di mana?" tanyaku lirih sambil memegang lengannya. Dia pun menoleh.

"Mbak di rumah sakit. Tadi Mbak pingsan di depan meja saya."

"Mbak siapa?" Aku bertanya sambil memegang kening yang masih terasa nyut-nyutan.

"Saya Starla, sekretarisnya Pak Sergio, Mbak."

"Ooh ... istrinya Virgoun, ya?"

Si Mbak Starla malah terkekeh. "Saya belum menikah, Mbak."

"Selamat sore." Seorang dokter tampan membuka tirai biru yang menutupi tempatku berbaring. Kami (aku dan Mbak Starla) menoleh ke arahnya. Ia bersama seorang perawat yang kutaksir usianya sekitar tiga puluhan.

"Mbak Marimar, ya? Gimana keadaannya?"

"Harusnya saya yang nanya, Dok. Yaelah."

Si Dokter malah tersenyum tipis. "Maksud saya, gimana perasaannya sekarang?"

"Kesel, Dok."

Si Dokter malah mengernyitkan dahi sampai mengerut sekali.

"Ya, baiklah." Dokter itu malah menyerah. "Saya akan jelaskan, ya? Begini, kehamilan Mbak Marimar sekarang menginjak usia enam minggu. Saat ini, kondisi kehamilannya sangat lemah dan rentan karena trimester pertama. Jadi, tolong jangan bekerja terlalu berat dan jangan kecapean. Banyak makan-makanan bergizi juga supaya kondisi kesehatan Mbak dan janinnya sehat."

"Iya, Dok. Saya mengerti." Aku bergegas bangun dari tempat tidur dan melepaskan jarum infus yang menempel di lengan.

"Loh, Mbak mau ke mana?"

"Saya mau pulang aja, Dok."

"Tapi cairan infusnya belum habis, Mbak. Ditunggu dulu sampai habis, ya?"

"Biarin, Dok. Saya sudah kuat untuk pulang."

***

Aku sampai di rumah, diantar oleh Mbak Starla dan seorang supir. Kulihat ada motor Bang Umar di depan teras. Sungguh, aku takut kalau harus berhadapan dengannya. Dua lelaki di rumahku berperangai tegas dan keras semua.

Pelan-pelan aku melangkah masuk. Semoga saja Bang Umar dan istrinya ada di dapur supaya tidak melihat kedatanganku dan aku bisa langsung masuk ke kamar.

Aku melebarkan pintu rumah yang sudah sedikit terbuka dengan berjalan mengendap-endap.

"Rimar!" Itu suara Bang Umar. Aku menghentikan langkah detik itu juga. Detak jantungku tak karuan dan tanganku gemetaran. Aku menghembuskan napas perlahan, bersiap akan apa yang dilakukan oleh abangku itu.

"I-iya, Bang." Aku menjawab tanpa menoleh sedikit pun. Aku takut.

"Sini!" Bang Umar menarik paksa lenganku dan menghempaskan tubuhku ke sofa di ruang tamu.

"Aaw." Rasa mual langsung naik seketika sampai tenggorokan.

"Kamu berani mempermalukan keluarga, ya, Rimar?! Kenapa sampai bisa hamil?"

"Mana Rimar tau, Bang. Emangnya Rimar yang mau? Semuanya terjadi gitu aja."

"Emang kamu nggak bisa teriak! Nggak bisa nolak kalau diperkosa begitu?"

"Iih Abang, namanya juga diperkosa. Pasti dipaksa. Rimar, tuh dibekep. Trus dua tangan ini dipegang kuat-kuat, Rimar nggak bisa bergerak sama sekali, Bang."

Mata Bang Umar menatap tajam. Aku langsung menunduk tak berani memandangnya. Kedua tangan Bang Umar yang tadi sedang berkacak pinggang, tahu-tahu menggebrak meja di sampingnya.

Aku terperanjat. Sungguh jantung ini rasanya mau copot.

"Rimar! Apa kata tetangga nanti kalau tahu kamu hamil di luar nikah?! Mau disimpan di mana wajah keluarga kita, hah?! Bisa tidak, sekali saja kamu tidak menyusahkan keluarga?! Sejak dulu kamu selalu jadi beban keluarga!"

Ucapan tajam Bang Umar benar-benar menusuk. Bola mataku memanas dan berembun. Umi ... Rimar kangen Umi. Rimar nggak punya tempat berkeluh kesah lagi, Umi.

"Maafin Rimar, Bang. Ini bukan kehendak Rimar."

"Maaf? Maaf tidak bisa mengubah apa pun Rimar!"

"Bisa, Bang."

"Bisa apa?"

"Laki-laki itu mau tanggung jawab. Dia mau nikahin Rimar, Bang."

"Apa! Kamu tahu, 'kan kalau wanita hamil itu tidak boleh dinikahi atau pun dicerai?"

"Ta-tahu, Bang. Tapi mau gimana lagi? Rimar belum siap jadi bahan gunjingan orang nantinya. Rimar nggak mau kalau nanti anak ini lahir tanpa seorang ayah."

"Astaghfirullah!" Bang Umar geram. Ia menendang kaki meja di sampingku. 

"Umar, sudah. Adikmu lagi hamil jangan terlalu keras."

"Aaagggh! Terserah kamu aja. Abang cape ngurusin kamu!" 

Bang Umar menendang kaki meja lagi, lalu bergegas pergi ke dapur. Aku pun pergi ke kamar sambil mengusap air mata yang enggan berhenti mengalir. 

Waktu sudah mau masuk magrib, aku segera mandi dan berganti pakaian. Setelah mandi, aku mengambil air wudu untuk bersiap melaksanakan salat.

Aku bermunajat kepada Sang Pencipta. Aku menumpahkan semua isi hatiku, karena aku tidak punya siapa pun sebagai tempat bercerita.

Ya Allah, ampuni aku atas dosa dan kecelakaan ini. Mungkin ini bagian dari takdirku. Jadi, aku mohon bimbinglah aku untuk ke depannya.

Setelah selesai dengan beberapa doa, aku memuji nama-Nya. Tak lupa aku menitipkan doa dan salamku untuk almarhumah ibuku yang sudah berada di sisinya.

Selesai berdoa, aku menuju ke dapur untuk mendapatkan makanan. Ada nasi goreng dengan telur dadar di atas meja. Cukup untukku makan malam ini. Mengingat, sejak pagi belum ada secuil pun makanan masuk untuk janin dalam perutku.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya, Marimar binti Abdullah Somad, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang sebesar seratus juta rupiah, tunai."

Hari itu, aku resmi menjadi istri kedua dari lelaki berhidung bangir. Akad nikah hanya dihadiri oleh keluargaku tanpa didampingi oleh keluarga Sergio.

Apakah dia belum memberi tahu keluarganya perihal pernikahan ini? Jujur, aku sedih menjalani pernikahan seperti ini. Sejak dulu, aku mendambakan resepsi pernikahan impian seperti gadis-gadis pada umumnya.

Menikah dengan lelaki yang mencintai dan dicintai. Dihadiri oleh keluarga besar dan para kerabat. Menikah di gedung besar dan mewah. Lalu, menerima banyak kado dan ucapan selamat.

Aah ... pupus sudah cita-citaku. Kini, tinggal aku menjalani hari-hari sebagai seorang istri kedua dengan pria yang baru saja kukenal. 

***

Mobil yang ditumpangiku dan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu memasuki rumah yang beberapa waktu sebelumnya pernah kudatangi.

Setelah keluar dari mobil, dia jalan lebih dulu ke dalam rumah besar itu. Aku mengikuti di belakang tubuhnya yanh tinggi dan berisi.

Di ruangan besar yang seperti ruang keluarga itu ada beberapa orang yang sedang berkumpul. Apakah mereka mengenalku?

"Sayang, kok, sudah pulang?" Seorang wanita yang sedang duduk dan bercengkerama dengan yang lainnya, tiba-tiba berdiri dan menghampiri suamiku.

Tampaknya, dia istri dari si Sergio ini. Ah ... maksudku Mas Gio. Aku mencoba menghormatinya karena aku sudah berstatus sebagai seorang istri.

"Dia siapa, Sayang?"

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Wah bagaimana nasib marimar ini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 49. Selesai

    “Saya menceraikanmu, Rimar.”“Sergio!” pekik Mama.Mas Gio menghela napas dalam-dalam, lalu diembuskannya dengan keras. Aku yang masih menunduk, melihat sepasang sepatu yang dipakainya melangkah menuju pintu. Mataku yang berurai air mata terus melirik mengikuti suara entakannya sampai aku tak melihat sosoknya lagi hanya dalam hitungan detik. Pintu pun kembali tertutup rapat. Dia pergi.“Huh, baguuus. Dari dulu, kek!” sindir Lisa sekonyong-konyong, tetapi aku tak menggubrisnya sama sekali.“Rimaar?”Panggilan Mama membuyarkan lamunanku.Aku segera berdiri sambil berusaha menyeka air mata dengan tanganku, kemudian menghampiri Mama yang sudah menantiku.“Iya, Ma,” jawabku sambil terisak. Suaraku pun berubah jadi serak.Aku duduk di kursi bulat di samping Mama. Beliau menarik tanganku lalu diusap-usapnya dengan lembut.“Rimar, kamu yakin sama keputus

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 48. Gugatan Cerai Kedua

    “Sari, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku akan melayangkan gugatan cerai ke pengadilan secepatnya.”Mbak Sari hanya memandang Mas Gio dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. Mungkin, situasi seperti itu yang sudah lama diharapkan olehnya. Sementara itu, windu hanya berdiri tanpa pergerakan di tempatnya tersungkur tadi.“Te-terima kasih, Mas.” Mbak Sari menghapus kristal bening yang hampir menetes di sudut matanya.“Mulai sekarang aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan semua yang berkaitan tentang kamu.”“Mas?” Aku memanggilnya dengan lirih.“Ya?”“Tolong ceraikan aku juga!”Mas Gio mengerutkan dahi. “Rimar, saya menceraikan Sari bukan kamu,” katanya dengan tatapan mata menyalang.“Aku tahu. Makanya, sekarang juga aku minta Mas ceraikan aku.”“Tapi, kenapa?”“Aku gak bisa lagi hidup

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 47. Gugatan Cerai

    “Mas?”“Pak Sergio?”Dokter Arin menatap Mas Gio, kemudian menatap bergantian lelaki yang datang bersama Mbak Sari.“Ada apa ini?!” Mas Gio menghampiri Mbak Sari dan menarik tangannya: memaksa untuk bangun dari perbaringan. Dengan berat hati, Mbak Sari mengikuti paksaan Mas Gio.“Maaf, kalau ini Pak Sergio, lalu Anda siapa?!” tanya Dokter Arin menyelisik pria tak dikenal yang ia sangka Mas Gio.Kedua mata Mas Gio dan Dokter Arin menyiratkan kilatan amarah. Lantas, Dokter Arin meletakkan dengan kasar alat yang tadi dipegangnya ke nampan tempat peralatan medisnya.“Sari, jelaskan apa yang kamu lakukan!” Mbak Sari tetap bergeming meskipun Mas Gio mengguncang-guncang tubuhnya.Karena Mbak Sari tetap diam, akhirnya lelaki yang tengah berpakaian kasual tersebut bertanya pada Dokter Arin. Dokter pun menjelaskan kalau Mbak Sari sedang melakukan operasi kecil untuk melepas KB Implan.

  • Mengandung Bayi Bos   Part 46. Memergoki Mbak Sari

    Tiba-tiba, aku merasakan getaran dari ponsel yang kutaruh di saku celana. Siapa yang meneleponku di waktu Subuh? Segera kutarik ponsel dari saku, ternyata Mas Gio yang menelepon.“Halo, assalamau’alaikum, Mas.”“Halo, dengan Nyonya Sergio?”Nyonya? Siapa ini? Lalu, ke mana Mas Gio? Siapa yang mengambil ponselnya?“Iya, benar. Ini siapa?”“Saya dari M2 Club Malam mau mengabari kalau Tuan Sergio pingsan.”“Pingsan? Terus ada siapa di sana, Mas? Teman atau seseorang yang menemaninya?”“Tidak ada, Nyonya. Tadi Tuan hanya datang sendiri dan minum banyak sampai akhirnya pingsan.”“Baik, tolong jaga dia, ya, Mas. Saya segera ke sana. Terima kasih.”Setelah menutup sambungan telepon, aku segera melipat mukena dan bergegas pergi ke Club M2. Aku tidak tahu di mana lokasinya dan harus ke arah mana kalau pergi dengan angkutan umum. Sebaiknya, a

  • Mengandung Bayi Bos   Part 45. Diskotik

    Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He

  • Mengandung Bayi Bos   Part 44. Korban Perasaan

    Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip

  • Mengandung Bayi Bos   Part 43. Terjebak di Rumah

    “Ha—Aku mendengar suara ceklekan menempel tepat di belakang kepala, membuat napasku terhenti sejenak dalam beberapa detik dan tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba saja aku ingat kejadian persis beberapa waktu lalu.“Maaaas!” Aku sengaja memanggil Mas Gio dengan teriakan sebelum yakin ponselku direnggut.Dengan kecepatan tangannya, ponselku sudah berpindah tangan tepat setelah aku berteriak memanggil Mas Gio, tapi aku tidak tahu apa saat itu masih terhubung dengannya atau tidak! Debaran jantung serta otot-otot kakiku benar-benar melemah dan gemetar saat merasakan sesuatu di belakang kepalaku.“Jangan bergerak!” tegasnya membuatku menelan ludah.Suara siapa itu? Aku tidak mengenalnya. Suara itu sangat jauh berbeda dibandingkan saat aku terperangkap terakhir kali di ruang kerja Mas Gio.Lalu, terdengar langkah demi langkah ketukan sepatu dari arah belakang menuju ke sampingku. Aku masih belum bisa mel

  • Mengandung Bayi Bos   Part 42. Suara Pistol

    “Loser.”“Apa?” Mas Gio tampak bingung. Ia tak mengerti sama sekali dengan maksud ucapan si pelaku.“Loser. Kata kuncinya.”“Hei, kau !” Pak Adit mengadang Mas Gio yang berusaha menyerang kembali si pelaku. “Kau pikir aku mengerti maksudmu memberi tahu kata kunci itu? Bicara yang jelas, tak usah gunakan kode-kode yang tidak ku mengerti!”“Begini, Pak. Kami juga tidak tahu siapa dia. Kami hanya menerima proyek yang diberikan agen kami. Dan dia juga hanya memberitahukan kode Loser itu sebagai si pemberi proyek.” Seorang pelaku lainnya angkat bicara.“Maksudmu, ada perantara lain di antara kalian?” Mas Gio tampak menutup sambungan telepon, padahal aku tidak mendengar dia mengakhirinya.“Benar, Pak.”“Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa tidak ikut ditangkap dengan kalian?!”“Dia sedang dalam pencarian karena sudah melari

  • Mengandung Bayi Bos   Part 41. Loser

    “Halo, iya, Pak?”“Jadi, pelakunya sudah terlacak?”“Baik, baik, Pak. Saya ke sana sekarang.”Begitulah percakapan antara Mas Gio dan seseorang yang kudengar sampai sambungan telepon terputus. Lalu, dimasukkannya kembali ponsel dengan tiga kamera tersebut ke saku kemeja. Dengan tampang kuyunya, Mas Gio mulai menatap sayu kami dan berbicara.“Kalian tolong jaga Mama. Aku pergi dulu.”“Biar kutemani, Gi. Aku yang akan menyetir,” seru Pak Adit dengan antusias.Tanpa basa-basi lagi, aku mengekori di belakang mereka yang berjalan cepat. Namun, Mas Gio ternyata menyadari aku yang membuntutinya dan coba menghentikanku.“Mau ke mana kamu?”“Aku harus ikut. Aku mau tahu siapa pelakunya, Mas, karena aku merasa orang itu ada hubungannya dengan orang yang membekapku malam itu.”“Tidak usah, kamu sedang hamil.”“Ta

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status