Home / All / Mengandung Bayi Bos / Part 2 - Tuan Gila

Share

Part 2 - Tuan Gila

Author: Zidney Aghnia
last update Last Updated: 2021-09-04 02:03:39

Aku berjalan dari rumah hendak menuju hotel tempatku bekerja. Kebetulan hari ini matahari sangat terik. Jadi, sebelum naik angkutan umum, aku berjalan pelan sambil mengeringkan baju. Sesekali pula, aku mengusap perut yang di dalam rahim sini terdapat kehidupan yang tak kuharapkan.

 

Aku berpikir berkali-kali. Apakah aku akan menyelamatkan anak ini atau menggugurkannya saja?

 

Aku merogoh kantong celana. Syukurlah ... aku membawa ponsel dan uang yang tak seberapa.

 

Sesampainya di hotel, aku segera menghampiri Mbak Prita, seorang receptionist.

 

"Mbak ...."

 

"Oh, selamat siang, Rimar. Kamu tidak kerja?"

 

"Aku libur hari ini."

 

"Ada yang bisa kubantu?"

 

"Mbak, aku bisa lihat daftar tamu di tanggal 28 Mei?"

 

"Maaf, Rimar. Tapi ini privasi."

 

"Tolonglah, Mbak." Aku memasang wajah memelas.

 

Mbak Prita tampak berpikir sejenak.

 

"Hmm, baiklah. Kalau boleh tahu, untuk apa?"

 

"Ada dompet tamu yang tertinggal, Mbak, waktu aku bersihkan kamar."

 

"Kok, baru bilang sekarang? Sini, biar saya telepon saja tamunya."

 

"Ah, tidak usah, Mbak. Aku akan mengembalikannya sendiri, sekaligus meminta maaf ke tamunya."

 

Mbak Prita memandangku dengan tatapan menyelisik.

 

"Oke. Ini daftar tamunya, Rim."

 

Syukurlah, dia percaya. Aku mulai memeriksa nama-nama tamu dan mencari pada jam kejadian. Kamar Suite, ada tiga orang. Aku mengingat-ingat di kamar mana kejadian hina itu berlangsung. Aah, sebenarnya tidak ingin kuingat juga. Tak pernah terbayangkan, kegadisanku direnggut bukan oleh orang yang mencintaiku.

 

Ah ya, kamar ketiga dari ujung. Ketemu! Namanya Sergio Ibrahim. Aku mencatat alamat dan nomor teleponnya di ponsel. Selesai.

 

"Sudah ketemu?"

 

"Sudah, Mbak. Terima kasih, ya? Aku permisi."

 

"Iya sama-sama, Rimar."

 

Aku langsung meluncur ke alamat lelaki g*la tersebut dengan ojek online. 

 

Aku sampai di perumahan elit bertingkat dua. Rumah itu tampak sepi penghuni. Aku mengamati rumah yang tampak mewah tersebut. Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan dua orang wanita keluar ketika aku hendak menekan bel. Sepertinya, mereka adik dan kakaknya. Mereka cantik-cantik sekali.

 

Aku langsung bersembunyi di balik pohon. Dua orang wanita tadi menuju garasi, disusul wanita yang sudah berumur di belakangnya. Lalu, keduanya pergi. Terakhir, wanita berumur tadi hendak menutup pagar. 

 

Aku langsung melompat dan mencegatnya seketika di depan pagar kayu yang menjulang tinggi.

 

"Bu, Bu, maaf. Apa betul ini rumah Pak Sergio?"

 

"Iya, betul. Ada yang bisa dibantu, Neng?"

 

"Pak Sergionya ada di rumah?"

 

"Ini jam kerja, Neng. Pak Gionya masih di kantor."

 

"Boleh saya tau alamat kantornya?"

 

"Maaf, Neng siapa? Ada perlu apa?"

 

"Ooh, sa-saya mau mengantar paket, Bu. Tapi saya harus memberikan paketnya langsung ke Pak Gio."

 

Wanita yang tampak seorang ART itu seperti mencari-cari sesuatu. Ah sepertinya, dia mencari paket yang kumaksud tadi.

 

"Pa-paketnya saya tinggal di kantor, karena ukurannya besar."

 

Wanita itu hanya mengangguk. "Ibra Corporation," ucapnya.

 

"Ya?"

 

"Nama perusahaannya, Ibra Corporation."

 

"Ooh, ba-baik. Terima kasih."

 

 

***

 

Aku langsung memasuki perusahaan yang sepertinya baru, karena tempatnya tak terlalu besar. Kira-kira, dia bagian apa, ya?

 

"Mbak, di mana ruangan Pak Sergio?" Aku bertanya pada bagian resepsionis.

 

"Maaf, dengan siapa?"

 

"Marimar." 

 

Si Mbak tampak mendelik mendengar namaku. Aku kembali mendelik tajam.

 

"Sudah buat janji?"

 

"Belum."

 

"Maaf, Mbak bisa--"

 

"Saya sepupunya, Mbak. Ada perlu penting, sebentar saja." Aku langsung menyela ucapannya.

 

"Ooh begitu. Silakan Mbak naik lift ke lantai tiga, ruangannya tepat di seberang lift, nanti Mbak bisa tanyakan lagi di sana."

 

"Baik, terima kasih." Aku segera mengikuti instruksi dari resepsionis tadi. 

 

Seseorang tampak duduk di meja panjang, di depan ruangan saat pintu lift terbuka. Sepertinya seorang sekretaris.

 

"Siang."

 

"Siang, ada yang bisa dibantu?"

 

"Sa-saya ... mau bertemu Pak Sergio."

 

"Sudah buat janji?"

 

"Be-belum. Saya ... sepupunya. Mau ada perlu."

 

"Baik, ditunggu, ya?"

 

Si Mbak sekretaris tampak mengangkat gagang telepon dan menekan tombol saluran satu. Sepertinya dia mengonfirmasi kedatanganku. Lalu, dia berdiri dari kursinya dan melangkah ke ruangan. Jantungku serasa dagdigdudser. Aku akan bertemu lelaki itu lagi. Kita akan bertemu papamu, Nak. Aku mengelus perut bagian bawah.

 

Si Mbak mengetuk pintu dan membukanya. "Silakan ...." Dia memersilakanku masuk.

 

"Siapa?" tanya pria yang duduk di balik meja kerjanya.

 

"Tu-tuan tidak ingat?"

 

Dia sedang membaca tumpukan file kerjanya tanpa merisaukan kehadiranku.

 

"Siapa?"

 

"Sa-saya pegawai Grand Media Hotel, tempat Tuan menginap di tanggal 28 Mei, saat malam hari."

 

"Ya, lalu?"

 

Aah, dia benar-benar tidak ingat sama sekali? Benar-benar orang ini.

 

"Sa-saya orang yang Tuan perkosa di kamar saat itu."

 

Dia menutup file kerja dan membuka kacamatanya. Dia pasti kaget mendengarnya.

 

"Kamu butuh berapa?"

 

"Hah?" Inikah jawabannya? Tidak. Bukan ini jawaban yang aku mau.

 

"Maafkan, saya khilaf waktu itu. Saya akan membayar berapa pun yang kamu mau."

 

"Ti-tidak. Saya tidak mau uangmu."

 

"Lalu? Kamu mau rumah? Pekerjaan? Apartement? Atau apa? Cepat! Waktu saya tidak banyak."

 

Aku menunduk dan memejamkan mata. Aku mencoba memberanikan diri mengatakan yang sebenarnya.

 

"Sa-saya hamil, Tuan."

 

"Kamu kira saya bodoh? Kamu cuma mau memeras saya, kan?"

 

"Ti-tidak. Sa-saya serius. Saya hanya ingin Tuan bertanggung jawab atas kehamilan saya."

 

"Baiklah. Tunggu sebentar." Lelaki berwajah tampan itu mengangkat gagang telepon dan berbicara dengan seseorang.

 

Selang beberapa menit kemudian, seseorang mengetuk pintu dan masuk ke ruangan.

 

"Kamu bawa yang saya minta?"

 

"Ya, Pak. Ini ...."

 

Aku penasaran apa yang dibawanya. Ini pasti berhubungan denganku.

 

"Kemari." Dia memerintahku duduk di sofa panjang bersama seorang pria yang baru saja datang.

 

"Ini. Kamu baca, tanda tangan. Lalu, silahkan pergi dari sini."

 

Maksudnya? Apa artinya ini? Baiklah, aku akan melihat isi tulisannya dulu.

 

"Apa ini?!" Aku membelalak melihat angka nol yang berbaris delapan digit ke belakang. Seratus juta?

 

"Kurang? Ini ... silakan isi sendiri." Dia memberi satu cek kosong lagi.

 

"Sa-saya tidak mau uangmu!"

 

"Lalu? Silakan sebutkan. Saya akan memberikannya."

 

"Nikahi saya!"

 

Si Sergio ini malah terbahak-bahak dengan pria yang tampak seperti pengacara pribadinya. Kenapa? Memang ada yang lucu?

 

Tiba-tiba saja tangannya menggebrak keras meja kayu di depan kami.

 

"Kamu gila?"

 

"Kenapa saya yang gila? Tuan yang gila! Sudah memperkosa tapi tidak mau bertanggung jawab. Mau saya sebarkan di lambe turah biar seluruh dunia tahu?!"

 

"Permintaanmu yang gila, gadis tidak tahu diri! Kamu pikir saya tampan, kaya, dan single? Perlu kamu tahu, saya ini sudah beristri!"

 

Deg!

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 49. Selesai

    “Saya menceraikanmu, Rimar.”“Sergio!” pekik Mama.Mas Gio menghela napas dalam-dalam, lalu diembuskannya dengan keras. Aku yang masih menunduk, melihat sepasang sepatu yang dipakainya melangkah menuju pintu. Mataku yang berurai air mata terus melirik mengikuti suara entakannya sampai aku tak melihat sosoknya lagi hanya dalam hitungan detik. Pintu pun kembali tertutup rapat. Dia pergi.“Huh, baguuus. Dari dulu, kek!” sindir Lisa sekonyong-konyong, tetapi aku tak menggubrisnya sama sekali.“Rimaar?”Panggilan Mama membuyarkan lamunanku.Aku segera berdiri sambil berusaha menyeka air mata dengan tanganku, kemudian menghampiri Mama yang sudah menantiku.“Iya, Ma,” jawabku sambil terisak. Suaraku pun berubah jadi serak.Aku duduk di kursi bulat di samping Mama. Beliau menarik tanganku lalu diusap-usapnya dengan lembut.“Rimar, kamu yakin sama keputus

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 48. Gugatan Cerai Kedua

    “Sari, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku akan melayangkan gugatan cerai ke pengadilan secepatnya.”Mbak Sari hanya memandang Mas Gio dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. Mungkin, situasi seperti itu yang sudah lama diharapkan olehnya. Sementara itu, windu hanya berdiri tanpa pergerakan di tempatnya tersungkur tadi.“Te-terima kasih, Mas.” Mbak Sari menghapus kristal bening yang hampir menetes di sudut matanya.“Mulai sekarang aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan semua yang berkaitan tentang kamu.”“Mas?” Aku memanggilnya dengan lirih.“Ya?”“Tolong ceraikan aku juga!”Mas Gio mengerutkan dahi. “Rimar, saya menceraikan Sari bukan kamu,” katanya dengan tatapan mata menyalang.“Aku tahu. Makanya, sekarang juga aku minta Mas ceraikan aku.”“Tapi, kenapa?”“Aku gak bisa lagi hidup

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 47. Gugatan Cerai

    “Mas?”“Pak Sergio?”Dokter Arin menatap Mas Gio, kemudian menatap bergantian lelaki yang datang bersama Mbak Sari.“Ada apa ini?!” Mas Gio menghampiri Mbak Sari dan menarik tangannya: memaksa untuk bangun dari perbaringan. Dengan berat hati, Mbak Sari mengikuti paksaan Mas Gio.“Maaf, kalau ini Pak Sergio, lalu Anda siapa?!” tanya Dokter Arin menyelisik pria tak dikenal yang ia sangka Mas Gio.Kedua mata Mas Gio dan Dokter Arin menyiratkan kilatan amarah. Lantas, Dokter Arin meletakkan dengan kasar alat yang tadi dipegangnya ke nampan tempat peralatan medisnya.“Sari, jelaskan apa yang kamu lakukan!” Mbak Sari tetap bergeming meskipun Mas Gio mengguncang-guncang tubuhnya.Karena Mbak Sari tetap diam, akhirnya lelaki yang tengah berpakaian kasual tersebut bertanya pada Dokter Arin. Dokter pun menjelaskan kalau Mbak Sari sedang melakukan operasi kecil untuk melepas KB Implan.

  • Mengandung Bayi Bos   Part 46. Memergoki Mbak Sari

    Tiba-tiba, aku merasakan getaran dari ponsel yang kutaruh di saku celana. Siapa yang meneleponku di waktu Subuh? Segera kutarik ponsel dari saku, ternyata Mas Gio yang menelepon.“Halo, assalamau’alaikum, Mas.”“Halo, dengan Nyonya Sergio?”Nyonya? Siapa ini? Lalu, ke mana Mas Gio? Siapa yang mengambil ponselnya?“Iya, benar. Ini siapa?”“Saya dari M2 Club Malam mau mengabari kalau Tuan Sergio pingsan.”“Pingsan? Terus ada siapa di sana, Mas? Teman atau seseorang yang menemaninya?”“Tidak ada, Nyonya. Tadi Tuan hanya datang sendiri dan minum banyak sampai akhirnya pingsan.”“Baik, tolong jaga dia, ya, Mas. Saya segera ke sana. Terima kasih.”Setelah menutup sambungan telepon, aku segera melipat mukena dan bergegas pergi ke Club M2. Aku tidak tahu di mana lokasinya dan harus ke arah mana kalau pergi dengan angkutan umum. Sebaiknya, a

  • Mengandung Bayi Bos   Part 45. Diskotik

    Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He

  • Mengandung Bayi Bos   Part 44. Korban Perasaan

    Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status