Share

Part 2 - Tuan Gila

Aku berjalan dari rumah hendak menuju hotel tempatku bekerja. Kebetulan hari ini matahari sangat terik. Jadi, sebelum naik angkutan umum, aku berjalan pelan sambil mengeringkan baju. Sesekali pula, aku mengusap perut yang di dalam rahim sini terdapat kehidupan yang tak kuharapkan.

 

Aku berpikir berkali-kali. Apakah aku akan menyelamatkan anak ini atau menggugurkannya saja?

 

Aku merogoh kantong celana. Syukurlah ... aku membawa ponsel dan uang yang tak seberapa.

 

Sesampainya di hotel, aku segera menghampiri Mbak Prita, seorang receptionist.

 

"Mbak ...."

 

"Oh, selamat siang, Rimar. Kamu tidak kerja?"

 

"Aku libur hari ini."

 

"Ada yang bisa kubantu?"

 

"Mbak, aku bisa lihat daftar tamu di tanggal 28 Mei?"

 

"Maaf, Rimar. Tapi ini privasi."

 

"Tolonglah, Mbak." Aku memasang wajah memelas.

 

Mbak Prita tampak berpikir sejenak.

 

"Hmm, baiklah. Kalau boleh tahu, untuk apa?"

 

"Ada dompet tamu yang tertinggal, Mbak, waktu aku bersihkan kamar."

 

"Kok, baru bilang sekarang? Sini, biar saya telepon saja tamunya."

 

"Ah, tidak usah, Mbak. Aku akan mengembalikannya sendiri, sekaligus meminta maaf ke tamunya."

 

Mbak Prita memandangku dengan tatapan menyelisik.

 

"Oke. Ini daftar tamunya, Rim."

 

Syukurlah, dia percaya. Aku mulai memeriksa nama-nama tamu dan mencari pada jam kejadian. Kamar Suite, ada tiga orang. Aku mengingat-ingat di kamar mana kejadian hina itu berlangsung. Aah, sebenarnya tidak ingin kuingat juga. Tak pernah terbayangkan, kegadisanku direnggut bukan oleh orang yang mencintaiku.

 

Ah ya, kamar ketiga dari ujung. Ketemu! Namanya Sergio Ibrahim. Aku mencatat alamat dan nomor teleponnya di ponsel. Selesai.

 

"Sudah ketemu?"

 

"Sudah, Mbak. Terima kasih, ya? Aku permisi."

 

"Iya sama-sama, Rimar."

 

Aku langsung meluncur ke alamat lelaki g*la tersebut dengan ojek online. 

 

Aku sampai di perumahan elit bertingkat dua. Rumah itu tampak sepi penghuni. Aku mengamati rumah yang tampak mewah tersebut. Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan dua orang wanita keluar ketika aku hendak menekan bel. Sepertinya, mereka adik dan kakaknya. Mereka cantik-cantik sekali.

 

Aku langsung bersembunyi di balik pohon. Dua orang wanita tadi menuju garasi, disusul wanita yang sudah berumur di belakangnya. Lalu, keduanya pergi. Terakhir, wanita berumur tadi hendak menutup pagar. 

 

Aku langsung melompat dan mencegatnya seketika di depan pagar kayu yang menjulang tinggi.

 

"Bu, Bu, maaf. Apa betul ini rumah Pak Sergio?"

 

"Iya, betul. Ada yang bisa dibantu, Neng?"

 

"Pak Sergionya ada di rumah?"

 

"Ini jam kerja, Neng. Pak Gionya masih di kantor."

 

"Boleh saya tau alamat kantornya?"

 

"Maaf, Neng siapa? Ada perlu apa?"

 

"Ooh, sa-saya mau mengantar paket, Bu. Tapi saya harus memberikan paketnya langsung ke Pak Gio."

 

Wanita yang tampak seorang ART itu seperti mencari-cari sesuatu. Ah sepertinya, dia mencari paket yang kumaksud tadi.

 

"Pa-paketnya saya tinggal di kantor, karena ukurannya besar."

 

Wanita itu hanya mengangguk. "Ibra Corporation," ucapnya.

 

"Ya?"

 

"Nama perusahaannya, Ibra Corporation."

 

"Ooh, ba-baik. Terima kasih."

 

 

***

 

Aku langsung memasuki perusahaan yang sepertinya baru, karena tempatnya tak terlalu besar. Kira-kira, dia bagian apa, ya?

 

"Mbak, di mana ruangan Pak Sergio?" Aku bertanya pada bagian resepsionis.

 

"Maaf, dengan siapa?"

 

"Marimar." 

 

Si Mbak tampak mendelik mendengar namaku. Aku kembali mendelik tajam.

 

"Sudah buat janji?"

 

"Belum."

 

"Maaf, Mbak bisa--"

 

"Saya sepupunya, Mbak. Ada perlu penting, sebentar saja." Aku langsung menyela ucapannya.

 

"Ooh begitu. Silakan Mbak naik lift ke lantai tiga, ruangannya tepat di seberang lift, nanti Mbak bisa tanyakan lagi di sana."

 

"Baik, terima kasih." Aku segera mengikuti instruksi dari resepsionis tadi. 

 

Seseorang tampak duduk di meja panjang, di depan ruangan saat pintu lift terbuka. Sepertinya seorang sekretaris.

 

"Siang."

 

"Siang, ada yang bisa dibantu?"

 

"Sa-saya ... mau bertemu Pak Sergio."

 

"Sudah buat janji?"

 

"Be-belum. Saya ... sepupunya. Mau ada perlu."

 

"Baik, ditunggu, ya?"

 

Si Mbak sekretaris tampak mengangkat gagang telepon dan menekan tombol saluran satu. Sepertinya dia mengonfirmasi kedatanganku. Lalu, dia berdiri dari kursinya dan melangkah ke ruangan. Jantungku serasa dagdigdudser. Aku akan bertemu lelaki itu lagi. Kita akan bertemu papamu, Nak. Aku mengelus perut bagian bawah.

 

Si Mbak mengetuk pintu dan membukanya. "Silakan ...." Dia memersilakanku masuk.

 

"Siapa?" tanya pria yang duduk di balik meja kerjanya.

 

"Tu-tuan tidak ingat?"

 

Dia sedang membaca tumpukan file kerjanya tanpa merisaukan kehadiranku.

 

"Siapa?"

 

"Sa-saya pegawai Grand Media Hotel, tempat Tuan menginap di tanggal 28 Mei, saat malam hari."

 

"Ya, lalu?"

 

Aah, dia benar-benar tidak ingat sama sekali? Benar-benar orang ini.

 

"Sa-saya orang yang Tuan perkosa di kamar saat itu."

 

Dia menutup file kerja dan membuka kacamatanya. Dia pasti kaget mendengarnya.

 

"Kamu butuh berapa?"

 

"Hah?" Inikah jawabannya? Tidak. Bukan ini jawaban yang aku mau.

 

"Maafkan, saya khilaf waktu itu. Saya akan membayar berapa pun yang kamu mau."

 

"Ti-tidak. Saya tidak mau uangmu."

 

"Lalu? Kamu mau rumah? Pekerjaan? Apartement? Atau apa? Cepat! Waktu saya tidak banyak."

 

Aku menunduk dan memejamkan mata. Aku mencoba memberanikan diri mengatakan yang sebenarnya.

 

"Sa-saya hamil, Tuan."

 

"Kamu kira saya bodoh? Kamu cuma mau memeras saya, kan?"

 

"Ti-tidak. Sa-saya serius. Saya hanya ingin Tuan bertanggung jawab atas kehamilan saya."

 

"Baiklah. Tunggu sebentar." Lelaki berwajah tampan itu mengangkat gagang telepon dan berbicara dengan seseorang.

 

Selang beberapa menit kemudian, seseorang mengetuk pintu dan masuk ke ruangan.

 

"Kamu bawa yang saya minta?"

 

"Ya, Pak. Ini ...."

 

Aku penasaran apa yang dibawanya. Ini pasti berhubungan denganku.

 

"Kemari." Dia memerintahku duduk di sofa panjang bersama seorang pria yang baru saja datang.

 

"Ini. Kamu baca, tanda tangan. Lalu, silahkan pergi dari sini."

 

Maksudnya? Apa artinya ini? Baiklah, aku akan melihat isi tulisannya dulu.

 

"Apa ini?!" Aku membelalak melihat angka nol yang berbaris delapan digit ke belakang. Seratus juta?

 

"Kurang? Ini ... silakan isi sendiri." Dia memberi satu cek kosong lagi.

 

"Sa-saya tidak mau uangmu!"

 

"Lalu? Silakan sebutkan. Saya akan memberikannya."

 

"Nikahi saya!"

 

Si Sergio ini malah terbahak-bahak dengan pria yang tampak seperti pengacara pribadinya. Kenapa? Memang ada yang lucu?

 

Tiba-tiba saja tangannya menggebrak keras meja kayu di depan kami.

 

"Kamu gila?"

 

"Kenapa saya yang gila? Tuan yang gila! Sudah memperkosa tapi tidak mau bertanggung jawab. Mau saya sebarkan di lambe turah biar seluruh dunia tahu?!"

 

"Permintaanmu yang gila, gadis tidak tahu diri! Kamu pikir saya tampan, kaya, dan single? Perlu kamu tahu, saya ini sudah beristri!"

 

Deg!

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status