Setelah kepala sekolah pamit, Wita datang tersenyum sinis pada trio julid. Maura memilih untuk pergi duduk di kursi mengistirahatkan tubuhnya. Tangan Aira terkepal dengan penuh kebencian menatap Maura.
"Makanya, jangan terlalu sombong! Lihat orang kaya yang udah lama mah gak pamer ke kamu," sinis Wita akhirnya bisa mendapatkan kesempatan menghina wanita ini.
"Diam lo miskin!" bentak Aira lalu mendekati Maura lalu menampar Maura.
"Sudah puas tamparnya? Mau lagi, ini masih nganggur," ujar Maura dengan sinis menatap dingin Aira.
"Ini semua karna lo! Lo permalukan gue," bentak Aira menunjuk wajah Maura lalu ditepis wanita itu.
"Lo gak punya etitut apa, main tunjuk-tunjuk wajah orang aja!" ucap Maura datar, berusaha agar tidak terpancing emosi.
"Lo bikin gue malu, setan! Harusnya gue gak pernah kenal sama lo," hardik Aira menarik lengan Maura dan mendorong tubuh wanita itu sampai Maura jatuh terduduk.
"Aww ...," pekik Maura mengusap tangan
"Sudah, lo jangan cari masalah. Mendingan lo jangan langganan lagi di sini, takutnya pelangan gue yang lain malah kagak mau ke sini karna ada lo," usir pemilik salon itu membalas tatapan Aira yang membulatkan matanya terkejut. "Apa! Kalian semua bakal tau akibatnya ngusir gue," geram Aira menghentakan kakinya melangkah pergi ke salon. "Pergi jauh sana! Jangan ke sini lagi," teriak Dewi. "Sial! Siapa yang merekam kelakuan gue," gerutu Aira masuk ke kendaraan roda empat miliknya. "Cepat! Antar gue ke rumah aja," perintah Aira dibalas anggukan supir. Sesampai di kediaman Aira, wanita itu turun. Saat melangkah dengan anggun, sebuah lemparan telor terkena kepalanya. Membuat dia geram dan jijik melihat sekitar untuk mencari tau sang pelaku. "Anjing! Jijik gue. Siapa yang lempar," maki Aira menoleh ke sekitar dan melihat tetangganya keluar dari rumah. "Eh sorry, gue kira gak ada orang," ujar wanita itu cengar-cengir tanpa rasa bersala
Dua hari berlalu, Mawar begitu merasa tersingkir kan. Ia sama sekali belum berbincang dengan sang suami. Dengan tekat yang kuat, hari ini harus bisa memberikan kopi buatannya yang sudah dicampur sesuatu dan mantra. "Mas ...," panggil Mawar membuat Hamdan menoleh ia baru saja keluar dari kamar. "Ada apa, War?" tanya Hamdan mendekati istri keduanya. "Mas ini, gak ada waktu banget sama aku. Kalian sibuk terus, Mas pasti lupain aku," rengek Mawar manja, memegang lengan suaminya. "Maaf, Sayang. Bukan maksud Mas begitu, tapi ini, kan, ada Mama sama Papa War. Tolong mengertilah," tutur Hamdan. "Mas terus meminta agar dimengerti, tapi Mas tidak berusaha agar mengerti aku. Itu tak adil Mas," lirih Mawar lalu pergi membuat Hamdan merasa bersalah. "Haduh ... apa yang harus gue lakuin," ujar Hamdan lelaki itu memijit keningnya. "Punya bini dua malah bikin pusing," ucap Hamdan ia menyandarkan tubuh di tembok. "Hamdan ... cepat ke si
"Aku yang menikahkan mereka, Mah." Mata Mama mertua langsung membulat saat mendengar penuturan menantunya."Apa kamu bilang! Kenapa kamu malah menikahkan mereka, mereka 'kan jadi keenakan," seru Mama mertua protes membuat Maura tersenyum kecil."Haruskan aku mengarak mereka, Mah? atas perzinaan mereka," ucapan Maura membuat Mama mertua terdiam, wanita muda itu langsung terkekeh."Aku tidak sejahat itu, Mah. Aku membalas mereka dengan menikahkan keduanya. Bahkan Ibu Mawar mendukungku untuk membalas perbuatan Mawar," perkataan Maura sekali lagi membuat Mama mertua terkejut, banyak sekali yang tidak ia ketahui."Maafkan anak Mama ya, Ra! Mama ikhlas kalau kamu mau bercerai dengan dia," seru Mama mertua dengan lesu."Lihat saja nanti Mah, doakan yang terbaik untuk kami," ujar Maura dibalas anggukan Mama mertuanya."Kamu yang kuat ya, Sayang. Mama bakal terus dukung kamu," ucap Mama mertua memeluk tubuh menantunya."Kalau Maura sudah tak t
Seminggu berlalu Aira sungguh frustasi, bukannya gosip itu menghilang malah semakin heboh. Wajah yang biasa terus glowing sekarang sungguh berantakan, bahkan di kediaman sendiri dibully dan para pekerja berhenti. Memaki dia karena terlalu besar kepala dan sombong."Sial!" umpat Aira mengacak-acak rambutnya sendiri."Ai ... siapkan makanan untukku!" perintah Fahri berteriak, ia berada di rumah semenjak itu."Mas ... kenapa tidak bekerja," seru Aira mendekati suaminya."Ini semua karna kamu, gak mau minta maaf sama suami Bosku. Aku malu bertemu temen kerja karna terus menatap hina, mereka terus mencemoh tidak bisa mendidik kamu," seru Fahri membuat Aira mengerucutkan bibir."Aku aja terus yang disalahin," gerutu Aira, ia mulai memasak makanan."Pokoknya kamu harus minta maaf sama istri bosku," perintah Fahri dibalas anggukan Aira, ia memilih mengalah agar kehidupan mewah kembali lagi.***Aira telah berpakaian rap
Maura kini berada di perusahaan yang diurus sang suami, dengan langkah anggun melewati beberapa karyawan menyapa. Mendaratkan bokong di kursi kebesaran, mulai mempelajari berkas-berkas. Sebenarnya ia juga ingin mulai mengurus kantor, mengambil hak miliknya."Sayang ...," panggil Hamdan saat melihat sang istri ternyata datang ke perusahaan."Hm ...," sahut Maura tak peduli, ia memilih fokus membaca berkas-berkas."Kenapa kamu ke sini, mendingan kamu rawat Delia saja," ujar Hamdan mendekati sang istri dan memegang bahu Maura."Lepas Mas, kamu diam saja. Delia sudah dapetin pengasuh jadi mendingan aku mulai handle kantor 'kan," ujar Maura tersenyum sinis sedangkan Hamdan wajahnya memucat."Apa! Kamu pekerjakan pengasuh? ngapain sih, aku pengennya kamu yang asuh Delia," seru Hamdan meninggikan suara."Biar Delia deket sama kamu," lanjut Hamdan sekali lagi, Maura menatap suaminya sekilas."Terserah aku dong Mas, aku gak bakal kaya ka
"Pokoknya Mas harus rebut perusahaan itu," ucap Hamdan hanya dibalas anggukan pelan Mawar."Masa seorang suami jadi bawahan istri," gerutu Hamdan menyandarkan punggung di kursi."Nanti kita buat rencana, ya Mas! Sekarang kita makan aja dulu," seru Mawar menenangkan lalu mereka mulai melahap makanan."Tapi harga diri Mas, seperti diinjak-injak War kalau begini," tutur Hamdan mengeluarkan keresahannya."Kita makan saja dulu, Mas! Tapi jadinya, Mas gak perlu capek-capek kerja. Duit ngalir terus dari Mbak Maura, coba pikirkan! Kita bisa bersenang-senang tanpa harus susah-susah bekerja," jelas Mawar mengeluarkan pendapatnya."Kamu jangan plin-plan War, tadi dukung aku buat rebut perusahaan, sekarang malah milih nikmati duitnya aja," gerutu Hamdan."Hehe ... coba aja Mas pikirin, pas Mas jadi bos di sini susah banget ngeluangin waktu sama aku. Ada sih yang bisa, tapi besoknya kamu pasti lembur aku gak tega Mas. Sekarangkan ada Mbak Maura, nanti ju
Hamdan langsung masuk ke ruangannya lagi setelah berbincang dengan istrinya. Sungguh ia tak percaya bahwa Maura bisa setega itu. Dengan kasar ia menghempas bokong ke kursi. Jadwal pulang tiba, dia lekas bergegas keluar dan tersenyum melihat Maura masih disibukkan dengan berkas, langkah angkuh ia mendekat membuat Maura mendongak sebentar lalu fokus ke beberapa berkas lagi."Sudahlah, mendingan kamu di rumah saja, biar Mas yang menghandle kantor," seru Hamdan menghempaskan bokong ke sofa."Mas sudah waktunya pulang 'kan, mendingan Mas pulang saja, atau jemput istri kedua Mas itu," seloroh Maura tak menghiraukan keberadaan Hamdan."Kamu ini keras kepala banget, Ra! Ya sudah, Mas pulang dulu," ujar Hamdan melangkah pergi.Mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju kampus. Melihat semua tengah berhamburan keluar. Mendekati teman sekelas Mawar ia bertanya."Mawar sudah pulang belum?" tanya Hamdan pada lelaki yang baru saja hendak melajukan mo
Mawar sangat frustasi, ia benar-benar tidak ingin membeli benda itu. Karena dia tak tau kaya gimana bentuk tespack tersebut, dengan cepat mencari tahu di google. Hamdan yang pamit membeli rujak masuk ke mobil, memberikan pada sang istri."Ah ... ternyata ini bentuknya, ya sudah aku mau beli saja," ujar Mawar membuat Hamdan menoleh tak paham."Kamu mau beli apa, War?" tanya Hamdan menaikan satu alisnya."Itu, tespack. Biar aku aja yang beli," ujar Mawar menyodorkan tangan pada Hamdan."Mau ngapain nyodorin tangan?" tanya Hamdan."Minta uanglah, kan, disuruh beli tespack," seru Mawar dibalas anggukan Hamdan."Berapa?" tanya Hamdan mengeluarkan dompetnya."Dua ratus ribu," pinta Mawar membuat Hamdan menoleh."Serius, semahal itu? Duh rasanya bersalah saat inget Maura dulu beli tespack hasil uang sendiri," keluh Hamdan lalu menyodorkan tiga lembar berwarna merah."Aku, kan, cuma minta dua ratus, Mas," ujar Mawar pura-p