Hari ini adalah hari ulang tahun kota. Nanda sebagai pengusaha muda mendapat undangan kehormatan untuk duduk di kursi VIP. Namun, ada hal yang aneh dan berbeda. Dia bukan menggandeng Ayu sebagai partner, tapi Arlita yang terlihat sangat cantik dan memesona dengan gaun malam dan pehiasan yang mahal. Tentunya, semua itu disiapkan oleh Nanda, kekasihnya.
“Nan, makasih ya! Kamu masih ajak aku ke perjamuan ini. Aku bahagia banget!” ucap Arlita sambil menyandarkan kelapanya di pundak Nanda.
Nanda tersenyum menanggapi ucapan Arlita. Baginya, lebih bahagia membawa Arlita daripada harus pergi bersama istrinya. Sebab, rumah tangga mereka tidak pernah harmonis dan ia enggan berdebat dengan istrinya. Toh, Ayu juga tidak akan tahu kalau Nanda pergi ke perjamuan walikota bersama kekasihnya. Andai tahu, istrinya itu tidak akan berani berbuat apa-apa.
“Baiklah ... saatnya kita memasuki acara ramah-tamah. Para undangan diperkenankan untuk menikmati hidangan yan
“Nggak kenal?” Nanda melebarkan kelopak matanya. Amarah di dadanya semakin menjadi-jadi begitu mendengar kalau Roro tidak mengakui keberadaan dirinya.“Nan, sudahlah. Nggak perlu kayak gini! Dia juga sengaja tidak mau mengakui dirimu. Lebih baik, kita nikmati saja pesta ini,” pinta Arlita sambil merangkul lengan Nanda.Nanda langsung menepiskan tangan Arlita dan mendorong pria yang menghalanginya.“Mas, jangan masuk ...!” teriak pria itu dan semua orang langsung tertuju pada Nanda yang sedang berjalan cepat menghampiri Ayu.“Ayu ...!” Nanda langsung menarik pergelangan tangan Ayu dan menyeret wanita itu keluar dari sana.Ayu melebarkan kelopak matanya. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Nanda. “Kamu siapa?”“Kamu nggak mau ngakui aku sebagai suamimu, hah!?” seru Nanda sambil menatap wajah Ayu.“Memangnya kamu mau mengakui aku sebagai istrimu
“Tiga bulan ini aku diam bukan berarti aku nggak ngerasa sakit, Nan. Meski aku nggak cinta sama kamu. Kamu tetep suamiku dan kamu nggak pernah menghargai keberadaanku sebagai istri. Aku sudah coba jadi istri yang baik buat kamu dan kamu nggak pernah lihat itu. Kalau kamu nggak cinta sama aku, kamu nggak perlu marah-marah. Kita bisa hidup masing-masing dan tidak perlu saling mengatur. Kamu juga nggak perlu cemburu kayak gini karena di antara kita nggak pernah saling mencintai!” tutur Ayu sambil mendorong pintu mobil dan keluar dari sana. “Cemburu?” Nanda mengernyitkan dahi sambil menatap tubuh Ayu yang bergerak pergi meninggalkan mobilnya. Ia menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke kursi. “Apa iya aku cemburu?” Ayu langsung melangkah kembali menuju ke backstage dan masuk ke ruang rias. “Yu, kamu balik? Suamimu marah?” tanya Enggar saat melihat Ayu kembali ke sana. “Biarkan saja! Dia terlalu kekanak-kanakkan,” jawab Ayu sambil melepas aksesoris yan
“Jodoh nggak bisa dipilih. Semua wanita di luar sana malah menyukai pengusaha yang banyak uang. Kamu bisa mendapatkannya dengan mudah. Harusnya kamu bersyukur!” ucap Enggar sambil tersenyum manis. Ayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan berusaha untuk bersyukur dan menerima semuanya.” “Gitu, dong! Kalau dia melukaimu, kamu bilang ke Mas, ya! Mas pasti akan membantu menjaga dan melindungimu. Kamu lagi hamil, sebaiknya kita pulang saja! Aku akan mengantarkanmu. Udara malam tidak begitu baik untukmu,” tutur Enggar. Ayu mengangguk. “Mmh ... Mas, mungkin dua bulan lagi ... perutku akan terlihat membesar. Aku tidak akan bisa menari setelah ini. Sepertinya, ini adalah hari terakhir aku menari. Setelah melahirkan, aku tidak akan punya waktu lagi. Bisakah kita bikin acara makan-makan untuk perpisahan?” Enggar mengangguk. “Bisa. Aku akan undang semua anak di sanggar. Mau makan di mana?” tanyanya. “Mas Engg
“Ay, kenapa kamu nggak ngomong ke aku kalau kamu pergi ngisi pentas di acara ulang tahun kota?” tanya Nanda begitu ia sudah masuk ke dalam rumah bersama Ayu. “Kamu juga nggak bilang kalau bawa Arlita ke pesta itu,” sahut Ayu sambil melangkah santai menaiki anak tangga rumahnya. “Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Ay! Aku lagi bicarain kamu!” Nanda mengejar langkah Ayu sambil menahan kesal. “Bukan kamu, tapi kita!” sahut Ayu. Nanda menghela napas kesal. “Aku udah rela ninggalin Arlita dan nungguin kamu sampai selesai nari. Kamu malah kayak gini? Dengerin aku, Ay!” “Aku denger, Nan. Kamu juga harusnya bisa dengerin aku. Aku ini perempuan, Nan. Istri sah kamu. Meski kita menikah tanpa cinta, tolong hargai pernikahan ini! Aku capek ya setiap hari lihat kamu jalan sama Arlita. Giliran aku deket sama cowok lain, kamu misuh-misuh nggak jelas kayak gini,” sahut Ayu sambil masuk ke dalam kamarnya. “Aku ini laki-laki, Ay. Mau deket sama perempu
Nanda menghela napas sambil menundukkan kepalanya. “I’m sorry, Ay ...! Aku akan berusaha menjadi pria yang bertanggung jawab terhadapmu. Dia anakku dan dia harus bersamaku!” “Kamu nggak pernah menginginkan anak ini, Nan. Begitu juga denganku. Impianku adalah menikah dan punya anak dari Sonny. Bukan dari pria bajingan sepertimu. Apa yang harus kuceritakan pada anak ini di masa depan? Haruskah aku bilang sama dia kalau ayahnya tidak pernah menginginkan kehadiran dia dan selalu pergi bersama wanita lain untuk menyenangkan diri sendiri?” tanya Ayu lirih sambil berlinang air mata. Nanda menggelengkan kepalanya. “Nggak, Ay! Kamu nggak boleh lakukan itu! Dia anakku dan aku akan bertanggung jawab.” “Dengan cara apa? Menikahiku saja tidak cukup, Nan.” “Aku akan menafkahi kalian berdua.” “Yang aku permasalahkan bukan soal finansial. Aku bukan wanita yang hidupnya bergantung sama pria seperti pacarmu itu. Meski tidak menikah denganmu, aku masih bisa meng
“Aku ngerasa ini nggak pedas, Nan. Kalau kamu nggak tahan, aku akan buatkan makanan baru untukmu. Sorry banget! Aku pikir, kamu suka pedas.” Ayu bangkit dari kursinya. Nanda menyambar pergelangan tangan Ayu. Membuat Ayu mengurungkan niatnya untuk bangkit dan membuat wajahnya dan wajah Nanda saling bertemu. “Nan, kamu ...!?”Ayu menatap mata Nanda yang hanya berjarak sekitar lima sentimeter dari matanya dan membuat wajah mereka saling menempel. “Nggak perlu siapin makanan baru untukku! Ini saja,” pinta Nanda sambil mengulum lembut bibir Ayu dan menghisapnya semakin dalam. Ayu langsung membalas ciuman dari Nanda. Seluruh tubuhnya tiba-tiba menegang, dadanya mengencang dan bagian inti tubuhnya minta diperlakukan lebih. Pagi-pagi seperti ini, Nanda sudah berhasil membangkitkan gairahnya. Parahnya lagi, ia menjadi mudah terpancing hasratnya dan tidak bisa menahan diri. Mungkinkah hormon kehamilan memengaruhi perasaannya seperti yang sering ia baca di artike
Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Aku akan temani kamu. Aku buru-buru harus ke kantor. Besok pagi, buatkan aku nasi goreng lagi! Tapi jangan sepedas ini karena bisa bikin aku minta menu yang lebih enak dari makanan. Apalagi, adik kecilku ini semakin nakal setiap kali bertemu denganmu.” Ayu tertawa kecil sambil menatap bagian bawah tubuh Nanda. Ia mempercepat langkahnya menaiki anak tangga untuk membersihkan diri. Nanda tersenyum puas dan segera melenggang santai keluar dari rumahnya. Ia merasa, hidupnya lebih baik seperti ini. Bisa bersenang-senang dengan istrinya kapan saja ia mau tanpa khawatir dengan apa pun. Meski Arlita pandai menemaninya bersenang-senang di luar sana, tapi ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk melakukan hal lebih terhadap wanita itu. Hanya ingin membawanya pergi ke tempat-tempat mewah untuk menutupi rasa gengsinya sendiri. Ia tidak mungkin pergi ke perjamuan atau klub malam tanpa wanita cantik di sisinya. Baginya, Ayu masih terl
Nanda langsung menoleh ke arah remaja tadi. Ia merasa tidak enak karena semua orang tidak menginginkan Ayu berhenti. Namun, kehamilan istrinya itu memang membatasi gerak-gerik Ayu dan ia tidak ingin terjadi hal buruk karena istrinya terlalu banyak bergerak. “Mbak Roro Ayu lagi hamil muda. Nggak bisa leluasa untuk bergerak. Mohon pengertian kalian!” ucap Nanda sambil menunduk sopan. “Kalau nggak bisa menari, bisa melatih kami ‘kan?” sahut seorang remaja lain. “Iya, bener. Kalau nggak ada Mbak Roro Ayu, kami gimana? Nggak seru!” ucap salah seorang remaja sambil bangkit dari lantai dan melangkah pergi begitu saja. Enggar langsung menatap remaja yang telah lancang beranjak dari sana. “Prima, kembali!” perintahnya. Remaja yang dipanggil Prima itu tidak menghiraukan teriakan Enggar dan pergi begitu saja dari aula gedung tempat mereka biasa berlatih kesenian. Semua yang ada di sana mulai pergi satu persatu menyusul Prima. Merek