Arlita bergelayut manja di lengan Nanda saat pria itu mengantarkannya pulang ke apartemennya. Tak peduli pria itu sudah menikah dengan wanita lain. Asalkan kebutuhannya masih dipenuhi, ia tidak akan melepaskan Nanda dengan mudah begitu saja.
“Nan, thank’s ya udah belanjain aku hari ini!” Arlita tersenyum manis dan mengecup pipi Nanda. “Gimana kalau malam ini kamu nginap di apartemen aja? Aku kangen sama kamu.”
“Nggak bisa kalau nginap, Lit. Ada istriku di rumah. Kalo dia laporin aku ke papa dan mama, bisa habis hidupku.”
“Dia jahat banget, sih?”
“Dia nggak jahat, Lit.”
“Jahat. Dia udah rebut kamu dari aku.”
“Bukan dia yang rebut. Aku yang udah bikin dia hamil. Aku harus bertanggung jawab, Lit,” sahut Nanda.
“Kamu hamilin aku juga! Biar kita bisa nikah juga, Nan.”
“Kamu mau jadi istri kedua?” tanya Nanda.
Arlita menggeleng. “Aku mau jadi satu-satunya buat kamu, Nan. Kapan kamu bercerai sama Ayu? Kayaknya, akhir-a
Sementara itu, Nia terus melangkah keluar dari apartemen itu dan masuk ke dalam mobil. Ia segera menuju ke Jamoo Restaurant karena sudah ada janji untuk bertemu dengan seseorang di sana. Perasaannya sangat tak karuan melihat puteranya bermain api dan membuat perusahaan keluarga mereka nyaris jatuh ke tangan keluarga bangsawan yang telah direnggut harga dirinya oleh sang anak. Beberapa menit kemudian, Nia sudah masuk ke dalam Jaamo Restaurant dan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di sana. “Hai ...!” sapa Nia sambil menghampiri wanita paruh baya yang sedang sibuk dengan tabletnya. “Hei ...!” balas wanita paruh baya itu sambil bangkit dari sofa dan menyambut kedatangan Nia dengan hangat. “Gimana kabarmu, Yun? Aku dengar, kamu tinggal di Amrik, ya?” tanya Nia. “Nggak. Cuma temenin suami berobat di sana. Yah, bolak-balik Washington-Indonesia,” jawab Yuna sambil menatap wajah Nia. Nia tersenyum manis dan duduk di sofa yang ada di
Nanda mondar-mandir di ruang tamu rumahnya puluhan kali sambil menunggu Roro Ayu pulang ke rumahnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh istrinya di luar sana hingga membuat kedua orang tuanya murka. Ia sangat kesal karena merasa dipermainkan oleh wanita yang terlihat tenang, lembut dan penurut itu. Yang lebih parahnya lagi, ia tidak mengetahui sama sekali perihal perjanjian antara keluarga Perdanakusuma dan keluarga bangsawan Keraton Surakarta yang jelas-jelas merugikan salah satu pihak. “Ay, kamu ini ngapain aja sih? Sudah jam sembilan malam, kenapa belum pulang juga? Ngapain aja sama Sonny?” gerutu Nanda sambil menggaruk kepalanya dengan gelisah. Perasaan Nanda semakin tak karuan saat sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahnya. Ia buru-buru berlari keluar dari rumah dan melihat Ayu keluar dari dalam mobil tersebut. “Thank’s ya udah antarin aku!” ucap Ayu sambil menatap Sonny yang duduk di balik kemudi. Sonny mengangguk sambil tersenyum ke arah
Drrt ... drrt ... drrt ...! Nanda merogoh ponsel dan menatap nama Arlita yang masuk ke sana. Tanpa pikir panjang, ia langsung mematikan panggilan telepon dari wanita itu. Nanda menghela napas. Ia berlari-lari kecil untuk meredakan emosinya sebelum ia masuk ke dalam kamar untuk menemui Ayu. “Yu ...!” panggil Nanda lembut sambil menghampiri Ayu yang baru saja keluar dari kamar mandi dan sedang mengeringkan rambutnya. “Hmm.” Ayu menyahut sambil menyambungkan kabel haid dryer ke stopkontak. Nanda langsung mengambil alih hair dryer itu dan membantu Ayu mengeringkan rambutnya. Ayu langsung memperhatikan wajah Nanda dari balik cermin yang ada di hadapannya. Sudah hampir tiga bulan mereka tinggal di satu rumah dan baru pertama kalinya Nanda membantunya mengeringkan rambut. “Yu, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Nanda sambil memperhatikan rambut Ayu yang terasa sangat lembut dengan aroma buah yang segar. “He-em,” sahut Ayu sambil
“Tante, kasih aku kesempatan buat tinggal di sini! Aku belum dapet tempat tinggal baru, Tante,” pinta Arlita sambil menatap wajah Nia dan Roro Ayu yang ikut di belakangnya. “Gimana mau dapet kalau kamu nggak nyari?” tanya Ayu sambil menatap wajah Arlita. Arlita langsung menatap tajam ke arah Ayu. Benih kebencian di dalam hatinya tiba-tiba muncul ketika Ayu merenggut semua yang seharusnya menjadi miliknya. “Arlita, keluarga kami menolongmu, bukan berarti kamu harus terus menikmati kekayaan kami seperti ini terus. Sudah saatnya kamu mandiri. Nanda bukan lagi pacarmu dan semua harta yang dia miliki, sudah sah jadi milik Roro Ayu.” “Tante, aku yang pacarnya Nanda dan kami saling mencintai. Kalau bukan karena Roro yang gatel, dia nggak akan menikahi Roro. Roro yang udah ngerebut Nanda dari aku, Tante. Selama ini hubungan kita baik dan Tante sayang sama Lita ‘kan?” Arlita menatap wajah Nia dengan mata berkaca-kaca. Nia terdiam sambil melirik Roro ya
“Arlita, kamu harus tahu sedang berhadapan dengan siapa. Roro Ayu ini bukan wanita sembarangan, masih cucu Keraton Solo. Anak tante memang sudah melakukan kesalahan karena berani merenggut kesucian puteri mereka dengan paksa. Keluarga kami harus menerima hukum adat yang sudah diputuskan oleh mereka. Harta keluarga kami menjadi taruhannya. Jadi, mengertilah keadaan kami! Kalau kamu sayang sama Nanda, tinggalkan dia!” pinta Nia sambil menatap wajah Arlita. “Ayu, kamu masih cinta sama Sonny ‘kan? Kenapa malah mengikat Nanda seperti ini? Dengan bercerai dengan Nanda saja, kamu sudah bisa kembali ke cowok yang kamu cintai. Kenapa harus ngambil semua harta Nanda?” tanya Arlita. “Kamu jahat, Ay!” “Aku sudah bilang kalau semua harta yang dimiliki Nanda, tidak cukup untuk membayar harga diriku, Lit. Aku bukan perempuan miskin yang bergantung hidup sama laki-laki. Tanggung jawab Nanda, bukan sekedar menikahiku saja. Ada banyak banyak tanggung jawab yang harus dia lakukan
Nanda buru-buru melangkah keluar dari ruang kerjanya ketika ia baru saja selesai menerima panggilan telepon dari Arlita yang memintanya untuk mencarikan tempat tinggal baru karena ibunya mengambil paksa apartemen yang digunakan oleh wanita itu. “Mau ke mana?” Ayu menghadang langkah Nanda yang baru saja sampai di pintu utama perusahaan tersebut. Ia tersenyum sambil memegang rantang makanan di tangannya. “A-ayu? Ngapain kamu ke sini?” Nanda gelagapan saat melihat Ayu tiba-tiba datang ke perusahaannya. “Mau antar makan siang untuk kamu,” jawab Ayu sambil mengangkat rantang yang ada di tangannya. Tentunya dengan senyuman manis yang terukir indah di bibirnya. Nanda terdiam sambil memeriksa layar ponselnya saat notifikasi pesan dari Arlita masuk ke sana. “Sudah ada janji sama orang lain?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda. “Eh!?” Nanda menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ayu menghela napas. “Ada janji makan siang sama siapa?”
Ayu memperhatikan setiap detail ruang kerja Nanda. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam ruang kerja suaminya itu setelah mereka menikah. Sepertinya, ia terlalu lama terlarut dalam kesedihan. Tidak bisa menerima apa yang sekarang ia miliki dan baru menyadari kalau suaminya punya kedudukan yang begitu bagus, kedudukan yang diinginkan semua wanita di dunia. Terutama wanita yang tidak bisa hidup mandiri dan menggantungkan hidup mereka pada pria berduit. “Ruang kerjamu lumayan juga,” puji Ayu sambil duduk di kursi kerja Nanda. “Sepertinya, sudah lama aku nggak duduk di kursi seperti ini,” lanjutnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Nanda tak menyahut. Hanya mengawasi Ayu dengan matanya sambil menikmati makanan yang ada di hadapannya satu per satu. Ayu tersenyum sambil menekan tombol power yang ada di laptop Nanda. “Aku boleh akses laptop ini?” “Mau ngapain, Ay?” tanya Nanda sambil memperhatikan Ayu lewat sofa yang tak jauh dari meja kerjanya.
Nanda melangkahkan kakinya dengan pasti menuju ke ruang Presdir Amora International. Tempat papanya biasa bekerja setiap hari. Amora International adalah grup perusahaan dari lima belas anak perusahaan. Nanda yang masih suka bermain-main, hanya diberi jatah untuk mengurus satu anak perusahaan saja. Satu perusahaan saja tidak berkembang dan sering mengalami kerugian. Membuat Andre tidak bisa mempercayakan semua perusahaan yang ia miliki kepada puteranya. “Pagi, Pa ...!” sapa Nanda sambil melangkah masuk ke dalam ruang kerja Papa Andre. “Pagi. Tumben ke sini? Perusahaanmu bermasalah lagi?” tanya Andre. Nanda mengangguk dan duduk santai di kursi yang ada di hadapan meja kerja papanya. “Perusahaan produksi anak lagi kacau dan bermasalah.” “Kamu lagi bicarain Roro Ayu?” tanya Nia yang baru saja keluar dari toilet ruangan tersebut. “He-em,” jawab Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Nan, Roro Ayu itu keturunan bangsawan. Dia w