Jasmine duduk di dalam angkutan umum, memandangi jalanan yang mulai dipenuhi lampu-lampu kota. Langit senja terlihat indah, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai kekhawatiran.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Pram masuk: “Jasmine, sepertinya Noah mendapat masalah di perusahaan. Pihak Bulharm berkhianat.”Jasmine menegang, matanya langsung fokus membaca.“Vanesia kecewa karena dia ingin Noah menikahinya juga, tapi Noah menolak. Karena itu, Bulharm menghambat semuanya, dan sekarang saham Dirgantara sedang mendapat isu buruk serta turun.”Jasmine menggigit bibirnya. Dirgantara Group terkena imbas politik bisnis? Ini bukan kabar baik.Matanya kembali terpaku pada layar ponsel.“Jika saham mengalami kemerosotan, berarti saham milikku yang 3% juga dalam bahaya,” pikirnya.Jasmine menghela napas panjang. Dia tidak terlalu memahami dunia saham dan investasi, tetapi dia tahu bahwa jika situasi ini terus berlanjut, bisa saja Dirgantara kehilangan banyak investor.Tangan Jasmine gemetar s
Jasmine membuka pintu rumah dengan hati-hati. Begitu masuk, matanya langsung menangkap sosok Noah yang berdiri di ruang tamu. Wajahnya terlihat penuh frustasi, matanya tajam namun redup, dan dasinya sudah terlepas begitu saja, seolah baru saja dia melemparnya ke sembarang tempat.Jasmine menelan ludah. Dia belum pernah melihat Noah sekacau ini.Noah menatapnya sekilas sebelum membuang napas kasar dan berjalan ke arah minibar di sudut ruangan. Dengan tangan gemetar, dia menuangkan cairan amber ke dalam gelas kristal dan meneguknya sekaligus.Jasmine berjalan mendekat, ragu-ragu. "Noah…?" panggilnya pelan.Noah tidak langsung menoleh, tetapi tangannya mencengkeram tepi meja dengan kuat. Napasnya berat."Kenapa kau terlihat seperti ini?" Jasmine bertanya lagi, lebih lembut kali ini.Noah hanya tertawa pendek, getir. “Hari ini sangat menyebalkan, Jasmine.”Jasmine menatap pria itu. Dia tahu Noah sedang tertekan, dan dia bisa menebak sebagian besar penyebabnya.Perusahaan sedang dalam kris
Jasmine menatap mata Noah yang penuh dengan badai emosi. Frustrasi, kelelahan, kemarahan, dan mungkin sesuatu yang lebih dalam dari itu—sesuatu yang bahkan Noah sendiri tidak bisa jelaskan.Dengan suara yang lirih namun mantap, Jasmine berbisik, "Kali ini… kamu boleh memiliki tubuhku sesukamu, selama itu bisa mengembalikan pikiran jernihmu."Noah terdiam. Matanya menyelidik wajah Jasmine, mencari kebohongan atau keraguan. Namun, yang ditemukannya hanyalah ketulusan dan penerimaan.Perlahan, jemari Noah menyentuh wajah Jasmine, mengusap pipinya sebelum turun ke lehernya. Jasmine tetap diam, tubuhnya terasa panas karena sentuhan pria itu.Noah mulai melepaskan satu per satu penghalang di antara mereka. Jemarinya bergerak dengan perlahan, nyaris menyiksa, seolah ingin menghafal setiap inci dari dirinya. Jasmine hanya bisa menggigit bibir, matanya berkabut saat tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan Noah.Ciuman yang diberikan Noah kali ini berbeda. Tidak sekadar pelampiasan, tapi penuh inte
Noah juga tak berkata apa-apa. Matanya masih terpejam, namun pelukannya semakin erat.Dalam keheningan yang nyaman itu, mereka akhirnya tertidur.Malam masih panjang, dan keheningan menyelimuti kamar mereka. Jasmine dapat merasakan ritme napas Noah yang mulai teratur, menunjukkan bahwa pria itu mulai terlelap. Namun, dirinya sendiri masih terjaga, matanya menatap samar ke arah langit-langit kamar yang remang.Pelukan Noah tetap erat, lengannya melingkari pinggangnya seolah tak ingin membiarkan Jasmine pergi ke mana pun.Jasmine menghela napas pelan, hatinya terasa sedikit aneh. Ia tahu ini bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini, tetapi kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam di mata Noah tadi sebelum ia benar-benar terlelap—sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pelan, Jasmine mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh garis rahang Noah. Pria itu tetap diam, tetapi gerakan kecil dari napasnya membuat Jasmine menyadari bahwa ia belum benar-ben
Ketika mereka turun ke ruang makan, aroma makanan sudah menyambut mereka. Jasmine tersenyum lega melihat meja yang penuh dengan hidangan yang ia inginkan.Nikmah, yang sudah menyiapkan semuanya, segera menyambut mereka dengan ramah."Seperti yang Nona minta, ini beberapa hidangan yang sudah saya siapkan," kata Nikmah sambil mulai menyebutkan satu per satu nama makanannya. "Ada sup ayam dengan rempah, nasi goreng dengan sedikit cabai, tumis sayuran, dan tentu saja, dessert manisnya puding cokelat dan buah segar."Jasmine tersenyum senang. "Terima kasih, Nikmah. Seperti biasa, kamu memang tahu seleraku."Noah hanya duduk di kursinya sambil memperhatikan Jasmine dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia terlihat santai, tetapi jelas ada sesuatu di kepalanya yang sedang dipikirkan.Saat Jasmine mulai makan, Noah akhirnya membuka suara."Setelah ini, kita harus membahas sesuatu, Jasmine," katanya serius.Jasmine menghentikan gerakan sendoknya dan menatap Noah. "Membahas apa?"Noah tidak langs
Jasmine semakin ingin menghilang dari dunia ini saat dokter Wibisono menghela napas kecil, lalu berkata dengan nada bijak, "Saya sarankan agar sedikit dikurangi, terutama di trimester ini. Takutnya akan berdampak tidak baik pada janin. Jangan terlalu sering, terutama jika ada kontraksi ringan setelah berhubungan."Jasmine tidak berani menatap dokter, apalagi menatap Noah. Ia hanya mengangguk dengan malu-malu.Dokter kemudian mulai menjelaskan, "Pada trimester pertama, hubungan intim masih boleh dilakukan, tetapi dengan sangat hati-hati. Pada trimester kedua, intensitasnya bisa ditingkatkan karena kondisi janin sudah lebih stabil. Namun, saat memasuki trimester ketiga, apalagi menjelang bulan-bulan akhir, sebaiknya lebih dibatasi. Ada waktu-waktu tertentu di mana hubungan suami istri justru dapat membantu proses persalinan nanti, tetapi jangan terlalu sering atau terlalu berlebihan."Noah mendengarkan dengan serius. "Baik, Dok. Saya akan lebih berhati-hati."Jasmine mengerjap pelan. En
Noah tidak menunjukkan ekspresi terganggu. Ia malah tersenyum tipis, lalu menjawab santai, "Dia juga istriku, walau dalam waktu terbatas."Gleo tertawa kecil, menggelengkan kepalanya seolah tidak heran dengan jawaban Noah. "Aku selalu tahu kau punya cara unik dalam menjalani hidup, tapi yang satu ini menarik. Aku penasaran, Noah, kau benar-benar bisa melepaskannya setelah semuanya selesai?"Noah tidak langsung menjawab. Matanya melirik ke arah Jasmine yang masih diam, wajahnya tidak menunjukkan banyak ekspresi, tetapi Noah tahu pertanyaan Gleo barusan pasti meninggalkan sesuatu di pikirannya."Itu urusanku," jawab Noah akhirnya, dengan suara datar tetapi mengandung sesuatu yang sulit ditebak.Gleo hanya mengangkat bahu dan tidak bertanya lebih lanjut. Ia lalu masuk ke mobil, mengantar mereka kembali ke rumah.Selama perjalanan, Jasmine memilih diam. Kata-kata Noah tadi berputar di kepalanya. ’Dalam waktu terbatas…’Ia tahu sejak awal pernikahan ini hanyalah sebuah kontrak, tetapi mend
Jasmine menelan ludahnya, lalu melanjutkan, "Di perjalanan tadi, aku mendengar percakapanmu dengan Gleo. Kau mengatakan bahwa aku juga istrimu, walau dalam waktu terbatas."Noah tersadar. Kini dia mengerti kenapa Jasmine bersikap seperti ini."Jasmine…" Noah mengusap wajahnya. "Kau tahu hubungan kita seperti apa. Aku tidak bermaksud menyakitimu."Jasmine tersenyum kecil, tetapi tidak sampai ke matanya. "Aku tahu, Noah. Aku hanya ingin mendengar langsung darimu. Aku hanya ingin tahu, apakah aku benar-benar hanya seseorang yang kau nikmati dalam batas kontrak ini? Setelah semua yang terjadi di antara kita… aku hanya ingin tahu di mana posisiku."Noah terdiam. Kata-kata itu menusuk sesuatu dalam hatinya, sesuatu yang selama ini coba dia abaikan.Namun, sebelum dia sempat menjawab, Jasmine sudah berdiri."Aku lelah. Aku ingin tidur." katanya pelan, lalu beranjak ke tempat tidur, membelakangi Noah.Noah masih duduk di tepi ranjang, menatap punggung Jasmine dengan ekspresi penuh kebingungan
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan
Di dalam ruang server, ratusan rak digital bersinar dengan cahaya biru. Kiara dan tim IT mulai mengakses sistem. Bunyi klik-klak keyboard terdengar di antara ketegangan."Kami berhasil masuk ke lapisan pertama!" teriak Kiara."Teruskan. Kita butuh semua data!" seru Jasmine.Tiba-tiba, alarm menyala merah."Ada sistem pemicu otomatis. Kalau kita tidak selesai dalam dua belas menit, seluruh data akan dihancurkan secara otomatis," teriak Evan."Kita bisa bypass! Tapi kita butuh waktu dan ketenangan!" seru Kiara.Noah menjaga pintu, senjata disiagakan. Sementara Jasmine berdiri di belakang Kiara, matanya terpaku pada satu monitor yang menampilkan nama-nama... dan di antara semua itu, muncul sebuah file bernama: ORION FILE – Master Authorization."Buka itu," perintah Jasmine cepat.Kiara membuka file tersebut. Di dalamnya: catatan transaksi rahasia, video pertemuan Leonhart dan tokoh-tokoh dunia, serta satu nama kode utama: The Architect – real ID pending unlock."Kita menemukannya," gumam
Pagi di Arenia tidak seperti biasanya. Setelah malam penuh ketegangan dan pengakuan dari Sebastian Warde, udara pagi itu terasa lebih berat, seolah kota tua itu menyimpan napas untuk menunggu langkah selanjutnya dari Jasmine Jorse. Di ruang rapat sementara Project Axis yang terletak di lantai paling atas hotel, seluruh tim telah berkumpul.Sebastian, kini masih dalam pengawasan ketat, duduk di pojok ruangan dengan pengacara dan dua pengawal bersenjata. Wajahnya tampak lesu, tapi sorot matanya menyiratkan kelegaan setelah membuka sebagian besar rahasia yang ia simpan selama bertahun-tahun.Di hadapan semua orang, Jasmine berdiri di depan layar digital besar. Data dari Sebastian mulai ditampilkan: alur dana gelap, nama-nama pemilik perusahaan fiktif, dan diagram jaringan yang saling terkait dari Valmora, Zurich, hingga Lioren dan bahkan negara netral seperti Eresia."Semua ini mengarah pada satu hal," ucap Jasmine lantang. "Bukan hanya Leonhart, tapi seluruh sistem. Sistem yang selama i