Terhimpit ekonomi, Jasmine Ayu Kartika menerima tawaran sepupunya, Zora, untuk menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan neneknya yang kritis dan membayar tunggakan kuliah. Apa yang dimulai sebagai perjanjian bisnis, berubah menjadi ujian emosi dan moral. Di tengah ketegangan dengan Noah, suami Zora yang dingin dan manipulasi Zora, Jasmine semakin terperangkap dalam kontrak yang rumit. Dengan bayaran besar, Jasmine bisa menyelesaikan masalahnya, namun perasaan yang awalnya hanya kewajiban mulai tumbuh. Akankah Jasmine jatuh cinta pada pria yang dianggap kontrak, ataukah dia terperangkap dalam permainan yang lebih berbahaya? Facebook : Ndraa Archer
View More"Maaf, Nona Jasmine. Kami membutuhkan persetujuan dan pembayaran dalam waktu tiga hari. Jika tidak, kami tidak bisa melakukan tindakan medis lebih lanjut untuk Nenek Anda."
Suara seorang petugas kasir rumah sakit RSUP Candra Mulia terdengar tegas.
Jasmine berdiri kaku, memandang tagihan medis yang terasa seperti bom waktu di tangannya.
"Tiga hari?" gumamnya, hampir tidak percaya.
"Benar, kondisi pasien sangat kritis. Operasi katup jantung harus dilakukan segera. Kalau tidak, risiko gagal jantung akut meningkat," tambah wanita di balik meja dengan nada profesional tetapi dingin.
Jasmine hanya bisa mengangguk perlahan, menggenggam tagihan itu erat-erat. Langkah kakinya lemah saat meninggalkan loket pembayaran.
’Tiga hari... Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Tuhan, aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.’ Jasmine mendesah panjang, tangan gemetar saat meremas tagihan di pangkuannya.
Matanya menerawang, mengingat masa kecilnya. "Aku cuma gadis desa dari Cipta Mandala. Dari dulu, Nenek yang selalu mendukungku. Beliau yang mengajarkan aku untuk tidak menyerah, untuk terus belajar meski kami tidak punya apa-apa." Jasmine tersenyum samar, tetapi senyuman itu segera memudar.
"Nenek Cahaya sudah menggantikan posisi kedua orang tuaku yang meninggal saat aku masih 14 tahun. Tanpa beliau, aku mungkin tidak akan ada di sini hari ini. Tapi sekarang..." Jasmine melirik kertas tagihan di tangannya. "...aku bahkan tidak mampu menyelamatkan hidup beliau."
Pikirannya melayang ke perjuangannya selama ini. "Aku sudah mencoba sebaik mungkin. Berkuliah di Universitas Negeri Artaloka dengan beasiswa 50% adalah impian besar yang akhirnya bisa aku raih. Tapi itu hanya menutupi sebagian biaya. Sisanya, aku masih harus bekerja paruh waktu di toko Zora." Jasmine menghela napas berat.
"Rasanya tidak cukup. Tidak pernah cukup. Apa yang harus aku lakukan? Tuhan, tolong beri aku jalan..." Pandangan Jasmine jatuh pada ponselnya.
Jasmine berjalan lunglai ke taman kecil di halaman rumah sakit, mencoba meredakan pikirannya yang berkecamuk. Duduk di salah satu bangku kayu, Jasmine memandang kosong ke depan.
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan dari Universitas Negeri Artaloka muncul di layar:
"Kepada Saudari Jasmine Ayu Kartika. Tunggakan pembayaran uang kuliah sebesar Rp 20 juta harus segera dilunasi dalam tiga hari. Jika tidak, status Anda sebagai mahasiswa akan dicabut."
Jasmine mendesah panjang. "Dari mana aku bisa mendapatkan Rp 270 juta dalam waktu sesingkat itu?" bisiknya, suara kecilnya nyaris tenggelam oleh kebisingan di sekitarnya.
Jasmine sudah mencoba segalanya, menghubungi kerabat, teman, bahkan memikirkan untuk menjual barang-barang milik neneknya. Tapi tidak ada yang bisa membantunya.
Malam itu, Jasmine kembali ke rumah sakit setelah pulang untuk menenangkan diri. Langkahnya terasa berat memasuki ruang ICU, tempat neneknya, Cahaya Dewi, terbaring lemah dengan selang infus dan monitor yang berdetak pelan.
Seorang perawat yang sedang memeriksa kondisi neneknya menoleh, memberikan senyuman kecil yang sopan. “Nona Jasmine, Anda kembali?”
Jasmine mengangguk pelan. “Bagaimana kondisi Nenek saya, Sus?” tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.
Perawat itu menyelesaikan catatannya di papan monitoring sebelum menjawab. “Kondisi tekanan darah beliau masih tidak stabil. Kami terus memantau, tetapi jantung beliau semakin melemah. Operasi memang satu-satunya jalan, dan itu harus segera dilakukan.”
Mendengar penjelasan itu, Jasmine merasa tubuhnya hampir limbung. “Apakah... apakah ada kemungkinan lain? Kalau operasi ditunda sedikit saja, apakah Nenek masih bisa bertahan?”
Perawat itu menatap Jasmine dengan penuh simpati. “Maaf, Nona. Operasi ini bukan hanya tentang bertahan. Semakin lama ditunda, semakin tinggi risiko gagal jantung total. Waktu adalah hal yang sangat penting dalam kasus ini.”
Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. “Saya... saya akan mencari cara. Tolong, pastikan Nenek saya tetap dalam pengawasan terbaik sampai saat itu tiba.”
“Kami akan melakukan yang terbaik, Nona Jasmine. Tapi, kami juga membutuhkan persetujuan secepatnya untuk tindakan medis berikutnya,” ujar perawat itu lembut, lalu pamit meninggalkan ruangan.
Jasmine mendekati ranjang neneknya, duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur. Dia menggenggam tangan keriput Cahaya Dewi, yang terasa dingin di kulitnya.
“Nek, Jasmine janji akan cari cara. Jasmine nggak akan biarkan Nenek pergi. Jasmine nggak akan menyerah, meskipun semuanya terasa berat sekali.” Suaranya serak, tetapi Jasmine terus berbicara, seolah-olah neneknya bisa mendengar.
Monitor di sebelah ranjang berbunyi pelan, menjadi latar suara di tengah keheningan malam. Jasmine menghela napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa takut yang menyelimuti hatinya.
"Tuhan, aku harus apa? Waktu terus berjalan, dan aku tidak tahu apakah aku bisa menyelamatkan beliau. Tolong, berikan aku jalan.” Air matanya jatuh, tanpa Jasmine sadari.
Anak-anak itu menoleh, tertawa, lalu tetap berlari, seperti semua anak-anak yang percaya bahwa dunia ini cukup luas untuk menampung kebebasan mereka. Di antara ilalang dan bunga rumput yang bergoyang ringan diterpa angin, mereka tampak seperti cahaya kecil yang menari di dunia yang akhirnya bersedia memberi ruang bagi kebahagiaan.Di samping Jasmine, Noah duduk dengan tangan melingkar santai di bahu istrinya. Wajahnya tenang, tidak lagi menyimpan beban yang dulu begitu menggerogoti. Rambutnya sedikit lebih panjang sekarang, dengan gurat waktu di sekitar matanya, tapi senyumnya tetap sama—tulus dan hangat, seperti pagi yang tidak terburu-buru.“Mereka cepat sekali tumbuh, ya,” kata Noah, suaranya lembut namun sarat kebanggaan. Matanya mengikuti setiap langkah kecil yang penuh semangat di halaman itu.“Kadang aku merasa... kita terlalu beruntung bisa sampai di titik ini,” sahut Jasmine, menatap mereka dengan pandangan yang sulit dijel
Noah keluar dari dalam rumah, membawa selimut kecil yang mereka beli dulu—saat masih menanti kelahiran. Ia membentangkannya di bangku kayu panjang di teras, lalu duduk di samping Jasmine.“Masih ingat waktu pertama kita ke sini?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk, tersenyum samar. “Kita bahkan belum tahu bagaimana caranya memasak air dengan kompor kayu.”Noah tertawa kecil. “Dan kamu nyaris membakar tirai karena mau bikin teh.”“Tapi kamu tetap minum tehnya. Padahal rasanya...” Jasmine menggigit bibir, menahan tawa.“Kayak air rendaman kayu bakar,” Noah menyambung.Tawa mereka menyatu dengan suara dedaunan yang ditiup angin. Ringan. Seperti hati mereka sore itu.Sejenak, keheningan datang lagi. Tapi bukan yang canggung. Keheningan yang penuh penerimaan.“Jas,” ucap Noah pelan, “kamu tahu... kalau waktu bisa diulang, aku nggak akan memilih jalan
Siang itu, Noah dan Jasmine duduk bersama di ruang kerja Oma Dursila. Ruangan itu sunyi sejak terakhir kali Noah dan neneknya berdebat. Namun mereka datang bukan untuk membuka luka baru, melainkan untuk mencoba menyembuhkan yang lama.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Oma Dursila masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lebih tua dari sebelumnya. Matanya menatap mereka berdua bergantian, lalu ia duduk di kursi yang biasa ia tempati di balik meja.Tidak ada pembuka basa-basi. Hanya hening yang menegangkan. Hingga akhirnya Jasmine bersuara, “Oma, saya tahu... mungkin selama ini saya cuma duri di mata Oma. Tapi saya ingin jujur hari ini. Saya ingin kita semua berhenti saling menuduh.”Oma mengangkat alisnya. “Jujur tentang apa?”“Noah dan saya akan pergi dari rumah ini. Bukan karena takut. Tapi karena kami ingin hidup tanpa bayang-bayang. Tapi sebelum itu... saya ingin Oma tahu bahwa saya tidak pernah memanipulasi Noah. Saya
Ada jeda yang panjang, sebelum Jasmine akhirnya berkata, “Aku takut.”Noah menoleh, keningnya berkerut. “Takut kenapa?”Jasmine menatap matanya, lalu bergeser menjauh sedikit, masih memeluk dirinya sendiri. “Takut kalau semua ini cuma sebentar. Kalau pada akhirnya, kita akan hancur lagi. Takut kalau aku nggak cukup kuat untuk menghadapi semua ombak yang akan datang.”Noah melangkah mendekat. Ia berdiri di belakang Jasmine, lalu tanpa memaksakan, ia menyentuh pundaknya dengan lembut. “Aku juga takut,” ucapnya lirih. “Tapi kita bisa takut bersama. Kita bisa kuat bareng. Kita nggak harus pura-pura baik-baik saja.”Jasmine memejamkan mata. Sentuhan Noah masih sama—hangat, dalam, dan membingungkan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, tapi ada juga bagian lain yang perlahan tumbuh lagi, seperti tunas kecil yang berani muncul di antara reruntuhan musim dingin.“Noah,” u
“Aku tahu apa yang Nenek lakukan,” katanya pelan tapi tajam. “Penyelidikan terhadap Jasmine. Orang yang Nenek kirim diam-diam. Nenek mengira aku tidak tahu?”Oma mengangkat alis. “Aku melakukan apa yang perlu aku lakukan. Untuk keluargaku. Untuk masa depanmu.”Noah menatap langsung ke mata neneknya. “Atau untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali?”Pertanyaan itu menggantung, menampar ruang di antara mereka.“Jasmine adalah—” Noah terdiam sejenak, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. “Dia orang yang aku pilih. Apa pun masa lalunya, aku akan tetap bersamanya. Karena dia membuatku merasa hidup kembali. Bukan seperti boneka pewaris yang selalu Nenek bentuk.”Oma menyipitkan mata, namun nadanya tetap tenang. “Kamu terlalu cepat percaya. Dunia ini lebih kejam daripada yang kamu kira, Noah.”“Tapi aku tahu siapa yang jahat di sini,” balas
Noah berdiri. “Siapa?”“Namanya… Melinda. Dia mengaku pernah mengenal ayah Tuan, dan Ibu Jasmine.”Jasmine dan Noah saling berpandangan. Dunia mereka kembali goyah. Jasmine bangkit perlahan, wajahnya tampak pucat.“Aku ikut,” ucap Jasmine cepat.Noah tak menolak. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang tamu, dada mereka sama-sama dipenuhi pertanyaan yang belum sempat terjawab.Di ruang tamu, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan duduk dengan anggun namun terlihat gugup. Rambutnya diikat sederhana, dan matanya terus mengamati setiap sudut ruangan, seolah sedang memanggil kenangan yang lama terkubur.Saat Noah dan Jasmine masuk, wanita itu berdiri cepat. “Kalian pasti… Noah dan Jasmine?”Mereka mengangguk. Noah melangkah maju. “Ibu Melinda, kami diberitahu bahwa Anda mengenal orang tua kami?”Melinda tersenyum lemah. “Bukan hanya mengenal. Ak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments