Noah menatapnya lama sebelum mengangguk. "Baiklah, kita akan menemui mereka sore ini."
Jasmine tidak menanggapi lagi. Dia kembali menikmati sarapannya seolah percakapan itu tidak pernah terjadi.
Sore harinya, Noah dan Jasmine tiba di salah satu restoran mewah di pusat kota, tempat pertemuan dengan keluarga Bulharm sudah diatur.
Jasmine melangkah masuk bersama Noah dengan penuh percaya diri. Dia mengenakan gaun berwarna navy yang menonjolkan perutnya yang semakin membesar, membuatnya terlihat elegan sekaligus tegas.
Di dalam, Vanesia sudah duduk bersama ayahnya, Tuan Bulharm, yang terkenal dingin dan penuh perhitungan.
Saat melihat Jasmine berjalan masuk bersama Noah, Vanesia mendengus kecil. "Aku tidak mengira kau akan membawanya, Noah."
Noah menarik kursi untuk Jasmine sebelum dia duduk di sebelahnya. "Jasmine berhak ada di sini. Apa yang ingin kalian bicarakan juga menya
Keesokan harinya, Oma Dursilla benar-benar datang seperti yang telah direncanakan. Wanita tua itu tampak anggun dengan balutan gaun elegan berwarna gading, dipadukan dengan perhiasan klasik yang menegaskan statusnya sebagai sosok terpandang di keluarga Dirgantara.Langkahnya mantap saat turun dari mobil, namun sorot matanya tajam dan penuh selidik. Kedatangannya ke klinik Dokter Wibisono bukan sekadar kunjungan biasa. Dia ingin memastikan dengan matanya sendiri bahwa janin yang dikandung Zora benar-benar ada.Bagi Noah dan Zora, hari ini adalah ujian yang sangat penting. Jika Oma Dursilla menemukan kejanggalan sedikit saja, kebohongan ini bisa runtuh seketika.Sesuai rencana, Noah berpura-pura sibuk dengan pekerjaan di kantor dan meminta Zora berangkat lebih dulu bersama Oma Dursilla.Di hadapan mereka, Noah harus terlihat sebagai pria yang mendukung kehamilan Zora, meskipun kenyataannya, ia sibuk mengatur strategi di belakang layar.Pagi itu, sebelum meninggalkan mansion Dirgantara, N
Noah segera melangkah maju untuk mengalihkan perhatian. “Oma, kita harus segera pergi, kan? Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh dari Beverly Hills.”Namun, wanita tua itu tetap menatap Jasmine dengan penuh selidik. “Kau...” katanya perlahan. “Kenapa kau ada di sini?”Jasmine menggigit bibir bawahnya, berusaha tetap tenang. “Saya... hanya ada janji konsultasi,” jawabnya akhirnya.Oma Dursilla menyipitkan mata. “Konsultasi untuk apa?”Ketegangan di antara mereka semakin memuncak. Zora menelan ludah, tangannya gemetar.Noah merasakan tangannya mengepal tanpa sadar, batinnya. ”Jika Jasmine mengatakan satu hal saja yang salah... semuanya akan berantakan.”Jasmine menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil. “Konsultasi nutrisi, Oma.”Oma Dursilla masih menatapnya dengan curiga. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, dokter Wibisono keluar dari ruangannya.“Ah, Nona Jasmine,” katanya sambil membawa sebuah dokumen. “Ini hasil konsultasi yang Anda minta.”Jasmine mengambil dokumen i
Di rumah keluarga Dirgantara, Oma Dursilla duduk di ruang kerjanya. Lampu kuning keemasan menerangi ruangan besar itu, menciptakan bayangan panjang di dinding kayu yang elegan.Di tangannya, ada catatan medis dari klinik Dokter Wibisono. Dursilla membaca ulang jadwal konsultasi Zora dan Jasmine.Ketukan jemarinya di meja terdengar pelan, ritmis. ”Ada yang tidak beres,” gumam oma Dursila.”Kenapa jadwal konsultasi Jasmine selalu bersamaan dengan Zora?” tanyanya, masih memikirkan sesuatu yang kebetulan tapi janggal itu. ”Dulu mungkin masuk akal jika Jasmine dititipkan untuk pemeriksaan, karena dia masih tinggal di mansion Dirgantara. Tapi sekarang? Jasmine sudah kembali ke rumahnya sendiri.”Seharusnya dia punya jadwal konsultasi yang berbeda, bukan?” tanyanya penuh selidik.Mata tajam Oma Dursilla menyipit. Terlalu banyak kebetulan dalam hal ini. Terlalu banyak yang terasa tidak wajar. Pelan-pelan, dia meraih ponselnya. Suara napasnya terdengar lirih, tapi nadanya dingin saat berbicar
Malam itu, Noah duduk di ruang kerjanya di Raflesia Hills, mengamati ponselnya dengan ekspresi serius. Cahaya dari layar memantulkan bayangan samar di wajahnya, sementara jemarinya mengetuk meja dengan irama pelan.Beberapa saat kemudian, suara ketukan di pintu membuatnya mengangkat kepala."Masuk."Pintu terbuka, dan Miguel, orang kepercayaan Noah, melangkah masuk dengan langkah tegap. Pria itu selalu terlihat tenang dan penuh perhitungan, tetapi kali ini, ada ketegangan yang jelas di wajahnya."Ada sesuatu yang perlu kau ketahui," ujar Miguel langsung, tanpa basa-basi.Noah memberi isyarat agar dia duduk. "Apa yang kau temukan?"Miguel menghela napas. "Oma Dursila menyewa seorang detektif untuk menyelidikimu, Zora, dan Jasmine. Dia masih curiga dengan kehamilan Zora, tapi aku sudah berhasil mengelabui detektif itu sesuai perintahmu."Noah menyipitkan matanya. "Bagaimana caramu melakukannya?""Saya memastikan bahwa catatan medis di Klinik Dokter Wibisono tetap sesuai rencana. Tidak a
[Di Kamar Jasmine – Raflesia Hills]Noah berdiri di tepi ranjang, menatap wajah Jasmine yang tertidur lelap. Wajahnya tampak begitu damai, nafasnya teratur, seakan dunia luar yang penuh konflik tak pernah menyentuhnya.Noah mengangkat tangan, ingin menyentuh pipi wanita itu, tetapi akhirnya hanya membiarkan jari-jarinya berhenti di udara. Ia tahu, jika terlalu lama di sini, ia akan semakin sulit untuk pergi.Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, ia berkata, "Tidurlah yang nyenyak, Jasmine. Aku akan memastikan kau tetap aman."Jasmine bergumam pelan dalam tidurnya, tubuhnya sedikit bergerak, tetapi matanya tetap terpejam. Noah tersenyum kecil melihatnya.Noah beranjak dari sisi ranjang dan berjalan ke arah pintu. Saat tangannya menyentuh kenop pintu, ia berhenti sejenak dan menoleh sekali lagi."Aku tidak akan lama," ujarnya seakan berbicara pada d
[Di Mansion Dirgantara – Malam Hari]Noah menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri dari sofa. “Aku akan beristirahat, Oma.”Oma Dursila hanya mengangguk kecil, memperhatikannya dengan sorot mata yang sulit ditebak. Noah tahu wanita tua itu selalu penuh perhitungan. Ia tidak boleh lengah.Tanpa menunggu jawaban, Noah berbalik dan berjalan menuju tangga besar yang membawanya ke lantai dua, menuju kamarnya.Saat membuka pintu, ia menemukan Zora sudah tertidur lelap di ranjang. Wajahnya tampak tenang dalam redupnya cahaya lampu tidur. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyelinap di hati Noah. Ia memang mengabaikan Zora akhir-akhir ini.Ia berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang, menatap istrinya yang masih terlelap. Baru saja ia hendak menyentuh pipi Zora, wanita itu mengerjap kaget, matanya terbuka setengah sadar.“Kamu pulang?” suara Zora terdengar serak karena baru bangun tidur.Noah tersenyum tipis. “Ya. Maaf, aku terlalu sibuk akhir-akhir ini.”Zora menatapnya sekilas lalu
"Kau terlihat sibuk akhir-akhir ini," ucap Dursila. "Apa semuanya baik-baik saja?"Noah menarik napas pelan. "Ya, semuanya baik-baik saja, Oma."Dursila menyipitkan matanya. "Benarkah? Tapi mengapa aku merasa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"Noah tetap tenang. "Aku tidak menyembunyikan apa pun."Oma Dursila mendekat dan duduk di hadapannya. "Noah, aku mengenalmu lebih dari siapa pun. Kau tidak bisa membodohiku."Noah diam, menunggu apa yang akan dikatakan neneknya."Aku merasa Zora juga menyembunyikan sesuatu. Dia terlalu... gelisah akhir-akhir ini. Kau sadar itu?"Noah menatapnya tanpa ekspresi. "Mungkin dia hanya lelah."Dursila menyandarkan punggungnya ke kursi. "Aku ingin tahu sesuatu, Noah. Tentang gadis itu... Jasmine."Noah tetap menjaga ekspresinya. "Apa maksud Oma?""Aku melihatmu sangat protektif terhadapnya. Dan aku tidak bodoh, Noah. Aku tahu ada hubungan khusus antara kalian," ujar Dursila, matanya mengamati reaksi Noah. "Siapa dia sebenarnya untukmu?"Jantung Noah ber
Beberapa detik kemudian, Roberto Jorse tertawa kecil. "Kenapa aku harus mengirim orang ke sana, Zora? Bukankah kau bilang semuanya sudah dalam kendali?"Zora menggigit bibirnya. "Jadi itu bukan Dad?""Tentu saja bukan," jawab Roberto dengan nada meyakinkan. "Kalau aku ingin melakukan sesuatu, aku tidak akan meninggalkan jejak yang bisa kau deteksi, sayang."Meski jawaban itu terdengar masuk akal, Zora tetap merasa ada yang tidak beres."Kalau bukan Dad, lalu siapa?" gumamnya.Roberto mendengus. "Kau tahu musuh-musuh Noah tidak sedikit. Apa kau yakin ini tidak ada hubungannya dengan bisnisnya?"Zora terdiam. Ia tahu, suaminya memang punya banyak lawan di dunia bisnis, tetapi mengapa mereka harus mengincar Raflesia Hills?"Atau...." Suara Roberto menjadi lebih tajam, "Ini ada hubungannya dengan Jasmine?"Zora merasakan tubuhnya menegang. "Kenapa Dad berpikir begitu?""Karena aku tahu kau masih menganggap perempuan itu sebagai ancaman," jawab Roberto dingin. "Dan jika kau meneleponku hany
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati