Siang itu, Jasmine berdiri di ruang kerja, menata beberapa dokumen yang terbengkalai. Buku catatan, kertas laporan medis, dan surat-surat yang menumpuk sejak beberapa bulan lalu. Salah satu laci terkunci. Ia mengeluarkan kunci kecil dari dalam dompet dan membukanya.
Di dalamnya ada buku harian. Bukan miliknya, bukan juga milik Noah. Tapi milik mereka berdua—buku yang dulu mereka isi saat merencanakan rumah tangga, impian, bahkan nama-nama calon bayi.
Tangannya gemetar saat membukanya. Di halaman pertama, ada tulisan tangan Noah:
"Untuk hari-hari ketika kita lupa bahwa kita saling memilih, semoga kata-kata ini mengingatkan kita: cinta adalah kerja yang tak pernah selesai."
Air mata jatuh tanpa Jasmine sadari. Ia menutup buku itu perlahan dan mendekapnya. Luka-luka itu belum sembuh, tapi hari ini... ia merasakan sesuatu yang pelan-pelan menyentuh hatinya: keberanian untuk berharap.
Sore harinya, hujan kembali turun. Bukan hujan deras,
Mama Amara duduk di samping putrinya, menatap wajah yang terlihat semakin tirus. Ia menyentuh bahu Jasmine, memberi kehangatan kecil yang setidaknya tak bersifat basa-basi.“Kamu tahu, Jas... terkadang cinta bukan soal siapa yang paling banyak memberi, tapi siapa yang paling bertahan meski sakit,” ucapnya lirih.Jasmine hanya menunduk. “Tapi berapa lama kita bisa bertahan hanya dengan itu, Ma?”“Cinta bukan cuma rasa. Cinta juga pilihan. Dan setiap pilihan ada lukanya. Tapi kalau kamu masih bisa memilih dia, bahkan saat kamu marah... mungkin itu cukup untuk bertahan hari ini.”Jasmine menarik napas dalam. Kata-kata ibunya menyentuh tempat yang tak berani ia jamah. Ia tahu hatinya masih menyimpan cinta untuk Noah, tapi ia juga tahu betapa rapuhnya mereka sekarang. Dan Noah, pria yang pernah ia percayai sepenuh jiwa, kini terasa seperti orang asing yang mencoba masuk lagi tanpa kunci yang dulu ia serahkan dengan tulus.
“Dokter bilang... mereka akan mengirim hasil tes genetik ke laboratorium di luar kota. Mungkin butuh waktu.”Kepala Jasmine sedikit mengangguk. Tapi tetap tidak ada kontak mata. Mereka seperti dua tokoh dalam dua panggung yang berbeda.Noah tahu ada jarak di antara mereka. Tapi ini bukan jarak biasa. Ini seperti selaput tipis yang nyaris tak terlihat, tapi cukup kuat untuk mencegah mereka saling menyentuh. Ia ingin bicara, ingin mengulurkan tangan, tapi sesuatu dalam dirinya menahan.“Noah, kau tahu...” suara Jasmine terdengar pelan namun tak ragu. “Kadang aku merasa... kita seperti orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama.”Kalimat itu membuat dada Noah sesak. “Jas, aku nggak mau kita jadi seperti itu.”“Lalu kita ini seperti apa sekarang?” Jasmine menoleh, akhirnya. Matanya memerah, bukan karena menangis, tapi karena lelah. “Kita terus berusaha menyembuhkan sesuatu yan
Jasmine melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja. Sesaat mereka saling memandang, lalu kembali memalingkan wajah. Suasana di antara mereka seperti jembatan yang goyah—cukup kuat untuk menahan, tapi tak bisa menampung beban lebih."Aku nggak tidur tadi malam," kata Jasmine pelan.“Aku juga,” sahut Noah.Hening lagi. Angin dari jendela terbuka membawa aroma bunga kamboja dari taman. Harum, tapi terasa getir di udara."Aku merasa seperti... hidupku kembali jadi teka-teki,” ujar Jasmine, menatap lantai. “Aku bahkan mulai mempertanyakan, apa Mama pernah berniat menyembunyikan ini dariku?”Noah menggenggam jemarinya sendiri. “Kita nggak tahu pasti apa yang benar, Jas. Oma juga belum bisa membuktikan sepenuhnya.”“Tapi... itu cukup mengguncang,” balas Jasmine. “Kamu sadar nggak, Noah? Kita hampir menikah. Kita hampir membangun hidup, dan sekarang kita... bahkan nggak tahu kit
Ruangan mendadak senyap. Noah mengernyit, setengah berdiri. “Oma, jangan bermain-main dengan hal seperti ini. Apa yang sebenarnya Oma maksud?”“Aku belum bisa membuktikannya sepenuhnya,” kata Oma, nadanya tetap datar. “Tapi Jasmine mungkin adalah darah dari keluarga ini. Lewat jalur yang tidak pernah kamu tahu.”Jasmine merasa tenggorokannya mengering. “Tunggu... apa maksud Oma, aku ini... kerabat Noah?”"Belum tentu," sahut Oma cepat. “Tapi aku mencurigai... kamu adalah anak dari Ratih. Dan Ratih pernah—hampir pasti—punya hubungan dengan ayah Noah semasa hidupnya.”Noah berdiri penuh sekarang. Wajahnya merah padam. “Oma melakukan penyelidikan di belakang kami?”“Aku hanya mencoba melindungi keluarga ini!” bentak Oma, nadanya tetap terkontrol namun penuh tekanan. “Kalian terlalu sibuk mencintai tanpa mempertimbangkan asal-usul. Kalian membangun cin
Noah mengusap wajahnya. "Aku juga takut, Jas. Tapi satu-satunya hal yang tidak membuatku hancur... adalah kenyataan bahwa kamu masih di sini. Duduk di sebelahku. Meski kamu terluka, kamu tidak pergi. Dan itu, buatku... artinya besar."Jasmine menatap pohon kamboja itu lagi. Sore semakin pekat. Bayangan di lantai pun memanjang, menyerupai benang-benang waktu yang terus berlari."Aku lelah," ucapnya lirih. "Lelah mencintaimu dengan rasa takut. Tapi aku juga tidak bisa berhenti. Dan itu yang paling menakutkan."Noah menoleh, menatap wajah istrinya yang pucat diterpa cahaya jingga. "Kalau aku bisa, Jas... aku ingin kita pergi dari semua ini. Dari orang-orang yang terus menilai, dari masa lalu yang mengekang. Mulai hidup baru, entah di mana. Asal kamu mau ikut."Jasmine tertawa kecil. Pahit. "Kamu tahu, aku dulu pernah punya mimpi begitu. Meninggalkan semuanya. Tapi sekarang... aku terlalu dewasa untuk percaya hidup bisa semudah itu."Noah tersenyum tip
“Beberapa bulan lalu, aku memulai penyelidikan. Aku curiga tentang asal-usul Jasmine. Tentang kemungkinan... bahwa ia adalah bagian dari keluarga kita.”Ruangan itu membeku.Noah mundur satu langkah. “Apa maksud Oma?”“Dengar dulu.” Oma memotong cepat. “Aku tidak ingin kalian salah paham. Tapi terlalu banyak kemiripan. Nama. Waktu. Tempat. Dan… sebuah surat yang aku simpan sejak lama.”Jasmine menggigit bibir bawahnya. Tangannya meremas ujung rok yang ia kenakan.“Surat itu... berasal dari ayahmu, Noah,” lanjut Oma, lambat dan berat. “Dikirim bertahun lalu. Berisi pengakuan. Tentang seorang perempuan yang pernah ia cintai—bukan ibumu. Dan tentang seorang anak perempuan yang mungkin... adalah darah daging Dirgantara.”Noah tak bisa berkata apa-apa. Rasanya seperti tubuhnya terhantam angin keras dari segala arah.“Jadi,” gumam Jasmine lirih,