Share

3. KETIKA HUJAN DI HALTE

Lian tiba di rumah dan baru saja akan menyentuh pintu pagar besi rumahnya ketika ia mendengar suara ribut-ribut di dalam. Ia bisa mendengar dengan jelas ketika bermacam-macam benda stainless dilemparkan ke dinding dan diikuti dengan bunyi kaki yang menghentak ke tanah berkali-kali. Gadis itu menghela napas dan hanya diam di tempatnya selama beberapa waktu. Ia ragu akan masuk atau tidak.

Sekarang sudah hampir jam lima sore dan awan kelabu mulai menggulung di langit. Lian memutuskan untuk mengabaikan apa pun yang ada di dalam dan langsung masuk ke kamarnya. Tapi baru saja ia kembali menyentuh pagar besi yang dingin itu, suara gaduh dari dalam membuat jari-jarinya yang kaku menolak untuk membukanya.

Lian mendesah. Ia menjatuhkan lengannya begitu saja ke samping lalu mengambil dua langkah kecil ke belakang. Setelah itu ia membalikkan badannya dan mulai mengalihkan diri dari tempat itu.

Lian berjalan gontai mengelilingi taman di dekat rumahnya karena tidak punya tempat yang bisa dituju. Awalnya ia ingin pergi ke apartemen Indri. Tapi sekarang Indri pasti belum pulang karena masih membantu orang tuanya di toko. Sebenarnya bisa saja Lian langsung masuk ke apartemen gadis itu. Indri memberi tahu password pintu otomatisnya pada Lian. Tapi entah kenapa hari ini ia tidak ingin ke sana. Jadi di tengah-tengah hembusan angin yang seolah-olah kapan pun siap menerbangkan gadis kurus itu ke atas langit, ia memilih untuk jalan-jalan sendirian tanpa peduli pada awan gelap yang kini mulai mengepung seluruh kota.

Hujan turun ketika Lian mulai lelah berjalan dan beristirahat di sebuah halte kecil yang jarang ditunggui oleh orang-orang. Mata gadis itu menerawang, memandangi hujan yang jatuh dari atap halte. Bau debu yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya.

“Baunya enak,” gumam Lian sambil tersenyum tipis. Ia tidak peduli pada matanya yang mulai berkaca-kaca dan dadanya yang terasa sesak. Beberapa orang lewat di halte itu, tapi tidak ada satu pun yang berhenti di tempat Lian kini berada. Atau malah mereka tidak menyadari kalau ada seorang gadis berbadan kecil yang usianya sebenarnya hampir mendekati kepala tiga sedang berwajah masam dan rasa-rasanya hanya dengan sedikit senggolan ia bisa menangis langsung di tempatnya.

Gadis itu memandangi tangannya. Ini sudah empat tahun. Kenapa tangannya tidak bisa berhenti bergetar hebat? Gadis itu mengepalkan tangannya hingga sendi-sendi jarinya terasa sakit. Pekerjaan, pendidikan, percintaan, bahkan keluarganya sendiri, tidak ada satu pun yang bisa membuatnya bahagia. Padahal dia bukanlah orang yang punya ambisi besar. Dia juga bukan seseorang yang idealis seperti kata Jilan. Gadis itu hanya ingin hidup tenang tanpa mengkhawatirkan apa pun. Kenapa orang-orang sulit untuk mengerti dirinya yang seperti itu?

“Haaah ....” Lian menghela napas dengan berat. Tapi kali ini ia tidak sendirian. Ada seorang pria yang kini duduk di sebelahnya dan tidak sengaja menghela napas bersamanya. Mereka seperti baru saja melakukan telepati monolog tentang siapa yang memiliki kejadian paling buruk hari ini melalui satu helaan napas. Gara-gara helaan napas yang bersamaan itu, mereka jadi saling berpandangan selama satu detik dan tersenyum canggung.

Lian sempat melihat ke arah pria itu sesaat setelah dia duduk. Seorang pria dengan potongan rambut buzz-cut yang lepek. Entah karena dia belum sempat membuka payungnya saat hujan deras tiba-tiba muncul, atau memang sudah seperti itu sejak awal. Ini seperti dejavu. Kenapa hari ini dia selalu bertemu dengan pria botak.  

Sayangnya karena Lian sudah tidak punya tenaga lagi dan pikirannya sedang kusut, ia tidak sempat melihat wajah pria itu. Oh, ia sempat meliriknya sedikit saat mereka saling tersenyum canggung tadi. Hanya sedetik. Tidak cukup untuk mendeskripsikan wajah pria itu secara detail. Lagipula lampu di halte itu mengarah padanya. Cahaya di sekitar pria itu cukup redup, sehingga Lian tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

“Apa anda memiliki hari yang buruk?” Lian tanpa sadar mengeluarkan suaranya yang serak. Pria itu sepertinya kaget karena Lian berusaha mengajaknya bicara.

“Tidak seburuk itu,” jawabnya singkat. “Anda sedang menunggu bus?” Kini pria itu mulai berbasa-basi dengan Lian. Lian menggeleng. Mungkin pria itu belum tahu kalau sebenarnya halte ini sudah tidak terpakai sejak lama.

“Oh, tidak. Rumah saya di dekat sini.” ucap Lian kemudian. “Anda sendiri?”

Belum sempat pria itu membuka bibirnya, sebuah taksi berhenti di depan halte dan membuka jendelanya. Supir taksi itu bertanya apa ada di antara mereka berdua yang memesan taksi dan seketika pria itu mengangkat tangannya. Lian kini tidak penasaran lagi. Ia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Saya duluan.” Pria itu menutup kepalanya dengan kedua telapak tangannya lalu berlari-lari kecil ke arah taksi dan langsung masuk ke dalam. Lian melihatnya sekilas dan ketika mengalihkan perhatiannya dari pria itu, ia melihat payung kuning lusuh tergeletak di dekat tempat pria tadi duduk.

“Oh! Payung Anda?” Lian menyambar payung itu dan menunjukkannya ke arah mobil yang jendelanya hampir ditutup.

“Pakai saja dulu,” sahut pria itu lalu menutup jendela taksi sepenuhnya. Tanpa menunggu Lian yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu, taksi itu sudah tidak ada di tempatnya.

Lian kini memandang payung kuning yang baru saja kehilangan pemiliknya, lalu bergantian ke arah taksi biru yang kini sudah melaju ke tengah jalan raya hingga sorot lampunya mulai menghilang di balik asap knalpot mobil yang berbaur dengan derasnya hujan. Apakah pria itu memberinya payung ini karena dia tidak tahu bukan itu alasan Lian duduk sendirian di halte ini? Gadis itu meletakkan benda lusuh tersebut di sisinya lalu kembali menjatuhkan badannya ke bangku halte.

Suara dering telepon membuat gadis itu terkesiap dari lamunannya. Ia menegakkan dirinya yang dari tadi kerap bersandar di dinding halte yang dingin itu. Ternyata panggilan telepon dari Indri.

“Kau tadi meneleponku, ya? Ada apa?”

Lian tidak serta merta menjawabnya. Ia memandang sepatu datarnya yang kini sudah kotor dan lembab terkena cipratan air hujan lalu menarik napas.

“Aku hanya merindukanmu,” katanya bercanda.

“Apa kau dimarahi Profesor?” Indri benar-benar sangat menakutkan karena dia selalu saja bisa menebak pikiran dan situasi yang Lian hadapi.

“Memangnya Profesor pernah memarahiku?”

“Ah..., sepertinya yang memarahimu adalah ‘Roz’ ya?” Roz itu julukan Indri untuk Bu Eri, salah satu staf keuangan rektorat yang sering mengomeli Lian. Dia dijuluki seperti itu karena mengenakan kacamata yang mirip dengan karakter yang muncul di film Monster Inc. “Memangnya kau sudah menyebabkan berapa banyak masalah, sih?” lanjut wanita itu.

“Kau pikir aku tukang cari masalah?”

“Sifatmu yang tidak bisa menangani masalah itu yang bermasalah,” kata Indri langsung menujam ke jantung Lian. Tapi gadis itu tidak marah. Sahabatnya itu memang suka blak-blakan. Bisa dibilang, Lian sudah terbiasa.

“Aku kesal karena orang-orang selalu saja ingin aku memenuhi standar kebahagiaan mereka,” ungkap Lian. Senyum tipisnya kini mulai redup.

“Memangnya siapa yang bilang seperti itu? Tunggu, apa kau menemui perempuan itu?” Sekali lagi Indri berhasil menebaknya seperti cenayang.

“Seharusnya aku mendengarkanmu.”

“Haaah ....” Indri menghela napasnya kesal. “Sudah kubilang kau tidak boleh menemui orang-orang yang akan memperburuk kondisimu, kan? Kita memang terlihat seperti memutuskan hubungan dengan orang lain. Tapi kalau berhubungan dengannya membuatmu seperti ini, siapa yang akan rugi? Cuma kau,” Indri mengomel. Sekali lagi, Lian sudah terbiasa dengan ini.

“Apa aku sebagai wanita memang seburuk itu?” tanya Lian tiba-tiba.

“Apa lagi maksudmu?”

“Aku tidak cantik, tidak kaya. Aku pikir aku bisa menutupi semua itu jika aku punya pendidikan yang bagus. Tapi kenapa pendidikanku kini justru terlihat seperti wabah penyakit bagi orang-orang itu? ‘Seharusnya kau bekerja saja, seharusnya kau menghasilkan banyak uang dan membeli kebahagiaan dengan uang itu’, kata-kata seperti itu entah kenapa sangat menusukku.” Gadis itu tercekat.

“Kalau dulu aku masih bisa mentertawainya karena mereka tidak tahu apa-apa tentangku. Tapi sekarang, aku jadi mudah emosi karena perkataan mereka ada benarnya. Kenapa dulu aku memilih pendidikan untuk menutupi kekuranganku ya?” Lian mendesah dan memandangi aspal jalanan yang sedikit berbayang karena matanya mulai berkaca-kaca lagi.

“Kau bilang itu karena orang yang kau sukai, kan?”

“Benar. Dan itu membuatku kini terlihat lebih bodoh karena melakukannya untuk orang yang bahkan sampai saat ini aku tidak tahu ada di mana.” Lian menertawakan dirinya sendiri.

“Dia masih tidak menghubungimu sejak hari itu?” tanya Indri. Lian menggelengkan kepalanya sedih seolah-olah Indri bisa melihat gerakannya kini.

“Bukankah sudah waktunya kau untuk melupakannya? Dari ceritamu waktu itu aku rasa dia bukanlah orang yang tepat untukmu,” tutur Indri hati-hati, seolah dia juga sudah tahu bahwa Lian pasti akan menggelengkan kepalanya di seberang telepon.

“Benar, kan? Aku juga merasa seperti itu. Tapi karena dia tidak bilang apapun hingga saat ini, aku jadi bertanya-tanya sampai akhirnya lelah sendiri. Mungkin saja hari itu aku sudah salah paham tentang ekspresinya. Apa aku harus melupakannya? Apa aku sudah harus berhenti mulai dari sekarang?

“Tapi In, setiap aku berpikir seperti itu, orang itu akan datang lagi. Dia selalu muncul kembali di hadapanku. Ini sudah yang keberapa kalinya. Karena itu aku tidak bisa berhenti dan tetap menantikan hari ketika dia muncul secara kebetulan seperti dulu. Aku harus bagaimana In?

"Bagaimana jika kemunculannya kali ini membawa berita yang tidak ingin kudengar?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status