Home / All / Mentari di Balik Awan / 3. KETIKA HUJAN DI HALTE

Share

3. KETIKA HUJAN DI HALTE

Author: shellyhabsari
last update Last Updated: 2022-01-19 11:39:22

Lian tiba di rumah dan baru saja akan menyentuh pintu pagar besi rumahnya ketika ia mendengar suara ribut-ribut di dalam. Ia bisa mendengar dengan jelas ketika bermacam-macam benda stainless dilemparkan ke dinding dan diikuti dengan bunyi kaki yang menghentak ke tanah berkali-kali. Gadis itu menghela napas dan hanya diam di tempatnya selama beberapa waktu. Ia ragu akan masuk atau tidak.

Sekarang sudah hampir jam lima sore dan awan kelabu mulai menggulung di langit. Lian memutuskan untuk mengabaikan apa pun yang ada di dalam dan langsung masuk ke kamarnya. Tapi baru saja ia kembali menyentuh pagar besi yang dingin itu, suara gaduh dari dalam membuat jari-jarinya yang kaku menolak untuk membukanya.

Lian mendesah. Ia menjatuhkan lengannya begitu saja ke samping lalu mengambil dua langkah kecil ke belakang. Setelah itu ia membalikkan badannya dan mulai mengalihkan diri dari tempat itu.

Lian berjalan gontai mengelilingi taman di dekat rumahnya karena tidak punya tempat yang bisa dituju. Awalnya ia ingin pergi ke apartemen Indri. Tapi sekarang Indri pasti belum pulang karena masih membantu orang tuanya di toko. Sebenarnya bisa saja Lian langsung masuk ke apartemen gadis itu. Indri memberi tahu password pintu otomatisnya pada Lian. Tapi entah kenapa hari ini ia tidak ingin ke sana. Jadi di tengah-tengah hembusan angin yang seolah-olah kapan pun siap menerbangkan gadis kurus itu ke atas langit, ia memilih untuk jalan-jalan sendirian tanpa peduli pada awan gelap yang kini mulai mengepung seluruh kota.

Hujan turun ketika Lian mulai lelah berjalan dan beristirahat di sebuah halte kecil yang jarang ditunggui oleh orang-orang. Mata gadis itu menerawang, memandangi hujan yang jatuh dari atap halte. Bau debu yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya.

“Baunya enak,” gumam Lian sambil tersenyum tipis. Ia tidak peduli pada matanya yang mulai berkaca-kaca dan dadanya yang terasa sesak. Beberapa orang lewat di halte itu, tapi tidak ada satu pun yang berhenti di tempat Lian kini berada. Atau malah mereka tidak menyadari kalau ada seorang gadis berbadan kecil yang usianya sebenarnya hampir mendekati kepala tiga sedang berwajah masam dan rasa-rasanya hanya dengan sedikit senggolan ia bisa menangis langsung di tempatnya.

Gadis itu memandangi tangannya. Ini sudah empat tahun. Kenapa tangannya tidak bisa berhenti bergetar hebat? Gadis itu mengepalkan tangannya hingga sendi-sendi jarinya terasa sakit. Pekerjaan, pendidikan, percintaan, bahkan keluarganya sendiri, tidak ada satu pun yang bisa membuatnya bahagia. Padahal dia bukanlah orang yang punya ambisi besar. Dia juga bukan seseorang yang idealis seperti kata Jilan. Gadis itu hanya ingin hidup tenang tanpa mengkhawatirkan apa pun. Kenapa orang-orang sulit untuk mengerti dirinya yang seperti itu?

“Haaah ....” Lian menghela napas dengan berat. Tapi kali ini ia tidak sendirian. Ada seorang pria yang kini duduk di sebelahnya dan tidak sengaja menghela napas bersamanya. Mereka seperti baru saja melakukan telepati monolog tentang siapa yang memiliki kejadian paling buruk hari ini melalui satu helaan napas. Gara-gara helaan napas yang bersamaan itu, mereka jadi saling berpandangan selama satu detik dan tersenyum canggung.

Lian sempat melihat ke arah pria itu sesaat setelah dia duduk. Seorang pria dengan potongan rambut buzz-cut yang lepek. Entah karena dia belum sempat membuka payungnya saat hujan deras tiba-tiba muncul, atau memang sudah seperti itu sejak awal. Ini seperti dejavu. Kenapa hari ini dia selalu bertemu dengan pria botak.  

Sayangnya karena Lian sudah tidak punya tenaga lagi dan pikirannya sedang kusut, ia tidak sempat melihat wajah pria itu. Oh, ia sempat meliriknya sedikit saat mereka saling tersenyum canggung tadi. Hanya sedetik. Tidak cukup untuk mendeskripsikan wajah pria itu secara detail. Lagipula lampu di halte itu mengarah padanya. Cahaya di sekitar pria itu cukup redup, sehingga Lian tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

“Apa anda memiliki hari yang buruk?” Lian tanpa sadar mengeluarkan suaranya yang serak. Pria itu sepertinya kaget karena Lian berusaha mengajaknya bicara.

“Tidak seburuk itu,” jawabnya singkat. “Anda sedang menunggu bus?” Kini pria itu mulai berbasa-basi dengan Lian. Lian menggeleng. Mungkin pria itu belum tahu kalau sebenarnya halte ini sudah tidak terpakai sejak lama.

“Oh, tidak. Rumah saya di dekat sini.” ucap Lian kemudian. “Anda sendiri?”

Belum sempat pria itu membuka bibirnya, sebuah taksi berhenti di depan halte dan membuka jendelanya. Supir taksi itu bertanya apa ada di antara mereka berdua yang memesan taksi dan seketika pria itu mengangkat tangannya. Lian kini tidak penasaran lagi. Ia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Saya duluan.” Pria itu menutup kepalanya dengan kedua telapak tangannya lalu berlari-lari kecil ke arah taksi dan langsung masuk ke dalam. Lian melihatnya sekilas dan ketika mengalihkan perhatiannya dari pria itu, ia melihat payung kuning lusuh tergeletak di dekat tempat pria tadi duduk.

“Oh! Payung Anda?” Lian menyambar payung itu dan menunjukkannya ke arah mobil yang jendelanya hampir ditutup.

“Pakai saja dulu,” sahut pria itu lalu menutup jendela taksi sepenuhnya. Tanpa menunggu Lian yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu, taksi itu sudah tidak ada di tempatnya.

Lian kini memandang payung kuning yang baru saja kehilangan pemiliknya, lalu bergantian ke arah taksi biru yang kini sudah melaju ke tengah jalan raya hingga sorot lampunya mulai menghilang di balik asap knalpot mobil yang berbaur dengan derasnya hujan. Apakah pria itu memberinya payung ini karena dia tidak tahu bukan itu alasan Lian duduk sendirian di halte ini? Gadis itu meletakkan benda lusuh tersebut di sisinya lalu kembali menjatuhkan badannya ke bangku halte.

Suara dering telepon membuat gadis itu terkesiap dari lamunannya. Ia menegakkan dirinya yang dari tadi kerap bersandar di dinding halte yang dingin itu. Ternyata panggilan telepon dari Indri.

“Kau tadi meneleponku, ya? Ada apa?”

Lian tidak serta merta menjawabnya. Ia memandang sepatu datarnya yang kini sudah kotor dan lembab terkena cipratan air hujan lalu menarik napas.

“Aku hanya merindukanmu,” katanya bercanda.

“Apa kau dimarahi Profesor?” Indri benar-benar sangat menakutkan karena dia selalu saja bisa menebak pikiran dan situasi yang Lian hadapi.

“Memangnya Profesor pernah memarahiku?”

“Ah..., sepertinya yang memarahimu adalah ‘Roz’ ya?” Roz itu julukan Indri untuk Bu Eri, salah satu staf keuangan rektorat yang sering mengomeli Lian. Dia dijuluki seperti itu karena mengenakan kacamata yang mirip dengan karakter yang muncul di film Monster Inc. “Memangnya kau sudah menyebabkan berapa banyak masalah, sih?” lanjut wanita itu.

“Kau pikir aku tukang cari masalah?”

“Sifatmu yang tidak bisa menangani masalah itu yang bermasalah,” kata Indri langsung menujam ke jantung Lian. Tapi gadis itu tidak marah. Sahabatnya itu memang suka blak-blakan. Bisa dibilang, Lian sudah terbiasa.

“Aku kesal karena orang-orang selalu saja ingin aku memenuhi standar kebahagiaan mereka,” ungkap Lian. Senyum tipisnya kini mulai redup.

“Memangnya siapa yang bilang seperti itu? Tunggu, apa kau menemui perempuan itu?” Sekali lagi Indri berhasil menebaknya seperti cenayang.

“Seharusnya aku mendengarkanmu.”

“Haaah ....” Indri menghela napasnya kesal. “Sudah kubilang kau tidak boleh menemui orang-orang yang akan memperburuk kondisimu, kan? Kita memang terlihat seperti memutuskan hubungan dengan orang lain. Tapi kalau berhubungan dengannya membuatmu seperti ini, siapa yang akan rugi? Cuma kau,” Indri mengomel. Sekali lagi, Lian sudah terbiasa dengan ini.

“Apa aku sebagai wanita memang seburuk itu?” tanya Lian tiba-tiba.

“Apa lagi maksudmu?”

“Aku tidak cantik, tidak kaya. Aku pikir aku bisa menutupi semua itu jika aku punya pendidikan yang bagus. Tapi kenapa pendidikanku kini justru terlihat seperti wabah penyakit bagi orang-orang itu? ‘Seharusnya kau bekerja saja, seharusnya kau menghasilkan banyak uang dan membeli kebahagiaan dengan uang itu’, kata-kata seperti itu entah kenapa sangat menusukku.” Gadis itu tercekat.

“Kalau dulu aku masih bisa mentertawainya karena mereka tidak tahu apa-apa tentangku. Tapi sekarang, aku jadi mudah emosi karena perkataan mereka ada benarnya. Kenapa dulu aku memilih pendidikan untuk menutupi kekuranganku ya?” Lian mendesah dan memandangi aspal jalanan yang sedikit berbayang karena matanya mulai berkaca-kaca lagi.

“Kau bilang itu karena orang yang kau sukai, kan?”

“Benar. Dan itu membuatku kini terlihat lebih bodoh karena melakukannya untuk orang yang bahkan sampai saat ini aku tidak tahu ada di mana.” Lian menertawakan dirinya sendiri.

“Dia masih tidak menghubungimu sejak hari itu?” tanya Indri. Lian menggelengkan kepalanya sedih seolah-olah Indri bisa melihat gerakannya kini.

“Bukankah sudah waktunya kau untuk melupakannya? Dari ceritamu waktu itu aku rasa dia bukanlah orang yang tepat untukmu,” tutur Indri hati-hati, seolah dia juga sudah tahu bahwa Lian pasti akan menggelengkan kepalanya di seberang telepon.

“Benar, kan? Aku juga merasa seperti itu. Tapi karena dia tidak bilang apapun hingga saat ini, aku jadi bertanya-tanya sampai akhirnya lelah sendiri. Mungkin saja hari itu aku sudah salah paham tentang ekspresinya. Apa aku harus melupakannya? Apa aku sudah harus berhenti mulai dari sekarang?

“Tapi In, setiap aku berpikir seperti itu, orang itu akan datang lagi. Dia selalu muncul kembali di hadapanku. Ini sudah yang keberapa kalinya. Karena itu aku tidak bisa berhenti dan tetap menantikan hari ketika dia muncul secara kebetulan seperti dulu. Aku harus bagaimana In?

"Bagaimana jika kemunculannya kali ini membawa berita yang tidak ingin kudengar?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mentari di Balik Awan   BAB 18. Telepon dari Ibu

    Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s

  • Mentari di Balik Awan   BAB 17. TELEPON DARI SESEORANG

    Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj

  • Mentari di Balik Awan   BAB 16. ALARM

    “Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala

  • Mentari di Balik Awan   15. GAWAI YANG TERTUKAR

    Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke

  • Mentari di Balik Awan   14. CALON ISTRI UNTUK IBU

    Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib

  • Mentari di Balik Awan   13. Awal Proyek Tesis

    “Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status