Share

2. THE CLOUDY EYES

“Eung ..., aku sudah sampai. Kau ada di mana?” Lian mendorong pintu Regal Mio Cafe dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Seorang wanita dengan gaya yang cukup glamour melambaikan tangannya ke arah Lian dari pojok ruangan dekat jendela yang menghadap langsung ke arah taman belakang kafe itu. Lian menurunkan ponselnya dari telinga dan membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum tipis.

Tadi setelah bertemu dengan pria narsis yang salah mengira bahwa Lian adalah wanita yang akan dijodohkan dengannya, pria itu pergi begitu saja. Lian sempat melihat ke arah jalan raya, dan benar saja, wanita yang akan ditemui oleh pria itu memiliki style yang mirip dengannya hari ini. Kecuali bawahan yang ia pakai. Setelah pria itu pergi, Lian mencoba kembali fokus mengerjakan tugasnya. Ia bertahan di kafe itu sekitar satu jam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Jilan.

Saat kemarin membicarakannya, Indri sebenarnya sudah mewanti-wanti Lian untuk tidak menemui Jilan. Wanita itu sudah terkenal sering membangga-banggakan suaminya yang memiliki karir terbaik di antara teman-teman kuliah seangkatan mereka. Indri tahu kalau wanita itu berusaha untuk menghubungi semua teman-temannya agar bisa pamer karena baru-baru ini suaminya baru saja diangkat sebagai direktur utama sebuah perusahaan start up konsultan geofisika di Jogja. Lian juga tahu bertemu dengan Jilan akan membahayakan dirinya. Tapi karena dulu mereka pernah berteman dekat dan Lian merasa tidak memiliki masalah dengan anak itu, ia akhirnya memutuskan untuk tetap datang setelah Jilan menghubunginya beberapa jam lalu.

“Ayolah, Lian. Mumpung aku sedang ada di sini. Kau tahu kan aku orang sibuk. Tapi aku bersedia meluangkan waktu meninggalkan suami dan anakku untuk bertemu denganmu,” begitu katanya sambil sedikit memaksa. Lian terkadang membenci sifatnya sendiri yang tidak bisa menolak ajakan orang lain padahal dia saat ini sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas yang sudah mendekati waktu deadline dengan profesornya. Belum lagi dengan semua kekacauan yang terjadi hari ini. Ia tahu Jilan adalah anak yang suka bicara. Mendengarkannya saja membutuhkan waktu berjam-jam. Sepulangnya dari pertemuan ini—yang ia yakin pasti lama, mau tidak mau ia harus lembur untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Apa kau sudah lama di sini? Maaf, aku baru saja diminta Profesor Hadi ke dekanat,” ungkap Lian dan langsung duduk di depan Jilan sambil menaruh tas di pangkuannya.

“Tidak. Aku baru saja tiba lima menit yang lalu. Kau tidak pesan minuman? Biar aku yang traktir,” jawab Jilan sambil menggeser buku menu kafe itu ke hadapan Lian. Lian tersenyum dan membuka menu itu. Matanya seketika tertuju pada es kopi yang muncul pertama kali di menu itu dan tanpa membuka yang lain ia langsung memanggil pelayan yang kebetulan lewat di dekatnya lalu memesan es kopi dengan tambahan krim yang ekstra.

“Sejak kapan kau minum kopi? Bukannya kau punya sakit lambung?” tanya Jilan.

“Ah ..., aku jarang minum kopi. Tapi akhir-akhir ini aku membutuhkannya agar tetap bisa terjaga di malam hari,” tutur Lian sambil mendorong bibir bawahnya dan tersenyum pasrah.

“Kau benar-benar orang yang sangat sibuk ya. Padahal cuma asisten dosen, ckckck ....” Jilan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kasihan pada Lian. Lian tidak menjawab dan hanya tertawa kecil mendengarnya.

“Hei, kau harus minta tambahan gaji pada Profesor Hadi. Kau kan sudah mau lulus S2, masa gajimu tidak ditambah padahal sudah hampir tiga tahun bekerja dengannya?”

“Aku sudah bersyukur beliau membiarkanku kuliah gratis dengan uang pribadinya. Mana mungkin aku meminta lebih dari itu.”

“Kau sama sekali tidak berubah ya. Masih tetap merasa tidak enakan. Inilah kenapa dari dulu aku bilang padamu lebih baik keluar dari sana dan mencari pekerjaan lain. Jika kau di sana terus, aku bahkan tidak yakin kau bisa menabung walaupun sedikit. Jangan-jangan kau juga masih menghemat uang makanmu?”

“Kau juga sama sekali tidak berubah ...,” balas Lian sambil meneguk es kopinya yang baru saja sampai.

“Masa? Orang-orang bilang aku sudah banyak berubah,” Jilan memegang pipinya.

“Kau dan standarmu yang tinggi itu. Masih tetap sama seperti dulu.”

“Hei, Lian. Aku bilang begitu karena aku temanmu. Kita ini wanita. Kita harusnya mengerti posisi kita sebagai wanita itu seperti apa. Wanita itu kodratnya sebagai ....”

‘Sudah mulai, ya ...’ batin Lian. Dia tidak terlalu mendengarkan ocehan Jilan dan fokus mengaduk krim di atas es kopinya. Padahal ini baru pertama kalinya dia datang kesini. Tapi staf kafe ini memberinya krim hingga cup-nya penuh.

“Hah, kau sudah cocok untuk jadi ibu-ibu kompleks” Lian tergelak. Dia masih tetap bercanda dengan wanita itu. Lian mencoba bertahan dari ocehan Jilan yang tidak ia butuhkan. Meskipun sebenarnya ia sudah melewatkan apa yang sudah diocehkan wanita itu dari tadi.

“Aku hanya ingin memberitahumu. Umur kita sudah segini. Kau harus memikirkan orang tuamu juga kan? Kapan kau bisa membahagiakan mereka? Dan kapan juga kau akan memikirkan soal pernikahan kalau terus-terusan belajar?” Dia belum berhenti. Hanya memberi jeda sebentar untuk meminum float stroberi miliknya.

“Aku tahu kau itu tergila-gila dengan pendidikan. Tapi apa sih yang membuatmu harus begitu? Lihat aku. Aku bisa bekerja di rumah sambil mengurus suami serta anak-anakku dan tetap bisa punya penghasilan yang bagus. Kau tidak perlu pendidikan yang tinggi untuk melakukan itu semua.

“Kenapa kau tidak bekerja saja. Hasilkan banyak uang, dan bahagia. Aku tau kau idealis. Tapi kau tidak sampai munafik yang tidak percaya dengan kemampuan uang untuk membeli kebahagiaan, kan?”

Sudah cukup. Lian mulai gerah. Ia sudah malas jika harus membahas soal kebahagiaan.

“Kita baru pertama kali bertemu setelah sekian lama dan yang pertama kau bicarakan adalah soal pekerjaan dan gajiku.” Lian mendengus. Ia mengangkat bibirnya sambil tersenyum kesal.

“Hidupmu pasti menyenangkan sekali. Kau cantik, punya bisnis yang sukses, suamimu karirnya cemerlang, privillage-mu juga sempurna. Aku benar-benar bangga padamu.” Lian tersenyum sedikit menyindir. Tapi setelah itu ekspresinya berubah.

“Apa aku terlihat sama sekali tidak memikirkan orang tuaku? Benar. Aku sama sekali tidak memikirkannya. Kau kan tahu semuanya. Tentang keluargaku ....”

“Lian!”

“Jilan, aku tidak sama denganmu. Bagiku pendidikan adalah satu-satunya yang bisa kubanggakan dari diriku. Jadi kau tidak perlu ikut campur. Apalagi tentang kapan aku akan memikirkan pernikahan. Cukup lanjutkan urusanmu dan katakan saja bahwa kau berdoa untukku. Kau kan memang pintar bermulut manis seperti itu sejak dulu. Jadi aku tidak akan peduli mau kau mengatakannya dengan tulus atau tidak.”

“Hei Lian! Apa ucapanmu tidak keterlaluan? Aku hanya menasihatimu sebagai teman. Apa kau harus menjawab seperti itu?” Pangkal kedua alis wanita itu berkerut dan telinganya mulai memerah.

“Menasihati? Sepertinya dari tadi kau hanya membandingkan dirimu yang sudah sukses dan aku yang sampai sekarang kerjaannya cuma belajar dan tidak menghasilkan uang. Teman?” Lian menaikkan ujung bibirnya. “Jangan membuatku tertawa. Kau selalu meremehkan orang-orang yang kau anggap temanmu,” sindir Lian.

Lian menghabiskan es kopinya dan setelah itu langsung beranjak dari kursinya. Gadis itu merasa tidak ada gunanya untuk tetap duduk di hadapan Jilan. Lebih baik ia stres karena deadline daripada karena penggila standar kesuksesan ini.

“Apa kau pikir dengan sikapmu yang seperti itu akan ada pria yang tertarik padamu?” Perkataan itu kini membuat Lian terpaku di tempatnya. Jilan melipat tangan dan menyandarkan punggungnya di bangku dengan santai. Kuku-kukunya yang panjang dan memakai nail art berwarna perak terlihat mengkilat tertimpa cahaya lampu di atasnya.

“Kau selalu saja berharap akan ada pria baik hati yang mencintaimu dan bisa menerima keadaanmu. Tapi apa kau tahu? Pria yang selama ini kau impikan, juga akan menginginkan wanita yang berasal dari keluarga baik-baik. Dengan keadaan keluargamu yang seperti itu, apa kau pikir mereka bisa menerimamu dengan mudah? Belum lagi, soal kejadian empat tahun lalu.”

Lian mengepalkan telapak tangannya yang mulai bergetar tak terkendali lalu menghembuskan napasnya panjang-panjang. Bisa saja dia langsung menyumpal mulut wanita itu dengan kepalan tangannya. Tapi ia tidak suka mencari keributan di tempat ramai seperti ini dan menjadi pusat perhatian. Gadis itu mengatur napasnya sejenak, lalu berbalik kembali menghadap Jilan.

“Jilan, apa kau tahu kenapa semua teman-teman memilih untuk menghindar darimu dan tidak ingin datang menemuimu meskipun kau memaksa mereka?”

Jilan tidak menjawab. Raut wajahnya menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin bertanya kenapa pada Lian saat itu, tapi mulutnya tidak bisa bergerak karena baru saja habis mencibir gadis itu.

“Karena kau terlalu banyak bicara. Percayalah. Aku senang sekarang kau hidup bahagia. Tapi aku sedikit kasihan dengan keluargamu karena harus menghadapimu setiap hari. Terutama anak-anakmu yang aku yakin saat mereka dewasa nanti bisa gila karena harus memenuhi standar tinggi ibu mereka,” lanjut Lian dan langsung pergi dari tempat itu.

Wajah Jilan memerah. Ia menggebrak meja dan berdiri. Suaranya yang kencang membuat beberapa orang melirik ke arahnya, namun sepertinya wanita itu tidak peduli.

“HEI LIAN! PUNYA HAK APA KAU BICARA SEPERTI ITU TENTANG KELUARGAKU? HEEEEI!!!”

Teriakan itu menggema di Regal Mio membuat hampir semua mata kini tertuju padanya. Tentu saja kecuali Lian yang kini memutar bola matanya, tidak peduli dengan teriakan wanita itu dan memilih untuk mengabaikannya.

Gadis itu mengumpat dalam hati. Tangannya yang menyentuh gagang pintu kaca di kafe itu masih bergetar hebat. Jantungnya mulai berdegup tidak keruan sampai ia tidak bisa membedakannya apakah ini efek dari kafein yang baru saja ia teguk atau hal lain. Kakinya terasa ringan dan ia memilih untuk melangkah lebih lebar daripada biasanya. Korneanya mulai berawan. Bulir-bulir air mata mengalir begitu saja di pipinya.

Sial. Sepertinya ia harus meminum obatnya satu dosis lagi hari ini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status