Aeliana Araminta, tidak seperti nama lengkapnya yang berarti bunga matahari, Lian lebih mirip bunga es rapuh dengan banyak luka di hatinya. Dunia tempat tinggalnya yang dingin membuat Lian menyerah untuk mencintai seseorang dan meraih kebahagiaan. Kemudian Awan tersenyum padanya. Di satu sisi Lian ingin tulus dicintai pria ini. Namun seandainya Awan mengetahui tentang rahasianya, apakah pria itu tetap akan mengulurkan tangannya pada Lian? Atau justru akan mengalihkan pandangannya dan berlari menjauh? Awan Kalani, seorang protagonis yang tiba-tiba saja hadir dalam dunia Lian dan menghangatkan wanita itu dengan sifatnya yang secerah langit di siang hari. Awalnya Awan hanya menganggap Lian sebagai asisten profesor sekaligus mahasiswi S2 di tempat dia bekerja. Kemudian Lian memuji matanya yang mirip galaksi. Tanpa sadar Awan mulai jatuh hati padanya. Ia bersedia membuka hati seluas-luasnya untuk wanita itu. Kecuali satu ruang rahasia yang jika Lian tahu, Awan takut Lian akan menunjukkan punggungnya dan berlari menjauh.
Узнайте больше“Ya ... ya ... Regal Mio cafe. Aku tahu. Aku memang buta arah, tapi aku sudah tinggal di Jogja seumur hidupku. Mencarinya tidak sesulit itu. Ya ... jam satu siang.” Lian kini sedang bicara di telepon sambil memijat-mijat dahinya. Wanita itu berhenti sejenak di bawah pohon yang ada di pinggir trotoar sambil tetap menempelkan ponselnya di telinga. Ia mengernyitkan mata saat melihat ke langit lalu langsung menurunkan pandangannya setelah tahu matahari kini tepat berada di atas kepalanya. Penglihatannya sedikit kabur hingga sel darah putih membayang dengan jelas di mata wanita itu saking silaunya.
Bulan ini Jogja sedang berada di awal musim hujan. Berita tadi pagi menyebutkan bahwa seminggu lagi akan memasuki puncaknya. Siang hari begini panasnya bisa membuat kepala pusing, dan sore hari hujan biasanya turun dengan awet hingga besok pagi. Seseorang di telepon kini masih saja bicara sampai membuat telinga Lian terasa lebih panas dari teriknya mentari di siang itu.
“Jilan. Sudah dulu ya. Aku masih ada pekerjaan ....” Wanita itu ingin melanjutkan ucapannya tapi seseorang di seberang telepon memotongnya. “Ya. Tenang saja. Aku akan menemuimu. Aku benar-benar harus pergi sekarang. Daah ....” Tanpa menunggu jawaban dari seseorang itu Lian langsung menjauhkan ponsel dari telinganya dan mematikan panggilan.
“Sibuk! Aku sangat sibuk, tahu!” gerutunya pada ponsel yang tidak bersalah. Wanita itu mendesah. Ia mengelus layar ponsel yang buram terkena bedak dari pipinya. Wanita itu lalu cepat-cepat masuk ke dalam kafe. Bisa gawat kalau pusingnya semakin parah jika ia tidak segera mendinginkan diri di dalam.
Elliana, Kafe tempat Lian berada kini bergaya american house dengan nuansa biru dan putih yang elegan. Kafe itu memiliki satu jendela besar yang mengarah ke jalan raya dan Lian memilih untuk duduk di dekat sana. Wanita itu memesan satu cup reguler avocado green tea dan sepiring puff cream lalu duduk di tempatnya dengan tergesa-gesa. Begitu menjatuhkan diri di kursi jati berwarna senada dengan kosen jendela kafe, dia langsung mengeluarkan laptop dari tas dan membukanya dengan tidak sabar. Sambil menunggu dekstopnya menyala, wanita itu memijat-mijat pelipisnya.
Hari ini benar-benar melelahkan baginya. Tadi pagi—tepatnya setelah subuh, dia ditelepon profesor Hadi untuk menggantikan asisten praktikum lapang yang sedang sakit. Para mahasiswa sempat membuat masalah dengan laboran dan akhirnya praktikum lapang mereka molor hingga dua jam. Sialnya, karena kesalahan mereka, Lian akhirnya juga ikut kena getahnya—dimarahi oleh laboran.
Setelah kuliah terakhir selesai, ia pergi ke ruangan profesornya hanya untuk mendengar bahwa beliau akan mengikuti tender besar milik sebuah perusahaan di luar negeri dan meminta Lian menyiapkan bahan-bahannya dalam waktu seminggu. Ya ampun! Laporan hibah tahun ini saja belum selesai! Sudah mau mengerjakan proposal untuk kegiatan lain lagi? Padahal minggu depan Lian sudah mulai ujian semester. Kapan dia punya waktu untuk belajar? Lian mengomel dalam hati.
Tidak sampai situ, Lian tadi juga dipanggil ke rektorat hanya untuk mendengar staf keuangan di sana mengomel karena ada kesalahan angka di laporan yang sudah ia buat. Kalau dipikir-pikir, ia sudah berjalan hampir mengelilingi kampusnya karena harus berpindah tempat dari lapangan-dekanat-rektorat di hari yang begitu terik. Belum lagi omelan-omelan yang dia dapatkan sejak pagi tadi. Pantas saja kepalanya sekarang terasa nyut-nyutan.
[Revisi. Saya tunggu besok.]
“Astaga. Ini sudah yang keberapa kalinya? Kalau salah harusnya bilang dong di mana letak kesalahannya!” Wanita itu sekali lagi memijat pelipis kanannya sambil mendumel saat sebuah pesan dari staf rektorat masuk ke ponselnya. Lian mendengkus. Setelah membalas pesan itu, dia langsung memasang mode sibuk di ponselnya dan menaruh benda menyedihkan itu dengan kasar di sebelah laptop.
Belum ada sepuluh kata yang ia tulis, seseorang mengetuk meja tempat Lian duduk tiga kali hingga Lian mendongak untuk melihat siapa yang sudah berani mengganggunya saat ia tengah memutar otak mencari inspirasi. Seseorang—ternyata lelaki—langsung duduk di kursi berhadapan dengannya. Mata Lian mengikuti gerakan pria yang memiliki potongan rambut buzz-cut itu. Ia tidak tahu harus berkata apa karena pikirannya kini harus mencerna dua hal sekaligus. Tulisan di laptop atau pria botak di depannya.
Pria itu bisa dibilang cukup tampan—lupakan tentang rambut botaknya. Meski bukan tipe-tipe yang disukai oleh Lian. Lian tidak bisa mendeskripsikannya secara detail. Kepalanya mulai terasa berat hingga ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia hanya bisa memperhatikan gaya berpakaiannya yang tidak rapi.
Pria itu mengenakan kaus abu-abu yang dilapisi dengan kemeja putih kusut dan sedikit kebesaran serta celana beige berpipa lebar. Lengan kemejanya yang panjang terlipat sembarangan hingga bawah siku. Jamnya yang terlihat mewah—atau hanya terlihat bagus di mata Lian, sangat kontras dengan pakaiannya yang berantakan, tapi tetap cocok dengan style yang dikenakan oleh pria itu. Ada sedikit noda—mungkin debu—di beberapa area pakaiannya. Penampilannya yang berantakan itu tidak terlalu kentara dari jauh. Namun karena meja kafe tempat Lian duduk hanya sepanjang lengannya saja, bagian yang kusut dan bernoda itu terlihat jelas di matanya.
“Kita langsung saja ke intinya,” kata pria itu tanpa memperkenalkan diri dan justru menyilangkan kaki sambil menggenggam tangannya sendiri. Lian mengerutkan keningnya.
“Aku tidak akan membuang waktu duduk di sini dan menikmati puff cream bersamamu,” lanjutnya. “Seperti yang kau tahu, sekarang aku sudah jadi pengangguran. Ini ... kau lihat kepalaku, kan? Aku terlalu stres sampai harus memotong rambutku karena memikirkan pertemuan hari ini.” Kini pria itu menyandarkan punggungnya di kursi.
“Aku akan membiarkanmu mengatakan pada ibu kita kalau kau tidak menyukaiku. Terserah apa pun alasannya. Aku bukan tipemu, aku terlalu baik, atau karena aku terlalu tampan meski dengan kepala seperti ini—terserah.”
Lian melirik orang-orang yang ada di kafe itu. Mungkin saja ada seseorang yang mau mengaku bahwa mereka mengenal pria narsis di hadapannya ini. Tapi semua orang sepertinya tidak ada yang peduli. Perhatian Lian kembali pada pria itu. Belum sempat Lian mengucapkan sesuatu, pria itu kini mengangkat lengannya. Ia menghadapkan jari telunjuknya ke atas dan menatap Lian dengan sorot tajam.
“Kecuali satu hal. Jangan menjelek-jelekkanku di depan Ibu. Aku sama sekali tidak berminat dengan perjodohan, tapi karena kau kelihatannya anak yang polos, jadi aku juga akan bicara yang baik-baik tentangmu pada ibuku. Bagaimana?”
Perjodohan? Siapa yang dijodohkan dengan siapa? Lalu kenapa orang ini menceritakan permasalahan hidupnya sepercaya diri itu? Lian mengernyit. Dia baru duduk di kafe ini kurang dari sepuluh menit dan sedang stres setelah apa yang dilaluinya hari ini. Tiba-tiba pria ini datang dan mengoceh tentang perjodohan. Sepertinya dia salah mengira bahwa Lian adalah orang yang dijodohkan dengannya.
“Anda memang bukan tipeku,” balas Lian setelah punya kesempatan untuk membuka mulutnya. Pria itu melihat Lian dengan ekspresi sedikit terkejut. Itu jawaban yang sama sekali tidak terduga. Tapi kemudian dia menaikkan ujung bibirnya lagi. Itu senyum yang sama seperti yang tadi dia tampakkan saat mengetuk meja wanita itu. “Aku tidak suka pria botak yang tidak bekerja dan juga tidak tertarik dijodohkan,” lanjut Lian.
“Benar, bagus. Kau juga berpikir seperti itu, ‘kan?” Pria itu kini membuka genggaman tangannya dan duduk santai sambil menempelkan bahunya di punggung kursi. “Ngomong-ngomong ini buzz-cut. Bukan botak,” sanggah pria itu kemudian sambil menunjuk kepalanya.
“Orang tua sekarang memang keterlaluan. Kenapa mereka suka sekali menjodohkan anaknya dengan seseorang yang bukan tipenya.” Dia menggeleng-geleng.
“Apa kau tahu sudah berapa banyak pasangan bercerai di negara kita hanya karena tidak cocok akibat dijodohkan orang tua? Atau, kau sering lihat, berapa banyak mantan pacar mengacau di pernikahan karena tidak bisa menerima kekasihnya menikahi orang lain akibat dijodohkan oleh orang tuanya? Ck, ck, ck, seharusnya, orang ....”
“Maaf ....” Lian menyela. Pria itu berhenti mengoceh dan memandang Lian. “Aku sedikit sibuk. Entah siapa yang sedang dijodohkan dengan Anda, tapi tidak perlu mencurahkannya padaku, ‘kan?”
***
Awan kembali mendekat ke arah jendela pantry. Ia ingin memastikan bahwa Lian memang benar-benar menyebut namanya. “Ah, iya … nanti akan saya sampaikan pada Pak Awan. Baik ….”Betul. Awan tidak salah. Wanita itu memang berbicara dengan seseorang yang mungkin saja dia kenal. Tapi siapa?Awan menaruh gelas kopinya di meja lalu menghampiri Lian yang kini masih berbicara di telepon. Wajah Lian mengatakan bahwa ia ingin menyelesaikan pembicaraan itu. Tapi sepertinya seseorang di seberang telepon masih saja terus bicara padanya. Lian melihat Awan yang kini berjalan ke arahnya. Dia sudah cukup sulit memikirkan bagaimana cara menghentikan panggilan telepon itu. Dan kini ada satu orang lagi yang sudah pasti akan memintanya untuk segera kembali ke ruangan.“Siapa?” tanya Awan setengah berbisik. Dia tahu tidak sopan untuk bertanya siapa yang menelepon wanita itu karena privasi. Tapi karena Lian menyebut namanya, dia setengah mati ingin tahu. Pria itu benci dengan rasa penasaran.“Itu ….” Lian s
Awan mengucek matanya yang mulai lelah. Sudah tiga jam setengah dia berkutat di depan laptop. Sambil menatap layar tanpa berkedip, jari-jarinya menari lincah di atas keyboard. Pekerjaannya jauh lebih banyak dari yang dia kira. Sedangkan yang membantunya lembur hari ini cuma Lian–yang kini sedang tidak berada di mejanya, lalu dua mahasiswa laki-laki yang ditunjuk Profesor Hadi untuk membantu mereka di lapangan.“Pak Awan mau makan apa?” tanya salah satu mahasiswa berbadan bongsor yang duduk di arah kiri dekat pintu. Dia bilang namanya Iruz. Mahasiswa S1 tahun kelima. Profesor Hadi bilang proyek itu kesempatan terakhirnya untuk dibiayai oleh beliau. Jika tidak maka pemuda itu harus menanggung sendiri penelitiannya, atau pergi ke perusahaan sebagai mahasiswa magang.Kesempatan magang di perusahaan sebenarnya adalah ide yang bagus. Hanya saj
“Wajahmu kusut sekali? Apa ada masalah saat menyiapkan kebutuhan untuk akuisisi minggu depan?” tanya seorang wanita berhijab pada Awan yang kini sedang duduk di kursi kantin sambil melahap sarapannya. Dia Rinda, dosen wanita pertama yang satu angkatan lebih tua dari Awan di kampus itu–aslinya mereka seumuran. Kini ia duduk di depan Awan dan juga sedang menghabiskan beberapa suapan terakhir dari piringnya. Seharusnya pagi ini mereka tidak sendirian. Tapi beberapa orang telah menyelesaikan sarapan mereka dan langsung menuju kantor untuk bekerja. Awan belum ada jadwal mengajar jadi dia memutuskan untuk sarapan dulu di kantin khusus pegawai. Sementara Rinda, dia memang penunggu kantin. Hampir tiap pagi dia ke sana karena terlalu malas untuk masak di apartemennya.“Pagi tadi aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mematikan alarm dan itu membuatku kesal,” keluh Awan sedikit menggerutu.“Alarm? Memangnya sesulit apa mematikan alarm sampai membuatmu sekesal itu?” “Aku juga baru tahu kala
Lian terbangun ketika seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia mendongak sambil mengedipkan matanya yang buram karena belum sadar sepenuhnya. Seorang pria tanpa bicara apa pun kini duduk di kursi depannya dan tersenyum.“Pak Awan? Anda belum pulang?” tanya Lian dengan suara serak.“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu belum pulang padahal sudah lewat jam enam.”Lian melirik ke arah jendela. Di luar sudah benar-benar gelap.“Ah, saya ketiduran,” Katanya pelan.“Aku melihatmu di rumah sakit tadi siang. Kenapa kamu tidak langsung pulang setelah itu?” tanya Awan lalu mendorong tubuhnya sendiri ke kursi.“Anda melihat saya di rumah sakit?” Lian terlihat gugup. “Di mananya?”“Di lobi. Apa kamu sakit?”“Tidak. Hanya mengunjungi seseorang,” kata Lian singkat. Ia tidak menatap wajah pria itu dan mengalihkan perhatiannya pada barang-barangnya yang berserakan di meja. Sejak kapan mejanya jadi berantakan begini?“Biar kuantar pulang,” kata Awan ke
Awan turun dari mobil sambil menggenggam gawainya ke dekat telinga. Dia terlihat sibuk berbicara dengan seseorang sambil menunjukkan ekspresi malas.“Jika orang lain mendengar ini, aku akan dikira anak mami.” Pria itu menutup mulutnya dengan tangan yang masih memegang kunci mobil di tangan kirinya.“Kamu memang anakku. Apa yang salah dari itu?” Suara di seberang telepon membuat Awan kini memijat-mijat dahinya yang tidak pusing.“Ini pilihanku. Jadi Ibu tidak perlu khawatir … Oh, tidak perlu ditanya lagi. Aku sa~ngat bahagia. Semua bebanku rasanya terangkat dan aku bisa memulai hidup baru di sini.” Pria itu sedikit mendramatisir agar ibunya berhenti mengoceh soal betapa sayangnya anak laki-laki pertama kebanggaannya itu keluar dari perusahaan yang bagus dan bergengsi di kalangan sosialitanya.“Aku tidak masalah dengan pekerjaanmu sekarang. Menghindari resiko buruk itu memang bagus. Tapi kenapa kamu tidak bilang kalau sudah punya kekasih? Padahal Ib
“Bukankah ini sudah semester akhirmu, Liana? Saya lihat akhir-akhir ini kamu sedikit bermalas-malasan dengan tesismu. Apa kamu bahkan sudah menulis bab tiga?” Profesor Hadi bicara sambil mengabaikan Lian dan sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya yang besar. ‘Ini karena Anda selalu memberikan saya pekerjaan di luar kontrak yang seharusnya dengan deadline yang tidak masuk akal’ gerutu Lian dalam hati. “Kamu harus selesai semester ini. Apa kamu mau terus seperti ini?” “Tidak, Prof.” “Maksudmu kamu tidak mau lagi terus bekerja dengan saya?” “Ah ... maksud saya ....” “Sudahlah.” Profesor Hadi kini mulai duduk santai sambil meraih sesuatu di bawah laci mejanya. Ia menyerahkan sebuah amplop coklat besar kepada Lian. “Saya menerima surat dari perusahaan konsultan Patria Energy. Proposal tender yang kita buat dua bulan yang lalu diterima dan mereka minta untuk segera melaksanakan kegiatannya. Jadwalnya enam bulan. Kamu bisa mengerjakannya dan menjadikann
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Комментарии