Share

4. PENOLAKAN

-Enam setengah jam sebelumnya-

“Apa Ibu tidak keterlaluan? Aku bahkan belum masuk ke rumah.” Awan turun dari taksi lalu memberikan ongkos kepada sang supir yang baru saja mengambil ranselnya dari bagasi. Supir taksi itu berterima kasih dengan suara pelan dan hanya dibalas dengan seutas senyuman dan anggukan kecil oleh Awan. Pria itu memakai ranselnya yang kelihatan cukup berat ke dalam gedung apartemen sambil tetap menempelkan ponselnya di telinga.

“Kau sendiri? Apa tidak keterlaluan? Kau tidak bilang pada Ibu kalau sudah mengundurkan diri dari tempat kerjamu. Katakan! Di mana kau sekarang? Reka bilang kau sudah sampai di Jogja sejak satu minggu yang lalu. Tapi kenapa tidak langsung mengunjungi kami?” omel ibunya di seberang telepon. Awan sibuk bicara dengan seorang petugas di lobi. Setelah urusannya selesai, Awan langsung mengalihkan diri ke arah lift sambil membenarkan ponsel di telinganya.

“Aku cuma ingin suasana baru. Sudah berapa kali aku bilang pada Ibu, ‘kan. Dan seminggu ini aku membantu seniorku di lapangan. Jadi tidak bisa langsung pulang.”

Orang-orang yang mengantri lift cukup banyak. Apartemen Awan ada di lantai empat. Daripada menunggu di sini sambil bicara dengan ibunya dan dianggap anak mama oleh orang-orang, pria itu akhirnya memutuskan untuk naik tangga saja.

“Setidaknya temui saja dia dulu. Anaknya baik. Papanya juga kenal ayahmu. Aku sudah terlanjur bilang dengan mamanya kalau aku setuju dengan pertemuan kalian.”

Awan menghela napas. “Ibu tahu kan aku tidak suka dijodohkan.” Pria itu berhenti sejenak begitu dia mencapai tangga di lantai dua. Setelah itu ia melanjutkan langkahnya. “Aku sudah bilang dulu kalau ada seseorang yang kusukai.”

“Karena itu lah aku bilang padamu untuk segera membawa orang itu ke rumah!” sahut ibunya.

“Apa Ibu tidak bisa bersabar sedikit lagi? Waktunya belum tepat.”

“Setahun lalu kau juga bilang begitu. Pokoknya untuk sekarang temui saja dia dulu. Aku akan memberikan nomormu padanya. Aku sudah bilang kalau kau sekarang ada di Jogja. Ajak dia makan siang dan tinggalkan kesan baik padanya. Kalau aku mendengar mamanya mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan tentangmu, aku akan menjambak rambutmu begitu kau pulang.”

“Ibu ... itu ....”

Bunyi panggilan telepon yang sudah tertutup terdengar nyaring di telinga Awan. Pria itu memandang ponselnya. Layar benda persegi panjang itu kini sudah kembali ke bagian home. Beberapa saat kemudian ibunya mengirim pesan padanya.

[Kafe Elliana, jam sebelas siang].

Awan melirik arlojinya. Astaga. Waktunya hanya 20 menit dari sekarang.

***

“Anda memang bukan tipeku. Aku tidak suka pria botak yang tidak bekerja dan juga tidak tertarik dijodohkan.” Balasan wanita yang kini duduk di depannya membuat Awan sedikit terkejut. Dia sudah bisa memprediksinya sejak wanita itu hanya membalas teleponnya dengan singkat tadi.

Tadi Awan menghubungi wanita itu setelah dia tiba dan bilang kalau dia sedikit terlambat karena baru saja pulang mengambil data lapangan di daerah Dieng. Awan harus membereskan pakaiannya di hotel dan kembali ke apartemennya di daerah Depok, baru ia bisa ke kafe yang dijanjikan. Karena wanita itu bergelut di bidang yang sama dengannya, dia cukup paham.

Meskipun wanita itu bilang tidak masalah, tapi Awan melihatnya di seberang jalan setelah mereka selesai menelepon dan ekspresi wanita itu terlihat sebal saat Awan bilang dia akan sedikit terlambat. Padahal wanita itu juga sampai hampir berbarengan dengannya, tapi apa dia harus memasang ekspresi seperti itu?

Awan mencoba bersabar. Dia menyunggingkan senyuman pada wanita itu. Orang-orang bilang, senyumnya bisa mencairkan hati yang beku.

“Benar, bagus. Kau juga berpikir seperti itu, ‘kan?” Pria itu kini membuka genggaman tangannya dan duduk santai sambil menempelkan bahunya di punggung kursi. “Ngomong-ngomong ini buzz-cut. Bukan botak,” sanggah pria itu kemudian sambil menunjuk kepalanya.

Awan kini mulai mengoceh tentang betapa keterlaluannya orang tua jaman sekarang yang tidak bisa berpikiran terbuka tentang kisah percintaan anaknya. Dia memberi opini yang dulu sudah sering diceritakan oleh teman-teman kantornya saat sedang menggosipkan putusnya hubungan atau perceraian orang lain di sekitar mereka. Dia tidak sadar jadi lebih cerewet dari biasanya tanpa menghiraukan tatapan aneh dari wanita yang ada di hadapannya ini.

“Maaf ....” wanita itu menyela. Awan berhenti mengoceh dan menoleh. “Aku sedikit sibuk. Entah siapa yang sedang dijodohkan dengan anda, tapi anda tidak perlu mencurahkannya padaku, ‘kan?”

Awan mematung sejenak. “Bukan kau orangnya?” tanya pria itu begitu saraf otaknya kembali berfungsi. Wanita di depannya menaikkan pundaknya.

 “Tapi itu benar kok, rambut ikal sebahu, blus baby blue, dan rok ....” Pria itu melirik ke bawah meja dan melihat wanita itu mengenakan celana jeans.

Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, gawainya tiba-tiba berdering. Awan menatap benda persegi panjang itu sekilas dan memandang wanita di depannya setengah tidak percaya. Pria itu mengangkat telepon sambil menelan saliva.

“Maaf. Karena kau bilang akan terlambat, aku tanpa sadar juga berjalan dengan santai. Apa kau sudah sampai di sana? Aku sudah di seberang jalan.” Suara seorang wanita dan suara riuh kendaraan di sekitarnya membuat Awan seketika memandang ke arah jalan raya.

“Ya, aku sudah di sini. Tidak. Kau tidak perlu ke sini. Tempatnya tidak bagus. Kita ke kafe lain saja. Aku akan keluar sekarang,” ucap pria itu gopoh. Ia melirik wanita di depannya sekilas lalu memasukkan gawainya di saku celana.

“Maaf. Sepertinya aku salah orang.”

Wanita itu tersenyum datar.

“Tolong lupakan ini. Oh, lagipula kita tidak akan berjumpa lagi. Saya permisi dulu.” Awan berdiri sambil menggeser kursi dengan gagap lalu menundukkan kepalanya sedikit pada wanita itu dan bergegas pergi.

***

“Aku sudah punya pacar yang ingin kunikahi.”

Awan memijat-mijat punggung tangannya yang tidak pegal. Dia sejak tadi diam saja dan membiarkan wanita manis berambut ikal sebahu di hadapannya bicara sesuka hati. Jiwanya sejak tadi masih tertinggal di Elliana. Awan teringat peristiwa memalukan yang baru saja terjadi antara dia dan wanita lain sebelum ini.

“Aku setuju terlibat dalam rencana orang tuaku karena belum bilang soal pacarku. Setelah ini aku rasa harus mengatakannya dengan jujur pada mereka. Jadi mari kita akhiri di sini saja.” Wanita itu memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu bermaksud untuk berdiri.

“Kau tidak perlu khawatir. Ibu kita hanya iseng membuat pertemuan ini karena ayah kita berteman. Aku jamin tidak akan ada yang terjadi di antara mereka meskipun kita menolak dijodohkan,” tambahnya. Dia memandang Awan yang kini hanya duduk melamun di kursinya tanpa berkata apapun. Wanita ini tidak yakin pria itu mendengar apa yang baru saja ia bicarakan.

“Kau mendengarku, ‘kan?” Wanita itu menempelkan telapak tangannya dan mencondongkan kepalanya ke dekat Awan yang darahnya kini kembali mengalir lancar di otaknya.

“Oh, ya. Tentu saja.” Awan mengangguk-angguk. “Aku juga belum punya pekerjaan,” jawab pria itu melantur. Sepertinya ada darah yang tersumbat di otaknya. Wanita di depannya kembali menegakkan tubuhnya dan menghela napas. Setelah itu ia menurunkan sedikit kepalanya untuk berpamitan. Namun sebelum ia membalikkan badan, ia kembali menatap Awan.

“Ah ya, bukankah kau alumni College of Geoscience di Tsukuba?”

Awan mendongak. “Ya. Kenapa?”

“Aku sudah mendengar rumornya,” kata wanita itu. Awan mematung di kursi. Ia hanya mengarahkan iris matanya ke wanita itu dan raut wajahnya mulai berubah.

“Rumor apa?” tanya Awan dengan suara datar.

“Kau tahu kan, dunia geosains itu memang luas, tapi orang yang ada di dalamnya cuma yang itu-itu saja. Jadi satu-dua kenalanku juga mengenal Awan Kalani yang bukannya masuk ke Universitas Kyoto, justru memilih ke Tsukuba meski world rate campusnya lebih kecil ....”

“Jangan banyak bicara. Aku cuma tanya rumor apa yang kau dengar tentangku?” Suara Awan kini mulai terdengar berat. Wanita itu sedikit jengkel. Dia bahkan belum menyelesaikan kata-katanya, tapi pria itu sudah memotongnya dengan nada yang menyebalkan. Wanita itu kini melipat tangannya dan tersenyum seringai menatap Awan.

“Banyak. Misalnya ... alasan kenapa Awan Kalani yang merupakan interpreter jenius di SK Energy memilih untuk mengundurkan diri.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status