Share

5. PENOLAKAN (LAGI)

[Sedang apa?]

Awan mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan wajah cerah. Dia bergegas memasuki lift saat pintu otomatis itu mulai terbuka. Tidak ada pesan jawaban. Mungkin karena dia sudah berada di dalam, jadi sinyalnya putus-putus. Awan mengatupkan bibirnya. Ada satu pria lagi yang masuk lift bersamanya. Jadi dia berusaha untuk tidak tersenyum sendirian seperti orang gila.

Sepanjang waktu pria itu hanya menatap layar gawainya. Dia sempat teringat dua wanita yang baru saja ia temui siang tadi. Awan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menyingkirkan ingatan memalukan itu. Setidaknya kali ini dia tidak akan mendapat penolakan, ‘kan?

Bunyi pintu lift yang akan terbuka berdenting. Awan dan juga pria yang tadi masuk bersamanya keluar dari sana tanpa memedulikan kehadiran masing-masing. Awan menghentikan langkahnya. Daripada berjalan menuju lokasi yang ingin ditujunya, pria itu memilih duduk di tangga darurat dan bermaksud untuk menunggu jawaban beberapa menit.

[Tidak ada. Aku baru saja tiba di rumah.]

Akhirnya sebuah jawaban muncul. Awan kembali tersenyum. Dengan cepat ia menjawab pesan itu.

[Aku sudah kembali. Oleh-oleh untukmu akan segera tiba.]

Kali ini lama tidak ada jawaban. Awan mulai bosan menunggu di sana. Ia berdiri dari sana dan mulai berjalan menuju ke sebuah pintu yang ada di bagian paling pojok apartemen itu. Pria itu berniat untuk mengejutkan seseorang yang ada di dalamnya.

Awan mengambil ponselnya kembali dan menelepon seseorang. Kali ini dia tidak ingin menunggu lagi. Pria itu menempelkan ponsel cukup lama di telinganya. Setelah berlalu satu menit, akhirnya seseorang mengangkat panggilan teleponnya.

“Kubilang oleh-olehnya akan segera tiba,” kata Awan bersemangat. Seseorang di seberang telepon tampaknya bingung apa yang baru saja dimaksud oleh pria itu.

“Apa maksudmu dengan oleh-oleh?” Itu adalah suara seorang wanita.

“Coba saja buka pintu apartemenmu.”

“Jangan bercanda. Tidak ada kurir yang menekan bel pintu rumahku. Kenapa tidak kauberikan langsung kapan- ....”

Pintu itu terbuka seiring dengan keluarnya seorang wanita berambut panjang yang mengenakan kemeja krem polos dan celana longgar selutut.

“Awan?”

“Kejutan!”

“Apa yang kau lakukan di sini?” Wanita itu menampakkan wajah yang tidak terlihat senang, tapi juga tidak merasa kesal. Hanya wajah sedikit terkejut karena kehadiran seseorang yang sudah tidak dilihatnya dalam waktu yang lama.

“Aku baru saja kembali dan cuma itu yang bisa kaukatakan?” tanya Awan sambil memasang ekspresi pura-pura tidak senang. Wanita itu memijat dahinya.

“Bukan. Bukan seperti itu. Tapi sekarang ....”

“Siapa?” Seseorang tiba-tiba saja menginterupsi mereka. Awan dan juga wanita itu seketika menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan. Seorang pria menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang setengah ditutup oleh wanita itu. Awan memandang pria itu sekilas dengan tatapan bingung. Dia adalah pria yang masuk di lift bersamanya beberapa saat lalu. Setelah itu ia melihat ke arah wanita di depannya yang saat ini sama sekali tidak terlihat gugup, tapi malah menghela napas.

“Siapa Nad?” tanya pria itu sekali lagi.

“Teman,” ungkap wanita itu dan langsung membuat dunia Awan seketika runtuh.

***

“Kau seharusnya bilang dulu kalau mau datang.” Nadia melipat tangannya sambil mendengkus. Dia dan Awan kini sedang duduk di kafe yang berada tepat di seberang apartemen Nadia. Ini adalah kafe ketiga dan juga wanita ketiga yang Awan temui hari ini. Tidak ada yang berbeda dari mereka. Semuanya sama-sama membuat Awan tidak sanggup membuka mulutnya untuk sekadar menumpahkan rasa kesalnya.

“Kau bilang akan menungguku,” ucap Awan. Lagi-lagi wanita itu menghela napas.

“Tujuh tahun. Apa kau tahu itu ucapanku tujuh tahun yang lalu? Kau bilang mau kembali setelah menyelesaikan kuliahmu di Jepang. Lalu ternyata kau bekerja di Jakarta. Dan selama itu kau tidak pernah ada niat untuk melamarku,” jelas wanita itu. Ia meminum es kopinya dengan cepat lalu menaruh gelasnya di meja dengan kasar.

“Mungkin waktu selama itu terasa mudah bagimu karena kau laki-laki. Tapi tidak untukku, Awan. Dunia ini sangat keras untuk seorang wanita yang di umur 30 sepertiku belum juga menikah.”

Awan tidak membantah. Dia memijat sela-sela jarinya yang tidak pegal dan hanya memandang es kopi di depannya dengan tatapan kosong. Nadia yang melihat reaksi Awan setelah ia bicara panjang lebar memutar bola matanya dan mendesah. Kini wanita itu menyandarkan punggungnya di kursi dan kembali melipat tangannya. Matanya menatap ke arah lampu gantung di atas tempat mereka duduk. Selama beberapa menit tidak ada satu pun dari mereka yang membuka bibir. Alunan musik serta orang-orang yang mengobrol di kafe itu sedikit pun tidak berniat untuk memahami keheningan keduanya.

Awan saat ini memandang ke luar jendela. Langit mulai gelap meskipun belum jam lima sore. Ia menegakkan punggungnya dan mulai mengarahkan matanya pada wanita itu.

“Apa karena kau juga mendengar rumor tentangku? Aku tahu kau bukanlah wanita yang terlalu memperhatikan pendapat orang,” selidik Awan.

“Memangnya rumor itu penting? Semua orang melakukannya.”

Awan menaikkan ujung bibirnya tanpa mengubah ekspresi wajahnya. Dia mengangguk-angguk paham terhadap apa yang dikatakan oleh wanita itu.

“Ternyata kau juga percaya rumor itu, ya ....” Pria itu menggumam pelan.  “Jadi kau memutuskan untuk menyerah denganku?” lanjutnya. Nadia mengangguk. Dia sama sekali tidak memiliki keraguan terhadap hal itu. Awan merasakan lehernya tercekat. Tapi dia berusaha untuk menahan diri. Dari tiga wanita yang ia temui hari ini, wanita inilah yang membuatnya hampir saja mengeluarkan air mata.

“Baiklah. Jika itu maumu,” lanjut Awan kemudian. Pria itu tersenyum. Dia bersyukur memiliki keahlian yang bahkan seorang ahli pembaca wajah di dunia ini mungkin saja tidak akan bisa menerka arti di balik setiap senyuman yang ia keluarkan.

Nadia melengos. Ia menyambar dompet dan ponselnya di meja lalu meninggikan badannya.

“Aku pulang dulu. Dia sudah menunggu lama.” Wanita itu menggeser kursi dan membalikkan badannya membelakangi Awan. Pria itu bergeming di tempatnya. Ia hanya mengalihkan mata ke arah luar jendela, berusaha untuk tidak melihat punggung wanita itu menjauh. Jika ia melakukannya, mungkin saja ia akan mengejar wanita itu meskipun dia harus pergi ke ujung dunia.

“Hei, Awan. Aku memang tidak berhak untuk mengatakannya sebagai orang yang dulu pernah menyukaimu. Tapi setidaknya, karna kita berteman, aku akan beritahu satu hal.” Wanita itu kembali menatap Awan. Pria itu mendongakkan wajahnya. Rasanya seperti dejavu.

“Aku tahu kau pria yang baik. Tapi sekali-kali kau harusnya bisa menjadi lebih serakah. Terutama jika itu sudah menyangkut orang-orang yang kaucintai.”

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status