Share

6. KETIKA HUJAN DI HALTE (BAGIAN AWAN)

[Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Lagi pula ibumu juga belum tahu tentang kita.]

Awan menatap ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya yang berasal dari layar ponsel itu sangat terang sampai-sampai hanya wajahnya saja yang kelihatan di trotoar yang mulai gelap itu. Ia menaikkan sandangan tasnya ke bahu lalu mulai mengetik sesuatu.

[Terserahmu saja.]

‘Aku tidak peduli lagi’. Pria itu dengan kasar menaruh ponselnya di saku celana lalu mulai melangkahkan kakinya ke arah halte bus yang berjarak 50 meter dari tempat ia berdiri sekarang. Pikirannya kosong. Suasana hatinya mulai kacau seiring dengan kemunculan gulungan awan hitam yang mulai menutupi kota ini.

Gerimis mulai turun. Bau debu dan aspal yang baru saja terkena air hujan menyeruak menembus relung hidungnya. Lampu-lampu di sepanjang trotoar sudah dihidupkan meskipun masih belum jam enam sore. Cepat-cepat ia mengambil payung lipat yang ada di tas kecilnya. Sejenak ia memperhatikan payung kuning yang sudah lusuh di genggamannya. Payung kecil yang membawa banyak kenangan bersama wanita itu sampai-sampai Awan akan selalu membawanya saat pergi ke lapangan. Atau ia akan membiarkan benda itu terselip begitu saja di tasnya seperti di sana adalah tempat yang paling cocok untuknya. Tempat yang terasa benar untuk menaruh benda yang dulunya berharga akan kenangan itu.

Awan menghentikan langkahnya. Tepat sepuluh langkah lagi ia akan tiba di halte. Pria itu memesan taksi dan berniat untuk menunggu di sana. Karena hari sudah malam, ia pikir tidak akan ada orang di sana, karena sejatinya tempat itu adalah halte yang sudah tidak terpakai lagi.

Tapi ternyata ada seseorang. Wanita bertubuh mungil yang sedang duduk di bangku halte sambil menatap kosong ke arah jalan raya yang kini sudah basah sepenuhnya oleh air hujan. Wanita itu tidak bergerak seperti patung. Namun sesekali wanita itu masih mengedipkan matanya dengan sangat lambat seperti kedipan seekor kukang.

Sebuah mobil datang dari arah kanan wanita itu dan menyipratkan air hujan hampir ke seluruh bagian depan wanita itu. Awan kira ia setidaknya akan menggerutu karena cipratan itu sudah membuat sedikit noda di pakaian dan di rambutnya yang kini mulai terlihat lepek. Tapi tidak. Wanita itu hanya berkedip untuk menghindari matanya terkena cipratan air, lalu mengelap rambutnya dengan tangan kanannya sambil tetap memandang kosong ke arah hujan. Awan jadi penasaran apa yang sudah membuat wanita itu mengabaikan semuanya dan memasang wajah sendu seperti itu?

Ketika Awan mendekat, dia merasa familiar dengan wanita itu. Rambut ikal sebahu yang kini mulai lepek terkena air hujan, blus baby blue, dan rok ... ah, bukan ... jeans. Awan yakin wanita itu adalah wanita pertama yang ia temui hari ini. Wanita yang ia salah kira sebagai calon yang dijodohkan ibunya. Ekspresinya kini berbeda dengan yang ia tunjukkan pada Awan tadi siang.

Kenapa kau ada di sini?

Awan ingin menyapanya. Tapi dia mengurungkan niat dan memilih untuk duduk tanpa bersuara di sebelahnya. Dari ekspresinya Awan yakin wanita itu sedang memiliki banyak pikiran, dan pria itu tidak ingin mengganggunya. Ini bukan waktunya mengkhawatirkan orang lain. Hari ini ia sudah cukup sulit dengan semua kejadian sejak siang tadi. Untuk apa ia harus bersusah payah mencoba membaca pikiran wanita di sebelahnya yang belum tentu akan ditemuinya lagi di masa depan.

“Haah ....” Pria itu menghela napasnya dengan suara pelan. Tapi suara itu cukup keras untuk didengar oleh wanita di sebelahnya yang kini juga sedang melakukan hal sama dengannya.

Mereka saling berpandangan. Satu detik kemudian keduanya saling tersenyum canggung. Mereka seperti baru saja melakukan telepati monolog tentang siapa yang memiliki kejadian paling buruk hari ini melalui helaan napas mereka.

“Apa Anda memiliki hari yang buruk?” Tidak disangka wanita itu mengajaknya bicara duluan. Awan memandangnya sejenak. Wanita itu tidak sadar bahwa mereka pernah bertemu siang tadi. Berbeda dengan ekspresi dingin yang tadi siang ia tunjukkan pada Awan, kali ini tersungging senyuman di bibirnya. Hanya sedikit, tapi prasangka Awan terhadapnya mulai cair seperti bunga es yang ditimpa cahaya matahari pagi.

“Tidak seburuk itu,” jawab Awan singkat. “Anda sedang menunggu bus?” tanya Awan kemudian. Dia merasa tidak enak karena sudah menjawab pertanyaan wanita itu seadanya.

“Oh, tidak. Rumah saya di dekat sini,” ucap wanita itu sambil menunjuk ke arah tetesan air hujan yang jatuh dari atap halte. “Anda sendiri?”

Belum sempat Awan menjawab, sebuah mobil berwarna biru berhenti di depan halte dan membuka jendelanya.

“Apa Anda yang memesan taksi atas nama Awan?” tanya orang yang ada di bangku supir mobil itu. Awan mengangguk. Ia melihat ke arah wanita itu lagi dan menunjuk mesin biru di depannya.

“Saya duluan.” Ia menutupi kepalanya dengan kedua telapak tangan lalu berlari-lari kecil ke arah taksi dan langsung masuk ke dalam.

“Oh! Payung Anda?” Wanita itu menyambar payung yang ada di sebelahnya lalu menunjukkannya pada Awan yang kini sudah mengenakan sabuk pengaman. Awan sejenak memperhatikan payung kuning yang sudah lusuh itu dan kemudian memandang wanita yang kini sudah berdiri di ujung halte sambil tetap mengarahkan ujung payung itu padanya.

“Pakai saja dulu,” katanya lalu menutup jendela taksi itu. Lagi pula dia memang ingin membuangnya.

Mesin berwarna biru itu mulai melaju ke tengah jalan raya. Awan melirik ke belakang melalui kaca spion. Wanita itu masih berdiri di sana selama beberapa saat sambil menatap taksi yang Awan naiki. Awan tebak setelah ini wanita itu akan mengembangkan payungnya lalu berjalan pulang ke rumahnya. Tapi ternyata tidak. Wanita itu menaruh payungnya kembali, lalu duduk seperti awal ketika Awan melihatnya tadi.

“Apa dia belum pulang bukan karena tidak membawa payung, tapi memang karena dia belum ingin?” tanya Awan dari dalam hati. Pria itu mengatupkan bibirnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menaikkan pundaknya. Sudahlah. Untuk apa dia peduli? Dia kan tidak akan bertemu lagi dengan wanita itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status