Share

7. PAGI YANG TERLAMBAT

Suara dering ponsel membuat Lian terkejap dari tidurnya. Selama sebulan ini ia selalu lembur malam untuk menulis proposal tesisnya dan baru tidur selepas subuh. Ia benar-benar tidak bisa melakukannya di siang hari karena profesornya selalu saja memberi pekerjaan yang tidak pernah bisa habis dikerjakan sehari. Wanita itu kini melihat jam dinding dengan satu matanya yang masih belum terbuka seutuhnya. Sekarang baru jam delapan kurang tujuh. Siapa orang yang sudah berani-beraninya mengganggu singa tidur?

Wanita itu menggerutu dalam hati sebelum akhirnya ia melihat siapa yang mengiriminya pesan. Seperti biasa, Profesor Hadi. Beliau sepertinya sangat senang kalau mahasiswa bimbingannya bisa tetap bangun pagi setelah lembur seminggu penuh demi mengejar deadline progress report yang beliau minta. Lian menggulir layar ponselnya sambil membaca isi pesan yang tertulis di sana. Beliau meminta Lian ke ruangannya sebelum jam sebelas siang. Lian melirik ke dinding kamarnya sekali lagi. Kali ini dengan dua mata yang sudah terbuka sepenuhnya. Begitu memastikan jamnya, pupil wanita itu melebar. Ia tadi salah mengira letak jarum pendek jamnya. Sekarang bukan jam delapan kurang tujuh, tapi jam sebelas kurang dua puluh menit.

“Keterlaluan,” Lian rasanya ingin menangis. Perjalanan dari rumahnya saja sudah memakan waktu sepuluh menit lebih. Belum lagi harus antri naik lift ke lantai delapan. Terakhir kali Lian diminta ke ruangan beliau, ia terlambat tiga menit dan sudah ditinggal rapat selama tiga jam. Profesornya termasuk orang sibuk sampai-sampai tidak punya waktu untuk menunggu mahasiswanya meskipun hanya satu menit.

“Lihat saja. Setelah aku lulus aku akan berhenti jadi asistenmu!” gerutu Lian. Tangannya bergerak cepat mengetik sesuatu di ponsel.

[Saya akan usahakan Prof] balas Lian singkat. Segopoh apapun, wanita itu tidak pernah lupa membalas pesan profesornya. Meski dia termasuk salah satu mahasiswi yang paling dekat dengan dosennya yang perfeksionis itu, baginya kesopanan adalah yang terpenting, dan sepertinya hal itu menjadi salah satu aspek yang membuat Lian masih dipertahankan sebagai asisten beliau sampai sekarang.

Lian tidak punya waktu hanya untuk sekedar mengumpulkan nyawanya. Ia langsung menyibakkan selimutnya dan buru-buru ke kamar mandi. Tidak. Ia juga tidak sempat mandi. Untungnya semalam dia sudah melakukannya. Jadi kali ini dia hanya akan berganti pakaian dan memakai parfum. Dandan? Apa yang bisa kau harapkan dengan waktu yang kurang dari lima menit? Wanita itu menyambar masker dan langsung memakai tasnya. Dia menyimpan sabun cuci muka dan sikat gigi di ruangannya. Semuanya bisa ia lakukan nanti setelah urusan dengan profesornya selesai.

“Tidak sarapan?” tanya seorang wanita paruh baya pada Lian yang baru saja keluar dari kamarnya. Wanita paruh baya itu kini sedang memotong sayuran menggunakan kedua ujung ibu jari dan telunjuknya sambil menatap layar televisi dengan intens.

“Tidak ada waktu,” jawab Lian tak acuh sambil mengenakan sepatunya. Tanpa bicara satu kata pun setelahnya, wanita muda itu langsung membuka pintu dan keluar dari rumahnya.

Lian tiba di depan lift gedung dekanat dengan napas ngos-ngosan. Ia baru saja berlari dari gerbang depan kampus yang berjarak dua ratus meter dari lokasinya sekarang. Beruntung pintu lift belum tertutup hingga wanita itu masih bisa menjangkaunya. Hanya ada satu orang di dalamnya. Mungkin karena jam segini waktunya para mahasiswa masuk kelas dan mendekati waktu-waktu istirahat siang. Jadi para pegawai di tempat itu sedang fokus-fokusnya mengejar pekerjaan sebelum jam istirahat dimulai. Itulah kenapa belum banyak orang yang berkerumun di luar.

“Kau hampir terlambat dua menit,” sahut seseorang di belakang Lian. Wanita itu membalikkan badannya. Indri memeluk berkas-berkas yang Lian tidak tahu tentang apa dengan sangat erat, seolah-olah takut berkas-berkas itu akan dirampas oleh orang lain. Begitu mengatur napasnya, wanita itu mundur ke bagian paling jauh dari lift sejajar dengan Indri.

“Bagaimana kau tahu?” Lian menyandarkan dirinya ke dinding sambil melirik ke bagian atas, memantau pergerakan lift yang kini mulai bergerak ke atas.

“Jam sebelas ada rapat fakultas. Kalau kau terlambat sedikit saja, sepertinya kau akan jadi orang-orangan sawah lagi di depan ruang dekanat.”

“Aaaah ....” Lian merengek. “Kau seharusnya menyampaikan pesanku untuk menaruh kursi tunggu di depan ruangan Beliau juga. Bukan cuma di dekat tangga. Kalau duduk di sana mahasiswa tidak akan menyadari seandainya dosen-dosen sudah selesai rapat dan kembali ke ruangan lewat pintu samping.” Wanita itu protes sambil menggerakkan seluruh anggota tubuhnya.

“Memangnya aku Kepala TU? Kau saja yang bilang sendiri.” Indri mengangkat bibirnya.

“Issh! Kau ini ....” Lian jengkel sementara sahabatnya itu tidak peduli.

Mereka diam sejenak saat pintu lift terbuka. Tidak ada orang yang akan masuk jadi Lian menekan tombol menutup lift dengan cepat. Setelah itu ia melirik berkas-berkas yang dibawa Indri.

“Hari ini ada rapat apa?”

“Ah, bukan rapat yang terlalu penting. Kau tau kan bulan Februari kemarin ada perekrutan dosen baru di fakultas. Sudah ada tiga orang yang diterima, jadi sekarang fakultas akan mengadakan upacara penyambutan pegawai baru. Aku diminta untuk mempersiapkannya,” jawab Indri. Lian mengangguk-angguk.

“Dari mana saja yang diterima?” tanyanya lagi.

“Yang dari jurusan lain seingatku alumni kampus kita. Sedangkan yang akan mengajar di jurusan kita katanya lulusan dari luar negeri dan sempat bekerja di SK Energy juga.”

SK Energy? Bukankah itu perusahaan konsultan yang sangat besar?”

“Betul. Keren kan? Makanya Pak Dekan saaangat menyanjung orang itu.” Indri terlihat bersemangat. Lian hanya mengangguk-angguk menanggapinya.

Tiing! Suara pintu lift yang akan terbuka di lantai delapan mengagetkan keduanya. Lian menepuk pundak Indri dan tanpa suara langsung meninggalkan wanita itu sambil berlari-lari kecil ke arah ruangan Profesor Hadi. Indri cekikikan melihat bagaimana Lian hampir terjungkal karena buru-buru. Dia sendiri lalu dengan santai berjalan meninggalkan lift ke ruang rapat.

Begitu mendekati ruangan Profesor Hadi, Lian mulai menyeret kakinya dengan setengah hati hingga dia sampai di depan pintu yang paling besar di sepanjang lorong itu. Setelah mengetuk dan membuka pintu besar itu, matanya langsung tertuju pada seorang pria paruh baya yang kini sedang duduk santai sambil berkutat dengan berkas-berkas di mejanya.

Pria paruh baya itulah dosen sekaligus atasan Lian di kampus. Selain mengajar, beliau juga merupakan seorang pejabat penting di dekanat sehingga kesibukannya bisa dua ... tidak ... lima kali lebih banyak daripada dosen maupun pegawai lain di fakultas Lian. Bahkan setelah menyuruh Lian duduk di hadapannya, tangan beliau masih tetap cekatan membuat coretan tanda di pojok kertas-kertas yang Lian rasa tebalnya setinggi kotak pizza. Setelah membuat tanda tangan di sepuluh kertas selanjutnya, Profesor Hadi mulai menghentikan aktivitasnya dan melirik Lian.

“Saya sudah mendengar beberapa hal tentang nilai praktikum yang mereka dapatkan,” ucapnya dengan suara bariton.

Nilai praktikum? Kenapa tiba-tiba? Seketika Lian mengernyitkan dahinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status