Share

4

“Bangun.”

Bisikan itu lirih sekali. Nyaris tak terdengar. Namun sesuatu di dalamnya kuasa membangunkan Jaladri seketika. Dan hal pertama yang langsung menyinggahi ingatannya adalah bahwa ia tindhihen—mata melek sadar di tengah tidur lelap namun sekujur badan tak bisa digerakkan.

Beberapa kali ia mengalami ini. Yang tak lazim adalah bahwa barusan, sepertinya, ia mendengar suara seseorang berbisik.

Itu suara sungguhan apa gangguan gendruwo penunggu rumah ini?

Kediaman keluarganya memang angker. Sering sekali para pengawal atau pembantu melapor melihat hantu tanpa kepala, makhluk raksasa berbulu hitam, atau pocong yang mengambang di pohon mangga samping pendapa. Namun Jaladri sendiri seumur hidup belum pernah melihat sendiri penampakan semacam itu.

“Tenang. Aku bukan hantu.”

Jantungnya berdegupan kencang, terlebih ketika kemudian matanya yang mulai menyesuaikan dengan kegelapan kamar menangkap kehadiran satu sosok samar di sudut, tak jauh dari pintu. Tak terlalu terlihat karena nyaris sepenuhnya berselimut gelap, namun nyata memang ada. Hadir di situ.

Bukan hantu, kata dia tadi?

“Betul. Aku bukan hantu.”

Napas Jaladri tercekat. Apa dia bisa membaca pikiran?

“Memang betul. Aku manusia biasa saja, tapi berkelebihan khusus, sehingga bisa membaca isi kepalamu sekaligus keluar masuk rumah orang seenaknya seperti ini.”

Jaladri berusaha keras menggerakkan kaki dan tangannya. Tentu saja tak bisa. Namanya juga sedang tindhihen. Ia harus menunggu sampai dirinya bisa bergerak bebas lagi.

Tapi karena sosok makhluk gelap itu bisa membaca pikiran, ia harus berhenti berpikir agar isi kepalanya tak bisa dipindai dari sana.

“Nah, bagus. Kau tidak berpikir. Itu awalan yang tidak jelek. Nah, sudah siap menerima pelajaran?”

Jaladri terpaku. Pelajaran? Apa maksudnya?

Dan ia masih tetap kaku saat sosok bayangan itu perlahan bergeser mendekatinya sambil mengulurkan tangan, seperti hendak mencekik. Lalu bentuknya mulai terlihat jelas di mata Jaladri. Sosok itu tinggi menjulang. Ujung kepalanya seperti menjangkau hingga atap. Tapi itu ternyata masalah sudut pandang saja, karena Jaladri menatapnya sambil berbaring.

Wujud jelas dan wajah dia tak terlihat. Hanya seperti semacam bayangan saja. Yang jelas bentuk kepalanya aneh, seperti berujung runcing. Barangkali dia mengenakan semacam tudung kepala seperti jilbab yang biasa dikenakan perempuan.

“Kudengar kau akan melakukan petualangan pertamamu di dunia luas. Kau perlu sedikit bekal untuk menjaga nyawamu tetap nempel di tubuh jelekmu itu. Tapi untuk itu, kau harus membiasakan diri dengan rasa sakit, karena maut dan bahaya rasanya juga seperti itu, dan bukan yang enak-enak seperti gulai kepala kakap atau ayam goreng sambal hijau.”

Tangan orang itu tiba-tiba menggebuk ulu hati Jaladri, dan pemuda itu merasakan ulu hatinya ngilu bukan main. Rasa sakit itu sedemikian menggigit sehingga ia sampai lupa caranya bernapas.

Ia bukan jenis orang yang gampang takut oleh hal-hal berbau gaib. Persoalan yang nyata seperti rasa nyeri inilah yang justru lebih mudah membuatnya ciut nyali. Dan sekarang ia benar-benar tercekam oleh itu.

“Dan... oh, ya, satu lagi, sekarang kau tak bisa bergerak bukan karena masih tindhihen, tapi karena tabokanku barusan. Kau baru akan bisa bergerak saat matahari terbit sempurna nanti. Jadi kalau mau salat subuh, salatlah secara batin. Badanmu sedang tak bisa digunakan sementara waktu.”

Kalau saat ini badan sedang berada dalam keadaan biasa, Jaladri pasti sudah mendelik sejadinya. Tak bisa digerakkan hingga pagi, dalam keadaan ngilu bukan main seperti ini!?

“Atur napasmu pelan-pelan untuk mengurangi nyerinya. Tapi kalau untuk bergerak, tunggu sampai pagi. Jadi kalau kau mendadak ingin pipis, ya pipis saja di tempat tidur. Kenapa bingung? Bukankah itu sesuatu yang wajar? Kita menyebutnya ngompol. Nah, segitu dulu pelajaran pertama malam ini. Nanti aku akan menemuimu lagi untuk pelajaran berikutnya, yang bakalan jauh lebih sulit sekaligus menyakitkan.”

Dan seperti perwujudan dari dunia gaib, sosok bayangan itu memudar. Betul-betul memudar perlahan, sedikit demi sedikit hingga menipis dan akhirnya hanya kembali ada gelap.

Lalu sunyi seperti sediakala. Jaladri bisa mendengar bunyi helaan napas megap-megapnya. Ia bahkan perlu sekian saat yang sangat lama untuk bisa menanyakan pada dirinya sebuah pertanyaan sederhana.

Siapa itu tadi?

***

“Aku mau tanya. Saat kita tidur dan lantas kena tindhihen, apa kita bisa melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak ada?”

Wisnumurti dan Bajul sama-sama menghentikan santap masing-masing, dan saling pandang dengan heran.

“Maksudmu?” tanya Bajul.

“Tadi malam aku tindhihen. Badanku sama sekali tak bisa digerakkan meski sadar dari tidur. Lalu tiba-tiba saja ada orang muncul di kamarku. Dia bilang akan mengajariku sesuatu.”

“Mengajari apa?” sahut Wisnumurti.

“Aku juga tidak tahu. Dia tidak mengatakannya dengan jelas. Lalu perutku sakit sekali. Dan katanya, badanku bakal tak bisa gerak sampai pagi. Lalu aku tidur lagi sebelum bisa kembali menggerakkan badanku.”

“Itu manusia apa hantu arwah penasaran?” tukas Bajul, kembali makan. “Rumah terutama kamarmu itu kan wingit sekali. Hampir tiap hari ada yang lihat aneh-aneh di sana.”

“Sepertinya manusia. Tengkukku tidak merinding.”

“Paling cuma mimpi,” kata Wisnumurti.

“Tidak. Aku sadar sungguhan. Benar-benar terbangun.”

“Kau mengira dirimu bangun, padahal kau masih bermimpi. Ada yang seperti itu. Kita bangun, melakukan banyak hal-hal yang terasa nyata. Lalu sadar ternyata masih mimpi, dan berusaha bangun. Waktu udah bangun, ternyata yang ini pun mimpi juga.”

Jaladri termangu. “Begitu ya?”

Wisnumurti bangkit, meremas daun pisang pembungkus bekal makannya dan membuangnya ke sesemakan. Pemuda itu menghilang sebentar untuk minum dan cuci tangan di sungai.

“Tapi memang waktu kita tindhihen, kerap kali kita melihat dan mendengar hal-hal yang tak ada. Jadi kesimpulannya, apa pun itu, yang kaulihat semalam juga sebenarnya tidak ada. Entah kau mimpi, atau matamu tertipu gara-gara tindhihen.

“Yang membuktikan bahwa, tidurmu terlalu banyak,” Bajul ikut bangkit dan mencablek punggung Jaladri keras sekali.

Pemuda itu kaget dan terbatuk hebat, lalu mengumpat-umpat dengan hebat pula. Hampir semua nama binatang jelek ia keluarkan. Wisnumurti dan Bajul tertawa melihatnya.

Saat bertiga, Jaladri memang paling sering menjadi sasaran guyonan dua pemuda itu. Maklum, dia yang paling halus dan bersih di antara mereka. Sama-sama menguasai ilmu bela diri, tapi Jaladri sama sekali belum pernah tersentuh dunia kekerasan. Bertarung sungguhan dengan musuh nyata pun belum pernah. Ilmu silat yang ia miliki tak lebih sekadar peranti gagah-gagahan, dan bukan sesuatu yang memang digunakan untuk menyelamatkan nyawa.

Dan toh andai ada sesuatu yang bersifat semacam itu, selalu ada Bajul yang siap menangani.

Bajul sendiri bertingkah seperti layaknya teman pada Jaladri bila pemuda itu sedang tak bersama ayahnya yang luar biasa kaya. Jadi ia bebas saja menjahili Jaladri seperti terhadap anak kecil yang gampang ribut dan rewel.

“Ayo, cepat! Kita berangkat lagi,” kata Wisnumurti kemudian. “Kita harus tiba di Kenipir sebelum magrib.”

Masih sambil sedikit mengumpat karena tersedak gara-gara punggungnya dipukul, Jaladri turun ke sungai untuk mengambil air. Dan mau tak mau ia terpaksa berpikir, peristiwa tadi malam itu mungkin memang mimpi—atau matanya yang salah melihat. Ditilik dari sudut pandang sekarang, semuanya memang terlihat tak begitu jelas dan nyata lagi. Ia bahkan tak bisa mengingat rinci apa saja yang dikatakan sosok bayangan gelap itu tadi malam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status