“Bangun.”
Bisikan itu lirih sekali. Nyaris tak terdengar. Namun sesuatu di dalamnya kuasa membangunkan Jaladri seketika. Dan hal pertama yang langsung menyinggahi ingatannya adalah bahwa ia tindhihen—mata melek sadar di tengah tidur lelap namun sekujur badan tak bisa digerakkan.
Beberapa kali ia mengalami ini. Yang tak lazim adalah bahwa barusan, sepertinya, ia mendengar suara seseorang berbisik.
Itu suara sungguhan apa gangguan gendruwo penunggu rumah ini?
Kediaman keluarganya memang angker. Sering sekali para pengawal atau pembantu melapor melihat hantu tanpa kepala, makhluk raksasa berbulu hitam, atau pocong yang mengambang di pohon mangga samping pendapa. Namun Jaladri sendiri seumur hidup belum pernah melihat sendiri penampakan semacam itu.
“Tenang. Aku bukan hantu.”
Jantungnya berdegupan kencang, terlebih ketika kemudian matanya yang mulai menyesuaikan dengan kegelapan kamar menangkap kehadiran satu sosok samar di sudut, tak jauh dari pintu. Tak terlalu terlihat karena nyaris sepenuhnya berselimut gelap, namun nyata memang ada. Hadir di situ.
Bukan hantu, kata dia tadi?
“Betul. Aku bukan hantu.”
Napas Jaladri tercekat. Apa dia bisa membaca pikiran?
“Memang betul. Aku manusia biasa saja, tapi berkelebihan khusus, sehingga bisa membaca isi kepalamu sekaligus keluar masuk rumah orang seenaknya seperti ini.”
Jaladri berusaha keras menggerakkan kaki dan tangannya. Tentu saja tak bisa. Namanya juga sedang tindhihen. Ia harus menunggu sampai dirinya bisa bergerak bebas lagi.
Tapi karena sosok makhluk gelap itu bisa membaca pikiran, ia harus berhenti berpikir agar isi kepalanya tak bisa dipindai dari sana.
“Nah, bagus. Kau tidak berpikir. Itu awalan yang tidak jelek. Nah, sudah siap menerima pelajaran?”
Jaladri terpaku. Pelajaran? Apa maksudnya?
Dan ia masih tetap kaku saat sosok bayangan itu perlahan bergeser mendekatinya sambil mengulurkan tangan, seperti hendak mencekik. Lalu bentuknya mulai terlihat jelas di mata Jaladri. Sosok itu tinggi menjulang. Ujung kepalanya seperti menjangkau hingga atap. Tapi itu ternyata masalah sudut pandang saja, karena Jaladri menatapnya sambil berbaring.
Wujud jelas dan wajah dia tak terlihat. Hanya seperti semacam bayangan saja. Yang jelas bentuk kepalanya aneh, seperti berujung runcing. Barangkali dia mengenakan semacam tudung kepala seperti jilbab yang biasa dikenakan perempuan.
“Kudengar kau akan melakukan petualangan pertamamu di dunia luas. Kau perlu sedikit bekal untuk menjaga nyawamu tetap nempel di tubuh jelekmu itu. Tapi untuk itu, kau harus membiasakan diri dengan rasa sakit, karena maut dan bahaya rasanya juga seperti itu, dan bukan yang enak-enak seperti gulai kepala kakap atau ayam goreng sambal hijau.”
Tangan orang itu tiba-tiba menggebuk ulu hati Jaladri, dan pemuda itu merasakan ulu hatinya ngilu bukan main. Rasa sakit itu sedemikian menggigit sehingga ia sampai lupa caranya bernapas.
Ia bukan jenis orang yang gampang takut oleh hal-hal berbau gaib. Persoalan yang nyata seperti rasa nyeri inilah yang justru lebih mudah membuatnya ciut nyali. Dan sekarang ia benar-benar tercekam oleh itu.
“Dan... oh, ya, satu lagi, sekarang kau tak bisa bergerak bukan karena masih tindhihen, tapi karena tabokanku barusan. Kau baru akan bisa bergerak saat matahari terbit sempurna nanti. Jadi kalau mau salat subuh, salatlah secara batin. Badanmu sedang tak bisa digunakan sementara waktu.”
Kalau saat ini badan sedang berada dalam keadaan biasa, Jaladri pasti sudah mendelik sejadinya. Tak bisa digerakkan hingga pagi, dalam keadaan ngilu bukan main seperti ini!?
“Atur napasmu pelan-pelan untuk mengurangi nyerinya. Tapi kalau untuk bergerak, tunggu sampai pagi. Jadi kalau kau mendadak ingin pipis, ya pipis saja di tempat tidur. Kenapa bingung? Bukankah itu sesuatu yang wajar? Kita menyebutnya ngompol. Nah, segitu dulu pelajaran pertama malam ini. Nanti aku akan menemuimu lagi untuk pelajaran berikutnya, yang bakalan jauh lebih sulit sekaligus menyakitkan.”
Dan seperti perwujudan dari dunia gaib, sosok bayangan itu memudar. Betul-betul memudar perlahan, sedikit demi sedikit hingga menipis dan akhirnya hanya kembali ada gelap.
Lalu sunyi seperti sediakala. Jaladri bisa mendengar bunyi helaan napas megap-megapnya. Ia bahkan perlu sekian saat yang sangat lama untuk bisa menanyakan pada dirinya sebuah pertanyaan sederhana.
Siapa itu tadi?
***
“Aku mau tanya. Saat kita tidur dan lantas kena tindhihen, apa kita bisa melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak ada?”
Wisnumurti dan Bajul sama-sama menghentikan santap masing-masing, dan saling pandang dengan heran.
“Maksudmu?” tanya Bajul.
“Tadi malam aku tindhihen. Badanku sama sekali tak bisa digerakkan meski sadar dari tidur. Lalu tiba-tiba saja ada orang muncul di kamarku. Dia bilang akan mengajariku sesuatu.”
“Mengajari apa?” sahut Wisnumurti.
“Aku juga tidak tahu. Dia tidak mengatakannya dengan jelas. Lalu perutku sakit sekali. Dan katanya, badanku bakal tak bisa gerak sampai pagi. Lalu aku tidur lagi sebelum bisa kembali menggerakkan badanku.”
“Itu manusia apa hantu arwah penasaran?” tukas Bajul, kembali makan. “Rumah terutama kamarmu itu kan wingit sekali. Hampir tiap hari ada yang lihat aneh-aneh di sana.”
“Sepertinya manusia. Tengkukku tidak merinding.”
“Paling cuma mimpi,” kata Wisnumurti.
“Tidak. Aku sadar sungguhan. Benar-benar terbangun.”
“Kau mengira dirimu bangun, padahal kau masih bermimpi. Ada yang seperti itu. Kita bangun, melakukan banyak hal-hal yang terasa nyata. Lalu sadar ternyata masih mimpi, dan berusaha bangun. Waktu udah bangun, ternyata yang ini pun mimpi juga.”
Jaladri termangu. “Begitu ya?”
Wisnumurti bangkit, meremas daun pisang pembungkus bekal makannya dan membuangnya ke sesemakan. Pemuda itu menghilang sebentar untuk minum dan cuci tangan di sungai.
“Tapi memang waktu kita tindhihen, kerap kali kita melihat dan mendengar hal-hal yang tak ada. Jadi kesimpulannya, apa pun itu, yang kaulihat semalam juga sebenarnya tidak ada. Entah kau mimpi, atau matamu tertipu gara-gara tindhihen.”
“Yang membuktikan bahwa, tidurmu terlalu banyak,” Bajul ikut bangkit dan mencablek punggung Jaladri keras sekali.
Pemuda itu kaget dan terbatuk hebat, lalu mengumpat-umpat dengan hebat pula. Hampir semua nama binatang jelek ia keluarkan. Wisnumurti dan Bajul tertawa melihatnya.
Saat bertiga, Jaladri memang paling sering menjadi sasaran guyonan dua pemuda itu. Maklum, dia yang paling halus dan bersih di antara mereka. Sama-sama menguasai ilmu bela diri, tapi Jaladri sama sekali belum pernah tersentuh dunia kekerasan. Bertarung sungguhan dengan musuh nyata pun belum pernah. Ilmu silat yang ia miliki tak lebih sekadar peranti gagah-gagahan, dan bukan sesuatu yang memang digunakan untuk menyelamatkan nyawa.
Dan toh andai ada sesuatu yang bersifat semacam itu, selalu ada Bajul yang siap menangani.
Bajul sendiri bertingkah seperti layaknya teman pada Jaladri bila pemuda itu sedang tak bersama ayahnya yang luar biasa kaya. Jadi ia bebas saja menjahili Jaladri seperti terhadap anak kecil yang gampang ribut dan rewel.
“Ayo, cepat! Kita berangkat lagi,” kata Wisnumurti kemudian. “Kita harus tiba di Kenipir sebelum magrib.”
Masih sambil sedikit mengumpat karena tersedak gara-gara punggungnya dipukul, Jaladri turun ke sungai untuk mengambil air. Dan mau tak mau ia terpaksa berpikir, peristiwa tadi malam itu mungkin memang mimpi—atau matanya yang salah melihat. Ditilik dari sudut pandang sekarang, semuanya memang terlihat tak begitu jelas dan nyata lagi. Ia bahkan tak bisa mengingat rinci apa saja yang dikatakan sosok bayangan gelap itu tadi malam.
Dengan cepat ia kembali menaiki lereng landai tepian sungai dan bergabung dengan kedua temannya. Matahari sudah tinggi, sedikit mulai bergulir ke barat. Setelah setengah hari meninggalkan Karang Bendan, mereka menemukan tempat itu, tepat di tepi sungai kecil yang berair jernih.Ketiganya kemudian berhenti untuk makan siang dengan nasi bungkus bekal dari keluarga Ki Soma. Sekarang perut sudah terisi, siap melanjutkan perjalanan tanpa henti hingga tiba di Kenipir yang berada di barat Karang Bendan. Karena berjarak tak terlalu jauh sehingga oleh karenanya sering dilewati, ruas jalan dari Karang Bendan menuju Kenipir memang telah cukup rapi. Selalu tersedia medan yang lapang dan rata, sehingga kuda-kuda dan kereta kuda serta berbagai jenis gerobak bisa melintas dengan baik.Perjalanan pun cukup aman. Hampir tak ada gerombolan begal yang berkeliaran di antara kedua daerah ini, sehingga warga bisa bepergian dengan aman tanpa harus berkelompok dan menyewa tenaga pendekar sila
Wisnumurti menangkap tali kekang kuda Jaladri, sementara Bajul dengan sigap menurunkan orang yang terluka itu ke tanah.“Dengan luka sayatan yang sama?” tanya Wisnumurti.“Ya, sama persis” sahut Jaladri. “Bapak yang satu ini kemungkinan tak ada di tempat saat peristiwa terjadi, lalu dia sempat lari menyelamatkan diri. Luka-luka di tubuhnya disebabkan oleh hal lain. Mungkin dia bertemu macan atau ditabrak celeng.”Wisnumurti dan Bajul memeriksa pria itu, yang berumuran kira-kira sebaya dengan Ki Soma. Dia tergolek tak sadarkan diri. Darah di sekujur badannya keluar dari begitu banyak luka cabikan di sekitar dada, perut, dan bahkan leher. Sepertinya itu memang luka akibat binatang buas.Mengingat darah yang keluar terlalu banyak, pria itu tak akan bertahan. Yang jelas ia masih hidup. Dadanya naik turun, tersengal oleh napas satu-satu yang diperjuangkan sepenuh daya di tengah deraan rasa sakit yang pasti tak tertanggungkan
Gadis kencur itu pastilah yang tengah dikehendaki Pangeran Candrakumala untuk menjadi selirnya yang kesekian. Mungkin sang pangeran mendengar berita tentangnya dari para bawahan yang melewati desa-desa tertentu, seperti Brabo sekarang ini. Lalu ia tertarik dan mengirimkan senopatinya untuk melakukan penjemputan.Sebagai makhluk yang kerap keluyuran, Wisnumurti sudah terlalu sering melihat peristiwa semacam itu. Biasanya ia akan cuek saja, tak mau ikut campur dalam urusan orang-orang kerajaan. Kali ini masalahnya adalah kekerasan yang dilakukan para anak buah senopati itu terhadap keluarga sang gadis.Ia bisa memahami mengapa Jaladri begitu marah barusan. Mereka baru saja melihat bayi dan anak-anak balita terbunuh di dua tempat. Maka ada bayi bergulir tergelincir lepas dari tangan ibunya yang didorong-dorong kasar ke tanah oleh tiga pria sekaligus jelas sangat mudah membuat tekanan darah naik.Barangkali saja sebentar tadi sempat muncul sikap yang kurang legawa d
Pintu kamar terbuka. Wisnumurti masuk sambil menguap. Pintu ia tutup kembali. Jaladri dan Bajul yang sudah berbaring di amben lebar seketika bangkit. Mereka sudah sama-sama bersiap tidur, meringkuk di balik kain sarung yang dibekalkan oleh Ki Soma dari rumah.“Kupikir kau mau melek sampai subuh,” kata Jaladri, menguap juga.“Ki Buyut dan yang lainnya berharap begitu,” kata Wisnumurti, melepas kain bawahan dan meraih sarung pula dari kantung perbekalannya. “Mereka senang tiap kali ada pesilat yang mampir, terlebih ada kau. Para bapak itu cerita macam-macam, terutama kejadian penampakan hantu dan tempat-tempat angker.”Jaladri duduk, bersandar ke dinding bambu rumah itu. Ia pun setali tiga uang. Asal sudah ada Wisnumurti, ia bisa tahan melek sampai pagi mendengarkan cerita-cerita orang itu.“Jadi betul keluarga Sarni tadi nyaris dihukum penggal kepala Senopati Natpada hanya karena Sarni sedang sakit?” tanya di
“Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”“Malah Senopati Natpada yang ter
Alis Senopati Natpada berkerut.Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.“D-dia... anak... Ki Soma...”“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. S
Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sul
“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota