Share

3

Seekor kuda dipacu berderap mengarah ke pendapa. Beberapa pembantu rumah yang tengah menyalakan lentera di sekeliling halaman rumah besar itu menoleh kaget. Yang datang pasti bukan jenis tamu biasa. Terlebih kemudian enak saja penunggangnya melompat turun dari kuda tanpa perlu menunggu kudanya berhenti terlebih dulu, dan ia tidak jatuh nyungsep.

Matahari tepat sepenuhnya terbenam di hamparan langit biru kelabu saat pria bertubuh tegap itu melangkah bergegas menuju pendapa, sementara kudanya dikejar untuk ditangkap oleh beberapa orang pengawal rumah. Sang pria pendatang baru berhenti setelah muncul sosok besar Bajul dari arah pintu rumah utama.

“Ada apa?” tanya Bajul cepat. “Soal mayat yang dibakar tadi?”

“Ya. Mana Wisnumurti?”

“Di dalam. Ayo!”

Keduanya masuk ke rumah utama. Di ruang pringgitan, beberapa pria yang duduk di amben bambu seketika bangkit berdiri untuk menyambut laki-laki itu, yang mengenakan baju lengan panjang dan kain bawah yang dipakai sebatas lutut, dan keris berhulu bagus di pinggang kanan. Penampilannya rapi dan resmi, menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan penggede kadipaten.

“Ini Senopati Bantala, kepala pengawal Gusti Adipati Jayapati,” Bajul mengenalkan pria itu pada Wisnumurti.

Sang pria mengucap salam, yang dijawab semuanya termasuk Bajul. Ki Soma mempersilakannya naik ke amben, bergabung bersama dirinya, Wisnumurti, dan Jaladri. Bajul tetap tegap berdiri, sambil melipat tangan di dada.

“Apakah jati diri korban sudah diketahui?” tanya Wisnumurti kemudian.

“Belum,” jawab Senopati Bantala sambil menggeleng. “Langsung saya perintahkan agar dia dikubur, sebelum membuat warga ketakutan.”

Sore tadi ada kegemparan ketika tak saja terjadi peristiwa pembunuhan tepat di pusat kota, namun juga pembakaran jenazah yang diperintahkan oleh Wisnumurti. Ia sendiri bersama Jaladri kemudian membantu para prajurit keamanan kota untuk membereskan sisa-sisa peristiwa, sebelum bertandang kemari untuk membersihkan diri.

Dan kedatangan petinggi ketentaraan dari Pura Karang Bendan memang sudah ditunggu. Pihak kadipaten pasti ingin tahu lebih jauh mengenai perkara ini.

“Jadi, apakah itu sebenarnya Lambang Merah?” tanya Senopati Bantala kemudian. “Anak buah saya melapor, kau menyebut nama itu tadi pada mereka.”

“Itu semacam kelompok kebatinan. Kediaman mereka ada di Alas Mayit, sekitar 20 pal di sisi timur laut Kotaraja Pasir. Bedanya dari aliran kebatinan yang umum adalah, mereka bukannya bertujuan pada Sang Tunggal Pencipta Alam yang dalam Islam dikenal dengan nama Allah, melainkan kebalikannya.”

Ki Soma terhenyak. “Maksudmu, mereka menyembah Iblis?”

Wisnumurti mengangguk. “Ya. Kegiatan mereka adalah mengumpulkan orang-orang untuk diajak, atau dipaksa, menjadi anggota. Yang mau gabung dan kemudian berpikiran seperti mereka, merelakan untuk bunuh diri agar bisa secepat mungkin bertemu dan bersatu dengan Iblis di Neraka.”

“Nah, yang tidak mau?” sahut Jaladri.

“Dibunuh tentu saja, sebagai persembahan untuk Iblis. Dan semua dilakukan dalam sebuah upacara, terjadi dan disaksikan sebegitu banyak orang.”

“Mereka bunuh diri bersama-sama!?” celetuk Bajul.

“Dan ada pula yang dibunuh bersama-sama. Dari yang kudengar, itu biasanya terjadi pada lebih dari 10 orang dalam sekali upacara. Yang bunuh diri barengan dulu, baru kemudian yang dibantai. Ada juga yang begitu tak waras sehingga darah para korban kemudian ditampung dan diminum bersama-sama, seperti kita di sini minum minuman keras.”

“Lalu mengapa kau tadi memerintahkan agar jenazah anak itu dibakar sesegera mungkin?” tanya Senopati Bantala. “Apinya tadi begitu besar. Untung tak sampai menjilat kediaman Tumenggung Bahusasra di sebelah kirinya.”

“Senjata mereka yang paling mengerikan adalah meledakkan mayat. Mereka membunuh orang dengan satu ramuan racun khusus. Setelah beberapa lama, biasanya sepenanak nasi lamanya, ramuan racun di dalam tubuh itu akan membuat jenazah meledak. Racunnya lalu menyebar lewat udara, dan bisa membunuh orang satu desa! Jenazah yang dibunuh dengan cara itu harus segera dibakar sebelum meledak. Lambang Merah kerap melakukan itu di desa-desa pedalaman di sekitar tempat kediaman mereka. Membunuh ludes orang sedesa adalah persembahan jiwa yang sangat bernilai tinggi bagi Iblis.”

“Dan sekarang salah satunya sampai di sini...” Ki Soma mendesis pelan sambil mengelus jenggotnya yang mulai memutih. “Ini pertanda buruk...!”

“Memang mencemaskan. Saya sudah mendengar beberapa laporan mengenai peristiwa serupa dalam beberapa pekan terakhir. Dan mereka memang mulai berani melakukannya jauh di luar wilayah mereka.”

“Saya akan perketat keamanan di tengah kota untuk berjaga-jaga andai terjadi serangan yang seperti itu tadi,” kata Senopati Bantala. “Kabarnya ada rangkaian pembunuhan yang saat ini menggegerkan rimba persilatan. Itu betul?”

Wisnumurti mengangguk. “Ya. Dua korban sudah jatuh.”

Ia lalu menceritakan kedua pembunuhan itu, yang semuanya dilakukan oleh orang yang mengaku bernama Pangeran Langit.

“Itu bukan pembunuhan biasa,” katanya. “Keduanya dibunuh di hadapan murid dan pengikut masing-masing, dan sang pembunuh sengaja mengungkap namanya dengan gamblang. Pembunuh lain biasanya berusaha mati-matian agar jatidirinya tidak ketahuan. Yang ini malah sengaja pamer!”

“Mau ada apa ini? Pembunuhan di mana-mana...” gumamnya. “Nyawa seperti tak ada harganya.”

“Jangan khawatir! Belum tentu juga akan dengan seketika terjadi di sini,” sahut Jaladri.

“Dan dengan keadaan seperti ini, kau malah mau keluyuran ke dunia luar mencari petualangan?” Wisnumurti memelototi Jaladri.

Sudah pasti Ki Soma ribut.

“Apa? Jangan aneh-aneh! Zaman lagi gawat seperti ini malah mau keluyuran!”

“Apa sih kau ini? Ngakunya teman, tapi menjerumuskan!” Jaladri mendorong dengkul Wisnumurti yang bersila dengan kakinya.

Pemuda itu tertawa. Mau tak mau Senopati Bantala dan Bajul ikut menertawakan Jaladri juga.

“Loh, katanya aku harus ngomong ke Paman Soma soal rencanamu yang pintar itu,” celetuk Wisnumurti, memperbaiki kembali duduknya.

“Ya tapi kan tidak dengan cara seperti itu. Dasar bodoh...!”

“Oh, jadi dia minta padamu agar kau membujukku memperbolehkan dia keluar mengikutimu, begitu?” Ki Soma lalu menanyai Wisnumurti.

Yang ditanya mengangguk pendek. “Kurang lebih begitu.”

Untung Jaladri dengan cepat menemukan jalan keluar.

“Tapi kan tempo hari Ibu bilang mau mengirim baju-baju dan makanan ke Wa Gede di Kenipir. Kalau cuman pergi ke sana kan kecil kemungkinan ada masalah. Tugaskan saja aku dan Bajul. Wisnu sekalian bisa mampir sebentar sebelum melanjutkan perjalanannya berburu Pangeran Langit. Sesudah itu dia terus ngelayap tak jelas, aku dan Bajul balik lagi ke sini. Paling hanya perlu sepekan.”

“Itu betulan apa hanya sekadar akal-akalanmu agar diizinkan pergi?” tukas Wisnumurti.

“Beneraaaan. Tanya Bapak kalau tidak percaya!”

Ki Soma terdiam.

“Memang ada rencana begitu,” katanya. “Dan aku agak enggan nyuruh orang-orangnya Bajul. Mereka suka sembarangan. Barang-barang kiriman bisa saja rusak atau tercecer di jalan. Aku sendiri belum sempat pergi untuk mengantarnya sendiri ke sana.”

“Ya sudah. Biar kami saja yang bawa,” kata Wisnumurti. “Kebetulan saya juga sudah lama tidak bertemu Ki Gede dan keluarganya. Pratiwi pasti sudah besar sekarang.”

“Sedikit lebih besar dari Pramesti, dan Kakangmbok Gede sudah bingung memilih calon menantu.”

“Semoga saja dia menurut. Anak itu kan bandel dan banyak tingkah.”

Ki Soma tertawa. “Aku juga mikir begitu. Apalagi dia sedikit banyak kan mirip kau yang berjiwa bebas. Bisa-bisa nanti calon suaminya nanti harus dia uji dulu, layak apa tidak buat dia terima sebagai pendamping.”

“Jadi bagaimana ini?” tukas Jaladri, memotong percakapan sebelum ada yang mengarahkan pembahasan soal rencana pernikahan pada dirinya. “Aku boleh apa tidak pergi bareng Wisnumurti? Kalau hanya ke Kenipir, masa tidak boleh? Jaraknya kan hanya sehari perjalanan dari sini. Pagi berangkat, magrib tiba. Dan alur jalannya bagus. Kudengar sudah bisa dilalui sepenuhnya menggunakan kuda.”

“Memangnya kau akan berangkat kapan?” Ki Soma menoleh pada Wisnumurti.

“Besok. Saya ingin ikut hadir di pertemuan besar yang diselenggarakan di Gunung Wijil beberapa hari lagi. Dari Kenipir saya langsung ke sana.”

Ki Soma berpikir keras sebelum menghembuskan napas.

“Baiklah. Jaladri boleh ikut, asal bersama Bajul. Dan jika ada gejala kemunculan orang Lambang Merah itu atau Pangeran Langit di jalan, kalian dilarang ikut campur!”

Jaladri mengangguk mantap. “Setuju.”

“Dan sesudah pulang nanti, kau akan langsung bertemu calon istrimu.”

Jaladri seketika mendelik.

“Apa? Secepat itu? Tapi aku belum siap menikah!”

Ki Somanagara mendengus. “Mana ada orang siap nikah? Kalau nunggu siap, sampai kiamat juga tidak bakalan siap karena perempuan cantik ada di mana-mana.”

Wisnumurti mengangguk. “Setuju.”

“Halah, tidak usah ikut campur!” Jaladri menukas gahar. “Memangnya kau sendiri sudah siap nikah?”

Semua tertawa berderai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status