Share

Bab 10

“Wusss…wussss…wusss…!”

Ich! Sejauh mata memandang butiran-butiran air menari-nari, menderu-deru bersama gulungan gelombang kawanan padi yang terhuyung-huyung tak tentu arah, laksana mengalunkan simfoni sakratul maut menjemput nyawa. Konduktor malaikat maut sedang bermain-memburu nyawa, menciutkan nyali. Hati siapa yang tak tercekam lihatnya? Matahari pun bermuram-durja, udara kelabu bagai tak tembus cahaya. Kabut air membasah, melembab, membungkam cericit burung-burung yang biasa hinggap di atas padi di sawah.

Namun tak dapat dipungkiri, ulah teman-temanku ini ternyata dapat menyamarkan suasana yang mencekam. Tapi yang jelas, terlepas dari apa ulah temanku ini, aku ingin lihat Kakek tersenyum, lepas dari beban hatinya atau melepas sesaat rasa penyesalan yang telah menghantui dirinya sepanjang hidupnya.

Tahun 1917. Hari Ahad pagi, tepatnya hari pekanan di Desa Karang Anyar, Madiun. Tak jauh dari lokasi pekanan, dan tepatnya di depan Kantor Desa terlihat orang-orang pada bergerombol, mengerumuni seorang pria yang duduk di kursi yang sengaja disediakan untuknya. Terlihat mulutnya yang selalu berbusa, bila berbicara. Orang-orang desa tidak tahu siapa namanya, termasuk Marto Kapuk muda. Yang mereka tahu, dia datang dari Solo. Maka sebut saja Orang dari Solo. Orang dari Solo itu duduk didampingi oleh seorang perangkat desa, Carik Dhurno.

            Orang dari Solo itu bertubuh tinggi besar, wajahnya bulat dengan kulit mengkilat. Wajahnya geradakan, tampak di penuhi oleh bopeng-bopeng bekas cacar air. Tapi, dia mengenakan pakaian mahal. Walau kulitnya berwarna gelap, tapi gayanya dia sudah kayak menier Belanda saja, dengan setelan jas berwarna putih terlihat baru, membungkus tubuhnya yang kekar. Tidak ada orang desa yang memiliki pakaian sebagus itu. Belum lagi di belakang Orang dari Solo itu, ada tiga orang begundal yang berpakaian seperti ala pendekar yang senantiasa mengiringi setiap langkah tuannya. Mereka dengan kumisnya yang tebal melintang dan berkucir seperti ekor bebek itu terlihat galak, sorot matanya tajam, lengkap dengan golok berbalut sarung berukir indah terselip di ikat pinggangnya, buat orang-orang desa jadi gentar.

            Makanya, para lelaki desa pada berjongkok, sebahagian sambil bertopang dagu menghamparkan tampang kusam, lusuh, kotor dan bodoh laksana orang yang tak pernah makan sekolahan. Salah satu di antaranya, Marto Kapuk muda yang berjongkok paling depan. Mereka penuh perhatian mendengarkan cerita yang dibawa Orang dari Solo itu.    Phuih! Orang dari Solo itu membawa cerita yang menarik, tentang negeri seberang yang gemah ripah loh jinawi, seperti di surga.

“Di sana kalian bisa menikmati surganya dunia…surganya kenikmatan, hidup tenteram, hidup berkecukupan, hidup enak. Kalian mudah mendapatkan uang hingga melimpah ruah,” katanya dengan lantang.

“Masa sih? Yang benar saja?” Marto Kapuk muda menyeletuk, sambil mendongakkan kepalanya.

“Ya?” dukung beberapa orang desa yang jadi penasaran juga.

“Semua serba lengkap, serba tersedia, apapun yang kalian mau… Namanya tempat surga dunia. Makanannya enak-enak, arak berbau harum, uang mudah didapat, bahkan berlimpah-limpah.”

“Makanannya serba enak?”

“Ya!”

“Juga ada arak yang harum?”

“Betul tuh!”

“Uang mudah didapat?”

“Itu yang pasti sekali…pasti!” Orang dari Solo itu menandaskan, sorot matanya tajam langsung menusuk bola mata Marto Kapuk muda. Terus, dia beralih pandang pada orang-orang desa lainnya, “Kalian tau? Di sana setiap malam ada keramaian, seperti ada ludruk, wayang kulit, dan bahkan ada tayub atau ronggeng perempuan-perempuan cantik kayak bidadari yang turun dari langit, seperti kisahnya si Jaka Tarub itu… Nah, kalian tinggal pilih mau nonton yang mana…”

“Apa? Setiap malam ada ludruk?”

“Ya!”

“Perempuan tayubnya cantik kayak bidadari?”

“Ya! Demi Gusti Allah!” Dengan wajah tanpa dosa, dia memberi penekanan dengan menjual nama Tuhan segala. Bahkan untuk meyakinkan lebih dalam, dia mengulangi kata-katanya dengan tandas, “Demi Gusti Allah!”

“Wow!” Kegirangan serempak. Mata orang-orang desa itu pada terbelalak dengarnya.

Yeah! Marto Kapuk muda pun terpana dibuatnya. Hati Marto Kapuk muda jadi jatuh kepincut juga pada negeri impian yang diceritakan Orang dari Solo ini. Apalagi, dengar perempuan cantik kayak bidadari menggetarkan hatinya. Ditambah uang mudah didapat itu.

“Ckckck…ckckck…!” Gema decak kagum pun meluncur dari bibir-bibir orang-orang desa itu, terpengaruh.

Dengan polos, tanpa sadar orang-orang desa itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yeah! Bahkan beberapa di antaranya, mendengar dengan mulut menganga. Keindahan negeri gemah ripah loh jinawi yang diceritakan Orang dari Solo itu seolah-olah nyata di depan mata mereka. Mereka langsung membayangkan betapa nikmat, makanan enak, ada ludruk, ada wayang kulit, arak yang harum dan terlebih perempuan-perempuan tayub yang cantiknya laksana bidadari itu. Wow!

Ternyata, Orang dari Solo tahu benar bagaimana mempermainkan melodi hati orang-orang desa ini. Dia diam beberapa saat. Dia beri kesempatan pada orang-orang desa untuk membayangkan suasana kehidupan negeri dongeng yang diceritakannya. Lantas, pada momen yang dianggapnya tepat, Orang dari Solo itu lalu berkata,”Sudah banyak orang yang pergi ke sana. Saat mereka kembali, mereka sudah hidup makmur…kaya-raya, seperti aku ini!”

Orang-orang jadi tertegun, surprise banget. Sebahagian saling pandang dan mengangguk-angguk lagi. Suasana jadi riuh, memperbincangkannya.

Tapi, ada seseorang lelaki tua yang berjongkok di belakang kerumunan, tiba-tiba berdiri, menepuk kedua telapak tangannya, membungkam riuhnya orang-orang desa itu. Sesaaat kemudian suasana jadi senyap. Semua mata menoleh, memandang lelaki tua itu.

“Memangnya kerja apa di sana?” sela lelaki tua itu dengan nada ketus, sambil mencibir. Wajahnya terlihat sinis dan penuh rasa curiga.

Orang-orang itu setengah tersadar, terus segera mendukung ucapan lelaki tua itu.

“Ya betul! Kerja apa di sana?” sambut beberapa. Mereka saling-pandang dan mengangguk, cari dukungan dari sesama mereka untuk membenarkan pertanyaan lelaki tua tadi.

“Hahaha,” Orang dari Solo itu bukannya menjawab, tapi malah tertawa terbahak-bahak. Dia bangkit dari kursi, di mana dia duduk sambil bicara tadi. Dari cara dan nada tawanya, jelas sekali dia meremehkan pertanyaan lelaki tua itu. Apalagi, dia lantas menuding lelaki tua yang berdiri di belakang kerumunan.

“Pertanyaan bagus…haaa…hah…hahaha,tentu saja harus kerja. Tapi kerjanya tidak susah. Huaha…haha…kerja di sana tidak berat seperti di sini. Siapa yang kerja di sana bahkan disediakan rumah!”

“Dapat rumah!”

“Ya!”

“Jawab dulu! Kerja apa?” lelaki tua itu sudah tak sabar, langsung memotong. Dia mulai berani mengangkat dadanya. Dia tidak peduli lihat begundal di belakang Orang dari Solo itu mulai memperhatikannya dengan sorot mata tajam, mengancam.

“Ya, kerja apa?” beberapa orang turut mengulang pertanyaannya. Lainnya berbisik-bisik. Tampak sekali mereka menunggu kejelasan.

“Kalian cuma diminta merawat pohon!” tukas Orang dari Solo itu cepat.

Orang-orang kembali saling pandang, terperangah. Kali ini dengan alis terangkat dan kening berkerut.

“Merawat pohon?” Nyaris bersamaan mereka mengulang, tak percaya.

“Pohon apa itu?!” celetuk mereka, jadi setengah mencemooh. Sebahagian orang-orang desa itu bangkit berdiri. Mereka mulai meragukan ucapan Orang dari Solo itu.

“Di sini juga banyak pohon. Lihat itu…di mana-mana ada pohon,” sahut mereka diiringi dengan tawa berderai.

“Tunggu dulu, kalian jangan mencemooh! Memang, di sini juga ada pohon tapi di Deli itu lain, kalian tau,” Orang dari Solo itu berhenti sejenak, menarik perhatian. Dia melayangkan pandangannya, menyapu satu persatu wajah-wajah orang desa itu. Orang-orang jadi terdiam, memusatkan perhatian. Menunggu.

“Di Deli pohon-pohonnya berasal dari surga, daunnya berkilauan dapat berubah jadi uang!” Orang dari Solo itu memberi tekanan pada enam kata terakhir.

“Pohon dari surga, daunnya berkilauan?”

“Ya! Di Deli tumbuh pohon-pohon surga, memang daunnya berkilauan!”

Orang-orang jadi terperangah.

“Kerja kalian hanya merawat pohon-pohon itu. Kalau ada daun yang kalian belai-belai jatuh dari pohon, maka dapat berubah jadi uang. Kalian boleh ambil itu. Nah, itu sebahagian upah kalian. Semakin banyak pohon yang kalian rawat maka uang kalian semakin banyak. Dan kalian tau itu belum cukup. Setiap akhir bulan kalian juga dapat upah yang besar dan dapat bonus lagi. Nah, bagaimana? Mudah, bukan?”

Orang-orang itu masih menganga.

Pohon-pohon yang daunnya dibelai-belai dapat berubah jadi uang…pohon uang.

Wow! Hebat kali negeri itu. Ckckck…ckckck… Ada pohon-pohon yang daunnya dapat berubah jadi uang…

Berkali-kali mereka mengucapkan kalimat itu, seperti meresapkan ke dalam hati. Begitu juga, Marto Kapuk muda yang polos itu hilang keraguannya, dia semakin terpesona. Hati kecilnya berbisik, Gusti Allah memang Maha Besar. Dia menciptakan segala yang dikehendakiNya. Ada pohon uang! Kalau begitu, tidak perlu susah-susah kerja seperti di sini?

“Ya, di sana kerja ringan! Uang melimpah-limpah. Dengan uang yang banyak, kalian bisa beli apa saja yang kalian suka. Baju yang bagus seperti baju saya ini, emas yang banyak, dan juga perempuan yang cantiknya kayak bidadari mudah kalian nikahi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status