Share

Bab 9 Cerita Tragis Kakek Jadi Kuli Kontrak

Minggu siang itu, walau bergumpal-gumpal awan hitam berarak-arak mulai menghapus langit biru dan lecutan petir sekali-kali menyentak bumi, namun tidak menghilangkan kegelianku lihat gaya Indra Kesuma berjoget kegirangan ala Michael Jackson di atas pematang sawah lagi. Tak berselang lama, giliran Suheng tak mau kalah, beratraksi ala breakkedend (eh…break dance maksudnya). Lanjut, Julbrito mesam-mesem berjoget ala kuda lumping. Ada-ada saja gaya teman-temanku ini setiap joran pancing dari batang bambu kecil yang panjangnya tiga meteran miliknya berhasil mengail ikan betik (semacam ikan bethok) di selah-selah padi di sawah. Sudah tentu akting teman sekolahku ini mengundang banyak perhatian anak-anak yang sebaya dengan kami dan juga kebetulan turut memancing ikan di sawah yang ada di kampungku ini. Mereka pun tak mampu untuk tidak menahan tawa, jadilah mereka terkekeh-kekeh lihat hiburan gratis ala teman-temanku. Aku pun merasa senang sekali lihat teman-temanku sekampung yang jadikan sawah nan hijau ini tempat bermain jadi turut terhibur oleh ulah teman sekolahku ini.

Namun, kegembiraan kami tak berlangsung lama, tiba-tiba turun hujan lebat mengguyur hamparan hijau sejauh mata memandang. Jadinya, kami berhamburan, berlarian untuk cari tempat berteduh dengan tinggalkan begitu saja pancing-pancing kami. Tapi Indra Kesuma, Suheng dan Julbrito beda. Mereka tak rela tinggalkan ikan betik yang telah berhasil dikailnya. Maklumlah, mereka ini jarang sekali memancing karena di dekat rumahnya tak ada sawah. Keberhasilan mengail ikan betik ini memberikan kegembiraan yang luar biasa bagi teman tetangga kampungku ini. Kami pun tergopoh-gopoh menuju huma (gubuk) yang ada di pematang sawah, sambil menenteng ikan betik yang kami ikat-renteng dengan batang rerumputan melalui sela-sela insang hingga mulutnya.

Dalam huma yang beratap daun nipah, bertiangkan batang pohon waru, tanpa dinding, kami dapati kakekku, Marto Kapuk yang telanjang dada dan hanya berlapis celana hitam komprang lagi duduk terpaku ditemani radio portabel 2 Band kesayangannya. Siaran radio ALNORA Medan jadi favorit pelipur laranya. Kali, Kakek lagi terharu, saat penyiar radio Alnora mengulas nasib para buruh kebun. Kisah tragis kuli kontrak yang dituturkan sastrawan Mochtar Lubis melalui cerita pendeknya, Koeli Kontrak yang dimuat dalam majalah Siasat Baru, No. 650, Th. XIII, 25 November 1959.

…ketika masa kecil, Mochtar Lubis telah menyaksikan langsung penyiksaan yang mengerikan terhadap tiga kuli kontrak di belakang rumahnya di daerah Kerinci, Sumatera Barat. Sebelum perkara tiga kuli kontrak dibawa ke depan hakim, mereka dilecut karena mereka telah gelap mata menikam seorang opzichter Belanda, yang selalu mengganggu isteri-isteri mereka…

Ketika kuli kontrak itu dibariskan dekat bangku-bangku kayu yang telah tersedia, mereka disuruh jongkok. Kepala rumah penjara kemudian membacakan sehelai surat. Dan aku lihat kontrolir mengangguk-angguk. Ayah berdiri tegang tidak bergerak-gerak. Kemudian ketiga kuli kontrak itu dibuka ikatan tangan mereka di belakang, ditidurkan telungkup di atas perut mereka di bangku, dan kaki dan tangan mereka diikatkan ke bangku.

Tiga orang mandor penjara kemudian maju ke depan, kira-kira 2 meter dari setiap bangku, di tangan mereka sehelai cemeti panjang yang hitam warnanya. Kemudian kepala penjara berseru:

“Satu!”

Suaranya keras dan lantang. Tiga orang mandor penjara mulai mengayunkan tangan mereka ke belakang. Cemeti panjang berhelak ke udara seperti ular hitam yang hendak menyambar, mengerikan. Dan terdengarlah bunyi membelah udara, mendengung tajam; lalu bunyi cemeti melanggar daging manusia, yang segera disusuli jeritan kuli kontrak yang di tengah melonjakkan kepalanya ke belakang. Dari mulutnya yang ternganga itu keluarlah suara jeritan yang belum pernah aku dengar dijeritkan manusia: melengking tajam membelah udara, menusuk seluruh hatiku, dan membuat tubuhku seketika lemah-lunglai.

Suatu ketakutan yang amat besar dan amat gelapnya, menerkam aku. Dan aku berpegang kuat-kuat ke dahan pohon jeruk, amat ketakutan.

“Dua!” teriak kepala penjara lagi.

Bunyi cemeti mendesing membelah udara beradu dengan punggung. Dan pada cambukan yang kedua mereka bertiga sama-sama menjerit, melengking-lengking kesakitan.

Aku tak berani melihat lagi. Kututup mataku kuat-kuat, tapi tak kuasa aku menahan bunyi desing cemeti di udara, bunyi cemeti menerkam daging dengan gigi-giginya yang tajam, ratusan ribu banyaknya, dan jerit mereka yang kesakitan membelah langit melolong minta ampun. Entah berapa lama aku hidup dan mati demikian, bersama dengan mereka di atas bangku, tidaklah kuingat lagi. Ketika kubuka kembali mataku, kulihat dokter memeriksa ketiga kuli kontrak itu. Dan kemudian dia mengangguk pada kontrolir, dan kontrolir mengangguk kepada kepala rumah penjara, dan kepala rumah penjara pun berteriaklah lagi:

“Dua puluh satu!”

Dan kembali cemeti berdesing membelah udara. Dan menerkam melingkari punggung yang telah hancur memerah darah. Hanya kini mereka tidak lagi menjerit. Ketiganya telah pingsan.

Sehabis cambukan yang kedua puluh lima, kontrolir memberi isyarat. Kepala rumah penjara mundur selangkah dan memerintah. Ketiga orang mandor penjara tukang cambuk itu pun mundur, menggulung cambuk mereka yang telah merah penuh darah dan keping-kepingan daging manusia; mundur dan masuk ke dalam rumah penjara.

     Dokter kembali memeriksa kuli-kuli kontrak. Dan tali-tali pengikat mereka kemudian dilepaskan…

…Pemirsa…bagaimanakah situasinya kini? Walau kekejaman ala penyiksaan zaman kolonial Belanda yang disaksikan oleh Mochtar Lubis ini tidak terjadi lagi. Namun yang jelas secara kasat mata, suasana otokratis dan feodalistis masih terasa sangat kental di perkebunan di tanah Deli ini. Sifat takut dan segan para pekerja masih terasa dan terdapat jurang sosial yang lebar antara buruh, mandor, asisten, dan administratur. Itu tampaknya merupakan ciri pola kehidupan masyarakat perkebunan yang universal. Apalagi dari sudut upah, belum dapat dikatakan bahwa upah buruh perkebunan pada zaman kemerdekaan lebih tinggi daripada zaman Belanda… Seorang buruh…seorang kuli selamanya ya tetap jadi buruh atau kuli, kaum marginal…jangan mimpi hidup enak, hidup berkecukupan.

Mata Kakek kala itu jatuh jauh di ujung batas petak-petak hamparan sawah, di antara sela-sela rerimbunan pepohonan pembatas sawah dengan perkampungan desa Pulo Brayan Darat, menembus butiran-butiran air hujan, menerawang. Bukan sekali itu saja, bahkan mungkin sudah tak terhitung lagi aku lihat kakekku suka duduk melamun, merenteng asa. Wajahnya yang dimakan keriput itu terlihat jelas tinggalkan guratan-guratan kegetiran. Aku sempat tertegun juga lihat keadaan kakekku ini. Namun, jujur aku katakan, aku tak tahu apa yang ada di benak pikiran kakekku itu. Apakah kakekku kini lagi meratapi kebodohan, kepapahannya karena setua ini masih tetap jadi kuli? Walau kini jadi kuli sawah, jadi penjaga sawah orang. Atau apa dia lagi rindu akan negeri tanah leluhurnya yang telah ditinggalkannya puluhan tahun? Memang kakekku semenjak dibawa-paksa antek-antek Belanda ke tanah Deli ini sebagai kuli kontrak dulu belum pernah kembali ke tanah leluhurnya.

Berbeda, kalau lihat Suheng, Indra Kesuma, Julbrito yang pada kepalkan dan merapatkan tangan di dadanya masing-masing. Kami menggigil kedinginan karena sempat basah kuyup diguyur air hujan, ketika setengah berlari ke huma yang berjarak seratusan meter dari tempat kami memancing tadi. Setelah menggantung ikan betik di gantungan paku yang ada di tiang huma itu, kami pun segera beringsut naik ke balai bambu dalam huma yang berada di pematang tengah sawah itu.

Kedatangan kami tentu membuyarkan lamunan Kakek. Dia tersentak. Lalu, dia pun memperhatikan kami yang sedang kedinginan.

“Ini ada ketela rebus…makanlah, selagi masih hangat agar kalian tak kedinginan lagi.”

Sudah tentu kami pun tanpa basa-basi lagi langsung berebut, menyikat ketela rebus yang disodorkan Kakek pada kami itu.

“Cocok sekali ini Kek,” cerocos Indra Kesuma, sambil buru-buru menjejalkan ketela rebus itu ke dalam mulutnya. Dia tidak peduli, walau mulutnya megap-megap kepanasan menyantap ketela rebus itu.

“Iya Kakek ini baik sekali, tau aja keinginan kami,” sambung Suheng.

“Huuuh, kalian cari muka yeee!” sindir Julbrito berbisik.

“Tenanglah, kawan!” sergah Indra Kesuma, sambil menyikut pinggang Julbrito.

 Sementara Julbrito jadi nyengir lihat ulah temannya yang satu ini. Dia tahu apa mau temannya ini.

Lantas, Indra Kesuma dengan gayanya, menoleh memandang Kakek dengan mimik setengah serius yang dipaksakan, “Oya kek, ceritain dong, gimana Kakek dulu bisa sampai ke sini.”

“Pasti seru deh kisah Kakek ini! Ya-enggak Heng?” ucap Indra Kesuma kembali, sambil menoleh pada Suheng, cari dukungan.

“Iya tentu, Kek! Hujan-hujan gini, pasti asyik dengar cerita Kakek,” sambung Suheng, memancing emosi. Dia tahu apa maunya Indra Kesuma ini, ingin tahu bagaimana dulu Kakek kok bisa terdampar jadi kuli kontrak di tanah Deli ini, makanya dia pun turut gelitiki, bakar hati Kakek.

Aku hanya senyum dikulum lihat gaya Indra Kesuma dan Suheng yang konyol, tapi buat ramai suasana. Apalagi suasana siang itu memang lagi tak nyaman, tubuh kami terguncang hebat, menggigil kedinginan. Sekawanan udara dingin menampar-nampar wajah, dan bahkan menusuk-nusuk pori-pori tubuh kami. Derai hujan pun semakin lebat bercampur deru angin yang menggelombangkan kawanan padi di sawah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status