"Dari mana saja kau?!" teriak Marina pada Laura, putrinya, saat ia memasuki halaman dan mendapati gadis itu sedang duduk di salah satu bangku taman.
"Mom?!" ucapnya kaget. Ia mendongak dan mendapati Marina berjalan memburunya. Tanpa berbasa-basi lagi, Marina segera menampar putrinya.
"Plaaak!!"
Tamparan keras yang mendarat di salah satu pipinya terasa begitu menyakitkan. Laura segera bangkit dan menatap Marina dengan terkejut.
"M ... mom," lirihnya sembari memegang pipinya yang terasa panas. Air matanya mulai menetes pilu.
"Dasar kau tak tahu berterima kasih! Apa kau senang membuat ayahmu menekanku karena dirimu?! Mengapa kau tak memberinya kabar atau semacamnya!"
"Jadi itukah yang kau pentingkan?!" ucapnya. "Kau bahkan tak menanyakan keadaan putrimu? Kau tak memberiku waktu untuk bercerita dan menjelaskan semuanya?!" seru Laura.
"Ayahmu menyebutku seorang ibu yang tak becus mengurusmu. Kau senang?"balas Marina.
L
"Kau ingin makan apa malam ini, Sayang?" tanya Jaden pada Lilian saat mereka masuk ke dalam lift."Apa pun yang ingin kau buat, aku tak masalah," ucap Lilian."Yah, baiklah, kecuali makanan pedas, berair banyak dan segala sesuatu yang lembek. Benar, bukan?" ucapnya sambil menarik dagu Lilian."Kau benar-benar menghafal seleraku rupanya,""Tentu saja ... bukan hanya selera, tapi aku juga hafal segala sesuatu yang dapat menyenangkan tunanganku ini. Kau begitu menikmati saat aku memelukmu seperti ini, bukan ... atau saat aku menciumimu dan ...,""Ahem!! Uhuk! Uhuk! Apakah kalian lupa aku ada di dalam sini? Ini bukan lift pribadi kalian, jadi bisakah kalian hentikan percakapan dan adegan-adegan yang begitu menggelikan itu?!" protes Seth yang sedang berdiri di sudut lift dengan tatapan kesalnya.Lilian mengerjap dan melepaskan dengan segera pelukan Jaden terhadapnya. Tak ingin merasa kalah, Jaden kembali memeluk Lilian ke dalam pelukannya w
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan para reporter itu?" tanya Seth pada Lilian ketika mereka dalam perjalanan pulang. "Tak ada sesuatu yang khusus, aku hanya kebetulan melihat rekannya yang terlalu sibuk dengan ponselnya setelah ia mengambil foto Jaden. Mungkin ia berkepentingan mengirim foto-foto tersebut pada seseorang atau semacamnya," balas Lilian. "Benarkah? Bukankah itu hal yang normal? Maksudku tak ada yang aneh dengan itu. Siapa pun bisa memainkan ponselnya saat ia memang membutuhkannya." Lilian menghela napasnya sejenak sebelum menjawab Seth lagi. "Tak ada yang normal setelah penyerangan dan penguntitan itu. Dia adalah Jaden, apa kau lupa fakta itu? Orang normal mana yang akan mengabaikan seorang artis begitu saja saat ia dihadapkan olehnya di depan mata. Lagipula, rekannya tadi tampak begitu mencurigakan. Gerak-geriknya terlihat was-was dan waspada seolah ia sedang melaporkan sesuatu pada orang yang dituju di ponselnya.
"Duduklah di mana pun kau ingin, silakan," ucap Seth sembari menekan beberapa tombol lampu untuk penerangan apartemennya.Seth sendiri segera menuju ke arah dapar setelah meletakkan koper yang ia seret sebelumnya tepat di samping pintu masuk apartemennya.Apartemen Seth terlihat cukup hangat dan rapi. Ia kemudian tak lupa menyalakan penghangat agar dirinya dan Casey segera merasa hangat di cuaca yang hampir memasuki musim dingin ini."Apa yang kau inginkan? Cokelat hangat atau kopi?" tawar Seth."Cokelat saja, please ... terima kasih. A ... aku akan segera kembali setelah merasa cukup hangat," ucap Casey menegaskan maksudnya. Ia benar-benar merasa jika Seth mungkin sedang sangat kesal padanya dan karena itu ia tak ingin berlama-lama di kediaman pria itu.Seth hanya mengangguk tak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya meneruskan aktivitasnya setelah meletakkan jaketnya di salah satu kursi dapur.Dengan kikuk Casey melakukan hal yang sama. Ia ke
Lilian dan Jaden sampai di kediaman mereka tak lama setelah mereka kembali dari menyantap hidangan di sebuah restoran tenang langganan Jaden sebelumnya. Karena beberapa bahan makanan yang Jaden butuhkan untuk mengisi akhir pekan mereka telah habis, ia berinisiatif untuk membelinya setelah mengantar Lilian ke rumah."Apa kau yakin tak ingin kutemani?" tanya Lilian lagi."Tidak, Sayang, masuklah. Udara sangat dingin dan ini hampir larut. Aku hanya akan pergi sebentar, tunggu saja aku di rumah," tolak Jaden."Persiapkan saja dirimu untuk menyambutku saat aku kembali nanti. Karena seperti yang kau tahu, aku hanya ingin menghabiskan akhir pekan bersamamu dengan di rumah saja sambil menikmati hidangan-hidangan spesialku yang akan menemani waktu berduaan kita, oke?" ucap Jaden sambil mengerling jahil."Oke, baiklah," ucap Lilian akhirnya. Ia tahu jika sudah menyangkut soal makanan, ia tak akan pernah dapat membantah Jaden.Sekepergian Jaden, Lilian kemudi
"Aku akan memberikan ini pada Laura," ucap Lilian setelah Jaden menyelesaikan membuat satu hidangan di dapur."Sungguh menyebalkan, gadis itu tahu benar waktu yang tepat untuk merusak rencana orang lain," ucapnya. Jaden yang mengoceh sembari membersihkan peralatan yang digunakan sebelumnya untuk memasak itu membuat Lilian geli."Jangan begitu, ia hanya sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarkannya," ucapnya sambil memeluk Jaden dari belakang. Sedang pria itu masih sibuk mencuci peralatan dapurnya."Aku tak mau tahu, besok ia harus pulang. Aku tak suka jika harus berurusan dengan penyihir tua itu jika ia tahu putrinya berada di sini," ucapnya kesal."Kemarilah," ucap Lilian ketika Jaden selesai membenahi peralatan memasaknya."Ada apa?" tanyanya dengan sedikit curiga sambil berjalan mendekati Lilian. "Oh, please jangan coba membujukku dengan permintaanmu lagi. Cukup hidangan ini saja dan juga kamar itu yang akan Laura dapatkan malam ini. Dan ji
"Masuklah," ucap Jaden memberi perintah pada Laura. Jaden, Laura dan Lilian sekarang sudah berdiri di halaman depan kediaman keluarga Jarvis, ayah Jaden. Penjaga gerbang langsung membuka pintu dan mempersilakan mobil Lilian masuk saat dilihatnya Jaden, sang tuan muda pemilik rumah turut bersamanya. "Bisakah kalian mengantarku ke dalam?" tanya Laura seolah enggan. Ia memasang wajah memelas. Saat mereka turun dari dalam mobil setelah selesai memarkir mobil. "Kau bukan anak kecil lagi, haruskah kami menggandeng kedua tanganmu juga dan menuntunmu masuk!?" balas Jaden. "Laura? Kau kembali?" Sebuah suara menghentikan perdebatan mereka. Ethan, pria muda bersetelan rapi itu segera berlari menyongsong Laura. "Ethan ...!" seperti hendak meminta pertolongan, Laura segera berhambur ke arah Ethan. "Tuan dan Nyonya begitu cemas mencarimu. Apakah telah terjadi sesuatu?" tanyanya cemas. Ia kemudian refleks menatap Jaden yang berdiri dengan tegap di sa
"Lilian, ayo kita pulang," ucap Jaden kemudian pada Lilian. Lilian yang masih bimbang meninggalkan Laura, tampak sedikit ragu dengan ajakan Jaden. "Urusan kita di sini sudah selesai," tegasnya lagi karena melihat kebimbangan Lilian. Laura menggigit bibirnya dan mulai meneteskan air matanya. Entah mengapa ia merasa sedih dan kecewa saat Jaden meminta Lilian untuk pergi bersamanya. Ia merasa bahwa tak ada seorang pun yang bahkan akan mendengar dan membelanya. Ya, kecuali Lilian. Maka tak heran jika ia merasa kehilangan dan tiba-tiba merasa begitu kesepian. "Please ... Lilian," lirihnya sembari mencengkeram ujung kemeja Lilian seolah ingin menghentikan kepergiannya. "Lilian?!" panggil Jaden lagi. "Bisakah kau hentikan teriakanmu?" tegur Jarvis kemudian. Ia yang sedari tadi hanya mengamati mereka, kini mulai buka suara. Ia menatap Jaden dengan tatapan yang sulit dibaca. "Benar, hentikanlah keributan kalian," seolah telah mendapat dukungan,
Lilian telah mengenakan gaun tidurnya dan menatap Jaden lagi dengan serius. Ia lalu menghembuskan napasnya dengan perlahan. Saat ini, posisi Lilian sedang duduk berdampingan dengan Jaden di atas ranjang. "Apa kau yakin?" tanya Jaden. Lilian mengangguk dengan tenang. "Jangan pernah menyentuhku apa pun yang terjadi padaku. Biarkan saja aku, sampai aku terbangun dari mimpiku sendiri," jelas Lilian. "Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu dan ...," "Tenanglah, Jaden. Setelah bertemu denganmu, hidupku tidak semenakutkan itu. Perlahan-lahan, aku bahkan mulai dapat menerima kemampuanku ini. Aku akan kembali baik-baik saja saat kau menyentuhku." Jaden mengangguk walau masih merasa enggan. Bukan seperti ini kegiatan akhir pekan yang ia rencanakan. Ia hanya ingin berduaan dan bermesraan dengan Lilian di waktu libur mereka. Tapi karena kedatangan Laura kemarin, semua rencananya menjadi kacau. Lilian yang tampaknya telah siap, mulai merebahkan diri