KUNTILANAK MERAH

KUNTILANAK MERAH

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-07-05
Oleh:  West starOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
14Bab
91Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Urban legend modern tentang Kuntilanak Merah yang bangkit kembali di sebuah desa kecil akibat kesalahan ritual digital generasi muda. Cerita penuh horor realistis dan komedi karakter, membahas kesenjangan generasi, keluguan warga desa, dan bahaya membuka rahasia lama demi konten viral.

Lihat lebih banyak

Bab 1

live Streaming Terakhir

Bab 1: Live Streaming Terakhir

Langit sore Desa Kalibungkus memerah seperti luka menganga. Matahari hampir tenggelam di balik perbukitan, menyisakan warna jingga yang menggantung muram di ufuk barat. Angin berhembus pelan, membawa aroma kering dedaunan dan bau tanah yang baru saja digali. Bukan aroma yang lazim. Bukan pula aroma yang ingin dirasakan saat hendak memulai petualangan konten horor.

Raka melangkah keluar dari mobil hitam tuanya, memandangi plang kayu berukir tulisan "Selamat Datang di Desa Kalibungkus – Pusat Salak dan Mitos." Di sebelahnya, Ucup turun sambil menyeret koper besar dan kamera.

"Bro, ini desa atau studio film horor? Lihat itu… gubuknya miring, pohon beringinnya berdarah—eh itu cat merah ya?" Ucup menunjuk pohon besar yang berdiri menjulang di ujung jalan masuk desa.

"Itu… bukan cat, Cup. Itu getah pohon. Mungkin." Raka menyipitkan mata, pura-pura yakin.

Ucup mendengus. “Yakin elu? Soalnya bentuknya kayak... tetesan air mata dari kuntilanak patah hati.”

Raka tertawa pendek, lalu mengangkat ranselnya. “Kita di sini buat kerja, bukan nge-drama. Ingat misi kita: investigasi urban legend kuntilanak merah, bikin konten eksklusif, upload sebelum Jumat Kliwon minggu depan, dan viral.”

“Viral sih... tapi jangan sampe nyawa kita yang diviralkan.”

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak desa. Rumah-rumah tua berdiri berderet, sebagian sudah lapuk dimakan usia. Jendela-jendela tertutup rapat, seolah penduduknya enggan melihat dunia luar. Di kejauhan, lonceng dari masjid kecil berdentang tiga kali, menciptakan gema hampa.

Sesampainya di rumah tempat menginap mereka—rumah tua peninggalan kakek Raka yang katanya dulunya kepala dusun—mereka disambut oleh seorang perempuan muda dengan rambut diikat rapi dan mata tajam seperti elang.

“Raka, ya? Saya Desi. Anak Pak Lurah. Bapak suruh saya yang urus kamu di sini.”

Raka mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih, Desi. Ini Ucup, partner konten saya. Kami nggak akan lama kok, cuma butuh beberapa malam buat riset, ambil footage, dan... kalau boleh... tanya-tanya soal mitos di sini.”

Desi tidak menjawab, hanya melirik singkat ke arah koper kamera yang dibawa Ucup. Matanya menajam, tapi tidak berkata apa-apa.

Rumah tua itu gelap, meski jendelanya terbuka. Dindingnya terbuat dari papan jati yang sudah menghitam, mungkin karena usia atau... sesuatu yang lebih gelap dari waktu.

“Ini rumah simbahmu. Udah lama kosong, tapi saya bersihin kemarin.” Desi berjalan mendahului mereka, lalu menoleh, “Kalian yakin mau nginap di sini?”

Ucup yang baru saja mengangkat tripod langsung menjawab, “Sebenernya enggak. Tapi kalau enggak viral, kita nggak makan, Mbak. Saya sih lebih milih kos di pinggir tol.”

Malam pertama di Desa Kalibungkus dimulai dengan suara jangkrik yang tidak biasa. Mereka tidak bersuara serempak seperti biasanya. Ada jeda, seolah menunggu giliran. Dan tiap kali angin berembus, suara mereka seolah berubah menjadi bisikan.

“Pulangkan... pulangkan...”

Raka duduk di depan laptop, mengecek hasil drone sore tadi. Cuplikan desa terlihat jelas. Tapi ada satu frame yang membuatnya diam cukup lama: sosok putih berdiri di samping sumur tua. Tak bergerak. Hanya berdiri. Dan entah mengapa... kabut di sekitarnya berwarna merah samar.

"Ucup, lu ngedit iseng ya? Masukin filter sosok cewek kayak di tiktok-tiktok tuh?"

Ucup yang sedang menyusun lampu studio menoleh. “Sumpah bro, gue cuma upload mentahan. Lu liat sendiri drone-nya masih nempel di tas.”

Mereka memandangi monitor bersama. Zoom in. Sosok itu tetap diam. Tidak buram, tidak transparan seperti efek biasa. Ia terlihat nyata. Terlalu nyata.

Desi masuk dengan teh hangat. “Kalian jangan terlalu larut. Jam malam di sini ketat. Bukan karena corona, tapi... yang lain.”

Raka bertanya, “Tentang kuntilanak merah?”

Desi diam sebentar, lalu duduk di kursi kayu yang berderit pelan. “Dulu... waktu kecil, aku pernah dengar tangisan dari sumur itu. Tengah malam. Ada yang tertawa sambil nyanyi. Katanya... itu suara perempuan yang gagal menikah. Dibunuh saat sedang pakai kebaya merah. Arwahnya nggak diterima bumi, karena dia dikubur sambil hamil. Dia ingin anaknya lahir... tapi nggak bisa.”

Ucup menggigil. “Lho... jadi bukan cuma kuntilanak biasa dong. Itu ‘ibu tak selesai’!”

Desi tersenyum miris. “Kalian pikir semua ini lucu?”

Suara ketukan terdengar dari jendela. Mereka bertiga refleks menoleh. Tidak ada siapa pun. Tapi angin dingin menyelinap masuk, membawa bau amis dan anyir yang menyengat.

Raka menutup laptopnya. “Kita live streaming jam 10 malam. Di dekat sumur. Lu siap, Cup?”

Ucup menghela napas. “Gue lebih siap kalau kita live di Jakarta. Di kafe. Deket wifi. Banyak lampu.”

Tepat pukul 22.00, mereka memulai live. Lokasi: dekat sumur tua di tengah kebun belakang rumah. Suasana mencekam. Tidak ada sinyal listrik di sana. Mereka mengandalkan lampu sorot dan koneksi hotspot yang disambungkan ke antena tinggi sementara.

Raka menatap kamera, “Selamat malam para pecinta horor tanah air. Hari ini kita live dari desa terkutuk: Kalibungkus, tempat mitos kuntilanak merah berasal.”

Ucup menambahkan, “Kalau kita gak muncul besok, tolong kirimkan pulsa dan kirim ustaz ke sini.”

Tiba-tiba... kamera bergetar sendiri. Bukan karena angin. Kabel-kabel mulai bergerak seperti ada yang menarik. Monitor laptop memperlihatkan sesuatu... di belakang mereka.

Sosok perempuan. Berkebaya merah. Rambut panjang tergerai, wajah pucat, dan mulut sobek hingga ke telinga. Ia berdiri diam. Tidak berkedip. Tidak bergerak. Tapi... makin dekat di tiap frame.

Raka berbalik cepat. Tak ada siapa pun.

Namun suara tawa lirih terdengar dari sumur. Pelan. Serak. Menggelegar di kepala.

“A... ku... akan... menikah...”

Lampu padam. Live streaming terputus. Komentar netizen meledak:

“Asli ini settingan atau beneran sih???”

“Bang jangan becanda! Suara itu asli bikin merinding!”

“Woi koneksi mati pas sosoknya muncul!!!”

Ucup berteriak sambil melompat ke arah kamera. “Broooo, ini bukan prank kan?!”

Raka diam. Pandangannya kosong ke arah sumur. Di pinggirnya... ada bekas kaki perempuan. Basah. Menuju ke arah mereka.

Dan suara tawa kembali terdengar.

---

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
14 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status