ig author: @rafi.aditya87 Di ujung peta, tersembunyi sebuah desa bernama Angkara. Tak ada yang bisa masuk, kecuali mereka yang dipanggil atau dikutuk. Raka Prasetya, seorang jurnalis muda yang haus cerita eksklusif, menerima surat tanpa pengirim berisi potongan artikel kuno dan satu kalimat: "Datanglah ke Angkara sebelum malam merah tiba." Penasaran dan tergoda sensasi, Raka menuju desa yang bahkan tak tercatat di Google Maps. Namun, sejak ia menginjakkan kaki di tanah itu, udara berubah dingin, waktu terasa lambat, dan tatapan para penduduk seakan menembus jiwanya. Ia menemukan makam yang bernafas, suara tangis dari pohon beringin, dan seorang wanita tua yang mengaku sebagai penjaga "pintu terakhir ke neraka". Malam-malam di Angkara tak seperti malam biasa. Raka harus memilih: mencari kebenaran dan membuka pintu yang seharusnya tertutup selamanya atau menjadi bagian dari legenda berdarah yang tak akan pernah diceritakan kembali. Karena di Angkara, tidak semua yang mati bisa beristirahat. Dan tidak semua yang hidup adalah manusia.
Lihat lebih banyakLangit senja berubah warna menjadi merah darah saat Raka Prasetya akhirnya sampai di mulut desa Angkara. Debu menempel di wajah dan bajunya setelah dua belas jam perjalanan dari kota, menembus hutan lebat, menumpang truk tua, lalu berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang seakan tak berujung.
Desa itu terpencil, tak ada di peta digital mana pun. Ia hanya tahu dari secarik surat yang dikirim tanpa pengirim. Isinya singkat, ditulis dengan tinta merah pudar di atas kertas tua beraroma jamur: "Datanglah sebelum malam merah tiba. Jika tidak, kau akan datang sebagai arwah." Awalnya Raka menganggapnya lelucon. Tapi rasa penasaran sebagai jurnalis investigasi dan dorongan aneh yang tak bisa ia jelaskan membuatnya terus mencari keberadaan desa Angkara. Kini ia berdiri di depan gerbang kayu tua yang menggantung miring, separuh patah, dipenuhi simbol tak dikenal yang terukir dalam pola berulang seperti mantera. “Permisi?” serunya. Tak ada jawaban. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar. Ia melangkah masuk. Jalan setapak membelah rumah-rumah kayu tua yang kusam dan reyot. Sebagian rumah tertutup rapat, jendelanya ditutupi papan dari dalam. Tak ada satu pun penghuni terlihat, seolah desa ini ditinggalkan... atau memang tidak pernah dihuni oleh manusia. Tiba-tiba, suara gesekan halus terdengar dari salah satu rumah di sebelah kanan. Raka berhenti. Perlahan, sebuah jendela terbuka, menampakkan sepasang mata tua yang dalam dan kosong. Mata itu menatapnya tanpa berkedip. Lalu jendela kembali tertutup tanpa suara. Raka merinding. Langkahnya kembali berjalan, kali ini lebih cepat. Di tengah desa, ia tiba di sebuah lapangan kecil dengan pohon beringin besar berdiri kokoh di tengah. Akar-akar pohon itu menjulur keluar seperti tangan yang merangkak dari tanah. Di bawah pohon itu berdiri seorang wanita tua berpakaian hitam lusuh, rambutnya panjang menutupi sebagian wajahnya, dan tongkat kayu melengkung di genggamannya. “Kau Prasetya?” tanyanya lirih. Raka mengangguk ragu. “Iya. Raka Prasetya. Saya... mendapat surat.” Wanita itu mengangguk pelan, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Surat itu bukan undangan,” katanya pelan. “Itu peringatan. Tapi kau datang juga.” “Saya ingin tahu tentang desa ini. Kenapa tak ada informasi apa pun? Kenapa semua orang diam? Apakah ada sesuatu yang” Wanita itu mengangkat tangannya, menyuruh Raka diam. “Mereka mendengarmu,” bisiknya. “Siapa?” Wanita itu menatap lurus ke matanya, dan saat itulah Raka merasa ada sesuatu yang tak wajar dalam sorot mata itu. Seolah... matanya pernah melihat dunia yang berbeda. Dunia yang lebih gelap. Dunia yang seharusnya tidak pernah dijamah manusia. “Aku penjaga gerbang,” ucap wanita itu akhirnya. “Dan kau, Raka... kau adalah kuncinya.” Raka melangkah mundur, jantungnya berdetak cepat. “Apa maksud Ibu? Kunci apa?” Sebelum wanita itu menjawab, dari arah hutan terdengar suara lolongan panjang. Namun itu bukan lolongan anjing. Suara itu dalam, serak, dan menggema seperti berasal dari tenggorokan makhluk yang tak memiliki bentuk. Langit perlahan menghitam, bukan karena malam turun, tapi seperti awan kelam menggulung turun menelan langit. Angin bertiup dingin, membawa bau busuk yang menusuk hidung. Daun-daun berjatuhan, dan suara lonceng kecil terdengar berdenting di kejauhan padahal tak ada angin cukup kuat untuk menggoyangkan apa pun. Wanita tua itu menatap ke langit. “Malam merah hampir tiba.” Ia lalu menunjuk arah barat. Di sana, di balik reruntuhan bangunan tua, terlihat jalan kecil menurun ke arah sebuah bukit. “Kau akan mulai mendengar suara-suara itu malam ini. Jangan menjawab mereka. Jangan melihat ke mata siapa pun setelah matahari tenggelam. Dan yang paling penting... jangan buka pintu rumahmu, meski yang mengetuk adalah suara ibumu sendiri.” Raka menatap wanita itu dengan bingung. “Ibu bicara seperti ini... semacam tempat terkutuk.” “Angkara bukan tempat. Angkara adalah pintu. Dan ketika dibuka, neraka tidak hanya menelan mereka yang berdosa. Tapi juga mereka yang penasaran.” Seketika itu, terdengar ketukan. Pelan. Tiga kali. Raka menoleh cepat ke belakang, namun tak ada siapa pun. Ketika ia kembali menatap wanita tua itu... dia telah menghilang. Pohon beringin bergoyang pelan. Di salah satu akar menggantung sebuah benda kecil berlumuran darah kering: potongan telinga manusia. Angin malam berdesir, membawa bisikan samar. "Selamat datang di Angkara, anak kunci..." BERSAMBUNGRuang kosong itu lebih dari sekadar kehampaan ia adalah kekosongan yang hidup. Waktu tidak berjalan, suara menggema tanpa asal, dan tak ada arah, seolah langit dan bumi melebur dalam kabut kelabu yang tak berujung. Arkana berdiri sendirian, tubuhnya lelah dan jiwanya tercabik. Namun, ia tidak sendiri. Empat versi dirinya muncul dari kabut, masing-masing dengan wajahnya, namun dengan sorot mata berbeda. Mereka berdiri mengelilinginya seperti bayangan yang memberontak. Satu tampak haus kekuasaan, satu penuh ketakutan, satu menyimpan penyesalan mendalam, dan satu dipenuhi gairah liar yang tak terkendali. Mereka bukan ilusi. Mereka adalah bagian dari dirinya yang terpecah di tiap gerbang. "Kenapa kalian tak mau kembali?" tanya Arkana, nadanya tenang, tapi dadanya berdegup kencang. Versi dirinya yang mewakili nafsu Arkana Nafsu tersenyum sinis. "Karena di sinilah aku bebas. Tak ada moral, tak ada kendali. Aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa pengekanganmu yang pengecut." Arkana-Keta
Begitu Arkana melangkah melewati pintu kecil itu, dunia seperti berhenti bernapas. Ia terjatuh... atau mungkin melayang. Tidak ada arah. Tidak ada cahaya. Hanya kekosongan yang tak berbatas. Lalu, perlahan, kegelapan itu retak. Dari celah retakan cahaya biru pucat menyusup masuk, membentuk lantai abstrak seperti kaca, langit berpendar seperti air, dan di tengah ruang dimensi itu berdiri... dirinya sendiri. Bukan satu. Melainkan tujuh Arkana masing-masing merepresentasikan sisi dirinya yang pernah menyentuh gerbang-gerbang neraka. Satu mengenakan jubah putih yang bersinar, wajah damai. Itu Arkana dari gerbang pertama pemula yang masih percaya pada kebaikan. Lainnya gelap, matanya hitam pekat, tangan berlumuran darah. Itu Arkana dari gerbang keempat, saat ia mengorbankan satu desa demi menghentikan iblis. Dan sisanya... mencerminkan berbagai ketakutan, kebencian, kebimbangan, hingga ketulusan yang pernah ia kubur dalam-dalam. Mereka berdiri melingkar, menatap Arkana utama yang k
Ruang bawah tanah kembali menjadi tempat yang paling aman atau setidaknya, tempat satu-satunya di mana Arkana bisa berpikir. Dindingnya ditutup kain hitam, cermin-cermin ditutupi lembaran kain agar tak memantulkan sesuatu yang bukan miliknya, dan di tengah ruangan kini berdiri Pelita Duri Mata bola kaca berduri yang terus berdetak perlahan, seolah hidup. Arkana menatapnya lekat. “Kau seharusnya bisa menutup mata dari dunia lain. Tapi kenapa aku merasa... justru aku yang akan terbuka?” Ia mengangkat pelita dengan hati-hati. Cahaya biru yang dipancarkannya tidak menyilaukan, tapi menghipnotis. Saat cahaya itu menyentuh kulit Arkana, ia bisa merasakan denyut jantungnya berubah. Lebih pelan. Lebih dalam. Ia mengarahkan pelita ke salah satu cermin. Perlahan, permukaan kaca itu bergetar. Bayangannya tampak berkedip... dan kemudian berubah. Kini ia melihat dirinya berusia lima tahun, duduk di depan rumah tua yang sudah lama ia lupakan. Di pangkuannya ada boneka rusak boneka milik Satya.
Hujan turun perlahan, membasahi desa yang baru saja mencoba bangkit dari serangkaian malam penuh darah dan bayangan. Tidak ada lagi simbol bintang enam di langit. Tidak ada lagi tangisan dari dalam tanah. Tapi ada keheningan yang tidak wajar. Keheningan yang seolah menunggu seseorang berbicara lebih dulu. Arkana duduk di pojok kamar bawah tanah yang telah ia ubah menjadi ruang pengamatan. Di hadapannya tergantung puluhan cermin kecil, masing-masing mengarah ke titik-titik penting di desa: pos ronda, sekolah, rumah sakit, bahkan ladang jagung yang kini hangus. Cermin utama cermin yang pernah membawanya ke Gerbang Ketujuh diletakkan di atas meja, kini berubah menjadi hitam pekat seperti obsidian. Namun Arkana tahu: ia belum sendirian. --- Pukul dua pagi, ia terbangun dari tidur singkatnya. Bukan karena suara, tapi karena perasaan ditatap. Ia membuka mata perlahan, dan jantungnya langsung menghentak. Di langit-langit kamarnya, ada mata besar, hitam, dan tanpa kelopak. Tidak berkedip
Ladang gosong itu sunyi. Angin tak lagi berhembus. Bahkan suara jangkrik pun menghilang. Arkana berdiri sendirian, matanya terpaku pada cermin kecil yang setengah tertanam di tanah bekas lingkaran api. Ia menunduk, mengambilnya perlahan, dan membalik permukaannya. Refleksi dirinya muncul samar, namun bukan dirinya yang ia lihat. Refleksi itu mengenakan pakaian serupa, tapi matanya tidak sama. Mereka… kosong. Dan di dahinya, samar-samar, terukir angka Romawi: VII. Arkana menahan napas. “Gerbang ketujuh?” Ia duduk perlahan, membuka kembali Kitab Dua Sisi Cermin. Tapi tak satu halaman pun menyebutkan gerbang ketujuh. Hanya ada catatan kosong, lembaran hitam yang terasa dingin saat disentuh. Ia menekan cermin itu ke halaman hitam, dan seketika, tulisan mulai muncul sendiri, ditulis oleh tangan tak terlihat: Gerbang Ketujuh tidak ditulis karena tidak boleh dikenal. Ia bukan pintu masuk ke neraka. Ia adalah pintu keluar dari semua dimensi. Gerbang yang membalikkan hukum hidup dan m
Langit malam seharusnya gelap, tapi malam itu justru menyala bukan dengan cahaya bulan, melainkan dari lambang bintang enam yang terbakar perlahan di antara awan. Seperti mata raksasa yang menatap ke bumi, lambang itu tidak hanya terlihat… tapi terasa, menekan jantung setiap orang yang menatapnya. Arkana berdiri di puncak menara lonceng sekolah, menatap lambang itu tanpa berkedip. “Seharusnya sudah lenyap…” gumamnya. Ilham berdiri di sampingnya, tangan menggenggam sisa debu dari bayangannya sendiri. “Kau yakin ritualnya selesai?” Arkana menunduk, wajahnya tak yakin. “Itu bukan tentang ritualnya. Masalahnya bukan siapa yang asli atau bayangan… tapi kenapa gerbang keenam muncul sama sekali. Kita hanya menyentuh permukaannya.” Seketika, terdengar bunyi lonceng berdering sendiri. Padahal menara itu tak digunakan selama dua dekade. Suara itu menggema, dan disusul oleh hembusan angin panas dari arah timur. “Apa itu…” Ilham menghentikan kata-katanya. Dari kejauhan, di arah ladang jagu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen