Sejak insiden obat tidur yang berefek fatal itu Sayna tidak lagi tinggal di kosnya yang lama. Dia dititipkan oleh ayah dan ibu di rumah saudara mereka, cukup jauh dari kampus, sampai dia harus berangkat dari sana pukul lima agar tidak terlambat masuk kelas. Lewat tol dan melakukan perjalanan lebih dari satu jam untuk benar-benar sampai.
Sayna baru mendapat surat izin mengemudinya akhir-akhir ini dan langsung praktek di jalanan karena didesak oleh keadaan. Terbiasa dilindungi dan terlambat belajar mengemudi, membuat gadis itu masih sangat kikuk mengendarai mobil barunya. Bukan mobil mewah seperti milik Danish, tapi cukup tangguh untuk menemani perjalanannya ke kampus setiap hari.
Danish bilang ini mobil sejuta umat, yang artinya bisa dimiliki hampir oleh sebagian besar masyarakat kelas menengah karena harganya yang murah. Harga mobilnya adalah 1 banding 8 dengan mobil BMW Danish, bukan Range Rover, ya. Mobil super mewah itu bisa membeli 30 unit mobil Sayna.
Seper
Sayna pasti sudah gila. Dia sudah tidak waras lagi. Gadis itu berjongkok di sudut kamarnya sepulang menyambangi Giovanni di rumah sakit. Dia mematikan lampu, berpura-pura sudah tidur dan mengabaikan panggilan ibu pemilik rumah. Sayna tidak ingin makan, atau tepatnya dia memang sudah makan, dengan Gio, di kantin rumah sakit, berduaan.Niatnya yang hanya ingin mengucapkan terima kasih seperti saran Rafika justru melebar ke mana-mana. Aneh sekali mengetahui dadanya berdebar ketika mencoba berkomunikasi dengan pemuda itu. Pasti karena canggung, karena sudah lama tidak bertegur sapa atau pun bicara. Ya, pasti begitu.“Kakak pasti nggak tahu, kalau waktu itu... aku juga pernah jatuh hati ke Kakak.”“Terus sekarang?”“Kayaknya masih.”Gila. Percakapan macam apa itu? Sayna bahkan baru saja mengambil jeda dengan Danish karena terlalu lelah dan terbebani dengan urusan hati. Kenapa sekarang dia dengan cerobohnya justru berm
Danish: Sayna, apa kabar?Tidak pernah ada balasan atas pesan itu. Danish tidak tahu apakah jeda yang Sayna minta juga berarti menghentikan komunikasi di antara mereka. Namun seingatnya, ini sudah kali ketiga mereka menjeda hubungan, dan yang dua kali berawal dari kemarahan Danish. Baru kali ini terjadi atas permintaan Sayna. Jeda mereka yang dulu pun tidak pernah ada komunikasi, Sayna tidak menghubunginya, Danish juga sama. Dia kira kali ini akan sedikit berbeda, ternyata tidak juga.“Yang terpenting buat ibu dan Sayna sekarang adalah kesehatannya, kuliahnya. Dan saat hubungan kalian mulai mengganggu salah satu kepentingan itu, tandanya udah nggak baik, Nish. Ibu pun nggak akan membiarkan kamu lanjut sama Sayna lagi, untung dia intospeksi dan minta sendiri, dan jujur aja ibu mendukung pilihannya. Dia sampai sakit begini, berarti hubungan kalian memang udah nggak bisa diteruskan. Tolong, jangan ganggu Sayna dulu, ya? Kamu anak baik, ibu sering bi
“Oh, my God, oh my God... he’s so delicate, so ethereal... i’m dying, Dya... damage-nya gila!” Dya terkikik melihat reaksi saudarinya ketika menemukan Danish sudah bersiap dengan pakaian pesta dan tatanan rambut terbaru yang sudah mereka sepakati bersama. Rambut pemuda itu lebih panjang lagi dibanding terakhir kali dengan under cut memikat serta ditata berbeda dari biasanya. “Lucu banget!” Dya juga ikut mendekat dan memberikan komentarnya. “Cakep, beda banget, Nish. Fresh gini meskipun agak mirip bibi-bibi sedikit.” “Heh!” Gadis itu tertawa melihat reaksi tidak senang dari iparnya. Hairstylish Danish menyisir helaian rambut gondrongnya ke belakang, menampakkan dahi pemuda itu yang terang benderang, alisnya yang tegas dan tajam juga ikut terpampang, bagian sebelah kanan dinaikkan hingga under cut-nya kelihatan. Dia sangat tampan. “Kamu tahu kan, Danish kalau males sisiran kelihatan kayak ora
Berjaga malam di stase obgyn benar-benar sebuah ujian karena sangat menguras tenaga dan pikiran. Gio berada di stase ini untuk minggu keempat dari 8 atau 10 minggu yang tersisa dan masih belum terbiasa. Pukul 6 pagi dia sudah harus tiba di rumah sakit, mulai melakukan follow up pasien dan diteruskan dengan kegiatan stase seperti pemeriksaan poliklinik, bangsal, kamar bersalin atau ikut operasi sampai sore. Setelahnya melanjutkan waktu berjaga hingga malam hari di bangsal atau kamar bersalin. Menunggui ibu-ibu pasca melahirkan, kadang menyuapi salah satu dari mereka jika keluarganya sedang tidak di tempat. Berjaga di stase ini membuat Gio seolah berlatih jadi suami siaga di masa depan. Dia menyaksikan tiap detiknya perjuangan para ibu yang akan bersalin, saat bersalin dan usai bersalin. Mereka mengagumkan. Setelah melewati malam yang panjang dan melelahkan dengan jam tidur super pendek dan tersendat-sendat maka tibalah pagi yang ditunggu-tunggu. Tapi
“Gue nggak pernah gangguin lo kencan sama Sayna!” “Gue nggak bakal ganggu, Dya! Gue cuma mau ikut, ngawasin lo sebagai saudara. Gue khawatir, gimana kalau lo dipukul lagi?” Pramudya menatap tajam pemuda itu dengan perasaan kesal setengah mati. Danish yang punya banyak waktu luang senang sekali mencampuri urusannya. Apalagi sejak dia tahu kalau Dya juga cuti kuliah, habislah sudah Dya dijajah. Danish memborbardir ponselnya dengan berbagai pesan dan panggilan, mengatakan banyak alasan untuk pergi jalan-jalan, dan lain-lain. Sementara Dya tidak pernah punya banyak waktu dengan Kevin, dia hanya dihubungi sesekali dan harus dapat gangguan dari Danish seperti saat ini. “Mas Kevin nggak pernah nyentuh gue kalau gue nggak kasih izin, Nish.” Dya berbisik pelan, mobil yang mereka kendarai menuju salah satu hotel kecil di pinggir kota. Pertemuan Dya dan Kevin memang sudah terencana. “Dia tahu gue bakal sakit.” “Terus kenapa lo kasih izin?” tanya Danish tak habis
Dear, Nika... Udah lama ya aku nggak tanya kabar dan tulis surat untuk kamu. Aku capek nangis tiap kangen sama kamu, tiap ingat kesalahanku. Nika, maaf kalau ternyata aku udah sembuh dan jarang tulis surat buat kamu. Mimpi-mimpiku menunggu. Kapan-kapan kita ketemu, ya. Hidup di sini terus berjalan, dan mungkin ini surat terakhirku buat kamu. Kamu mungkin hadir sebagai kesalahanku, tapi kamu juga pelajaran terbesar. Terima kasih, Nika. Aku ingin bahagia, maaf kalau kamu nggak ada di dalamnya. Kamu bagian dari masa laluku, dan aku udah nggak di sana. Selamat tinggal, Arunika, anak mama. Regards, Sayna Lalisa Ghissani Kemudian surat itu mungkin akan bernasib sama dengan yang lainnya. Dihanyutkan hingga kertasnya basah, atau dibakar hingga jadi abu yang terbang di udara. Sayna tidak tahu, yang jelas dia tidak akan menulisnya lagi. Sudah cukup, luka itu harus dikubur sepenuhnya. Dia hanya perlu merayakannya setahun sek
Dya membuka kelopak matanya perlahan. Lampu tidur kekuningan menyala di sana, memberi penerangan seadanya. Di atas perut gadis itu sebuah kompres silikon berisi air hangat—yang sekarang sudah dingin, teronggok. Dya menolak dibawa ke rumah sakit, dia hanya ingin berbaring. Oleh-olehnya dari Kevin hari ini sama sekali bukan apa-apa, Dya pernah mengalami yang lebih parah. Dan baru ke rumah sakit beberapa hari kemudian saat tubuhnya kuat dibawa berjalan. Mas K: Nduk... Sebagai putri pemilik jaringan hotel di Indonesia, Dya punya akses khusus dan tempat pribadi di hotel keluarganya. Selalu ada satu kamar miliknya di antara belasan hotel itu, ada barang pribadinya di sana. Dan meski barang-barang Dya tertinggal ketika bergelut dengan Kevin tadi, gadis itu selalu punya cadangan. Ponsel yang diam-diam dia simpan di laci itu adalah buktinya. Dya terjaga dini hari, menemukan pesan masuk yang baru dikirim satu jam lalu. Kemudian terhenyak. “Gue tidur di
Bahkan hanya dengan menyentuh pinggangnya, tanpa momen apa-apa, tidak ada rencana untuk melakukannya, Gio terlena. Bayangan ketika dia bergerak menggila sambil memegangi pinggang gadis itu segera memenuhi kepala. Dia tidak bisa menahannya. Sayna sudah seperti candu, dia dianugerahi keindahan dewi cinta, tubuhnya, aromanya, menguar afrodisiak. Membuat hasrat lelaki manapun pasti menyeruak. “Faster...” erang gadis itu dengan posisi tubuh membelakangi lelakinya. Seks tanpa rencana adalah sebuah kenikmatan yang tak terhingga. “Oh, God...” “Say something else...” “Please...” Sayna mengerang tertahan, agak menyesal memberi Gio banyak pelajaran, dia berubah menjadi sangat ahli akhir-akhir ini. “Argh... i’m cum...” “Fuck!” geraman Gio teredam oleh tautan bibir mereka. Dia harus menahannya, atau sorakan pelepasan itu akan keluar bak auman hewan. Ujung tubuhnya berdenyut kencang saat milik Say