Sekitar pukul tujuh pagi, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Nur. Aku sengaja mengambil jalan alternatif yang ditunjukkan Mbah Atmo untuk pergi ke rumah Nur dengan alasan tak ingin melihat sosok kakek penunggu rumah kosong di pertigaan jalan. Aku berjalan sekitar lima belas menit menuju arah jalan desa. Jalanan rupanya sudah dipenuhi dengan penduduk desa yang akan memulai kegiatan berkebuh mereka. Ada juga yang menggunakan sepeda untuk membawa perlengkapan berkebun, ada pula yang menggiring hewan peliharaan mereka untuk dipekerjakan di ladang. Sungguh benar-benar suasana desa yang sebenarnya. Udaranya pun sangat sejuk, ditambah pemandangan asri yang memanjakan mataku. Aku teringat mencari sebuah warung di sekitar sini, aku sudah berjanji akan memberikan makanan enak untuk Nur. Saat aku hendak menuju warung yang terletak di seberang jalan, sebuah motor yang melaju cepat datang dari arah depan. Dengan pengemudi yang tampak tak asing bagiku. Eh, tapi kenapa motor itu malah semaki
Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menerobos pintu rumah Nur yang kebetulan tidak terkunci. Aku melihat sekeliling, tak kutemukan Nur di sana. Aku kembali berlari ke arah kamar Nur. "Nur? Kau di mana?" Aku semakin cemas, rupanya Nur juga tak ada di kamarnya. "Kakak?" Suara Nur dari belakang. "Astaga! Kau mengagetkanku saja, Nur," jawabku sambil mengelus dada. "Seharusnya aku yang kaget, Kakak tiba-tiba ada di sini?" "Syukurlah kau baik-baik saja," ucapku pada Nur yang terlihat heran. Aku dan Nur kemudian keluar untuk mengobrol di teras rumah, di sana ada seekor kucing betina bernama Mirna. Mirna adalah kucing kampung yang setiap hari selalu datang kemari untuk meminta diberi makan oleh Nur. "Hai, cantik. Kau mencariku, ya? Ini makanlah." Ucap Nur sembari menyodorkan semangkuk nasi sisa yang telah dicampur dengan potongan ikan segar. "Kau sendirian di rumah? Orangtuamu ke mana?" ucapku sembari duduk di kursi kecil berbahan kayu di teras rumah. Nur yang tengah mengelus
Ternyata gadis itu adalah Rosmala, gadis yang kutemui di perkebunan kemarin dan anak gadis dari Pak Sarip dan Bi Asih. Dia membawa sebuah keranjang kecil berisi buah-buahan yang masih segar. "Ah, tidak apa-apa." Aku segera menjatuhkan kembali ember itu ke dalam sumur, takutnya Rosmala melihat kepala tanpa tubuh yang sedari tadi ada di sana. "Ini, aku bawakan buah-buahan segar dari kebun Ibuku. Terima kasih telah membantu Ayahku tadi pagi," ucapnya masih dengan nada ketus. "Aduh, tidak usah repot-repot," balasku. Rosmala terlihat tersenyum saat aku mengambil keranjang buah yang dibawanya. "Katanya tak usah repot-repot, tapi, kau bawa juga buah-buahannya." Ejek Rosmala saat melihat tingkah lucuku. Kami tertawa bersama sebelum Bi Sari memanggil kami masuk ke dalam. Karena sudah sore, Rosmala segera berpamitan padaku dan Bi Sari. Dia bilang, harus segera pulang agar tak kemalaman di jalan. "Aku antar ya?" ajakku bersemangat. "Tidak perlu," jawab Rosmala."Jalanan akan sangat gelap
Suara tawa cekikikan yang tak asing terdengar dari seorang perempuan dari jauh. Konon katanya, bila suara makhluk itu terdengar dekat, berarti makhluk itu berada jauh dari kita. Tapi sebaliknya, bila suaranya terdengar jauh, berarti makhluk itu berada di sekitar kita. "Ah ... kenapa di saat seperti ini harus ada suara yang menakutkan itu? Mengapa aku sangat takut walaupun sudah beberapa kali mengalami hal seperti ini?" ucapku dalam hati. "Aldi ...." Suara perempuan itu terus memanggil namaku. Walaupun dengan tubuh yang berat, aku terus mencoba keluar dari situasi ini. "Aldi ...." "Lepaskan dia! Dia milikku." Teriak Bulan yang tengah duduk di sebuah batang pohon besar di hadapanku. Dadaku semakin sesak saat aku mencoba meminta tolong pada Bulan meski tanpa suara, "Bulan, tolong aku!" Rupanya aku telah diganggu oleh sebangsa hantu kuntilanak penunggu jalan ini. Dia terus menempel padaku, sehingga aku tak dapat menggerakkan tubuhku dengan leluasa. "Hihihihihi ...." Tawa hantu kun
Bulan dengan polos melayang mendekatiku. Dia membungkuk untuk menyamakan posisi denganku yang tengah terduduk. Bulan kemudian tersentak setelah mendengar apa yang aku katakan. "Itu akan membahayakanmu, Aldi." "Tidak mungkin. Hanya kali ini saja, bantu aku. Setelah itu, aku berjanji tidak akan berurusan dengan makhluk seperti itu lagi." Bulan seperti ragu. Bulan tahu, risiko dari apa yang ingin kulakukan sangat besar. Aku bisa saja celaka atau dianggap aneh oleh warga desa. "Baiklah. Tapi, berjanjilah padaku, untuk baik-baik saja apa pun yang akan terjadi." Aku tersenyum, rasanya ingin aku peluk Bulan saat ini. *** "Apa?" Mbah Atmo kembali meletakkan cangkir berisi kopi hitam yang tengah berada di tangannya. "Apa Nak Aldi yakin?" Mbah Atmo kembali bertanya padaku yang terlihat bersemangat. "Yakin, Mbah," jawabku tegas. "Nak Aldi, pikirkan baik-baik. Ini bukan hanya soal berhubungan dengan manusia, tapi makhluk lain. Kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." Mbah Atmo
Malam yang di tunggu telah tiba, Kardun segera membangunkan istri dan anaknya sebagai syarat untuk menemui Ki Demang.Sehari sebelumnya, Kardun nekad menemui Ki Demang pada malam Jumat kliwon. Ditemani sahabatnya, Sarip.Malam itu Kardun dan Sarip berjalan sangat pelan. Sambil menengok ke sana kemari untuk melihat keadaan di sekitar mereka. Kardun dan Sarip tentu tahu, konsekuensi bila mereka terlihat oleh warga desa. "Aku hanya bisa mengantar sampai di sini saja. Aku tak bisa mengantarmu ke dalam." Sarip berbisik tatkala menarik lengan Kardun yang berjalan di depannya.Kardun mengernyitkan keningnya, "Kenapa memangnya, Rip?" tanya Kardun heran."Kau harus menemui Ki Demang sendiri. Ini perintah langsung dari beliau," jawab Sarip menegaskan. Malam begitu sunyi. Angin malam yang menusuk kian berhembus di sekitar tubuh Kardun. Kardun menggenggam erat ujung baju yang sudah lusuh dengan tangan yang bergetar. Apa ini sudah benar? Sebuah pertanyaan terus terngiang di telinga Kardun. Dia ta
Lewat tengah malam, ritual baru selesai dilakukan oleh Ki Demang. Kardun dan Suminah pamit pulang sembari menggendong Mustika yang tengah tertidur saat ritual berlangsung. Malam akan berlalu berganti fajar, Kardun dan Suminah berjalan tergesa menuju rumah mereka yang tidak begitu jauh dari rumah Ki Demang. Sesuai dengan perintah Ki Demang. Kardun dan Suminah harus melakukan ritual ini setiap malam jumat kliwon. Dengan membawa semua persyaratan yang diminta Ki Demang. Saat hari menjelang petang. Kardun terlihat mondar-mandir di teras rumahnya. Tampaknya dia tengah menunggu seseorang. Kring ... kring ... Suara bel dari sepeda tua menghampirinya dari luar pekarangan rumahnya. Rupanya itu Sarip. Kardun segera membuang lintingan tembakau yang baru saja dihisapnya. "Ke mana saja kau, Rip? Lama sekali." Tanya Kardun yang sepertinya sudah tak sabar. Sarip menepikan sepeda tuanya, dia menaiki tangga rumah panggung milik Kardun. "Sabar , Dun. Tadi aku baru mengantar istri dan anakku k
Pada suatu malam, Kardun telah merencanakan pembunuhan untuk Suminah. Kardun telah mengasah golok yang biasa dia pakai untuk menyembelih binatang peliharaannya. Saat Suminah masih tertidur pulas di kamarnya, Kardun mengendap masuk ke kamar dengan sebuah golok di tangannya. Tanpa berpikir panjang, Kardun mengambil ancang-ancang untuk menebas leher Suminah. Tapi, Suminah tiba-tiba bangun dan langsung menjerit. Kardun terkaget dan mengurungkan niatnya. Kardun menyembunyikan golok itu dibelakang tubuhnya, wajahnya berubah tegang. "Istigfar, Pak. Nyebut." Teriak Suminah yang langsung berdiri menjauh. Kardun menyeringai, seperti bukan Kardun yang biasanya. "Pak. Ini Ibu, Pak. Bapak kenapa?" ucap Suminah dengan suara bergetar. Air liur terus keluar dari mulutnya yang menganga. Kardun tak bisa mengontrol tubuhnya, seperti ada sosok yang masuk ke dalam tubuhnya dan mengendalikannya. Kardun kembali mengayunkan goloknya. Namun nahas, Suminah tak bisa menghindar lagi. Kardun berhasil mene