Rina melangkah dengan hati-hati menuju pinggiran desa, di mana Nyai Murni tinggal. Jalan setapak yang ia lalui semakin kecil dan dipenuhi rerumputan liar, seolah jarang dilewati orang. Udara pagi yang segar mulai berubah menjadi angin yang dingin dan sedikit menyeramkan. Beberapa burung gagak terbang di atasnya, suaranya memecah keheningan dan membuat Rina semakin merinding.
Akhirnya, Rina melihat sebuah rumah kecil di tengah pepohonan yang lebat. Rumah itu tampak tua dan agak miring, dengan atap rumbia yang sudah banyak bolong. Dindingnya terbuat dari kayu yang sudah lapuk, dan di sekeliling rumah ada berbagai macam tanaman liar yang tumbuh dengan bebas. Rina merasa sedikit gugup, tapi ia tahu bahwa inilah tempat yang harus ia tuju. Ia melangkah mendekat dan mengetuk pintu kayu yang sudah tua itu. Tidak ada jawaban. Rina mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Masih tidak ada jawaban. Saat ia akan mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan suara berderit yang menakutkan. Di dalam, suasana tampak remang-remang. Cahaya hanya masuk melalui celah-celah kecil di dinding dan atap. Ada bau dupa yang kuat, dan di sudut ruangan terdapat meja kecil yang penuh dengan lilin-lilin dan botol-botol berisi cairan yang tidak dikenalnya. Di tengah ruangan, seorang wanita tua duduk di atas tikar, matanya tertutup seolah sedang bermeditasi. "Nyai Murni?" tanya Rina dengan suara pelan, sedikit ragu. Wanita tua itu membuka matanya perlahan. Mata itu tampak tajam dan penuh dengan pengetahuan yang mendalam, seolah-olah dia bisa melihat langsung ke dalam jiwa Rina. "Aku tahu kau akan datang," kata Nyai Murni dengan suara serak yang tenang. "Kau ingin tahu tentang rumah tua itu, bukan?" Rina terkejut, tapi ia mengangguk. "Iya, Nyai. Saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan saya tidak bisa berhenti memikirkannya." Nyai Murni tersenyum tipis. "Kau berani, Nak. Banyak yang telah datang sebelum kamu, tapi tidak banyak yang kembali dengan pikiran yang utuh. Rumah itu memang tempat yang berbahaya. Ada kekuatan gelap di sana, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa." Rina menelan ludah, merasa semakin tegang. "Pak Darto bilang, mungkin Nyai tahu lebih banyak tentang keluarga Wiratama dan apa yang terjadi pada mereka." Nyai Murni mengangguk pelan. "Keluarga Wiratama memang memiliki sejarah yang kelam. Tuan Wiratama adalah seorang yang terobsesi dengan kekuatan gaib. Dia mencari cara untuk hidup selamanya, dan dia percaya bahwa putrinya memiliki kunci untuk membuka pintu ke dunia lain. Mereka sering melakukan ritual di ruang bawah tanah itu, mencoba memanggil roh-roh dari alam lain." Rina merasa bulu kuduknya meremang mendengar cerita itu. "Apakah itu sebabnya mereka menghilang?" Nyai Murni memejamkan mata sejenak, seolah mengingat sesuatu yang menyakitkan. "Ritual terakhir mereka gagal. Mereka memanggil sesuatu yang seharusnya tidak mereka panggil. Roh jahat, mungkin, atau entitas lain yang jauh lebih kuat dan berbahaya. Sesuatu yang bersemayam di sana sejak saat itu." Rina menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami apa yang ia dengar. "Apakah ada cara untuk… mengusirnya? Atau setidaknya menenangkan roh-roh itu?" Nyai Murni membuka matanya dan menatap Rina tajam. "Ada cara, tapi itu tidak mudah. Dan berbahaya. Kau harus melakukan upacara pemurnian di tempat itu, memanggil roh-roh yang masih terperangkap di sana dan membujuk mereka untuk pergi dengan damai. Tapi, ada risiko besar. Jika kau gagal, mereka mungkin akan lebih marah dan menjadi lebih kuat." Rina merasakan ketakutan yang mendalam, tapi juga tekad yang kuat. "Saya akan melakukannya, Nyai. Saya tidak bisa meninggalkan desa ini tanpa mencoba." Nyai Murni tersenyum lagi, kali ini dengan penuh penghargaan. "Kau memiliki hati yang kuat, Nak. Aku akan membantumu. Tapi ingat, kau harus melakukan semua ini dengan hati yang bersih dan niat yang tulus. Jangan biarkan ketakutan menguasaimu." Rina mengangguk, bertekad untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai. "Apa yang harus saya lakukan?" Nyai Murni bangkit perlahan dari duduknya dan berjalan menuju meja di sudut ruangan. Dia mengambil sebuah kantong kecil dari kulit dan memberikannya kepada Rina. "Ini adalah ramuan pemurnian. Kau harus menyebarkannya di seluruh rumah, terutama di ruang bawah tanah. Setelah itu, kau harus membakar dupa ini dan membaca mantra pemurnian yang akan aku ajarkan padamu." Rina menerima kantong itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Nyai. Saya akan melakukan yang terbaik." Nyai Murni mengangguk. "Kembalilah saat matahari mulai terbenam. Roh-roh itu paling aktif saat malam tiba, tapi juga paling rentan terhadap upacara pemurnian. Dan ingat, Nak, jangan pernah pergi ke sana sendirian. Ajak seseorang yang kau percaya untuk menemanimu." Rina merasa lega mendapat nasihat dan bantuan dari Nyai Murni. Dia tahu bahwa tugas di depannya tidak akan mudah, tapi dia bertekad untuk mencoba. Setelah berterima kasih kepada Nyai Murni, Rina bergegas kembali ke penginapan untuk mempersiapkan diri. Di penginapan, Bu Marni menunggu dengan cemas. "Kau baik-baik saja, Nak?" tanyanya. Rina mengangguk. "Saya akan kembali ke rumah tua itu malam ini, Bu. Saya harus mencoba melakukan pemurnian." Mata Bu Marni melebar. "Sendirian? Kau gila, Nak! Itu terlalu berbahaya!" Rina tersenyum tipis. "Nyai Murni bilang saya harus membawa seseorang. Bu Marni, maukah Anda menemani saya?" Bu Marni tampak ragu sejenak, tapi kemudian dia mengangguk dengan tegas. "Baiklah, Nak. Aku akan menemanimu. Kita akan menghadapi ini bersama." Saat matahari mulai terbenam, Rina dan Bu Marni bersiap-siap. Mereka membawa kantong ramuan, dupa, dan lampu senter. Mereka tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang dan menegangkan, tapi mereka berdua siap menghadapi apa pun yang akan mereka temui di rumah tua itu. Ketika malam tiba, mereka berdua berjalan perlahan menuju rumah tua di sudut jalan. Angin malam bertiup kencang, membuat mereka merasa dingin dan takut. Tapi mereka tidak berhenti. Dengan tekad yang kuat, mereka terus melangkah menuju rumah tua itu, siap menghadapi kegelapan dan roh-roh yang mengintai di dalamnya.Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b