로그인: A young Emily Harper seeks a beautiful and peaceful life in Silverhood away from the darkness and gloom in Denton. Silverhood seems to be full of life and laughter but beneath the façade of smiles etched on their faces lies dread and uncertainty…..the final destruction of the human race. The whispers of a hidden werewolf community lurking in the shadows have planned a malevolent war against their sworn enemies, the humans. Feeling a strong connection with the werewolves, Emily embarks on a quest to unveil dark secrets and mysteries about the werewolf community. She meets an arrogant and narcissistic Adam Brentwood who she feels strangely drawn too and he tries to deter her search at all costs but fails when she makes a shocking discovery and finds out who Adam really is and his deadly illness. She’s the last piece to the puzzle, the savior the humans have been waiting for to put a final stop to the werewolves. Caught between love and loyalty, will Emily take sides with love and switch allegiance with Adam or will she put humans first and fulfil the prophesy that will bring the end of the werewolves and the demise of the man she loved?
더 보기Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu.
"Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ketika pelukan Leo semakin erat. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya ketakutan yang muncul, membungkam kata-katanya. "Siapa kamu?" Sandra berteriak, dorongannya membuat Leo terjatuh ke lantai. Leo terdiam, menatap Sandra dengan mata yang tampak penuh kebingungan dan kesedihan. "Sandra, aku Leo... Kekasihmu," katanya, berusaha menjelaskan. Namun, Sandra hanya bisa menatapnya kosong. Tidak ada kenangan, tidak ada perasaan. Tiba-tiba, suara seorang wanita paruh baya memecah keheningan. "Leo, hentikan! Jangan buat dia takut seperti itu!" Ibu Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan. Sandra, masih terisak, duduk di pojok ruangan, merangkul tubuhnya sendiri. Keheningan yang mengisi ruangan seperti sebuah dinding tebal, menutupi setiap kenangan, setiap wajah yang seharusnya ia kenali. Air mata menetes perlahan, dan ia hanya bisa menangis, merasa terjebak dalam tubuh yang tak lagi ia kenali. Semua terasa asing—namanya, wajahnya, bahkan dirinya sendiri. Seperti lembaran buku yang kehilangan halamannya. "Sandra..." Suara lembut itu datang mendekat, membawa sedikit kenyamanan. Seorang wanita, dengan wajah penuh kasih, berjongkok di depannya. "Ini aku, Ibu Leo. Kami di sini untukmu." Tapi kata-kata itu hanya terasa seperti gema kosong. Sandra menatapnya dengan mata yang kosong, tanpa rasa. Kepalanya terasa berat, seperti ribuan jarum menghujam setiap kali ia mencoba mengingat. Dokter masuk, memperingatkan semua orang. "Biarkan dia tenang dulu. Kenangannya akan kembali perlahan." Ibu Leo mengulurkan tangan, berharap Sandra bisa merasa nyaman. "Ayo ikut kami, Sandra. Kami akan membawamu pulang," ujarnya lembut. Sandra menatap mereka dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Di mana keluargaku? Kenapa aku harus ikut kalian?" tanyanya, suaranya serak. "Apakah aku tidak punya keluarga?" Ibu Leo dan Leo terdiam. Mereka tak tahu apa yang harus dijawab. Keheningan menggantung berat di udara. Sandra kembali terisak. Leo menunduk, tidak tahu harus berbuat apa selain merasakan perasaan kosong yang memenuhi hatinya. Di saat-saat itu, seorang wanita paruh baya lain muncul di ambang pintu. Wajahnya penuh kehangatan, dengan kerutan yang menunjukkan pengalaman hidup yang panjang. "Sandra... Ini aku, Bi Rina. Ingatkah kamu?" katanya dengan suara lembut. Sandra memandangnya dengan tatapan kosong, tapi ada sesuatu yang samar, sesuatu yang terasa akrab, meskipun kenangan itu belum kembali sepenuhnya. Bi Rina, wajah yang penuh kasih sayang, seolah mengirimkan perasaan nyaman yang belum ia rasakan selama ini. "Bi Rina..." Sandra berbisik, suaranya hampir hilang di udara. Bi Rina mendekat, tersenyum lembut. "Kamu bisa ikut aku, Sandra. Aku akan menjagamu seperti dulu. Kamu aman bersamaku." Sandra menunduk, mencoba mencari jawaban dalam kepalanya yang kosong. Perasaan itu... perasaan aman yang datang dari Bi Rina membuatnya merasa sedikit tenang. Mungkin, hanya dia yang bisa membuatnya merasa seperti dirinya sendiri. Leo dan ibunya hanya bisa diam, melihat Sandra yang begitu rapuh. Mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti ini, orang yang bisa memberi kenyamanan lebih dari sekadar kenangan adalah seseorang yang pernah ada dalam hidupnya. Bi Rina meraih tangan Sandra, menggenggamnya dengan lembut. Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Leo dengan cepat menyusul mereka dan kembali merengkuh Sandra dalam pelukannya. "Sandra... kamu tidak boleh pergi," katanya, suaranya bergetar, hampir putus asa. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja." Sandra membeku, rasa takut semakin mencekamnya. Pelukan Leo yang dulu memberi kenyamanan kini terasa seperti belenggu. Ia ingin berteriak, tetapi kata-katanya terhenti, tenggelam dalam ketakutan. "Leo!" "Ibu... aku tidak bisa!" Leo berteriak, semakin keras, menahan Sandra dalam pelukannya. "Dia milikku. Aku yang akan menjaganya." Ibu Leo berlari mendekat, tampak marah. "Lepaskan dia, Leo! Apa yang kamu lakukan? Sandra butuh ruang untuk memilih sendiri," suaranya penuh kemarahan. Bi Rina yang berdiri di sisi Sandra segera maju, wajahnya berubah tegas. "Leo, kamu tidak bisa memaksanya seperti ini. Sandra berhak memutuskan dengan siapa ia merasa aman," katanya dengan suara tajam. "Tindakanmu hanya akan membuatnya semakin takut." Sandra menatap Leo dengan penuh ketakutan, dan dalam suara gemetar, ia memohon, "Lepaskan aku... Tolong, Leo, aku tidak mengenalmu... Aku tidak ingin dipaksa..." Kata-kata itu menembus hati Leo seperti jarum tajam. Ia terdiam, perlahan melepaskan Sandra, merasakan perih yang tak terkatakan. Sandra mundur beberapa langkah, berdiri di samping Bi Rina. Dalam keheningan yang menyesakkan, Sandra merasa sedikit cahaya—harapan baru—masih ada. Mungkin, dengan Bi Rina, ia bisa menemukan dirinya kembali. Bi Rina menggenggam tangan Sandra dengan penuh kasih sayang. "Ayo pulang, Nak. Kita mulai lagi dari awal, bersama-sama." Sandra mengikuti langkah Bi Rina dengan ragu. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Leo memanggilnya lagi, lebih pelan kali ini. "Sandra..." Suara itu bergetar, memohon dengan kesedihan yang mendalam. Sandra menoleh. Tatapan Leo penuh rasa putus asa, cinta, kehilangan, dan rasa bersalah. Ada sesuatu di sana yang terasa akrab, meski samar. Ia mencoba menggapainya, mencoba mengingat wajah itu, suara itu, atau mungkin perasaan yang seharusnya menyertainya. Tapi yang ia rasakan hanya kekosongan. "Aku mohon, Sandra... Jangan tinggalkan aku," kata Leo lagi, suaranya hampir tenggelam. Kata-katanya menusuk sesuatu di dalam diri Sandra, sebuah ruang yang sebelumnya kosong kini terasa bergetar. Namun, rasa itu tak berbentuk—hanya sebuah desakan samar yang membuat pikirannya terasa berat. Ia ingin mengingat, tapi setiap kali mencoba, rasa sakit menyergap kepalanya. Sandra memegangi pelipisnya, wajahnya meringis. "Kenapa aku tidak bisa mengingatmu?" bisiknya, nyaris tak terdengar. "Kenapa aku merasa ada sesuatu... sesuatu yang penting, tapi tidak bisa aku temukan?" Leo melangkah maju, ingin menjawab, tapi Bi Rina segera berdiri di antara mereka. "Cukup, Leo. Jangan buat dia semakin bingung," kata Bi Rina tegas. Namun Sandra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Bi Rina berhenti. "Aku ingin tahu... Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya," katanya pada Leo, suaranya gemetar. "Tapi setiap kali aku mencoba, aku merasa seperti... aku tenggelam. Kenapa?" Leo terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia menunduk, tak sanggup menjawab. Sandra mendesak lebih keras, hampir berteriak, "Siapa kamu, Leo? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Tidak ada jawaban. Leo hanya berdiri di sana, diam, dengan wajah penuh rasa sakit. Ibu Leo mencoba mendekat, tetapi Sandra mundur, menggelengkan kepala. "Semua ini... semua ini terasa salah. Aku tidak tahu apa yang benar, atau siapa yang bisa kupercaya," katanya, suaranya mulai tersendat. Rasa pening mulai menjalar di kepalanya. Pandangannya mulai berputar, dan tubuhnya terasa lemas.Sandra mulai kehilangan keseimbangan. Ketika Sandra mulai goyah, rasa pening yang menyerangnya menjadi semakin tak tertahankan. Pandangannya buram, tubuhnya terasa lemas, dan akhirnya ia roboh. Bi Rina dengan sigap menangkapnya, namun Leo lebih cepat melangkah maju, wajahnya diliputi kepanikan. "Sandra!" seru Leo, suaranya pecah. Ia berlutut di sebelahnya,kedua tangannya mencoba menangkapnya. "Kamu baik-baik saja? Sandra, tolong jawab aku!" Namun, Sandra mengangkat tangannya yang gemetar, menahan Leo untuk menjaga jarak. Matanya yang redup menatapnya dengan kesedihan bercampur ketegasan. "Jangan... jangan sentuh aku," bisiknya lirih. Leo tertegun, tangannya menggantung di udara sebelum akhirnya ia mundur perlahan, meskipun raut wajahnya penuh rasa cemas. "Aku hanya ingin memastikan kamu—" "Jangan," potong Sandra, nadanya memohon sekaligus tegas. Ia memalingkan wajah, menatap Bi Rina. "Bi Rina... tolong bawa aku pergi dari sini," katanya, suaranya semakin lemah. Bi Rina mengangguk, menopang tubuh Sandra yang gemetar. "Ayo, Nak. Kita pergi sekarang," katanya lembut namun tegas. Leo hanya bisa duduk membeku di tempatnya, menyaksikan Bi Rina membawa Sandra keluar dari ruangan itu. Napasnya berat, dadanya terasa sesak, namun ia tak punya pilihan selain membiarkan mereka pergi. Ketika Bi Rina membawa Sandra keluar dari ruangan itu, Sandra menoleh sekali lagi ke arah Leo. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu tak pernah keluar. Sebaliknya, hanya satu pikiran yang berputar di kepalanya ,"Siapa aku sebenarnya? Dan siapa dia bagiku?"Emily's heart raced as she stepped into the dimly lit chamber. The air felt heavy with anticipation, as if every whisper and hushed breath carried a weighty secret. This was the place where the ancient rituals were performed, where the veil between the human world and the hidden realm of the werewolves was at its thinnest. She had been granted access to this sacred space, a privilege bestowed upon very few humans. It was here, surrounded by the ethereal glow of flickering candles, that she would partake in a rite that would bind her fate to that of the werewolf community. The significance of the moment was not lost on her. Adam stood beside her, his presence providing a comforting anchor in the sea of uncertainty. His eyes, usually gleaming with mischief, now mirrored the solemnity of the occasion. They exchanged a silent glance, a shared understanding of the gravity of what lay ahead. The elder werewolves, their weathered faces etched with wisdom and age, began to chant anc
The moon hung high in the night sky, casting an ethereal glow over the landscape as Emily and Adam ventured deeper into the heart of the werewolf territory. They followed a winding path through dense forests, their senses heightened, and their steps cautious. The air was heavy with an unsettling silence, broken only by the rustling of leaves and the distant howls that echoed through the night. Emily couldn't shake off the feeling of being watched, as if unseen eyes followed their every move. The forest seemed to come alive with hidden whispers, a reminder of the secrets that lurked within the shadows. Her instincts told her that they were drawing closer to the truth, to the heart of the werewolf community and the hidden mysteries that lay within. As they pressed on, the landscape transformed, revealing a hidden clearing bathed in moonlight. Tall, ancient trees surrounded a large stone altar at the center, adorned with symbols and markings that seemed to pulsate
The dawn broke over the horizon, painting the sky in shades of pink and gold. It was a new day, a day of reckoning and resolution. Emily stood at the edge of a cliff, her eyes scanning the vast expanse before her. The air was crisp, carrying with it a sense of anticipation and finality. She had come so far on her journey, traversing through the darkness and uncertainty, guided by an unwavering determination to uncover the truth. The revelations she had unearthed had shaken the foundation of her beliefs, challenging her to redefine her understanding of loyalty and love.As the wind whispered through the trees, Emily felt a presence beside her. It was Adam, his eyes filled with a mix of determination and remorse. They stood together, united by their shared purpose, yet carrying the weight of their individual burdens."You know," Adam began, his voice laced with a hint of vulnerability, "I never anticipated how deeply this journey would change me. How it would force me to
As the sun began to set, casting an ethereal glow over the landscape, Emily and Adam found themselves standing at the edge of a mysterious forest. The dense foliage seemed to pulsate with otherworldly energy, beckoning them forward into its depths. They had received a cryptic message, leading them to this enigmatic location, where secrets waited to be unveiled. With cautious steps, they ventured into the heart of the forest, their senses heightened, aware of unseen eyes watching their every move. The air grew heavy with anticipation, and a sense of foreboding settled upon them like a shroud. They could sense that they were nearing a pivotal moment, where the true nature of their mission would be revealed. Whispers of betrayal echoed through the trees, carried on the wind. Emily and Adam exchanged worried glances, their trust tested in the face of looming uncertainty. They knew that danger lurked in the shadows, and they had to tread carefully, lest they fall victim to the mac
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.