Share

Adnan Ramadhan

Suara ketukkan di pintu membuyarkan lamunan Allen tentang masa lalunya yang pahit. Dia harus kembali dengan hidupnya yang sekarang. Melupakan kejadian lima tahun silam.

Pintu terbuka. Dokter dan perawat masuk untuk memeriksa kondisi Allen. Setelah semua rangkaian pemeriksaan dilakukan, akhirnya dokter memutuskan bahwa Allen sudah boleh pulang. Dia hanya kelelahan dan harus lebih memerhatikan pola makan.

“Kamu sudah boleh pulang, tetapi ingat jaga pola makan dan jangan terlalu banyak pikiran,” ucap dokter itu sambil tersenyum, "Kalau ada gejala pusing dan lainnya, kamu bisa kembali ke sini untuk melakukan pemeriksaan lebih serius. Apa perlu kuberikan nomorku?"

Kening Allen mengkerut. Sang dokter dengan santainya tersenyum sembari memasukkan kedua tangannya di kantung jas putih. Jas kebesaran tenaga medis. "Emmm ... terima kasih, Dok. Saya akan mengingat pesan Anda," balas Allen diikuti anggukkan kepala.

Sang dokter memberi isyarat. Dua orang perawat mengerti dan pamit undur diri.

"Jangan memanggilku terlalu formal. Adnan. Panggil Adnan saja." Mengulurkan tangan. Allen merotasi bola matanya. Dia masih belum mengerti maksud tindakan dokter di depannya. "Tidak mau menyambut uluran tanganku?"

Apa ini? Dia mengajaku berkenalan? Di rumah sakit? Yang benar saja. "Emm ... Allen."

Akhirnya Allen menyambut uluran tangan sang dokter. Dia masih mencerna situasi yang sedang terjadi. Sementara Alisa sedang mengkerut di kursi sembari mengupas jeruk. Dia juga bingung dengan situasi sekarang.

"Baiklah, Allen. Berikan nomormu, jika ada apa-apa maka aku bisa menghubungimu."

Allen membuka mulutnya. Bingung. Tentu saja. Matanya sampai melotot.

"Jangan melotot begitu, Astaga. Hahaha ... aku hanya minta nomormu. Apa tidak boleh?"

Tunggu sebentar. Otak Allen yang terlalu bodoh atau memang situasinya yang canggung. Allen masih tidak mengerti dengan tingkah dokter di depannya.

"Kamu keberatan?"

Allen mengerjap. Kesadarannya kembali terkumpul. "Eh, nanti kalau saya sakit, saya akan datang sendiri, Dok. Tidak perlu merepotkan Anda."

Justru akan sangat merepotkan jika aku tidak tahu kondisimu, Allen. "Baiklah. Pelan-pelan saja, Allen." Sang dokter merogoh kantung jasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Kartu namaku. Lengkap dengan nomor telepon dan jadwal praktekku."

"Tapi untuk apa?"

"Kamu pasti membutuhkannya. Simpan dengan baik dan jangan sampai hilang." Seringai licik tercetak jelas di wajah tampan sang dokter.

Ragu. Namun, akhirnya Allen menerima kartu namanya. "Ingat namaku Adnan. Adnan Ramadhan."

Adnan Ramadhan? Adnan ... Ramadhan ... Di mana aku pernah mendengar namanya? Sepertinya nama itu tidak asing.

Sumpah demi apa pun Allen tidak mengerti dengan keadaan ini. Dia menatap Alisa. Alisa hanya mengendikkan bahu. "Jangan tanya aku. Aku pun bingung, seumur-umur aku baru lihat ada dokter yang menggoda pasiennya sendiri. Mending makan buahnya. Habis itu kita siap-siap pulang. Aku ke administrasi dulu untuk membayar biaya perawatan."

"Aneh," gumam Allen. Meraih jeruk dan mengunyah dengan cepat. Sementara Alisa sudah keluar untuk mengurus administrasi.

Brak!

Alisa menjatuhkan tubuhnya kasar. Di tangannya terselip jumlah tagihan. Biaya rumah sakit selama beberapa jam Allen dirawat.

"Kenapa? Apa semahal itu?"

Alisa mengusap kasar wajahnya. "Bukan soal mahalnya! Tapi kurasa dokter itu sungguh-sungguh jatuh hati padamu!" seru Alisa. Allen menautkan alisnya. "Biaya rumah sakitmu sudah dibayar olehnya. Iya, dokter Adnan yang membayarnya."

"Apa?! Aku harus menemuinya!" Allen bersiap turun dari ranjang.

"Dia sudah pulang. Kurasa kamu harus menyimpan nomornya. Ah, sial. Gara-gara dokter itu juga aku sampai lupa!" Alisa bangkit. Manghampiri Allen dengan tatapan tajam. "Sekarang kamu senang, hah? Masuk rumah sakit hanya karena laki-laki jahat itu!” Alisa mengumpati Agra.

“Jangan begitu. Bukan dia yang salah. Aku yang tidak bisa mengendalikan perasaanku. Seharusnya aku menjaga jarak darinya. Mungkin karena jarakku terlalu dekat akhinya ketahuan. Lagi pula berhentilah mengatakan dia jahat. Aku juga jahat, Al. ‘Kan aku yang menyebabkan Agra kehilangan Kinara.”

Alisa melotot. Menatap Allen dengan bola mata nyaris keluar. Bagi Alisa tetap saja Agra itu jahat. Agra hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa tahu Allen juga menderita. “Sampai kapan kamu akan terus membelanya? Padahal selama ini dia tidak tahu kamu masih bernapas atau tidak!” Menyodorkan apel yang sudah dikupas. “Makanlah! Tidak lucu jika kamu mati hanya karena Agra! Aku akan mengantarmu pulang. Mau pulang ke kontrakan apa ke rumah nenekmu?”

“Aku menginap di kontrakanmu, yah?” Allen tersenyum lebar menerima apel dari sahabatnya. Alisa memang yang terbaik. Selalu mengerti dirinya.

“Kamu pikir kontrakanku itu bandara? Seenaknya saja pulang dan pergi. Besok masuk tidak?”

Allen terkekeh mendengar sahabatnya mengomel terus-menerus. “Tentu saja. Kalau tidak masuk gajiku bisa dipotong. Obat nenek sudah mau habis, Al. Untung aku punya tabungan.”

“Disaat seperti masih ingat gaji!” mendengkus kesal, “Jika uangmu kurang kamu bisa pinjam uangku. Aku tahu obat nenekmu itu mahal. Tapi ingat kamu harus mengembalikan uangku setelahnya. Dua kali lipat.”

Allen tertawa. Sepanjang pertemanannya dengan Alisa, Allen tahu betul watak sahabatnya yang memang berhati malaikat. Jangankan membayar dua kali lipat, Allen bahkan lupa berapa jumlah uang yang sudah dia pinjam dari Alisa. Sangking seringnya.

“Kamu memang yang terbaik.” Mengacungkan jempol dengan mata berkedip-kedip.

“Hentikan itu! Aku mual melihatnya!”

***

Allen Caitlin, wanita dewasa yang sudah menginjak usia 26 tahun. Jangan ditanya bagaimana ciri-ciri fisiknya. Yang pasti dia sangat cantik sampai bisa membuat banyak laki-laki diluar sana jatuh hati padanya. Dengan sabar menunggu sampai Allen bisa membuka hati. Namun, menaklukan hati seorang Allen rasanya tidak akan mudah.

Diusianya yang terbilang cukup untuk membina rumah tangga. Allen justru masih betah melajang. Bahkan sebagian wanita di luar sana mungkin sudah memiliki dua orang anak, tetapi kisah cintanya memang tak semulus jalan toll yang bebas hambatan. Ada banyak kerikil dan tanjakkan yang membuatnya enggan untuk berganti status.

Hambatan terbesar mungkin adalah hatinya. Hatinya tak bisa menerima orang lain. Tidak ada tempat untuk laki-laki lain. Hatinya sudah terisi penuh oleh laki-laki yang justru membencinya setengah mati. Agra Grissham.

Untuk saat ini Allen hanya ingin fokus dengan pekerjaannya, menjadi operator di salah satu perusahaan telekomunikasi di Jakarta. Hanya sebagai operator. Bukan jabatan yang terlalu penting dan tinggi. Dia bahkan sering mengambil kerjaan lain di hari libur demi bisa menghasilkan uang lebih banyak. Kebutuhan sehari-hari untuknya dan sang nenek yang sakit-sakitan harus dia penuhi sendiri. Sudah satu tahun belakangan neneknya sakit dan memerlukan obat-obatan yang harganya cukup mahal.

Bagaimana dengan ibunya? Diam-diam tanpa sepengetahuan ayah tirinya, Anita sering mengirimi Allen uang, tetapi Allen tidak menggunakan uang itu sepeserpun. Karena hanya uang yang dikirim, tanpa ada tambahan bertanya kabar atau kesehatannya. Setidaknya bertanya bagaiamana Allen melalui hidup yang begitu menyiksa. Tidak! Anita tidak pernah bertanya kabar putrinya. Mungkin lupa karena memiliki putri yang tidak berguna seperti Allen.

“Jadi kamu tidak mendapat satu pun foto Agra?” Alisa menjatuhkan pantatnya di kasur lantai. Meluruskan kaki dan bersandar di tembok.

“Iya. Semuanya di hapus oleh Agra.” Allen berjalan ke lemari baju, tangannya cekatan mencari piyama milik Alisa. Keduanya sudah terbiasa bertukar pakaian. “Aku mandi duluan, yah. Lengket.” Menyomot handuk yang tergantung di stand hanger. “Lagian salahku juga. Seharusnya aku langsung kabur begitu dapat fotonya.”

“Tapi handphone-mu aman, ‘kan?”

“Aman, sih. Agra melemparnya tidak terlalu keras.” Menarik napas dalam dengan bahu yang naik turun. “Ada sih yang retak.” Kening Alisa berkerut. “Hatiku yang retak. Mungkin patah. Ah, kurasa malah sudah hancur lebur.”

“Jadi sudah tidak berharap lagi dengan Agra?”

“Sayangnya ....” Gelengan kepala menjadi jawaban bahwa Allen tetap menggantungkan harapan pada manusia angkuh bernama Agra.

Alisa hanya menghela napas panjang. Tidak ingin terlalu menghakimi Allen. Bagaimanapun cinta Allen pada Agra benar-benar tulus. Agra hanya terlalu buta untuk menyadarinya.

Allen menghilang di dalam kamar mandi. Terdengar suara keran air yang menyala. Sementara Alisa, tubuhnya berangsur turun dengan pandangan yang sayup-sayup memudar.

Tbc ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status