Share

Keputusan Agra

Nathan bergerak random di depan ruangan Agra. Beberapa hari ini Agra memberinya tugas yang tak biasa. Berkaitan dengan perasaan. Tentu saja Nathan si manusia batu tidak akan suka pekerjaan yang menguras emosi. Dia lebih suka bergelut dengan angka dan kurva, menghitung keuntungan perusahaan Bosnya.

 

Telepon di meja Sekretaris berdering. Nathan menoleh. Sepertinya dia tahu telepon dari siapa.

 

"Baik, Tuan.” Leni menutup panggilan telepon. Berjalan mendekati Nathan. “Tuan Nathan, Tuan Agra sudah menunggu Anda.” Kenapa Anda malah mondar mandir di depan pintu? Nathan mengibaskan tangan. Leni mengerti dan pamit undur diri.

 

“Tuan.” Nathan masuk ke dalam ruangan Agra setelah mengetuk pintu. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas. Meletakkan kertas-kertas itu di atas meja dengan sangat hati-hati. Terakhir membubuhkan sebuah kunci di atasnya.

 

“Semuanya beres?”

 

“Iya, Tuan. Rumah baru Anda sudah siap dan sudah bisa ditempati hari ini juga.”

 

Agra manggut-manggut. Memuji kerja cepat Asisten Pribadinya. Tidak pernah mengecewakan dan selalu bisa diandalkan. Siapa yang tahu kalau Nathan sedang sedih menjalankan tugas yang satu ini.

 

“Ada masalah? Kenapa wajahmu ditekuk begitu? Kau seperti anak TK yang kehilangan mainan.”

 

Anda tidak tahu saja bagaimana Nyonya menangis tersedu. Saya sampai tidak tega melihatnya. “Begini, Tuan. Tadi Nyonya menangis begitu mengetahui Anda ingin tinggal terpisah dari rumah utama. Nyonya besar berharap Anda memikirkan kembali keputusan Anda. Beliau masih sangat merindukan Anda setelah lima tahun berpisah. Nyonya ...,” menjeda. Tarikan alis Agra menandakan Nathan harus segera menuntaskan kalimatnya. “Nyonya bahkan memohon pada saya supaya bisa membujuk Anda.”

 

Agra terlihat menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Manik hitamnya sedikit lembab begitu membayangkan wajah Ibunda tercintanya yang menangis. Teringat pelukan erat ketika di bandara dan genggaman tangan yang tak mau terlepas ketika di dalam mobil. Selama ini hanya ibundanya yang selalu mendukung semua keputusan Agra, tetapi untuk tetap tinggal di rumah itu ... ah, rasanya Agra tidak bisa.

 

“Bagaimana, Tuan?” Nathan menginterupsi sampai fokus Agra kembali padanya.

 

“Kau tahu sendiri, Nath. Aku tidak bisa tinggal di rumah yang penuh kenangan buruk itu! Hatiku sakit setiap kali mengingat kelakuan Papah yang memaksaku bertunangan dengan Allen. Karena keegoisan papah sampai aku harus kehilangan Kinara. Terlebih lagi ketika melihat wajah ayahku, rasanya terlalu berat untuk tinggal bersama dalam satu atap. Lagi pula sejak kecil hubunganku dengan ayahku juga tidak pernah baik.”

 

“Saya mengerti, Tuan, akan saya sampaikan semuanya kepada Nyonya.”

 

“Katakan jika Mamah bisa tinggal di rumahku. Kapan pun dan berapa lama pun. Pintu rumahku selalu terbuka untuknya.”

 

“Baik, Tuan.”

 

“Sekarang kekuasaanku sudah melebihi ayahku. Aku bisa melakukan apa pun sesuai keinginan hatiku. Dia tidak bisa memaksaku lagi. Aku sudah lelah menjadi biduk caturnya. Pakaian, pendidikan, teman, bahkan istri semuanya sudah diatur olehnya. Aku lelah menjadi boneka hidupnya.”

 

Nathan menunduk dalam. Dia tahu betul bagaimana Agra melewati masa kecil hingga remaja dengan penuh tekanan. Terkekang dan terpenjara dalam kuasa ayahnya. Sebenarnya kehidupan Agra dan allen tak jauh berbeda. Sama-sama menderita. Sama-sama terluka.

 

“Kau boleh keluar.”

 

“Baik, Tuan.”

 

***

 

Agra Grissham. Laki-laki yang memiliki hati sedingin es, kaku, beku, dan tidak pernah tersentuh kehangatan. Semua orang mengatakan hidupnya penuh keberuntungan. Sukses diusia yang terbilang sangat muda. Dua puluh tujuh tahun. Siapa yang tidak berdecak kagum dengan pencapaian gemilang seorang Agra. Tanpa semua orang tahu. Dia harus membayar kesuksesan itu dengan perasaan kesepian dan rindu yang menyiksa terhadap cinta pertamanya. Kinara Amalia.

 

Uang dan kekuasaan yang dia miliki nyatanya tak bisa membuat Agra bahagia. Lima tahun berjuang di negeri orang dengan perasaan yang hancur bukanlah hal yang mudah. Dan di sinilah Agra sekarang. Duduk di kursi Presiden Direktur di sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di Jakarta. Sekarang dia sudah berhasil. Setelah ini tidak ada lagi yang akan mengatur hidupnya. Dia bisa bergerak kemana pun, dengan siapa pun, dan kapan pun dia mau.

 

“Mengenai perusahaan cabang bagaimana?”

 

Nathan merogoh katung celananya dan mengeluarkan benda tipis persegi panjang yang khusus berisi agenda Bosnya “Besok Anda ada jadwal berkunjung. Sekitar pukul sepuluh pagi setelah selesai rapat dengan kolega dari Jepang.”

 

“Ah, baiklah. Apa mereka sudah tahu wajahku?” tanya Agra. Kening Nathan berkerut mendapati pertanyaan dari Bossnya. Sepersekian detik dia pun mengerti. Ini pasti tentang akuisisi perusahaan komunikasi kecil yang baru berpindah pemilik.

 

“Oh. Untuk pemimpin yang baru mereka belum tahu, Tuan. Jadi besok selain berkunjung Anda juga akan diperkenalkan sebagai Presiden Direktur yang baru. Ini hanya perusahaan kecil, tidak akan terlalu menyita waktu Anda.”

 

“Baiklah.”

 

Nathan menyodorkan tumpukkan berkas. Seperti biasanya, meletakkan dengan sangat hati-hati. “Ini data para karyawan yang Anda minta, Tuan.”

 

Kening Agra berkerut rapat saat membaca deretan nama di sana. Napasnya mulai berat dengan tatapan mata tajam. Tumpukan berkas yang dibawa Nathan berhasil menyulut emosinya, yang nyaris padam beberapa saat lalu.

 

Nathan menunduk. Dia sudah tahu apa yang membuat ekspresi wajah Agra berubah total.

 

“Jelaskan padaku. Ada berapa nama Allen di dunia ini?”

 

“Mungkin ada banyak, Tuan, saya belum mencari data akuratnya, tetapi untuk nama Allen yang tetera dalam dokumen dan bekerja di perusahaan anak cabang ... sepertinya itu memang Nona Allen yang Anda maksud, putri dari keluarga Caitlin.”

 

Allen, Allen, dan Allen. Dia bosan mendengar nama wanita itu keluar masuk ke gendang telinganya. “Dia bekerja di bawahku?” tanya Agra. Nathan mengangguk berat sebagai jawaban. “Pecat saja! Aku tidak sudi melihat wajahnya lalu lalang di dekatku. Membuatku mual!” serunya dengan sorot mata tajam.

 

“Emm ... baiklah, Tuan.”

 

“Kau ragu?”

 

Bukan ragu. Mungkin lebih tepatnya Nathan merasa kasihan dengan nasib Allen. “Saya bukan ragu, Tuan, tetapi hanya kasihan dengan Nona Allen.”

 

“Kasihan?” Alis Agra terangkat. Sejak kapan seorang Allen Caitlin perlu dikasihani? Wanita sombong dan pongah sepertinya tidak perlu mendapat belas kasihan.

 

“Iya, Tuan, sudah lima tahun hidup Nona Allen berubah. Bahkan satu tahun terakhir Nona harus bekerja keras karena harus membiayai hidupnya dan sang nenek yang sakit-sakitan.”

 

“Kau tahu banyak tentang kabar wanita itu rupanya!”

 

“Maafkan saya, Tuan.” Nathan semakin menundukkan kepalanya. Dia tidak bermaksud menyinggung perasaan Agra, di belakang Agra dia memang mencari tahu tentang kabar Allen. Bahkan surat-surat yang Allen kirim untuk Agra selama lima tahun pun dia simpan rapi. Padahal Agra sudah memberi perintah untuk membakarnya. Tindakan Nathan murni didasari rasa kasihan dan keyakinan, bahwa suatu saat nanti Agra akan membutuhkan tumpukan surat itu untuk dibaca.

 

“Kau bilang wanita itu harus apa? Bekerja keras?! Cih! Apakah keluarga Caitlin jatuh miskin? Aku belum pernah mendengar berita bangkrutnya perusahaan raksasa itu. Ah, apa aku ketinggalan berita?”

 

“Tidak, Tuan. Keluarga Caitlin tidak bangkrut, hanya saja Nona Allen ....” Nathan menghentikan kalimatnya begitu melihat perubahan emosi di wajah Agra. Sepertinya mendengar nama Allen sudah menjadi alergi untuknya. Terbukti sejak tadi Agra menyebut Allen dengan sebutan ‘wanita itu’.

 

“Cukup pecat saja, Nath! Tidak perlu banyak pertimbangan. Apakah memecat satu orang bawahan saja terlalu sulit untukmu?”

 

“Baik, Tuan.”

 

Nathan pamit undur diri. Dia tidak mungkin melawan printah Bossnya. Jadi jalankan saja walaupun dengan setengah hati.

 

Tbc ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Susanti Elly Up
semangat terus berkarya kakak .........
goodnovel comment avatar
Susanti Elly Up
hai.. hai.. Thor AQ dulu ngikuti qm mulai dari NT,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status