Tatapan tajam Aya langsung menyapu tubuh Yasa, saat sudah selesai membersihkan diri di kamar mandi. Baju serta celana pendek Asa yang melekat ditubuh suaminya, tampak memamerkan lekuk otot yang terbentuk di seluruh penjuru lengan, dada dan turun ke perut.
Postur tubuh Yasa memanglah lebih besar dari Asa, pun tingginya. Mungkin sudah keturunannya seperti itu. Asa adalah produk yang 100 persen lokal sedangkan Yasa, suaminya itu memiliki darah campuran Arab yang memang diturunkan dari Abraham. Sedangkan ibu kandung Yasa, ternyata juga berdarah campuran Uzbekistan dan Indonesia.
Tampan, suaminya itu memang luar biasa tampan. Meskipun Aya belum menautkan seluruh hatinya pada Yasa, namun, ia tidak menampik, kalau fisik sang suami membuat dirinya terkadang membayangkan semua hal liar diluar batas warasnya.
Sinar yang melihat ekspresi putrinya itu hanya menyematkan senyum tipis. Tapi sudah bisa bernapas lega, karena keduanya tampak sudah berbaikan. Apapun yang terjad
“Yasa …” “Hem, apa?” “Badanmu tuh gede, bisa gak tidurnya di ranjang satunya. Sempit! Aku takut infusku lepas gara-gara tanganmu yang gak bisa diatur itu.” Hembusan napas Yasa yang menerpa puncak kepala Aya terasa kencang. Baru saja hendak melepas kerinduan dengan memeluk Aya semalaman seperti biasa, kini istrinya itu kembali bertingkah. Padahal, posisi saling memeluk seperti yang saat ini tengah mereka lakukan, sudah berangsur sedari tadi. Tapi Aya baru protes sekarang. “Infusnya kapan bisa di lepas?” “Ya tanya dokter kalau itu.” Lidah Yasa berdecak kecil, tidak ingin kesenangannya ini berlalu begitu saja. Rugi sekali rasanya, sudah berada satu ruang dengan sang istri, tapi masih harus berpisah tempat tidur. Tapi, Yasa juga sebenarnya tidak menampik kalau saat tidur, tangannya bisa saja menjelajah ke mana-mana. Pada akhirnya, ia memikirkan ucapan Aya, bagaimana jika tanpa sengaja, tangan jahilnya itu pergi ke mana-mana dan men
Sinar datang ke rumah sakit sepagi mungkin. Melewatkan sarapannya di hotel, agar tidak didahului oleh Astro datang ke rumah sakit. Napasnya terhembus lega, saat tidak mendapati Astro berada di depan kamar inap putrinya. Sinar pun langsung memasuki kamar yang pintunya terbuka sebagian itu. Terlihat Yasa sedang menyisir surai basah Aya yang mulai memanjang dengan lembut. Tapi tetap saja, Aya terdengar membeo, karena tidak puas dengan apa yang dilakukan Yasa pada rambutnya. “Pelan-pelan, napa sih. Jangan ditarik gitu.” protes Aya hingga berdecak berkali-kali, maniknya melirik sekilas pada sang bunda yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. “Ini juga pelan kali, Ay. Rambutmu aja yang kusut, punya rambut tapi gak pernah dirawat ya begini.” Yasa juga membalas decakan Aya berkali-kali. “Tuh kan, rontok mulu. Keluar rumah sakit kamu harus pergi ke salon.” “Males.” jawabnya singkat dengan mengangkat kedua bahu. “Jangan mentang-mentang divonis bedr
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 8 pagi, kaki Bintang akhirnya menjejak di lobi rumah sakit. Pria paruh baya itu terbang dengan pesawat pertama yang berangkat pukul 4.30 tanpa ada delay sama sekali. Perjalanan ke rumah sakitlah yang sedikit lama karena bertepatan dengan keberangkatan para pelajar serta para pekerja di pagi hari. Sudah ada Sinar yang menyambutnya di lobi dengan memberi senyum hangat. Senyum yang dahulu selalu menghiasai hari-harinya, meskipun hanya dalam waktu yang sangat singkat. “Pagi, Mas. Udah sarapan?” sapa Sinar menjulurkan tangan bersikap santai. Bintang balas tersenyum, menyambut uluran tangan mantan istrinya. “Sudah, di pesawat. Terlalu pagi sebenarnya, tapi yaa daripada gak sempat.” Keduanya berjalan bersisihan melewati lobi dan masuk ke sebuah koridor. “Astro sudah datang?” tanya Bintang menoleh pada Sinar, menunggu wanita itu menjawab pertanyaannya. “Belum, tapi kemarin dia bilang mau datang lagi
Sinar, Yasa serta Asa memilih keluar tidak lama setelah kedatangan Bintang untuk menjenguk putrinya. Aya masih saja memanyunkan bibirnya. Memilih berbaring dan memunggungi sang papa yang sudah jauh-jauh datang, untuk sekedar bertemu dengan Aya. Tentu saja kedatangan Bintang adalah untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan yang sempat retak. “Kamu gak mau lihat, Papa?” Bintang duduk pada kursi yang selalu setia berada di samping tempat tidur Aya, tidak pernah berpindah ke manapun. “Masih gak mau bicara dengan Papa?” tanyanya lagi. Hening Aya memejamkan matanya, berharap ia akan tertidur begitu saja dan setelah bangun nanti tidak akan melihat papanya ada di ruangan yang sama dengannya. Hatinya masih terlampau sakit, dengan sikap Bintang yang lebih percaya dan memihak Astro kala itu. “Papa minta maaf untuk semuanya.” akhirnya Bintang membuka suara kembali, karena Aya tidak kunjung memberinya respon apapun. “Papa yang salah di sini. Sebagai oran
Hari ini, adalah hari terakhir Bintang berada di Surabaya. Jika tidak ada aral melintang, ia akan kembali ke Jakarta menggunakan penerbangan terakhir. Meskipun selama tiga hari di rumah sakit bergantian menjaga putrinya, Aya masih saja bersikeras, enggan berbicara dengan Bintang. Dan keesokan harinya, Aya sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Untuk sementara waktu, Yasa memutuskan untuk tinggal di hotel. Tidak kembali menumpang di rumah Langit, karena khawatir merepotkan. Selain itu, alasan lainnya adalah, karena Yasa merasa tidak nyaman dengan kedua anak Langit yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Ia hanya ingin menjaga batasannya. Tidak ingin membuat sang istri cemburu, meskipun diantara mereka tidak terjalin suatu hubungan apapun. Yasa hanya ingin menjaga hati istrinya. Tidak mau menimbulkan masalah lagi ke depannya. Setelah nanti, Aya benar-benar pulih dan sudah diperbolehkan untuk melakukan perjalanan udara dengan pesawat terbang, maka,
Dada Astro bergemuruh hebat, tidak mampu berkonsentrasi dengan kasus yang tengah ia pelajari saat ini. Beberapa berkas yang tergeletak di atas meja, sedari tadi hanya dijadikan sebagai pajangan, tanpa tersentuh sama sekali Setelah Bintang memberi peringatan tegas padanya hari itu, malamnya, Astro langsung bertolak kembali ke Jakarta. Mengurus beberapa pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun, pekerjaan yang ada, tidak kunjung dapat ia selesaikan, karena pikirannya telah terbagi-bagi. Ditambah, akhir-akhir ini Zevan kerap menghubunginya untuk meminta bertemu. Baik itu melalui telepon, maupun hanya sekedar mengirim chat untuknya. Astro menduga kalau ini berkaitan dengan masalah kejelasan hubungannya dengan Zetta. Astro juga tidak mengerti, harus seperti apa ia bersikap dengan wanita yang pernah dicintainya dahulu kala. Semua rasa yang selalu menggebu ketika memikirkan Zetta, sekarang seolah tidak bernyawa. Tidak ada lagi kerinduan maupun hasrat untuk ingin bert
Setelah memasuki kamarnya, Aya merangkak pelan menuju ranjang. Kemudian menjatuhkan dirinya dengan lembut di atas sana, bertelungkup. Menghirup dalam-dalam aroma tempat tidur kesayangannya, yang memang sudah jarang ia tempati ketika sudah mulai bekerja di Metro. “Puas-puasin.” Yasa ikut menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, di sisi istrinya. “Sebentar lagi, gak bakal bisa tengkurap.” Aya yang awalnya tidak mengerti dengan maksud ucapan dari sang suami, akhirnya terkekeh geli. Membayangkan perutnya yang membola dan tidak bisa lagi bertelungkup. Sebuah kenikmatan yang belum tentu bisa dialami setiap perempuan. Aya cukup beruntung, karena tidak perlu menunggu lama, untuk mendapatkan sebuah anugrah yang tidak ternilai harganya. Kalau mendengar cerita sang bunga, dahulu kala, Sinar harus menunggu selama satu tahun, barulah bisa mendapatkan Asa. “Tapi, perutku kok belum gede-gede ya? kan udah 2 bulan.” Aya membalik tubuhnya, bertelentang. Tangannya mengusap pelan
Zetta terdiam merasa bersalah, terpojok dengan semua ucapan dan tuduhan yang dilempar oleh Astro kepadanya. Jadi, karena itukah selama ini Astro menghindarinya? Mereka memang kerap bertengkar saat itu. Tapi menurut Zetta, hal itu tidak cukup kuat digunakan sebagai alasan untuk tidak melanjutkan pernikahan mereka. Seharusnya, semua bisa dibicarakan lagi baik-baik, dari hati ke hati. Tidak langsung mengambil keputusan secara sepihak seperti saat ini. “Kalian masih bisa memperbaiki hubungan yang ada.” Melati berujar dengan tangan yang tersampir di atas paha Zevan, sedikit merematnya karena gelisah. Meskipun konteksnya berbeda, tapi Melati bisa mengerti perasaan putrinya saat ini. Ditinggal sang kekasih ketika sudah merencanakan sebuah pernikahan, itu tidaklah mudah. Apalagi, hubungan yang terjalin sudah masuk hitungan tahun. Melati juga pernah merasakannya, dahulu kala. Dan, ia tidak ingin Zetta mengalami hal yang sama dengan dirinya. Apapun yang terjadi, putri