Share

4. Ke Taman Safari bersama Dini

Ana terpekur di depan jendela kontrakannya. Sudah pukul dua belas malam, suaminya belum juga pulang ke rumah. Biasanya, pukul sebelas sudah sampai rumah. Ana sedikit cemas, suaminya nekat meladeni ajakan beberapa wanita yang terang-terangan tertarik padanya.

Wanita itu mengigit ibu jarinya, sambil menaikkan kedua lututnya di dekat dada. Di luar udara mulai terasa sangat dingin. Ana menutup jendela, lalu menguncinya.

Duuaar!

Tiba-tiba saja petir menggelegar membelah langit malam. Ana terlonjak kaget, sambil mengusap dadanya kuat karena takut, bercampur cemas. Diambilnya ponsel, lalu menghuhungi nomor suaminya, tetapi tidak diangkat. Ana memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Rangga, menanyakan di mana suaminya itu sekarang? 

Lima belas menit berlalu, tetap tidak ada balasan. Berkali-kali Ana menguap lebar menahan kantuk, tetapi suaminya tak kunjung pulang. Hingga akhirnya Ana tertidur di kursi panjang ruang depan.

Suara azan shubuh terdengar begitu merdu dari kejauahan. Ana tersentak kaget, lalu membuka mata lebar. Disisirinya tempatnya kini berada. Ternyata ia sudah berada di atas ranjang dan suami yang terlelap di sampingnya. Masih menggunakan celana kerja dan kaus dalam saja.

Ana perlahan turun menuju kamar mandi, untuk bersih-bersih sekalian berwudhu. Ia solat wajib dua rakaat dengan khusyuk. Setelah salam dan berdoa, bergegas Ana merapikan mukena yang ia kenakan. Suaminya masih terlelap dengan sangat nyenyak.

"Mas, bangun. Solat Subuh dulu!" Ana menggoyangkan lengan polos suaminya. Rangga masih tak menyahut, membuka mata pun tidak.

"Mas, bangun!" Ana kembali mengguncang tubuh suaminya. Berharap lelaki itu mau membuka mata dan melaksanakan kewajiban sebagai muslim. Sudah sepekan Ana memperhatikan suaminya yang tidak solat wajib sama sekali. Mungkin saja suaminya masih terlalu lelah. Ana memutuskan untuk ke dapur dan mencuci piring. Setelah mencuci piring, Ana mulai memisahkan pakaian kotor untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci.

Dirabanya saku kemeja kerja suaminya, barangkali ada korek atau rokok yang tertinggal di sana. Tak jarang lembaran uang lima ribu, bahkan sepuluh ribu pernah ikut berputar di dalam mesin cuci. Semua pakaian sudah masuk ke dalam mesin cuci. Tersisa jaket motor Rangga akan diputar paling akhir. Ana kembali memeriksa setiap kantong jaket, dan lihat apa yang dia temukan. Sebuah struk restoran, senilai seratus lima puluh ribu. Pasti suaminya mentraktir wanita yang katanya ia menfaatkan.

Ana mencoba mengatur napas beberapa kali. Emosinya mulai tersulut. Dirinya saja sebagai istri, tak pernah diajak makan di restoran dengan jumlah bill yang harus dibayar sampai seratus lima puluh ribu, jika tidak sedang dalam suasana lebaran, karena suami mendapat THR. 

Ana akan bertanya pada suaminya nanti. Ia melipat kertas itu kembali, lalu ia masukkan ke dalam saku dasternya. Kembali ia melanjutkan pekerjaan ibu rumah tangga. Kepalanya menoleh melihat jam di dinding, sudah pukul enam pagi. Ana kembali masuk ke dalam kamar, untuk membangunkan suaminya solat Subuh.

"Mas, bangun!" kali ini suaranya terdengar BT. Rangga membuka mata pelan. Kedua mata lelaki itu mengecil untuk melihat istrinya yang nampak lusuh, dengan daster sobek bagian pundaknya. Belum lagu rambut yang diikat tak jelas, mirip pembantu rumah tangga. Bukannya bangun  Rangga malah berbalik memunggungi Ana.

"Loh, kok tidur lagi? Bangun, Mas. Subuh dulu!" Ana menarik tangan suaminya agar mau berdiri. Walau sia-sia. Karena tubuh suaminya yang berat.

"Aku libur dulu!" Rangga menepis tangan istrinya, lalu mendekap kembalin giling bermotif angsa itu. 

"Emangnya kerja, ada liburnya? Bangun, Mas. Cuma dua rakaat kok."

"Brisik ih! Jangan ganggu! Gue masih ngantuk! bentak Rangga menggelegar, membuat Ana berjalan mundur keluar kamar. Masih pagi, dan suaminya sudah membuat moodnya untuk mengurus rumah tangga menjadi terjun bebas. Ana mengambil dompet di dalam laci, lalu keluar rumah menuju warung sayur.

Sudah ada beberapa ibu-ibu seumurannya di sana. Masing-masing menggendong anaknya. Di situ muncul rasa sedih di hati Ana. Sudah setahun menikah, ia belum juga hamil. Padahal, teman-temannya yang lebih lama menikah dari dirinya, sudah langsung hamil.

"Mau masak apa, Na?" tegur salah seorang dari mereka.

"Eh, bingung nih," jawabnya singkat sambil tersenyum tipis.

"Mbak mau masak apa?" tanya Ana balik.

"Masak makanan kesukaan suami dong. Sayur sop tetelan dan tempe orek," jawab wanita itu.

"Oh, iya juga ya. Saya masak makanan kesukaan suami juga deh," balas Ana dengan senyum ceria. 

Ia memilih setengah ekor ayam, lengkap dengan bumbu ungkap. Ditambah satu ikat sayuran kangkung yang akan dia tumis nanti. Setelah membayar belanjaannya, Ana mampir sebentar ke pedangang nasi uduk, membelikan sarapan untuk suaminya. Untunglah hari ini jadwal suaminya libur, sehingga jika ia memasak banyak, tentu akan disantap suaminya.

Ana berjalan masuk ke dalam pagar kontrakan. Semakin mendekat ke rumahnya, semakin jelas suara suaminya tengah berbincancang di teleppn dengan seseorang.

"Iya, Dek. Ini lagi mandi, nanti Abang langsung ke rumah. Adek udah mandi belum? He he he ... ya sudah. Abang siap-siap dulu ya. Nanti kita sarapan bersama."

Rangga tak tahu, jika Ana sudah berdiri mematung di sana dengan barang berlanjaan yang sudah tergeletak mengenaskan di lantai.

"Mau ke mana, Mas? Selain saya, siapa lagi yang Mas panggil Adek?" tanya Ana berusaha meredam emosinya.

"Mau ke rumah Dini. Mau anter dia ke Taman Safari. Lumayan, Mas jadi jalan-jalan gratis. Mas diminta buat jadi sopirnya," jawab Rangga santai, dengan semangat memakai baju terbaik yang ia miliki.

"Jadi Mas benar-benar memadu kasih dengan Dini?" tanya Ana mendekat pada suaminya, dengan kaki gemetar. Lelaki itu tengah menyemprotkan hampir setengah botol minyak wangi pada bajunya.

"Eh, jangan dekat-dekat! Kamu belum mandi. Ya ampun, kenapa perempuan setelah menikah tidak ada manis-manisnya? Malah seperti pembantu!" 

Ana tersenyum miring. "Apa yang tidak terlihat oleh mata kepalaku, tetapi Allah Maha Melihat. Lakulanlah sesukamu, Mas!" Ana berjalan keluar kamar dengan hati panas membara. Tak dipedulikannya suaminya yang sudah melesat pergi menggunakan sepeda motor, yang dibeli dari hasil pesangon saat dirinya mengundurkan diri.

Diambilnya ponsel di atas nakas, lalu ia kirimkan pesan pada Dini.

"Aku tak tahu ada hubungan apa kamu dan suamiku. Satu yang harus kamu ketahui, tidak ada pelakor yang dapat hidup tenang, dan salingkuh itu penyakit yang tidak ada obatnya."

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status