Share

5. Mencari Suaminya

Ana menunggu kepulangan suaminya hingga pukul delapan malam. Hati dan kepalanya sungguh panas, membayangkan sang suami yang bertamasya dengan keluarga wanita lain. Walau diberi upah karena dia yang menyetir. Tetap saja, hati kecilnya menolak. Apalagi, pesan yang ia kirimkan pada Dini hanya ceklis satu. Apakah nomornya telah diblokir wanita itu?

Tok

Tok

"Assalamualaykum, Mbak Ana," suara seorang tetangga wanita yang sangat ia hapal, berseru di balik pintu rumah kontrakannya.

"Wa'alaykumusalam. Sebentar," jawab Ana berdiri dari duduknya, lalu memutar kunci pintu.

"Eh, Mbak Lasmi. Ada apa, Mbak?" tanya Ana terheran. Tetangga wanitanya itu datang membawa dua mangkuk tertutup tisu.

"Ini, saya tadi iseng bikin macaroni panggang. Ini, silakan dicicipi, Mbak. Yang mangkuk kuning untuk Mbak Ana, yang mangkuk merah muda untuk suaminya Mbak Ana."

"Loh, banyak sekali sampai dua mangkuk? Satu saja belum tentu habis, Mbak," ujar Ana dengan perasaan jengah. Ia sangat tahu, ada maksud di balik dua mangkuk yang diantarkan oleh tetangga ini. Apalagi setelah diperhatikan isinya berbeda jauh. Mangkuk untuknya paling berisi tak sampai setengah mangkuk, sedangkan untuk suaminya, mangkuk itu terisi penuh.

"Gak papa, Mbak Ana. Saya sedang ingin berbagi saja. Mas Rangganya belum pulang ya?" tanya Mbak Lasmi lagi dengan kaki sedikit berjinjit untuk melihat keadaan di dalam rumah.

"Suami saya sedang ada urusan. Terima kasih ya, Mbak. Saya tutup pintunya." Tanpa mendengar persetujuan dari tetangganya, Ana menutup pintu, lalu memutar anak kuncinya sebanyak dua kali. 

Wanita itu memandang dua mangkuk yang berbeda warna dan isi. Kenapa harus mangkuk untuk suaminya berwarna merah muda? Dan mangkuknya berwarna kuning? Apa ini bagian dari kode? Kuning untuk dirinya yang berharap segera wafat, dan merah muda untuk menyatakan perasaan Mbak Lasmi pada suami tampannya. 

"Cih, ibu-ibu di sini ganjen semua. Gak bisa lihat cowok cakep, matanya ijo!" Ana tersenyum miring.

Kakinya melangkah malas menuju dapur, untuk mengambil sendok. Harum macaroni panggang itu sangat menggoda indera penciuman dan juga indera perasanya. Ana membawa mangkuk merah muda yang terisi penuh untuk ia makan.

Rasanya lumayan enak. Paling tidak, makanan yang saat ini ia santap, dapat mengurangi kekhawatirannya pada suaminya yang tak kunjung pulang. Setelah makan dan bersih-bersih. Ana memilih tidur. Semua lampu dimatikan, lalu masuk ke dalam kamar untuk berbaring. Sebelum terlelap, ia menghubungi nomor suaminya, tetapi tidak tersambung. Ia juga menghubungi nomor Dini, tetapi tidak juga tersambung.

Ada air bening yang menggenang di pelupuk matanya. Apa yang sebaiknya ia lakukan? Apakah ia harus mendatangi rumah Dini? Tetapi percuma, karena Dini dan keluarganya tidak ada di rumah. Mereka sedang berlibur bersama suaminya.

Azan Subuh berkumandang. Ana terbangun dari tidurnya, saat meraba sisi kanan kasur yang masih kosong dan rapi. Suaminya ternyata tidak pulang. Ana mengambil ponselnya di atas nakas, lalu mengecek pesan masuk. Tak ada satu pun pesan yang dikirimkan suaminya. 

Hati wanita itu sakit. Kepalanya seketika berputar, memikirkan suami yang berselingkuh. Ana memilih merebahkan kembali kepalanya di atas bantal, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak menyangka, suami yang tampak sangat sayang padanya, ternyata memilih selingkuh, dengan alasan memanfaatkan uang wanita di luaran sana.

Ana mengusap air matanya kasar. Lalu berjalan masuk ke kamar mandi. Tugasnya saat ini adalah mencari tahu, apa sebenarnya yang dilakukan suaminya bersama Dini;sahabatnya.

Rambutnya diikat tinggi. Baju kaus lengan panjang dan rok tutu sepanjang betis ia kenakan dengan rapi. Tak berselera sarapan, Ana langsung saja memesan ojek online. Tujuannya saat ini adalah rumah Dini.

"Mau ke mana pagi-pagi, Mbak?" tanya Bu Rukmini tetangga dua rumah darinya. Wanita itu tengah menjemur pakaian.

"Ada urusan sebentar, Bu," jawab Ana dengan senyum tipis. Cepat dikuncinya pintu, lalu berjalan keluar gerbang kontrakan. Ia tak ingin tetangga lain keluar rumah, lalu menayakan banyak hal padanya.

Minggu pagi, jalanan masih sangat lengang. Lebih banyak lalu-lalang orang yang berolah raga, daripada kendaraan yang berseliweran di jalan. Matanya menangkap sosok pasangan suami istri dan juga seorang anak yang ikut berlari kecil bersama kedua orang tuanya. Tanpa disadari oleh Ana, air matanya kembali menggenang. Reflek ia menyentuh perut yang masih datar. 

"Ya Allah, segerakanlah hadirnya bayi di dalam perutku. Agar suamiku kembali menjadi baik dan penyayang seperti sedia kala," doanya dalam hati. Ia sangat paham, rumah tangga yang ia dan suaminya jalani mungkin sangat membosankan, karena tanpa hadirnya seorang anak. Namun, ia takkan setuju jika suaminya berselingkuh di belakangnya.

"Ini bukan, Mbak?" tegur pengemudi. Mereka sudah berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi. Ini adalah rumah orang tua Dini yang merupakan pensiunan Militer.

"Betul, Mas." Ana turun, lalu membayar ongkosnya.

"Kembalian lima ribu ini, Mbak," katany lagi sembari mencari lembaran lima ribu rupiah dari saku jaket hijaunya.

"Tidak usah, Mas. Buat Mas saja," balas Ana dengan senyum tipis.

"Terima kasih ya, Mbak," ucap pengemudi itu dengan senyum mengembang. Ana membalasnya dengan anggukan. Jujur, kakinya saat ini tengah gemetaran berdiri di depan rumah orang tua Dini. Motor yang biasa dipakai suaminya, memang ada di dalam garasi rumah keluarga Dini dan sebuah mobil sedan mahal, juga parkir di sana.

Treng

Treng

Ana mengetuk pagar dengan gembok yang menggantung. Menunggu sejenak, tetapi tidak ada yang membukakan pintu.

Treng

Treng

Ana kembali mengetuk pagar, kali ini dengan cukup keras. Seorang wanita paruh baya, berdaster lusuh, berjalan tergopoh, mendekati dirinya.

"Assalamualaikum, Bik. Dininya ada?" tanya Ana dengan dada berdebar.

"Wa'alaykumussalam. Non Dini sedang reuni ke Yogya, Mbak," jawabnya dengan ekspresi datar.

"Oh, reuni." Lidahnya begitu kelu untuk meneruskan ucapannya.

"Bersama siapa, Bik?" tanyanya lagi.

"Sama calon suaminya. Namanya Rangga. Itu motornya," tunjuk wanita paruh baya itu ke arah garasi.

Ana terdiam dengan hati bagai ditusuk sembilu. Susah payah ia menelan saliva. Mencoba tetap bertahan pada kedua kakinya. Tubuhnya benar-benar lemas tak bertulang. Namun, ia tak boleh lemah.

"Non namanya siapa? Ada apa masih pagi udah mencari Non Dini?" 

"Heh, Bik ... Asal Bibik tahu, saya ini Mariana. Istri sah dari Rangga. Saya ke sini, mau mencari suami saya yang tidak pulang."

****

~Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status