Share

3. Kebenaran yang mengejutkan

Seperti biasa, Ana selalu menyiapkan sarapan pagi menjelang siang untuk suaminya. Karena sehabis subuh biasanya Rangga memang tidur lagi, dan baru bangun pukul sembilan. Sisa pertengkaran semalam benar-benar terhapus bersih di kepalanya. Ia tak mau sampai semua perabotan dapurnya hancur sia-sia begitu saja. Semakin ia kasar dan mendesak suaminya untuk jujur, maka akan semakin kuat Rangga berbohong. Maka dari itu, Ana memilih menggunakan cara lain.

Memang dari sebelum menikah dengan Rangga, sudah banyak wanita yang menggoda suaminya, tetapi Rangga tetap memilihnya yang tidak seberapa cantik ini untuk menjadi istri. Betapa beruntungnya ia saat itu dan saat ini.  Ekor matanya melirik kalender. Senyum pun terbit, tatkala tanggal menunjukkan angka dua puluh lima yang tandanya Rangga sudah gajian.

Ana berjalan masuk ke dalam kamar, lalu naik pelan ke atas ranjang. Mengusap lembut lengan suaminya, lalu mengecupnya sebentar.

"Mas, bangun. Sudah jam sebelas," bisiknya begitu lembut. Rangga masih saja pulas mendengkur, dengan mulut sedikit terbuka.

"Mas," panggil Ana lagi sambil menggoyangkan tubuh suaminya.

Rangga berbalik pelan, sambil membuka mata.

"Jam berapa?" tanyanya.

"Tanggal dua lima, Mas," jawab Ana memberi kode. Rangga tergelak, lalu segera duduk dan menatap wajah Ana dengan hangat.

"Aku tanya jam, Na. Bukan nanya tanggal." Rangga kembali tergelak.

"Dasar mata duitan! Kemarin aja parade perabotan terbang hingga pecah. Sekarang pake ingetin tanggal dua lima." Rangga pura-pura mencebik. Ana menyeringai, lalu meletakkan kepalanya di pundak suaminya.

"Yang kemarin maaf, Mas. Cemburu kan tanda sayang," balas Ana dengan wajah merona.

"Ya udah, lupakan saja yang kemarin. Ayoklah sarapan!" ajak Rangga yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam mandi.

Mereka makan dalam hening. Tepatnya hanya Rangga yang makan, karena Ana sudah dari jam enam pagi menyantap sarapannya. Ingin sekali Ana bertanya pada suaminya, kenapa kontak Dini di ponsel Rangga menjadi Dono? Dan ada hubungan apa suaminya dengan Dini? Namun, hati dan mulutnya tidak sinkron. Matanya malah asik menikmati pemandangan di depannya. Sang suami makan nasi goreng buatannya dengan lahap.

Ana bergegas mengambil ponsel, lalu memotret suaminya yang sedang makan. Tak lama, foto itu sudah tersebar di berbagai akun media sosialnya dengan puluhan, bahkan ratusan like dari teman-temannya. Hanya dalam waktu sekejap saja.

"Duh, ganteng banget suaminya, Mbak."

"Suaminya punya adek gak, Mbak? Mau dong buat saya."

"Orang ganteng mah bebas."

"Beruntung sekali deh memiliki suami tampan maksimal."

Ana mengulas senyum penuh kebanggaan dan hati membuncah bahagia. Ana tak sempat membalas satu-satu komentar teman-temannya.

"Kalau suami makan, bisa gak sih, gak pegang HP?"

"Eh, bisa, Mas." Ana sedikit tergagap dan secepat kilat meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja.

Suapan terakhir masuk ke dalam mulut suaminya. Dilanjutkan dengan segelas teh manis hangat, membasahi tenggorokan. Betapa ia kesal dengan suaminya, betapa ia juga berkali-kali jatuh cinta dengan ketampanan suaminya.

"Ana, ada yang harus saya katakan," ujar Rangga sedikit serius. Kening Ana mengerut dengan bola mata menelisik raut wajah suaminya  nampak tegang.

"Oh iya, ini uang belanja untuk bulan depan." Rangga memberikan uang dua juta lima ratus untuk Ana.

"Alhamdulillah." Ana langsung membuka isi amplop, lalu menghitung isi di dalamnya. Senyum wanita itu terbit, tatkala mengetahui isi amplop itu kelebihan lima ratus ribu rupiah.

"Terima kasih, Mas. Sudah dilebihkan," kata Ana dengan seringai sangat lebar. Bahkan Ana langsung berdiri, kemudian mencium pipi suaminya.

"Sama-sama. Hal yang mau aku bicarakan berkaitan dengan jatah bulanan kamu," balas Angga dengan suara masih tetap tegang.

"Apa sih, Mas? Bikin penasaran aja." Ana meletakkan amplop, lalu memandang suaminya dengan ketegangan yang sama.

Angga nampak ragu, hingga nafasnya terlihat naik turun tak beraturan. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi kening dan juga  tangannya. Angga tampak kembali mencoba mengatur nafas, tetapi masih saja mengatupkan mulutnya.

"Ada apa, Mas?" tanya Ana lagi sambil menekan suaranya.

"Begini," ucap Rangga terpotong. Lelaki itu kembali menarik nafas dalam.

"Di pabrik ada beberapa teman wanita yang menggoda saya."

Deg

Kepala wanita itu mulai sakit. Ia khawatir, ucapan selanjutnya lebih menegangkan dari ini.

"Bukannya dari dulu," sahut Ana pendek.

"Iya, tetapi kali ini mereka terang-terangan memberikan saya apa saja." Mata Ana kian membelalak lebar, dengan detak jantung yang semakin tak beraraturan. Apakah.jam tangan baru dan bunga di dalam tas ransel suaminya itu maksudnya?

"Seperti?" tantang Ana.

"Saya dibelikan pulsa, dibayari makan siang, dibelikan kaus-kaus mahal, dan ...."

"Dan apalagi, Mas?" Ana berusaha menahan getar pita suaranya.

"Ada yang terang-terangan mentransfer satu juta lima ratus ke dalam rekeningku dan itu sudah dua bulan."

Ana tergugu. Kursi tempat ia duduk seakan sedang berputar hebat, hingga kepalanya terasa begitu nyeri. Ana pun mencoba menahan agar amarahnya tak kembali pecah.

"Dan Mas terima?"

"Iya dong, Na. Rejeki gak boleh ditolak."

"Jangan gila, Mas! Emangnya wanita itu gak tahu kamu beristri?"

"Tahu pasti," jawab Rangga mantab.

"Kembalikan, Mas. Nanti mereka minta yang macam-macam gimana? Aku gak mau Mas begitu." Air mata Ana sudah mulai menganak sungai.

"Justru itu, jika sesekali aku tidak pulang atau jalan berdua dengan wanita, kamu jangan cemburu. Ini semua karena bisnis saja. Kita untung, wanita-wanita dengan kecantikan minimalis di luar sana, juga untung karena berjalan dengan lelaki tampan seperti suamimu ini," terang Rangga panjang lebar, dengan tingkat kepercayaan diri maksimal.

"Apakah wanita itu Dini, Mas?" Rangga dia tak mampu bersuara. Jakunnya nampak naik turun saat menelan saliva berkali-kali.

"Dini, Rasti, Eca, dan Bu Rahma."

"Apa?!"

Seketika pandangan Ana gelap. Wanita itu pingsan di depan suaminya.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status