Seperti biasa, Ana selalu menyiapkan sarapan pagi menjelang siang untuk suaminya. Karena sehabis subuh biasanya Rangga memang tidur lagi, dan baru bangun pukul sembilan. Sisa pertengkaran semalam benar-benar terhapus bersih di kepalanya. Ia tak mau sampai semua perabotan dapurnya hancur sia-sia begitu saja. Semakin ia kasar dan mendesak suaminya untuk jujur, maka akan semakin kuat Rangga berbohong. Maka dari itu, Ana memilih menggunakan cara lain.
Memang dari sebelum menikah dengan Rangga, sudah banyak wanita yang menggoda suaminya, tetapi Rangga tetap memilihnya yang tidak seberapa cantik ini untuk menjadi istri. Betapa beruntungnya ia saat itu dan saat ini. Ekor matanya melirik kalender. Senyum pun terbit, tatkala tanggal menunjukkan angka dua puluh lima yang tandanya Rangga sudah gajian.
Ana berjalan masuk ke dalam kamar, lalu naik pelan ke atas ranjang. Mengusap lembut lengan suaminya, lalu mengecupnya sebentar.
"Mas, bangun. Sudah jam sebelas," bisiknya begitu lembut. Rangga masih saja pulas mendengkur, dengan mulut sedikit terbuka.
"Mas," panggil Ana lagi sambil menggoyangkan tubuh suaminya.
Rangga berbalik pelan, sambil membuka mata.
"Jam berapa?" tanyanya.
"Tanggal dua lima, Mas," jawab Ana memberi kode. Rangga tergelak, lalu segera duduk dan menatap wajah Ana dengan hangat.
"Aku tanya jam, Na. Bukan nanya tanggal." Rangga kembali tergelak.
"Dasar mata duitan! Kemarin aja parade perabotan terbang hingga pecah. Sekarang pake ingetin tanggal dua lima." Rangga pura-pura mencebik. Ana menyeringai, lalu meletakkan kepalanya di pundak suaminya.
"Yang kemarin maaf, Mas. Cemburu kan tanda sayang," balas Ana dengan wajah merona.
"Ya udah, lupakan saja yang kemarin. Ayoklah sarapan!" ajak Rangga yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam mandi.
Mereka makan dalam hening. Tepatnya hanya Rangga yang makan, karena Ana sudah dari jam enam pagi menyantap sarapannya. Ingin sekali Ana bertanya pada suaminya, kenapa kontak Dini di ponsel Rangga menjadi Dono? Dan ada hubungan apa suaminya dengan Dini? Namun, hati dan mulutnya tidak sinkron. Matanya malah asik menikmati pemandangan di depannya. Sang suami makan nasi goreng buatannya dengan lahap.
Ana bergegas mengambil ponsel, lalu memotret suaminya yang sedang makan. Tak lama, foto itu sudah tersebar di berbagai akun media sosialnya dengan puluhan, bahkan ratusan like dari teman-temannya. Hanya dalam waktu sekejap saja.
"Duh, ganteng banget suaminya, Mbak."
"Suaminya punya adek gak, Mbak? Mau dong buat saya."
"Orang ganteng mah bebas."
"Beruntung sekali deh memiliki suami tampan maksimal."
Ana mengulas senyum penuh kebanggaan dan hati membuncah bahagia. Ana tak sempat membalas satu-satu komentar teman-temannya.
"Kalau suami makan, bisa gak sih, gak pegang HP?"
"Eh, bisa, Mas." Ana sedikit tergagap dan secepat kilat meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja.
Suapan terakhir masuk ke dalam mulut suaminya. Dilanjutkan dengan segelas teh manis hangat, membasahi tenggorokan. Betapa ia kesal dengan suaminya, betapa ia juga berkali-kali jatuh cinta dengan ketampanan suaminya.
"Ana, ada yang harus saya katakan," ujar Rangga sedikit serius. Kening Ana mengerut dengan bola mata menelisik raut wajah suaminya nampak tegang.
"Oh iya, ini uang belanja untuk bulan depan." Rangga memberikan uang dua juta lima ratus untuk Ana.
"Alhamdulillah." Ana langsung membuka isi amplop, lalu menghitung isi di dalamnya. Senyum wanita itu terbit, tatkala mengetahui isi amplop itu kelebihan lima ratus ribu rupiah.
"Terima kasih, Mas. Sudah dilebihkan," kata Ana dengan seringai sangat lebar. Bahkan Ana langsung berdiri, kemudian mencium pipi suaminya.
"Sama-sama. Hal yang mau aku bicarakan berkaitan dengan jatah bulanan kamu," balas Angga dengan suara masih tetap tegang.
"Apa sih, Mas? Bikin penasaran aja." Ana meletakkan amplop, lalu memandang suaminya dengan ketegangan yang sama.
Angga nampak ragu, hingga nafasnya terlihat naik turun tak beraturan. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi kening dan juga tangannya. Angga tampak kembali mencoba mengatur nafas, tetapi masih saja mengatupkan mulutnya.
"Ada apa, Mas?" tanya Ana lagi sambil menekan suaranya.
"Begini," ucap Rangga terpotong. Lelaki itu kembali menarik nafas dalam.
"Di pabrik ada beberapa teman wanita yang menggoda saya."
Deg
Kepala wanita itu mulai sakit. Ia khawatir, ucapan selanjutnya lebih menegangkan dari ini.
"Bukannya dari dulu," sahut Ana pendek.
"Iya, tetapi kali ini mereka terang-terangan memberikan saya apa saja." Mata Ana kian membelalak lebar, dengan detak jantung yang semakin tak beraraturan. Apakah.jam tangan baru dan bunga di dalam tas ransel suaminya itu maksudnya?
"Seperti?" tantang Ana.
"Saya dibelikan pulsa, dibayari makan siang, dibelikan kaus-kaus mahal, dan ...."
"Dan apalagi, Mas?" Ana berusaha menahan getar pita suaranya.
"Ada yang terang-terangan mentransfer satu juta lima ratus ke dalam rekeningku dan itu sudah dua bulan."
Ana tergugu. Kursi tempat ia duduk seakan sedang berputar hebat, hingga kepalanya terasa begitu nyeri. Ana pun mencoba menahan agar amarahnya tak kembali pecah.
"Dan Mas terima?"
"Iya dong, Na. Rejeki gak boleh ditolak."
"Jangan gila, Mas! Emangnya wanita itu gak tahu kamu beristri?"
"Tahu pasti," jawab Rangga mantab.
"Kembalikan, Mas. Nanti mereka minta yang macam-macam gimana? Aku gak mau Mas begitu." Air mata Ana sudah mulai menganak sungai.
"Justru itu, jika sesekali aku tidak pulang atau jalan berdua dengan wanita, kamu jangan cemburu. Ini semua karena bisnis saja. Kita untung, wanita-wanita dengan kecantikan minimalis di luar sana, juga untung karena berjalan dengan lelaki tampan seperti suamimu ini," terang Rangga panjang lebar, dengan tingkat kepercayaan diri maksimal.
"Apakah wanita itu Dini, Mas?" Rangga dia tak mampu bersuara. Jakunnya nampak naik turun saat menelan saliva berkali-kali.
"Dini, Rasti, Eca, dan Bu Rahma."
"Apa?!"
Seketika pandangan Ana gelap. Wanita itu pingsan di depan suaminya.
****
Petaka Suami Tampan 49 (Ekstra part) Rangga sedang berada di sebuah rumah sakit di daerah Jakarta timur. Ika menemukannya saat lelaki itu tengah mengais sampah di dekat toko tempat Ika bekerja saat ini. Awalnya wanita itu tak percaya bahwa lelaki gelandangan di depannya adalah Rangga. Tubuh gelandangan itu bagaikan tengkorak hidup dan begitu mengerikan. Saat wanita itu tanpa sengaja menggumam namanya, maka lelaki itu pun menoleh. Ika dan Rangga adalah dua orang yang sama-sama bersalah di masa lalu, dan kehidupan yang saat ini mereka jalani akibat dari perbuatan mereka terdahulu. Bersukurlah Rangga, bahwa wanita yang baru dikenalnya sekejap mau menolongnya dan mengurusnya. Ika juga membawa Rangga ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa. Tak banyak yang keluar dari mulut Rangga, selain ucapan terima kasih dan permintaan maaf. Ika pun tak menyahut apapun
21Jay tak bisa untuk tidak memperhatikan gerak-gerik Ana, setelah mereka sampai di rumah. Ditambah lagi dengan semua cerita yang baru saja didongengkan oleh apak. Lelaki itu tak ingin percaya dengan semua yang terjadi selama ia tak ada di sini. Mulai dari keberanian Ana mengunjungi Rangga dan Tante Hepi di Jakarta, hingga berakhir dengan warisan yang didapat oleh.Jay juga sempat tak percaya, bahwa Ana jugalah yang telah membayar ganti rugi sebesar satu milyar pada keluarga Darto. Namun, setelah semua pemaparan yang diberikan oleh apak yang masuk akal, baru Jay percaya.Tak ada yang berubah pada penampilan wanita yang sedari tadi bolak-balik di depannya sambil membantu mimih. Takkan ada yang tahu, jika ia pemilik dua show room mobil dan sebuah rumah mewah, serta beberapa petak kontrakan. Jika melihat daster lusuh yang ia pakai, tentu orang takkan percaya jika di rekeningnya saat ini ada milyaran rupiah.J
Hari ini Jay keluar dari penjara, setelah melewati urusan persidangan yang sangat panjang dan menegangkan. Untunglah lelaki itu diputuskan tidak bersalah atas pembunuhan tidak disengaja olehnya terhadap Darto. Hakim pun membuat putusan bahwa Jay bebas dari segala tuntutan dan wajib membayar ganti rugi pada keluarga Darto sebesar satu milyar rupiah. Lelaki itu sempat kaget dan menolak putusan. Darimana ia harus membayar uang segitu banyak pada keluarga Darto. Bekerja saja tidak, orang tua tidak ada, ia pun bahkan tak tahu setelah keluar dari penjara nanti ia mau ke mana dan bagaimana.Tanpa sepengetahuan lelaki itu, Ana sudah membayarkan uang ganti rugi pada keluarga Darto yang terlihat sangat peduli dengan uang. Tas yang diberikan Ana berisi uang satu milyar, mereka berbebut untuk memegangnya. Disaksikan oleh pihak pengadilan, beberapa anggota kepolisian, dan juga aparat lingkungan setempat tinggal Darto pun ikut menyaksikan dan ikut
Petaka Suami Tampan 46 (Ending) Hari ini, Ana pergi ke Jakarta ditemani oleh apak dan juga mimih. Tim kuasa hukum Tante Hepi yang meyakinkan padanya, bahwa semua akan baik-baik saja saat di sana nanti. Pesan yang disampaikan almarhum pada pengacaranya sebelum wafat adalah menghadirkan anak sambungnya yang bernama Mariana Pramesti. Mereka bahkan dijemput oleh Mang Udin dengan mobil pribadi Tante Hepi. Ana tak banyak bicara sepanjang perjalanan dan Bandung menuju Jakarta. Di kepalanya saat ini berputar memori ketika ia menjadi anak sambung dari wanita yang menjadi pelakor dalam rumah tangganya. Wanita itu sebenarnya baik, ketika ayahnya masih berstatus suaminya. Namun saat ayahnya tiada, wanita itu berubah jahat dan benar-benar berkelakuan layaknya ibu tiri yang kejam. Ana ingat di mana saat Tante Hepi mengusirnya, saat baru saja kelulusan sekolah SMA. Masih mengenakan seragam putih abu, ia dikembalikan pa
Ana terbangun lebih dulu dari mimih dan apak. Ia bangun dengan perlahan dari ranjang dan langsung menuju kamar mandi untuk melaksanakan dua rakaat sebelum azan subuh. Suara gemericik air dan derit pintu yang ia geser menutup dan terbuka, sangat hati-hati ia lakukan agar tak menimbulkan suasana bising dalam rumah. Setelah salat sunnah, sambil menunggu azan Subuh, Ana menyempatkan diri untuk mengaji dua lembar ayat suci alqur’an. Tak lupa ia buksa sedikit jendela, agar hawa dingin dan sejuk di luar sana mengisi udara kamarnya.Begitu selesai melakukan ibadah Subuh, Ana pun bergegas ke dapur untuk memasak nasi. Sambil menunggu nasi matang, Ana menyapu rumah mulai dari kamarnya, dapur, ruang tengah, dan yang terakhir ruang tamu. Mimih dan apak masih belum membuka pintu kamar, sepertinya kedua orang tua itu terlelap sangat nyenyak.Krek!Ana menoleh ke asal suara derit pintu yang bergeser. Mimih baru saja keluar dari kamar,
“Halo, assalamualaykum. Iya betul, saya Udin. Ini siapa ya?”“Kami dari rumah sakit XXX, mau memberitahukan bahwa Ibu Hepi Astuti baru saja meninggal dunia, lima belas menit yang lalu.”“Innalillahi wa innaa ilaihi rooji’un.” Ana tersentak saat bibir Mang Udin mengucapkan doa bagi orang yang meninggal dunia.Ana menatap pias wajah lelaki setengah baya yang kini sudah terduduk lemas di kursi teras. Ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, tetapi Ana sangat tahu apa yang terjadi pada kabar dari seberang sana. “A-apakah b-benar Tante Hepi yang ….” dan dengan leher yang amat lunglai, Mang Udin mengangguk.Mereka bertiga menuju rumah sakit, menggunakan mobil sedan mewah milik Tante Hepi. Mang Udin yang terbiasa mengendarainya sudah tak canggung lagi. Lelaki itu tak banyak bicara, ia hanya fokus pada jalanan yang kami lewati saat ini.