Share

Chapter 04

Septian haidar, Fuckboy SMA Langit yang paling terkenal sampai sekolah tetangga yang bahkan isinya cowok-cowok. Tapi, satu hal yang berbeda dari Fuckboy satu ini. Kalau cowok-cowok di luar sana yang mengaku Fuckboy biasanya mendekati banyak sekali wanita hanya untuk hiburan, main-main, atau mengisi waktu senggang. Tidak dengan Septian, dia mendapatkan gelar Fuckboy karena kesetiaannya kepada satu gadis. Namun, perempuan itu tidak kunjung menerimanya membuat dia beralih dari satu cewek ke cewek lain.

Adriana melewati pagar bagian dalam sekolah dengan wajah yang sangat lesu, tatapan matanya kosong membuatnya sesekali tertabrak karena tidak hati-hati. Septian sedang asik berbincang dengan anak-anak gengnya, sesekali juga menggoda gadis-gadis yang menurut mereka sangat murah untuk di dapatkan dan berakhir dengan gelak tawa karena gadis-gadis itu mudah sekali tergoda.

Tak sengaja pandangannya menangkap sosok Adriana, rambutnya yang di gerai serta tas berwarna birunya tak pernah bisa membuat Septian bosan memandanginya. 

“Gue cabut, ya.”

Ia berpamitan dengan teman-temannya lalu berjalan menghampiri Adriana. Langkahnya tertahan karena salah satu gadis yang tadi temannya goda, gadis itu tersenyum manis kepada Septian berharap pandanganya beralih kepadanya bukan kepada Adriana.

Gadis yang Septian pandangi semakin menjauh dari jarak pandangnya, dia menyenggol gadis yang menghalangi jalannya dan berlari menghampiri Adriana. Jarak mereka sudah sangat dekat, bahkan Septian sudah berada tepat di sampingnya Adriana. Tapi, gadis itu sama sekali tidak sadar dengan kedatangan Septian. 

“Hoy, Babe. Ngapain ngelamun? Ntar kesambet. Mana muka kamu kusut banget lagi. Lucu deh lihatnya.”

Septian merangkul pundak Adriana dengan mesra membuat Adriana risih dengan kelakuan bodoh teman masa kecilnya itu.

“Apa sih, Sep? Jangan pegang-pegang ish,” ujar Adriana Risih.

“Wah, wah. Raya-ku yang manis lagi badmood nih.”

Septian menggoda Adriana dan mencolek dagunya, membuat orang-orang menatapnya penuh dendam, entah itu kepada Septian atau Adriana lalu menyebarkan gosip yang sangat jauh sekali dari kata fakta. Terutama gadis-gadis yang baru saja menjadi bahan godaan teman-teman Septian, mereka menatap tajam Adriana dan sengaja menabrakkan dirinya kepada Adriana. Dengan sigap Septian menangkap Adriana yang hampir saja terjatuh, Adriana hanya bisa pasrah kepada semuanya dan mengacuhkan mereka. Sedangkan Septian, dia menatap tajam kepada gadis-gadis yang tidak tahu diri itu.

Adriana sudah berkali-kali mengingatkan Septian untuk tak terlalu dekat dengannya saat di sekolah. Tapi, Septian tak pernah menggubris perkataan Adriana dan bersikap semaunya. Tanpa Septian tahu, Adriana sering kali mendapatkan perlakuan tidak baik dari gadis-gadis yang mengejar cintanya Septian, kadang di dekati para Kakak Kelas perisak yang mengancam akan merisaknya kalau Adriana tidak mau mengenalkan mereka kepada Septian.

Padahal Adriana sendiri tidak ingin berurusan dengan Septian, gelarnya sebagai Ketua perkumpulan dari anak-anak nakal di sekolahnya juga sekolah sebelah membuat Adriana sendiri tidak ingin mengenal orang di masa kecilnya itu. Sayang sekali Septian, wajah tampannya hanya digunakan untuk hal mesum dan perkelahian saja. Tidak ada bedanya dengan Devan.

“Gak usah sok dekat gitu deh, Sep. Kita gak saling kenal.”

“Sep? Gak saling kenal kok tahu nama aku, ya? Ah. Iya, lupa. Aku kan paling tampan di sekolah, terkenal di kalangan cewek juga. Siapa sih yang nggak tahu Septian. Iya, nggak?”

“ASEP! Halu banget! Udah, ya. Aku mau ke kelas.”

Adriana mendorong tubuh Septian dan menjauh beberapa langkah mencoba mencari jalan lain menuju kelasnya. Sebelum sempat dia membalikkan badan, Septian sudah menahan tangannya dan merangkul kembali pundak Adriana.

“Sini, mampir kantin dulu. Masih lama bel masuknya, aku traktir.”

“Gak. Aku mau diam di kelas.”

“Udah, nggak usah rewel.”

Septian melepaskan rangkulannya dan menarik lengan Adriana dengan paksa, Adriana berusaha menolak ajakan Septian dan menyuruhnya untuk menyerah membawa Adriana menuju kantin. Tapi, Septian pantang menyerah dan sangat keras kepala, mendengar permintaan Adriana yang terus menolaknya membuat dia lebih memaksa Adriana untuk ke kantin.

Walau memang jam masuk kelas masih lama, tetap saja Adriana tidak terlalu suka bersama dengan Septian. Setiap bersamanya Adriana pasti mendapatkan tatapan tak mengenakkan, sebenarnya ia tak perduli dengan tatapan mereka, hanya saja Adriana juga sangat menyayangi nyawanya. Jadi, menjauhi Septian adalah salah satu cara untuk menghindari kejadian yang tidak-tidak. 

Adriana sudah terlalu lelah menjelaskan perihal hubungannya dengan Septian yang selalu di anggap angin lalu. Di tambah Septian yang tidak pernah mau mengerti kondisinya juga alasan mengapa Adriana memintanya untuk menjauh. Padahal dia sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya mengapa Septian harus menjauhinya di sekolah.

“Sep, kenapa gak di kelas aja? Di sini berisik.”

“Kan mau traktir kamu.”

“Gak usah. Aku ke kelas aja, ya?” tanya Adriana memelas.

Septian mengabaikan pertanyaan Adriana dan mengusir orang yang sedang menduduki bangku kantin di depannya, terlihat wajah benci dari kelima gadis yang terusir oleh Septian. Mereka menatap tajam kepada Adriana yang tangannya masih di pegang Septian.

“Lo semua bisa pada minggir nggak?! Gue sama Raya mau duduk di sini.”

“Udah, Sep. Gapapa, kita duduk di tempat lain aja.”

“Biarin, mereka udah pada pergi.”

Adriana memutar bola matanya kesal, dia mencoba untuk memposisikan dirinya untuk duduk di bangku kantin. Tapi, Septian mencegahnya dan membersihkan tempat duduk dan meja kantin untuk Adriana lalu mempersilahkan Adriana untuk duduk dengan cengiran nakalnya.

“Silahkan Tuan Putri, semuanya sudah bersih.”

“Apaan sih, Sep? Lawak banget, ha ha.”

Ekspresi Adriana yang sangat kacau hingga sampai ke-mood-nya, kini sudah berubah menjadi sedikit lebih ceria karena perbincangan kecil yang di lakukannya dengan Septian. Pria nakal nan mesum yang sangat menyebalkan itu selalu bisa membuat Adriana kembali menjadi ceria.

Belasan menit berlalu hanya untuk kalimat-kalimat tidak jelas yang selalu membuat Adriana terhibur, Septian tersentak dan mengingat tujuannya membuat Adriana ke kantin adalah membelikannya makan bukan bercakap-cakap tidak jelas.

Adriana memperhatikan Septian yang memesan pesanan di ujung kantin, dia sedikit tersenyum karena jika Septian sudah bersikeras mentraktirnya, maka dia juga tahu kalau Adriana memang belum sempat sarapan sebelum pergi ke sekolah.

Tak lama setelah kepergian Septian, Ghina, sahabat Adriana satu-satunya mengagetkannya dengan semangkuk Bakso dan Es Teh Manis kesukaan Adriana lalu duduk di samping Adriana.

“Pagi-pagi udah berseri gitu, bagi dikit dong,” goda Ghina dengan cengirannya.

“Baksonya juga bagi dikit dong,” balas Adriana.

Ghina menjauhkan mangkuk Baksonya dan memakan kerupuk yang dia bawa, Adriana tersenyum puas lalu mengambil Es Teh Manis dari tangan Ghina dan menyeruputnya. Cuitan kesal keluar dari mulut Ghina, Adriana malah asik tersenyum seraya menyeruput minuman Ghina dengan tenang seperti minumannya sendiri. Ghina hanya bisa menatapnya kesal dan menghela napas panjang.

“‘Kan udah dibeliin Nasi Goreng sama bebeb Septian.”

“Hush, ngomong tuh dipikir dulu, Ghin. Nggak baik, lho.”

“Terus yang baik apaan? Kak Dev—”

“Ghin.”

Adriana memalingkan wajahnya dan menatap Septian yang sudah selesai dengan pesanannya.

“Lagi?! Ya ampun, kenapa lagi?”

Ghina memantapkan duduknya, menatap serius Adriana meminta penjelasan atas kebenaran dari tebakan Ghina. Tapi, suasana serius itu tidak berlangsung lama, Septian datang dengan cengirannya dan duduk mesra di sebelah Adriana.

“Nih, sarapan dulu, Babe. Sotonya belum ada, jadi nggak usah protes.”

“Ghina gak dibeliin, Sep?” tanya Adriana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status