"Kok, Bunda nggak pernah lihat, kamu bawa pasangan ya bang? Apa adopsi bayi juga kurang? Apa perlu, bunda cari cewek juga nih?" Dennis menghembuskan napas gusar. Minggu pagi yang cerah, rencana ingin menghabiskan waktu dengan bersantai, atau memanjakan diri, dengan pergi gym, atau berenang untuk meregangkan otot-ototnya. Malah, diundang sang raja hutan ke rumah, alhasil ia harus membiasakan telinganya mendengar kata-kata ini setiap saat.
Dennis sedang duduk di teras samping rumahnya, dengan sang Papah yang juga duduk di depannya. Dan sang bunda yang masih segar dan cantik, sedang memakai masker sepagi buta ini, tapi sudah sibuk masalah jodoh.
"Udahlah bun. Yang penting Dennis udah ada tanggung jawab sekarang." jawab Darren menenangkan istrinya. Ia tahu, wanita yang telah ia kenal puluhan tahun ini sangat ambisius orangnya.
"Oh tidak bisa! Bunda mau gendong cucu sekarang, bunda mau punya banyak cucu." Dennis hanya diam, dan memilih meminum tes panas yang disediakan sang bunda.
"Kalau Nana mau nikah, duluan aja." jawab Dennis pasrah. Ya mau bagaimana, hatinya mati rasa. Rasa itu telah dibawa pergi, dan takkan pernah dibalikan oleh sang pemilik.
"Eh, abang ngomongnya." tegur Ilona. Dan Darren yang dibuat pusing, jika sudah begini, sang istri takkan mengalah, walau sama anak sendiri.
"Papahmu punya anak umur 23 tahun, jangan mau kalah. Abang udah telat lima tahun. Entar, abang nggak bisa lihat anak sekolah lagi."
"Bunda nggak mau tahu, bulan depan nggak ada, bunda pasangin dengan Alena, kawan Nana." Dennis hanya diam. Ia tak punya ekspektasi apa-apa tentang pasangan, yang ia tahu, bertanggung jawab pada bayi merah yang tinggal di rumahnya. Jujur, Dennis nyaman bersama Azyan, namun bersama, entahlah, hati Dennis masih mati karena kejadian di masa lalu. Walau, ia suka perhatian pada gadis itu, bukan berarti membuat hati Dennis berpindah. Tidak segampang itu.
Puluhan tahun ia menyimpan perasaan untuk orang yang sama, dan orang itu tak pernah mengetahui apa yang ia rasakan. Rasanya sangat menyakitkan, tapi Dennis belajar ikhlas, agar menemukan kebahagiaannya sendiri, walau ia tak terlalu memikirkan masalah hati akhir-akhir ini, perhatian Dennis terlalu berfokus pada bayi merah tersebut.
"Sama Bella aja bang." celutuk Ilona asal, tanpa peduli pada perasaan orang lain. Kompak ayah dan anak itu langsung terbatuk, Ilona tanpa dosa memandang kedua lelaki yang ia sayangi itu bergantian.
"Anak orang masih kecil."
"Eh, Bella pintar loh. Lihat, dia nggak punya pengelaman aja, biar ngurus bayi merah. Bunda aja dulu, nggak bisa langsung ngurus kamu. Bunda nggak bisa handle sendirian, tapi Bella luar biasa, dia yang belum pernah melahirkan aja, bisa telaten gitu, ngurus baby." semuanya terdiam. Jika diungkit masa lalu, orang yang merasa paling bersalah adalah Darren. Karena kegoisan mereka, ia harus merelakan, dan tak melihat perkembangan anak-anaknya hingga besar. Beruntung, si kembar ia yang menurunkan sendiri tangannya mengurus mereka.
"Jarang loh bang, ada perempuan seperti itu. Sebenarnya, apalagi yang abang tunggu? Bentar lagi, umur udah kepala tiga. Minimal anak udah TK." Dennis menyugar rambutnya, dan memilih makan ubi rebus yang bundanya siapkan.
"Nantilah bunda." sahut Dennis malas
"Ya, nggak bisa dong. Cari ibu buat Baby Danish, bayi itu pertumbuhannya cepat, satu tahun aja udah tahu segala macam dunia, apalagi udah bisa ngomong. Apa abang nggak pusing, tiap hari anak nanya punya Ibu nggak. Pikirkan bang, bunda maksa nih, biar abang nggak kesepian, hidup ini untuk berpasangan, kalau abang kayak gini, masa tua abang kesepian, abang pasti nyesal, kenapa tak mikir pasangan, biar ada teman pas tua. Macam bunda, kalau dulu bunda tak mikir itu, bunda pasti hidup bebas terus, dan udah tua gini, pasti nyesal. Tapi, anak bunda rame, dan bunda senang, rumah rame. Makanya, nambah anggota biar makin rame." semua ucapan Ilona tersebut, hanya diucapkan dalam satu kali tarikan napas. Benar-benar wanita itu.
"Lagian nih ya—"
"Udah bun. Apa nggak putus tuh napas." Darren mengambil jemari istrinya dan mengenggam kuat, mengalirkan kehangatan. Hanya Darren yang bisa menghentikan aksi nekat istrinya.
"Papah juga. Setiap dikasih tahu anak, pasti gitu. Apa salahnya nekan dikit, biar dia bisa mikir! Lihat nih semua anaknya, abang yang tak peduli pada lingkungan, Nana yang merenggek terus mau nikah, belum lagi si kembar yang kelahi terus." Darren hanya diam, ketika sang raja hutan sudah mengeluarkan taringnya, semua orang akan terdiam.
"Abang balek dulu." Dennis menyambar kunci mobilnya dam berdiri.
"Abang! Bunda suruh kesini, biar omongin masalah ini!"
"Ya." sahut Dennis cuek. Laki-laki itu masih berdiri, siap mendengar siraman rohani lainnya dari sang bunda.
"Minggu depan, kalau nggak ada keputusan dari abang, bunda akan atur pertemuan kalian. Jangan ya-ya aja. Pokoknya, kali ini harus turutin!" Dennis mengangguk dan menyalami bundanya dengan sopan dan mencium pipi wanita cerewet itu, sekaligus memeluk ayahnya sebentar.
"Papah tuh, terlalu biarkan-biarkan! Kan lihat jadinya gitu, nggak mau tahu, pokoknya abang harus nikah secepatnya." Dennis masih mendengar suara bundanya, yang masih mengelegar.
Ia hanya diam, karena tak bisa memutuskan apa-apa.
_____________________________Dennis hanya berkeliling kota. Niat hati, ingin menyenangkan diri, tapi mood tadi sudah hilang ke dasar jurang, karena omelan bundanya.
Dennis memasuki mobilnya ke sebuah cafe, dan memasuki cafe tersebut. Ia sudah janjian.
Dan seorang wanita cantik dan modis menunggunya disana. Hari ini, gadis itu memaki dress ngembang berwarna hitam, cat kukunya bahkan juga berwarna hitam, bahkan, lipstiknya berwaran hitam dan dandanan smokey eyes, ditambah gadis itu memakai fascinator berwarna hitam, menambah kesan horor dan misterius pada gadis itu. Alunan musik yang lembut dan syahdu, mengiringi Dennis menuju gadis tersebut.
"Lama nunggu?" seloroh Dennis, mendudukan bokongnya di kursi kayu tersebut. Gadis itu masih mengetik di ponselnya. Dennis hanya diam, dan memperhatikan keadaan sekitar, masih sepi keadaan cafe, sekarang baru pukul 9.
"Jadi, ada apa?" tanya Dennis, ketika ia tak kunjung mendapatkan jawaban, ketika gadis itu mengajak ketemu di cafe.
"Apa bunda bilang?" tanya Ilana pada abangnya.
"Nggak ada." Ilana mengepalkan tangannya. Kalau menabok abang sendiri, tak berdosa ia sudah menampar abangnya bolak-balik.
"Ih abang! Nana tuh udah dikejar mau nikah, dan abang dengan entengnya bilang gitu. Tahu gitu, biar Nana lahir duluan." geram Ilana.
"Yaudah, masuk lagi perut bunda sana."
"Abang!" teriak Ilana. Ia tak peduli, jika sekarang mereka bukan berada di rumah. Ilana dan Dennis memang lebih dekat dibanding dengan kedua adik kembar mereka, karena perbedaan umur yang cukup jauh.
"Jadi mau apa?"
"Ya, abang cari cewek nikah. Abang udah punya anak, nggak baik anak tumbuh tanpa ibu. Kasih sayang seorang ibu itu sangat vital, anak yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu itu bahaya. Seorang anak bisa tumbuh tanpa sosok figur ayah, tapi figur ibu? Nggak bisa bang!"
"Ok!"
"Oke doang bang?!" teriak Ilana lagi tak percaya. Demi apapun, keyboard di otak Dennis sepertinya hanya terdiri dari kata-kata tadi saja. Bagaimana caranya, Bunda dan Papahnya membuat Dennis? Kenapa ia begitu tak peduli pada dunia?
"Bang please, Nana tuh mau nikah. Tapi nenek kita kolot bangat, masak anak cewek dibiarkan jadi perawan tua. Nana nggak mau jadi perawan tau, abang nggak tahu ya, Nana tuh dari kecil udah target, sebelum umur 25 udah nikah." Ilana menarik rambutnya. Bahkan fascinator mahal itu hampir lepas.
"Yaudah nikah aja." Dennis memanggil waitress dan memesan jus jeruk. Berhadapan dengan Ilana harus butuh yang segar-segar, karena kata-kata gadis itu begitu menyebalkan.
"Abang bego! Mana bisa, ih abang! Bodo amat, jangan salahin Nana kalau kawin lari." Ilana meletakan kedua tangannya di dada. Andai ia tak punya keluarga unik seperti ini, Ilana tak perlu bersusah payah, menunggu abangnya yang jadi manusia paling tak peka, di galaksi Bima Sakti.
"Padahal Nana tahu." ujar Dennis lirih. Ilana yang tadinya memasang wajah marah langsung melunak, gadis itu menatap abangnya tak simpati.
"N-Nana tahu bang. Tapi abang nggak mungkin, terus terpuruk, karena masa lalu yang nggak bisa abang dapatin. Tujuan Nana bukan semata-mata Nana ngebet kawin, tapi demi abang. Nana tahu betul perasaan abang, sudah saatnya melupakan."
Kedua saudara kandung itu, mulai larut dalam pembicaraan yang serius. Bunda Dennis tak pernah tahu, apa yang menimpa putra sulungnya, hanya Ilana yang tahu, bagaimana abangnya menanggung semua ini sendirian.
"Kalau diingat-ingat sedih ya bang." Tanpa sadar, air mata Ilana telah meleleh. Andai Dennis mau, Ilana bisa meminjamkan pelukan buat lelaki itu, kalau seandainya Dennis butuh pelukan hangat. Tapi, Dennis adalah manusia yang tak tahu cara berekspresi.
"Mungkin abang bisa kesana, lihat keadaan." Dennis menggeleng. Itu sama saja bunuh diri namanya, ia tak sanggup. Ia belum siap, menerima kenyataan pahit yang ia alami. Dennis tak siap, mendapat pukulan yang lain. Katakanlah ia lelaki pengecut, tapi itu memang dirinya sejak puluhan tahun yang lalu.
"Seandainya abang biarkan Nana bilang, tapi abang bilang nggak usah." Pikiran Dennis kembali dihempaskan ke masa lalu. Saat dia hanya seorang anak laki-laki pendiam yang tidak mempunyai teman, walau masih berlaku sampai sekarang. Tapi Dennis merasa, hidupnya sekarang lebih baik dbandingkan terdahulu. Apa gadis itu, masih menerima dirinya jika sudah tahu keadaan Dennis begini?
Dennis hanya memperhatikan jemarin lentik Ilana dengan cat kuku berwarna hitam itu memutar cangkir berisi milo panas tersebut. Dennis hanya diam. Ia kembali ditampar kenyataan. Bahwa takdir menentukan, bahwa mereka tak bisa bersatu.
"Kalau abang mau, kita bisa kesana."
"Jangan dulu." Ilana mengerti. Dennis butuh waktu, entah sampai kapan lelaki itu bisa menerima semuanya.
"Bagaimana kabar Baby Danish?" Ilana mengalihkan topik pembicaraan. Dennis tersenyum simpul, walau Ilana begitu bar-bar bahkan kasar, tapi gadis itu tempat paling enak diajak curhat. Ilana sangat mengerti dan pandai, bagaimana cara menenangkan hati lawan.
"Biasa aja."
"Bilang kek, udah tumbuh gigi, tumbuh rambut, bola matanya tambah besar." timpal Ilana sewot. Jika tak berbicara dari hati ke hati seperti ini, Dennis akan menjadi paling menyebalkan, dan Ilana sudah mengenal abangnya luar dalam, karena mereka selalu bersama.
"Menurut abang, bagaimana Bella itu?"
"Biasa aja." Ilana mengurat dadanya. Keyboard Dennis harus diupgrade biar ada kosa kata baru saat proses pengetikan di otak Dennis, bukan kata itu-itu sana yang keluar dari mulutnya.
"Maksud Nana, mungkin dia benar-benar bisa jadi ibu sambung buat Danish. Dia begitu keibuan, dewasa juga, sabar, jadi mungkin dia bisa menerima abang apa adanya." Dennis mengembuskan napas gusar. Kenapa sepagian ini, pembahasan mereka terlalu berat?
"Abang nggak tahu Nana. Masih dihantui masa lalu, fokus abang sekarang bagaimana biar Danish cepat besar." Ilana mengangguk setuju, walau ia akan terus membujuk abangnya agar mencari pasangan.
"Mungkin abang bisa tahap perkenalan dulu. Kan satu rumah, abang bisa lihat gimana orangnya. Tapi, bagusnya nyari yang udah tahu Baby Danish, takutnya ada yang nggak bisa terima bayi merah itu. Abang harus cari ibu sambung buat Baby Danish."
"Gimana Alena?" Dennis teringat kata bundanya tadi. Alena, entah bagaimana model makhluk satu itu, Dennis tak bisa melihat wanita lain cantik, kecuali perempuan di keluarganya. Bagi Dennis, wanita paling cantik, tetap bundanya yang mejadi nomor satu.
"Jangan bilang, bunda yang nyuruh?" tuduh Ilana. Dennis mengangguk. Ilana menarik napas panjang, Alena teman dekatnya, jadi ia tahu persis bagaimana sifat temannya.
"Dia baik, cantik, dewasa, pengertian. Semua kriteria mantu idaman, dapat. Tapi, Nana ragu kalau dia bisa ngurus anak atau bisa terima Baby Danish. Ok, suka bayi itu subjektif. Maksud Nana, kalau udah nikah dan dia tak pande urus anak. Selama ini, kami hanya tahu belanja, memanjakan diri, sibuk gonta-ganti pasangan. Kalau punya anak sendiri, beda karena ikuti naluri, nah ini, anak orang, Nana khawatir bang." Dennis mengangguk mengerti. Ini juga yang jadi permasalahannya. Jika, ia mencari pasangan yang sudah klop dengannya, bagaimana mereka menganggap Baby Danish. Bayi merah itu, nomor satu bagi Dennis.
"Feeling Nana selalu nyuruh Bella. Gadis itu sederhana, kata Ai, dia juga pintar di kelas, abang bisa punya anak yang cerdas, bukan yang pandai dandan, tapi yang pande ngurus kotoran anak." tanpa sadar, Dennis menyingungkan senyuman, mengingat bagaimana telaten Azyan mengurus Baby Danish. Gadis itu bertingkah seperti sudah berpengelaman puluhan tahun mengurus anak, padahal Baby Danish bukan darah dagingnya, ia hanya pengasuh yang begitu mengurus anak. Jika mengurus anak sudah biasa, tentu mengurus suami tentu bukan hal yang berat bagi Azyan. Gadis itu menjadi calon istri yang masuk kriteria, walau gadis itu tak secantik Ilana, maupun hebat dalam mengurus diri. Tapi, kepribadiannya membuat semua orang jatuh cinta.
"Kalau abang mau, abang bisa ajak Bella kesana. Mana tahu, hati abang lebih condong ke Bella." goda Ilana.
"Sembarang." Ilana akhirnya tertawa, bisa melihat kembali senyum yang terbit di wajah abangnya. Karena, wajah abangnya tadi, begitu kusut.
"Saran aja. Siapa tahu, abang jumpa dan dapat hidayah, persunting Bella jadi Mommy Danish."
Dennis menggeleng. "Nggak segampang itu." Ilana mengangguk.
"Yaudin, pikirkan yang Nana bilang tadi. Abang perlu berdamai dengan masa lalu, coba lihat-lihat bagaimana Bella itu." Ilana menyambar tasnya yang berwarna hitam. Dan heels 12 centi tersebut, berbunyi mengisi lantai cafe dan meninggalkan cafe tersebut. Dennis hanya memandang adiknya menjauh. Andai, dulu ia bukan laki-laki pengecut, semuanya takkan menjadi beban seberat ini.
Dennis pulang, dan tanpa sadar roda empat itu mengiringnya ke tempat yang sangat ia hindari setahun belakangan ini, namun perlahan kakinya memasuki pekarangan tersebut, dan mencoba berdamai dengan masa lalunya.
"Maaf, satu tahun nggak muncul. Semoga kamu masih ingat sama aku."
_________________________________Hayo... itu siapa? Apa itu mantan istri bg denis?
Menurut kalian, sebenarnya Dennis punya istri gak?
See you :*
Feel free to leave comment and rate.
"Manusia bisa punya rencana, tapi Tuhan yang menentukan."Kata-kata bullshit yang bikin Azyan muak. Semua orang akan sok bijak pada waktunya, dan ia tak ingin mendengar kata-kata laknat itu. Dua tahun, ia dan Dennis jungkir-balik program kehamilan dan sampai saat belum ada kabar bahagia tersebut.Setiap bulan, Azyan harus bolak-balik kamar mandi memegang testpack dan hasilnya tetap garis satu. Kadang gadis itu menangis diam-diam, tapi tak pernah tunjukan di depan suami, karena tak ingin menunjukan di depan suami kelemahannya yang membuat Dennis semakin banyak pikiran san beban. Iya tahu, Dennis juga stress dengan semua ini. Bagaimana semua cara mereka lakukan agar menambah anggota keluarga tapi tetap Tuhan belum mengizinkan atau memang Tuhan cukupkan.Danish sudah memasuki Pra Sekolah. Saat mengurus Danish, membuat perhatian Azyan sedikit teralihkan dengan anaknya. Terkadang ia berpikir, mungkin Tuhan menginginkan agar ia
"Ini serius?" Azyan berbalik pada Dennis dan mencoba bertanya meyakinkan penglihatannya. Matanya masih jernih, ia belum rabun, Azyan belum butuh kacamata, rambutnya belum putih hingga ia belum pikun dan juga, ia sedang tidak bermimpi.Siang ini, Dennis mengajaknya ke sebuah rumah makan di pinggir laut. Azyan mengira, mereka hanya makan seafood seperti orang pergi, ke rumah makan dan memesan sesukanya. Tapi Dennis mempunyai kejutan lain. Laki-laki itu, memberinya banyak kerang di hadapannya. Azyan juga mengira mereka akan berburu kerang hari ini. Tapi, Azyan selalu salah dari dugaannya. Laki-laki itu sengaja memberinya, banyak kerang yang di dalamnya terdapat banyak mutiara berbagai warna. Makanya, Azyan tak percaya dengan penglihatannya.Azyan awalnya meringis, ini disebut romantis atau menjijikan?"Saya sengaja memberi kamu ini, biar kamu tahu bahwa kamu berharga seperti mutiara. Langka tapi sangat berharga dan begitu can
Kebahagiaan demi kebahagiaan menghampiri Azyan. Saat ini, usia Danish sudah berumur 2 tahun. Tentu, makin pintar dan tetap mengemaskan seperti biasa. Dennis hanya bisa geleng-geleng, jika anak semata wayangnya sangat cerewet seperti neneknya si raja hutan.Ngomong-ngomong raja hutan, Azyan masih tak percaya jika ia mempunya mertua yang cantik, enerjik dan tak pernah terlihat tua. Garis kecantikannya masih bersinar, walau sudah kepala lima.Azyan menoleh pada anaknya yang sedang bermain. Gigi Danish yang dulunya hanya dua biji, sekarang sudah banyak gigi. Bahkan, Danish rajin menyikat gigi, karena ajaran dari ibunya. Membuat Dennis tak berhenti bersyukur dan kagum, dengan didikan Azyan. Dia benar ibu yang hebat, Dennis tak salah memilih orang. Berawal dari musibah, mereka menjadi keluarga kecil yang sempurna, di dalam rumah mereka hanya ada kebahagiaan di dalamnya. Membuat semua orang betah bertamu ke rumah Dennis.Darris s
Terdiam untuk waktu yang lama. Semua orang sedang senyap, mengheningkan cipta. Hanya Danish yang mulai risih berada dalam gendongan ibunya."Mam.." Danish mengulurkan tangannya, meminta biskuit yang ibunya beri karena bayi ini tak bisa diam dalam gendongan. Tak puas, karena terus terkurung dalam gendongan, Danish ingin turun. Bayi itu terus menunjuk ke bawah, minta diturunkan. Ayolah, dia sudah bisa jalan kenapa harus digendong terus?Dennis menoleh mengode pada istrinya agar menurut saja, karena bayi itu risih dan belum mengerti apa yang terjadi.Azyan akhirnya pergi dari sana.Hari ini adalah peringatan hari kematian Jasmine. Tanggal 24 Agustus. Dan Dennis hadir untuk memperingati kepergian Jasmine untuk selamanya, dan datanglah semua keluarga Jasmine.Saat Azyan pergi, Danish menangis tangannya ia ulur padanya. Danish ingin bersama Yaya."Yaya." Azyan menggeleng. Tapi D
Azyan tengah bersiap-siap, untuk pergi memenuhi undangan Dennis. Surprise. Walau ia sudah menduga surprise seperti apa. Tapi, Azyan akan pura-pura tak tahu, bahagia demi menyenangkan hati pasangannya.Anak mereka—sebut saja anak mereka, karena buatnya berdua. Danish sedang bermain, Azyan senang bayi itu sudah pandai bermain. Ia akan jengkel dan menangis ketika mainan yang ia mau tak bisa dikunyah.Azyan sudah memandikan Danish memakaikan baju yang rapi, bedak, minyak wangi. Azyan tak tahu, jika sudah besar wajah Danish terlihat lebih mirip seperti Dennis sekarang, padahal dulu saat bayi ia senang wajah Danish mirip dirinya.Azyan sedang menyisir rambutnya dan mungkin sedikit bedak yang tipis di pipinya. Ia merasa hari-harinya berubah. Saat Dennis sudah tahu segalanya, ia tak perlu berpura-pura di hadapan suaminya. Azyan mendekati anaknya yang sedang enteng bermain. Dennis benar membelikan banyak mainan untuk Danish. Membuat bayi itu langsung banya
"Bunda ..." Dennis berbalik pada bundanya. Dennis tahu, pasti bundanya juga menyimpan sesuatu yang tak beres disini."Kejarlah. Dia pasti punya alasan."Dennis langsung berlari, turun dari panggung. Ia mencari di mana ponselnya, dan segera menyusul Azyan.Ketika menjumpai ponselnya, Dennis melihat Azyan memberinya pesan.ABella : Jumpa di cafe Tebing.Sekarang masih siang, tapi cuaca selalu mendung seperti suasana hati Dennis tak sudah karuan seperti sekarang. Laki-laki itu memasukan ponsel dalam sakunya dan bergegas pergi. Ia harus mengejar Azyan, dan meminta penjelasan dari semua ini. Mengapa tiba-tiba Azyan menolaknya? Apa gadis itu sudah menemukan sesorang pengganti dirinya? Kenapa Azyan bisa begitu tega menolaknya? Padahal Dennis tahu, gadis itu juga mencintainya. Siapa yang tiba-tiba mencuci otak gadis itu?Dengan gerimis yang mengundang rindu, Dennis menyusul Azyan