28 Februari
22:32 p.m.
Seorang remaja belasan tahun termenung di kamar, perkataan temannya tadi sore sungguh menghantui. Ia urung mendengarkan peringatan itu, tapi mengabaikannya juga tak semudah dikata. Sesosok wajah terbayang di pelupuk mata, senyum semanis mawar, mata indah dan caranya berbicara.
Anak itu mengacak rambut gemas, merasa aneh dengan pikiran yang tak seperti dirinya. Sial! Aku bisa gila jika terus seperti ini!
Suara pintu terbuka menghamburkan lamunan, seorang wanita paruh baya muncul. "Sayang, kau belum tidur? Ada apa?"
"Tak apa, Bu. Hanya memikirkan tugas sekolah," jawab Rey sekenanya.
Wanita yang dipanggil ibu menatap anak tunggalnya lamat-lamat, ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan pintar, rambut rapi persis mencerminkan sang ayah. Kemudian tersenyum, gelagat jatuh hati keduanya pun sama.
"Ehem! Siapa itu 'tugas sekolah'? Pasti cantik." Anak lelaki itu menatap heran, tak memahami ucapan Ibunya.
"Maksud Ibu apa?"
"Itu, si 'tugas sekolah', siapa namanya? Secantik apa hingga dapat merebut hati putra ibu?" jelasnya diiringi tawa menggoda.
"Ah apaan!." Rey tersenyum tanpa bisa menahan, langsung membenamkan wajah ke bantal.
"Baiklah, selamat merindu sayangku." Ujarnya diikuti suara pintu tertutup.
Ayahnya seorang detektif, lebih banyak pergi ke luar kota ketimbang tinggal di rumah. Banyak klien dari antah-berantah yang meminta bantuan, berikut kasus pembunuhan, perampokan, atau hanya sekedar memata-matai perselingkuhan kekasih mereka.
Saat ini beliau ada kasus di kota ini, hanya saja belum datang karena harus menyelesaikan beberapa hal di kota mereka tinggal sebelumnya.
Dari dulu, Rey kecil diajari mengontrol pikiran dan selalu bersikap tenang, ayah berkata bahwa itu hal terpenting untuk menjadi detektif.
Tapi entah mengapa kali ini semua usahanya gagal, soal perasaan memang berbeda total dari apa yang pernah ia pelajari. Urusan yang satu ini tak akan mudah bahkan bagi seorang ilmuan.
Masih terngiang jelas percakapan tadi sore dengan ketua kelompok tugas biologi, lelaki jangkung itu ternyata menyadari perasaannya.
"Oi, Rey! Kau menyukai Nina, kan?" Rey dan Anthony berjalan beriringan, kebetulan tempat tinggal mereka searah. Saat yang tepat untuk pembicaraan khusus pria, para gadis sudah pulang.
"Eh? Enggak kok." sergah anak baru itu, sebisa mungkin tidak terlihat gugup.
"Sudahlah! Katakan saja, tak apa. Kita sama-sama lelaki, jadi wajar jika kau menceritakan perasaanmu pada seorang teman."
Merasa terdesak, Rey memilih diam.
"Huh? Sekarang malah diam. Biasa saja, ceritakanlah padaku."
"Mmm … jelas terlihat ya? Bagaimana kau bisa tahu?"
"Kalau kau memang suka pada Nina, sekedar peringatan, dia tidak mudah ditaklukkan. Ada yang 'Secret' dari gadis pendiam itu. Dari sekian banyak laki-laki yang mengutarakan rasa, semua tak ada yang berhasil. Aku berani bersumpah. Entah kenapa, meski kencan dan jalan lancar di awal, pasti di akhir si laki-laki yang memilih pergi, selalu seperti itu. Ada sesuatu yang … entah bagaimana mengatakannya." Anthony malah langsung memperingati alih-alih menjawab pertanyaan.
Rey mengernyit, sesulit itukah?
Hal wajar jika seorang semi-introvert tak bisa dengan mudah menjalin hubungan. Tapi jika puluhan kali dicoba, setidaknya salah satu dapat membuahkan hasil meski samar.
"Tidak-tidak! Kembali ke pertanyaan, bagaimana kau bisa tahu?" Ia mulai antusias, berharap dapat menemukan informasi lebih lanjut mengenai gadis yang mulai sering merasuk dan mengambil alih mimpinya.
"Yah, mana ada laki-laki normal yang tidak terpikat pada Nina saat pertama bertemu. Jadi yaa … bisa dibilang, aku salah satu korbannya. Beruntung aku langsung memilih mundur setelah ditolak."
-=9=-
1 Maret
00:46 a.m.
Dua orang dengan setelan hitam menyelinap ke pekarangan sebuah rumah mewah. Keamanan gerbang masuk tidak begitu ketat, hanya dijaga seorang satpam yang tertidur di pos jaga. Sosok-sosok tersebut dengan mudah masuk setelah membuat pria itu tidur selamanya.
Mereka bersembunyi di balik tanaman Bonsai berbentuk Unicorn, berlindung dari jangkau pandang dua bodyguard yang menjaga pintu masuk utama rumah berlantai dua.
"Bagaimana?" Tanya gadis berambut panjang pada pamannya yang sedang memantau keadaan dengan kaca mata infra-red.
"Ada tiga pintu masuk, satu di tiap sisi kecuali belakang, masing-masing dijaga oleh dua orang bodyguard. Dengan luas rumah seperti ini, asal tak membuat mereka berteriak kita dapat menghabisi sepasang-sepasang, selebihnya aman. Dalam rumah hanya ada dua perempuan dan seorang anak laki-laki di lantai dua. Pasti si target," jelas pria itu sembari meletakkan kembali kaca mata infra-red ke dalam tas kecil yang berisi perlengkapan.
"Bagus!" gadis di sisinya mengepalkan tangan, seringai muncul di bibir. ‘Sepertinya rumah orang terkaya di kota ini. Cukup luas. Pantas memiliki banyak musuh.’
"Apanya yang bagus?! Bagaimana caramu mendatangi mereka tanpa membuat kecurigaan, kita tak membawa pistol dengan peredam, memilikinya pun tidak."
‘The Number’ memang tak selalu memiliki perlengkapan super seperti di film-film aksi, lebih banyak diri sendiri dan kemampuan yang dijadikan perlengkapan utama. Itulah yang membuat mereka profesional.
"Kali ini biarkan aku sendiri yang melakukannya, percayalah!" Ia mengeluarkan gaun terusan putih selutut, dengan lengan menggembung ala putri di dongeng anak-anak. Namun yang ini terlihat sedikit lusuh dan kotor, disertai beberapa sobekan.
Setelah mengenakan gaun—gadis itu meminta pamannya berbalik saat berganti pakaian, juga mengoleskan darah palsu di beberapa bagian tubuh, ia mengambil segenggam tumbuhan dari tas dan menaburnya di tanah. Tempat strategis yang sekiranya mudah dijangkau.
"Apa itu? Mint?" Lelaki 31 tahun itu heran mencium bau mint menguar dari dedaunan yang ditabur di tanah. Tak mau ambil pusing mengorek pengetahuan di otak kejamnya.
"Nepeta Cataria, atau lebih dikenal dengan Catnip. Semacam obat ectasy untuk kucing. Kau bisa melihat efeknya nanti. Aku teringat informasi klien kita yang bilang bahwa kediaman ini memiliki kucing hias," jelasnya.
Tak berselang lama setelah Catnip ditabur, seekor kucing dengan kalung piaraan muncul dan mulai bermain di atas daun-daun itu. Butuh kurang lebih seperempat jam sampai efeknya menghilang. 15 menit berlalu, kucing keluarga Anthony berlari pelan kembali ke rumah.
"Watch and learn." bisik gadis itu pada pamannya yang tersenyum paham.
"Hey! Kemari!" Seekor kucing muncul dari balik taman, diikuti seorang remaja dengan gaun putih lusuh.
"Jangan lari manis!" dua orang penjaga di depan pintu saling tatap, seorang gadis cantik sedang mengejar kucing ke arah mereka. Di tengah malam?
"Kena kau!" Gadis berambut panjang melompat, mencoba menangkap hewan berbulu kecokelatan, tapi apa daya yang dimaksud terburu menyelinap masuk dalam rumah. Tanpa sadar, ia sudah berada di hadapan 2 pria kekar dengan tatap tajam.
"Apa yang kau lakukan di sini, Nak?" Salah satu pria berbadan kekar itu berkata tegas.
"Eh?" yang ditanya menatap sekilas, menjelajah pandang ke sekitar, tampak kebingungan.
"Hey gadis kecil! Bagaimana kau bisa sampai di sini?" pria satunya menimpali, agak geram juga.
"Eh ... aku tidak tahu, Paman., Nina cuma mengejar 'si manis' tadi. Pintu gerbangnya dalam keadaan terbuka, jadi Nina masuk." Suara lembutnya terdengar begitu polos, membuat kedua penjaga tersebut menelan ludah, merasa bersalah karena tak ramah pada seorang remaja.
"Di mana rumahmu, Anak manis?"
Ia mengernyitkan dahi, mencoba mengingat sesuatu, "Entahlah, aku tak bisa mengingat apa pun."
Sebagai yang mendengarkan, mereka jelas heran. Apakah gadis ini hilang ingatan? Ditilik dari pakaian yang dikenakan, tampak seperti habis kecelakaan. Setelah beberapa pertanyaan dan jawaban, akhirnya jelaslah bahwa ia terbangun di samping jalan tanpa mengingat apa pun, lalu membuntuti saat melihat kucing lewat.
“Siapa namamu?” tanya sala satu pria.
“Eh … nama? Uh, Nina?”
"Nina? Sebentar, bukankah kau teman kelasnya tuan muda Louis?" Salah seorang bodyguard tersadar, teringat foto gadis yang setengah tahun lalu dipamerkan tuan muda kepada mereka.
Dahi gadis itu terlipat, coba mengingat. Tiba-tiba tangan kirinya memegang pelipis, tubuhnya limbung dan jatuh bersimpuh. Darah segar mengalir di sisi kepala.
"Aduhh ...." ia merintih kesakitan.
"Eh, kepalamu!" Wibawa mereka berdua merosot seketika, jatuh pecah menjadi keping kepanikan.
Pria yang lebih tinggi menyuruh kawannya mengambil kotak obat dan memberi tahu tuan muda Louis. "Tuan muda tidak mungkin sudah tidur!" tegasnya menghapus keraguan.
"Manis ... Nina ingin kucing tadi." serentetan kalimat keluar dari bibirnya, rintihan pilu.
"Juga ambil kucing tadi!" bodyguard yang lebih pendek langsung melesat masuk, meninggalkan mereka berdua. Selain rintihan tangis dan suara serangga malam, keadaan sepenuhnya sunyi.
Pria tinggi menjulurkan tangan, coba menenangkan remaja di hadapannya.
"Jangan ditekan-"
Gadis yang tadinya terlihat kesakitan tiba-tiba menarik lengan yang terjulur menawarkan bantuan, lalu mencabut belati melengkung dari balik gaun dan menghunjamkannya tepat di tengkuk, membelah leher pria malang itu dalam garis vertikal, tembus hingga rongga mulut.
Tubuh gempal berotot terkapar seketika, sama sekali tanpa teriakan. Noda darah menghias di gaun remaja yang kini berdiri tegak, mengusap darah dari luka di dahi. Cincin berkait miliknya memang cocok untuk membuat luka singkat. Pengorbanan selalu diperlukan untuk hal besar. Cukup luka kecil demi mencabut sebuah nyawa.
Ia menghela napas lega, sama sekali tidak menyangka akan semudah ini. "Tumbang satu, tinggal menunggu satu lagi sekaligus ‘Jackpot’ yang dibawanya."
Gadis itu mengambil topeng putih polos yang sejak tadi tersembunyi di balik punggung, mengenakannya. Tinggal Bersiap-siap menunggu mangsa datang membuka pintu.
"Ini kuc-" Kalimat pria yang baru keluar itu terhenti saat melihat genangan darah mendanau di teras rumah dengan tubuh kaku sebagai pulaunya. Karena sudah terlatih, ia langsung memasang kuda-kuda, bersiap akan segala ancaman.
Naas, belum sempat memahami situasi, kedua lutut bagian belakang pria itu terbelah, membuatnya lumpuh dalam sekejap. Entah dari mana serangan itu dilancarkan, lawan yang begitu hebat hingga dapat meredam keberadaan.
Dengan panik ia meraih pistol, namun sebelum dapat menekan pelatuk, giliran kedua tangannya yang mendapat sabetan pada persendian siku, jatuh menggelepar di sisi tubuh. Habis sudah, keempat senjata utama manusia telah tumbang.
Denting pistol yang menghantam lantai memutuskan harapan untuk melawan. Tapi mengingat tanggung jawab sebagai penjaga, pria itu berpikir cepat. Jika tak ada yang mengetahui situasi ini, seisi rumah bisa menjadi lahan pembantaian!
Teriak! Itu satu-satunya jalan.
"TOLO-" Gema suara terputus oleh ayunan belati membabat leher, yang ini dalam garis horizontal. Tamat sudah. Tubuh dan gaun pembunuh itu penuh dengan noda merah.
‘Huft, tadi itu hampir saja.’
"Apaan sih, Om! Teriak-teri-" Belum sempat mempersiapkan diri, target mereka muncul dengan mulut menganga. Ketakutan memenuhi bola mata dan tiap jengkal wajahnya.
Karena panik, gadis bertopeng menerjang Anthony di ambang pintu. Beruntung karena cekatan menutupnya, pisau melengkung bersimbah darah itu hanya menggores pergelangan tangan.
Gadis dengan balutan gaun berdarah menghantamkan tubuh, coba membuka pintu. Sia-sia, papan kayu kokoh itu tetap bergeming.
Mendadak terdengar suara keras, alarm rumah mewah itu berbunyi.
"Nina! Ayo pergi!!!" Sebuah teriakan memanggil, menyadarkannya akan bahaya. Mereka berlari kencang ke pintu keluar, meraih tas perlengkapan, lalu memanjat pagar yang entah kapan sudah terkunci. Mekanisme otomatis sialan!
"Itu mereka!!!" Derap kaki ramai terdengar, seperti akhir yang menerjang. Semakin dekat di setiap detak jantung berdentum nyalang.
Saat sampai di sisi lain gerbang, desingan timah panas mulai terdengar, beberapa menghantam jeruji, menimbulkan suara yang memekakkan telinga, mengoyak malam sunyi. Lainnya melesat tanpa arah, membabi-buta. Siap menerjang siapa saja.
"Pistol?! Yang benar saja!!" Lelaki dengan pakaian hitam mengumpat, bersiap untuk berlari. Lupa jika rumah seorang pejabat memang memiliki fasilitas lebih dalam keamanan.
"Aku tersangkut!!"
"Apa?!" Ia panik, penerus terakhir 'The Number' dalam bahaya.
Orang-orang bersenjata di belakang mereka semakin dekat, desing peluru mulai akurat dimakan jarak. Ia harus berpikir cepat!
"Pisaumu!!!" Cekatan diraihnya pisau di pinggang gadis itu, lalu memotong gaun yang tersangkut dengan sekali tebas. Mereka berlari, sebisa mungkin menghindari hujan timah tanpa arah.
Tepat saat keduanya sampai di tepi hutan, sebuah peluru dengan ganas menembus pundak kanan anak itu, diikuti pekikan tertahan. Tak ada waktu untuk melakukan pertolongan pertama, situasi kali ini genting. Berhenti berarti mati!
Dengan rencana sepihak, si pria menggendong keponakannya yang merintih kesakitan, berlari ke tepi jurang terdekat. Hanya ini satu-satunya pilihan.
"Nina, pegangan yang erat!"
Lalu mereka lompat bersama.
-=9=-
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja