LOGINOrang tua dibunuh, semua harta diambil saat Gisela masih berusia sepuluh tahun. Menciptakan rasa trauma yang mendalam untuk gadis kecil itu. Semua rintangan yang harus dihadapi tidak membuat Gisela menyerah. Beberapa tahun kemudian, Gisela telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan cerdik. Datang sebagai pelayan di rumah Cindy. Merebut perhatian putra dan suami Cindy. Menghancurkan wanita itu secara perlahan. Semua bukan tanpa alasan. Gisela hanya ingin membalas dendam. Mengambil semua hal yang seharusnya menjadi miliknya. Namun, bukan hanya soal balas dendam, Gisela juga harus bisa mengendalikan perasaannya sendiri untuk tidak jatuh cinta. Mampukah ia melakukannya? Sedangkan hatinya bergejolak hebat setiap dekat dengan putra dari wanita yang ia benci.
View More“Mas, bangun ... Mas. Jangan tinggalkan aku dan Gisela,” Sekar, ibu Gisela, menggoyangkan tubuh sang suami yang telah memucat. Aliran darah mengalir dari kepala pria itu. Ia telah tewas karena terjatuh dari lantai tiga rumahnya.
“Ma, Papa ... Ma,” Gisela kecil menangis sesenggukan melihat pemandangan tragis di depannya. Usianya baru sepuluh tahun, tetapi Gisela sudah mengerti apa itu kematian. Sekar menarik Gisela masuk dalam dekap eratnya. Berusaha menyimpan tangis yang begitu menyesakkan dada. Beberapa ciuman mendarat di ujung kepala gadis itu. “Sayang, maafkan mama. Kamu harus kuat.” Ketika dua orang itu sedang berpelukan erat, datanglah seorang wanita dengan pakaian seksi. Wanita itu membawa sebuah berkas di tangan. Senyumnya tampak penuh mengejek melihat keluarga yang menyedihkan. Apalagi saat melihat jenazah sang tuan rumah yang tergeletak penuh darah. Senyuman itu tampak penuh dengan kemenangan. “Dasar wanita sialan! Kamu sungguh sangat licik!” Sekar bangkit lalu mendekati wanita itu. Ia hendak melayangkan pukulan, tetapi dua pengawal di belakangnya langsung menahan. Bahkan, mereka menghempaskan tangan Sekar hingga ia tersungkur. “Kamu sungguh kejam! Kenapa kamu membunuh suamiku?!” teriaknya histeris. “Aku tidak membunuhnya. Dia sendiri yang lompat dari atas.” Dengan gaya angkuh. Wanita itu duduk di depan Sekar dan Gisela yang hanya diam ketakutan. Ia melempar berkas Yang dipegang tepat di depan wajah Sekar. “Tanda tangan!” Kening Sekar mengerut dalam. Tangannya mengambil berkas tersebut dan membacanya dengan perlahan. “Pengalihan saham dan semua harta kekayaan keluarga Atmaja?” “Benar sekali. Selama ini aku menggoda Heru sialan itu untuk mengambil harta kalian. Ternyata, semua kekayaan keluarga Atmaja sudah beralih menjadi atas namamu. Heru sungguh sangat mencintaimu,” ujarnya kesal. Merasa bahwa semua usahanya sia-sia. “Kamu sungguh wanita sialan! Aku tidak menyangka kalau selama ini kamu hanya mengincar harta kami. Padahal kami sudah memperlakukan kamu dengan baik!” Sekar memegang dada yang terasa sesak. Ia masih ingat dengan jelas bahwa dirinyalah yang memungut wanita ini dari jalan. Saat itu Sekar merasa tidak tega, ia pun menjadikan wanita itu pelayan di rumah karena sikapnya yang baik dan patuh. Ia tidak menyangka kalau ternyata sekarang wanita itu menjadi musuh paling berbahaya. Bahkan, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta keluarga Atmaja. “Sudahlah, aku tidak suka basa-basi!” wanita itu mengamati kuku cantiknya. Sembari melayangkan senyuman. “Aku tidak mau tanda tangan. Memangnya kamu siapa?! Bahkan, darah keluarga Atmaja saja tidak mengalir di tubuhmu?!” Sekar menolak. “Aku akan melaporkanmu ke polisi!” “Silakan saja kalau kamu berani. Aku tidak akan pernah takut. Tuduhan mana yang bisa membuatku masuk penjara, hmmm?” “Aku punya bukti yang kuat. Kamu mendorong suamiku dari lantai atas hingga tewas? Dia tidak bunuh diri, tapi kamu yang membunuhnya?!” tuntut Sekar. “Hahaha!” tawa yang menggelegar itu membuat siapa pun akan merinding saat mendengarnya. “Aku tahu, walaupun lemah lembut, kamu adalah orang yang waspada. Tenang saja, kamera pengawas di lantai atas, aku sudah merusak semuanya. Kamu tidak memiliki bukti apa pun.” “Kamu sungguh wanita yang licik!” Sekar menunjuk wajah wanita itu dengan hina. Ia bangkit, hendak mendekatinya, tetapi dua pengawal tadi kembali mendorong Sekar hingga ia kembali jatuh tersungkur. Gisela yang melihat sang ibu tersungkur dua kali pun, segera mendekati dan memeluknya erat. Sekar membalas pelukan itu sambil menenangkan putrinya. “Cepat tanda tangan! Kalau kamu tidak tanda tangan maka jangan salahkan aku semakin nekat.” “Apa yang akan kamu lakukan?!” Sekar merasa sangat cemas. Apalagi saat melihat wanita itu mengeluarkan pistol dari dalam tasnya. “Kalian ini keluarga yang harmonis. Sungguh membuatku iri,” wanita itu mencium pistol di tangan hingga membuat tubuh Sekar dan Gisela semakin gemetar ketakutan. “Kalau kamu tidak mau tanda tangan maka nyawa putrimu yang berharga ini akan menjadi taruhannya. Bagaimana?” “Jangan pernah sakiti putriku!” Sekar makin erat memeluk putrinya. Khawatir wanita itu benar-benar akan bertindak nekat. “Dia memang benar anak emas untuk kalian. Hahaha!” Ia tertawa lagi. Tawa yang semakin terdengar mengerikan. “Aku tidak akan memberimu banyak pilihan. Hanya dua pilihan. Tanda tangan berkas ini, aku melepaskan putrimu. Kalau tidak mau tanda tangan maka nyawa putrimu akan menjadi gantinya.” “Kamu!” Sekar merasa sangat bimbang. “Waktuku tidak banyak. Semakin lama kamu menjawab maka semakin cepat aku mengambil keputusanku sendiri,” wanita itu melihat jam tangan sembari menghitung perlahan. “Baiklah. Aku akan tanda tangan,” Sekar menjawab cepat. Ia tidak punya pilihan lain. Harta keluarga Atmaja yang ia kumpulkan dengan susah payah, sungguh tidak sebanding dengan nyawa putrinya yang lebih berharga. Tangan Sekar gemetar ketika memegang pulpen. Walaupun hatinya merasa sangat ragu, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Dengan sangat terpaksa, Sekar pun menandatangani berkas tersebut. Lalu memeluk Gisela dengan erat. “Maafkan mama, Sayang. Tidak apa kehilangan semua harta kita. Pasti kita bisa bangkit lagi,” ujar Sekar. Gisela hanya menangis di pelukan sang ibu. Gadis sekecil dia, memangnya apa yang bisa dilakukan untuk membela ibunya? “Pintar!” puji wanita itu penuh ejekan. Ia mengambil berkas yang telah ditandatangani itu dan melihatnya. Senyumnya mengembang sempurna. Kini ia telah menjadi wanita kaya raya. Semua harta milik keluarga Atmaja telah resmi menjadi miliknya. “Kamu sudah puas? Sekarang lepaskan kami!” sentak Sekar. “Melepaskanmu? Mimpi! Hahaha!” Mata Sekar membulat. Apa wanita ini menjebak mereka!? “Kamu!” “Jauhkan anak itu,” perintahnya. Kedua pengawal itu pun menarik Gisela. Tidak peduli meski mereka meronta karena tidak mau. “Aku sudah tanda tangan, mau kamu apakan putriku?!” Sekar dipenuhi emosi. Sungguh tidak menyangka kalau ia akan dipertemukan dengan wanita selicik itu. “Tenang saja. Putrimu akan tetap hidup dengan baik. Tapi kamu ....” wanita itu menarik pelatuk pistolnya dan mengarahkan kepada Sekar. “Apa yang akan kamu lakukan? Aku sudah menyerahkan semua hartaku kepadamu, apa itu masih kurang?!” “Tidak. Hanya saja, aku harus menghilangkan barang bukti dan saksi.” “Kamu ....” Dua kali suara tembakan terdengar menggema di sana. Tepat mengenai dada dan kepala Sekar. Wanita itu jatuh ke lantai dengan tubuh bersimbah darah. Gisela berteriak histeris melihat sang ibu yang telah tumbang. “Kamu wanita jahat! Dasar wanita jahat!” Gisela hendak memukul wanita yang telah membunuh orang tuanya, tetapi pengawal tadi kembali menahannya. “Buang kedua mayat ini tanpa meninggalkan jejak sedikit pun,” perintahnya. “Lalu bagaimana dengan anak ini, Nyonya?” “Buang saja ke sungai. Biar ia mati dimakan buaya. Kalaupun hidup, dia tidak bisa melakukan apa pun.” Wanita itu pergi meninggalkan tempat tersebut. Gisela berlari mendekati mayat kedua orang tuanya. Tangisnya pecah “Ma ... Pa ... Aku takut sendirian.”“Tu-Tuan.” Gisela yang sedang mengambil minum di dapur, terkejut melihat kedatangan Danuarta tiba-tiba. “Kamu belum tidur?” tanya Danuarta. Melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Ini saya mau tidur, Tuan.” Gisela menunduk, tidak berani mengangkat kepala apalagi menatap Danuarta. Saat tidak mendapat respon, Gisela hendak melangkah pergi, tetapi Danuarta menahannya. “Aku minta maaf atas nama istriku. Aku tidak menyangka kalau dia akan menamparmu,” kata Danuarta. Gisela mengangkat kepala dan menunjukkan senyuman tipis. “Anda tidak perlu minta maaf, Tuan. Nyonya sama sekali tidak bersalah.” “Dia hanya salah paham.” Gisela mengangguk. Mengiyakan ucapan Danuarta. “Saya mengerti, Tuan. Kalau begitu saya kembali ke kamar. Saya khawatir kalau Nyonya akan salah paham lagi.” Danuarta hanya diam. Saat Gisela melangkah, tiba-tiba ia tersandung kakinya sendiri. Hampir saja ia terjatuh karena tidak bisa menyeimbangkan tubuh. Beruntung, Danuarta segera menangkap p
Kamar Gisela terasa hening saat kedua wanita itu saling diam. Terdengar helaan napas panjang Mbok Minah. Gisela hanya diam dan terus tertunduk dalam. Khawatir Mbokan Minah tidak percaya ucapannya. Namun, ternyata tidak. Dengan gerakan perlahan, Mbok Minah mengusap punggung Gisela, membuatnya merasa nyaman. “Aku percaya sama kamu,” kata Mbok Minah. Gisela menoleh, guratan wajahnya menunjukkan kelegaan. Bahkan, senyuman tipis tampak menghiasi bibir Gisela. “Mbok, terima kasih sudah percaya pada saya. Sungguh, saya tidak ada niatan untuk menggoda Tuan Danu. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Nyonya Cindy. Saya khawatir Nyonya Cindy terus salah paham pada saya,” kata Gisela lirih. Ia kembali menunduk dan meremas ujung baju yang dikenakan. “Jangan dipikirkan. Biar nanti aku bantu jelaskan kepada Nyonya Cindy.” “Terima kasih banyak, Mbok. Kalau tidak ada Mbok Minah, sudah pasti saya akan ....” “Sudah, lebih baik kamu istirahat saja. Baru besok kamu bisa mulai bekerja,” pungka
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Gisela yang sudah terlelap, tiba-tiba begitu gelisah. Keringat dingin tampak membasahi dahi dan wajah. Tubuhnya terus bergerak tidak tenang. Beberapa detik kemudian, ia terbangun. Napasnya tersengal seiring keringat yang makin deras mengucur. “Astaga, aku mimpi buruk lagi,” gumamnya. Ia meremas selimut kuat. Mimpi itu, sungguh sangat mengganggu tidurnya. Ini bukanlah mimpi buruk pertama kali bagi Gisela. Di dalam sana, ia melihat jelas wajah kedua orang tuanya yang membiru, tak berdaya. Itu terus menghantui perasaannya. “Ya Tuhan,” keluhnya. Mengusap wajah yang sudah basah oleh keringat. Gisela menyingkap selimut dan hendak turun dari kasur. Tenggorokannya terasa sangat kering. Namun, baru saja berdiri tegak, terdengar suara pintu diketuk. “Siapa?” tanya Gisela cemas. Ini adalah malam pertama ia tinggal di rumah mewah tersebut. Kekhawatiran sudah pasti ada. “Aku. Buka pintunya.” Gisela menangkap suara bariton yang tidak te
Satu jam lebih menunggu, Gisela hampir tak kuasa menahan kantuk karena hanya duduk tanpa melakukan kegiatan apa pun. Beberapa kali ia terlihat menguap. Rasanya ingin sekali terlelap, tetapi entah mengapa, ia merasa tidak nyaman. Di saat hampir benar-benar terlelap, Gisela dibuat terkejut oleh suara pintu terbuka. Ia menoleh dan melihat Danuarta melangkah masuk. Disusul oleh Feri di belakangnya. “Maaf, aku membuat kamu menunggu lama,” kata Danuarta. Suaranya begitu hangat hingga membuat Gisela terpaku beberapa detik. “Kamu pasti bosan.” “Tidak.” Gisela mengulas senyum. “Kalau begitu, sekarang kita pulang saja. Sudah hampir jam makan siang.” “Tuan, pekerjaan Anda bagaimana?” tanya Gisela menahan langkah Danuarta. “Aku bisa mengerjakan dari rumah. Lagi pula, ada Feri yang bisa diandalkan,” sahut Danuarta. Ekor mata Gisela melirik Feri yang terlihat menahan suara dengusan. Entah mengapa, Gisela merasa kalau Feri tidak terlalu suka dengan kehadirannya. Saat Danuarta menarik tangan






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.