Share

5. Perompak

Samantha tahu jika ada perompak di lautan hanya mendengar dari cerita orang-orang. Tentang kekejaman mereka, penampilan mereka atau perlakuan mereka terhadap wanita. Hal-hal buruk selalu disematkan kepada sekelompok orang tak diakui sebagai bagian dari masyarakat.

Pikiran gadis itu dihantui hal-hal buruk tersebut. Hal wajar jika ketakutan menggelayuti isi kepala.

"Nona, jika mereka mendekat, kau harus segera masuk ke dalam lambung kapal, bersembunyi." Kapten Muhsin memberi arahan.

"Tuan, saya siap menghadapi ...."

"Ini perintah. Aku tidak suka dibantah!" Muhsin bicara dengan nada tinggi. "Ini demi keselamatan dirimu."

"Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin menjadi beban."

Ketika mendengar perkataan dari Samantha, James mengemukakan sebuah alasan. "Itulah alasan kenapa aku tidak kau ikut serta ke dalam kapal ini."

"Tuan James, keputusan ada di tanganku. Anda jangan mengungkit lagi masalah itu."

Para anak buah kapal hanya memperhatikan percakapan mereka bertiga. Empat lelaki itu hanya menunggu apa perintah selanjutnya. Walaupun sebenarnya mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Menunggu perintah pimpinan lebih baik dibandingkan bertindak gegabah.

Samantha tidak selalu berhadapan dengan bahaya. Kehidupan yang menyenangkan menjadi keseharian bagi gadis itu. Situasi bahaya baginya menjadi hal langka.

Kala demikian, Samantha kembali mempertanyakan keputusannya untuk mencari sang ayah. Dia berharap ada orang yang bisa menenangkan perasaannya. Biasanya sang ibu menjadi orang yang pertama kali bisa bisa diajak bicara. Sekarang, dia jauh dari ibu dan ayahnya.

"Nona, bersembunyi sekarang!" Kapten Muhsin membuyarkan lamunan Samantha.

Gadis itu tidak bisa membantah. Dia berjalan mundur ke arah pintu yang sejajar dengan lantai buritan.

Bersembunyi di dalam lambung kapal.

***

Di atas geladak, para lelaki jarang mandi bersiap menyambut tamu yang datang. Mata mereka tertuju pada sebuah layar terkembang di cakrawala. Tidak ada lambang tengkorak dan tulang bersilang. Hanya ada layar kusam terkembang.

"Bagaimana, Tuan? Haruskah kita menghadapi mereka?" James memberi pertimbangan bagi si kapten yang berpikir keras.

Muhsin menoleh kepada James dan anak buahnya.

"Aku pikir, mencari selamat lebih baik daripada menghadapi mereka."

Kapten Muhsin menganggukkan kepala. "Jika itu yang ada inginkan, saya akan menuruti keinginan anda, Tuan."

Kemudi diarahkan untuk menjauh dari kapal lain yang semakin mendekat. Muhsin yakin jika mereka adalah perompak. Seorang pelaut sepertinya tahu kapal mana yang sekedar lewat dan kapal mana yang berniat jahat.

"Kapal semakin mendekat, Tuan." Iskandar pun tampaknya gugup.

"Tenang, Nak. Di sini, mentalmu akan teruji sebagai pelaut."

Ali menyeringai.

"Tampaknya ada sudah siap menghadapi ini, Paman Ali."

"Nak, ketika aku seusiamu, aku pernah hampir mati karena seorang perompak mengarahkan pisau ke leherku."

"Benarkah?"

"Untungnya, ada seseorang yang menyelamatkan nyawaku." Ali menoleh kepada Kapten Muhsin yang masih tenang di balik kemudi.

Iskandar menatap Kapten Muhsin.

"Sudahlah, itu hanya cerita lama. Tidak usah dibesar-besarkan." Muhsin berusaha merendah namun siapa yang tahu jika hatinya senantiasa membanggakan kisah itu.

Lautan sebenarnya tenang. Orang-orang di dalam kapal itu saja yang tegang. Berusaha tenang, namun kenyataan yang harus dihadapi tidak bisa membuat mereka tenang-tenang saja.

"Iskandar, siapkan dayung!"

"Baik, Tuan Kapten!"

Iskandar menjadi remaja yang semakin cekatan ketika keadaan mengharuskannya demikian. Dia belajar banyak dalam perjalanan kali ini. Meskipun ini bukan pelayaran pertamanya, Iskandar bisa tahu jika keadaannya saat ini berbeda dengan pelayaran-pelayaran sebelumnya. Kali ini, ada sesuatu yang dipertaruhkan.

"Tuan James, bersiaplah dengan senapan yang anda miliki! Sepertinya senapan ini akan banyak berguna." Muhsin menugaskan James untuk menjadi penembak.

James tidak menyahut tetapi dia tahu harus melakukan hal apa. Dia segera masuk ke dalam lambung kapal, mengambil senapan yang tersimpan di sana.

"Kau takut?"

"Tidak. Aku merasa pengap lama-lama di sini."

"Bagaimana, apakah kau menyesal turut serta dalam perjalanan ini?"

James mendapati Samantha tengah meringkuk di dalam lambung kapal bersama barang-barang perbekalan. Tertumpuk rapi sehingga mudah memastikan jika harus mengambil barang yang diperlukan. Dalam hal kerapihan menata barang bawaan, maka Iskandar adalah orang yang layak diberi pujian.

"Ya, sudahlah. Nanti kita bicarakan lagi."

James menutup pintu dan kembali ke geladak.

Kapal melaju lebih kencang. Angin pun memihak kepada Bintang Timur. Kapten Muhsin menyeringai. James bisa mengerti arti senyuman demikian.

"Kapten, kita terdesak!" lagi-lagi Iskandar mengingatkan.

"Aku tahu, Nak. Di sebelah kiri kita adalah daratan. Mereka datang dari arah kanan. Kau tahu apa artinya?"

Iskandar berpikir sejenak. "Mereka ingin kita menepi!"

"Aha, kau anak cerdas. Tidak percuma aku membawamu."

Iskandar tersenyum. "Lantas, apakah kita akan menepi?"

"Menurutmu?"

"Tentu tidak, Tuan."

Kapten Muhsin menganggukkan kepala. "Tuan James, kau mengenal kawasan ini?"

James menggelengkan kepala. "Aku pertama kali datang ke sini."

"Bukankah kita sudah membicarakan tempat ini tempo hari?"

James menoleh kepada Muhsin.

"Ada di peta, Tuan!"

"Ya. Aku ingat. Ada muara sungai tidak jauh dari sini."

"Benar! Kita harus segera ke sana!"

Iskandar kembali menyahut, "Saya mengerti. Kita masuk menyusuri sungai agar kapal besar itu enggan masuk ke sana!"

Semua kru kapal mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh si kapten. Mereka menganggukkan kepala. Rona wajah mereka ternyata berubah. Ada harapan ketika keadaan sedang genting. Ikat kepala yang dikenakan orang-orang itu tidak "layu" lagi. Terkesan menjadi lebih tegak lurus menyongsong masa depan. Sikap yang dibutuhkan oleh para pelaut kala jiwa kalut.

Mata James tertuju kepada lautan yang tenang bergelombang. Tidak ada lumba-lumba apalagi paus yang muncul ke permukaan. Tidak ada pula sampan nelayan yang kebetulan lewat di pandangan. Hanya ada satu kapal besar yang semakin mendekat seakan ingin menabrak kapal kecil yang ditumpangi si pria Eropa.

"Kawasan ini benar-benar sepi, tidak kapal lain."

"Itulah yang dahulu saya katakan Tuan James. Sebaiknya kita tidak melewati kawasan ini. Terlalu jauh dari perkotaan."

"Apa daya, badai telah membawa kita ke tempat ini, Tuan Muhsin."

Kapten Muhsin segera meyakinkan anak buahnya untuk segera bersiap menghadapi berbagai kemungkinan. Terjadi percakapan dengan isyarat diantara mereka. James tidak mengerti maksud isyarat itu. Namun, mereka semua mengangguk.

"Bersiap!"

Dayung dipasang. Layar kemudi diarahkan ke sisi kiri agar angin membawa kapal itu mendekat dengan daratan.

"Dayung, sekarang!"

Semua kru bersemangat mendayung. Empat buah dayung terpasang dari dua sisi. Dua dayung pada setiap sisinya.

"Kecepatan maksimal!"

Aba-aba 'kecepatan maksimal' yang dimaksud sebenarnya tidak terlalu dipahami oleh James. Hal yang dia lihat, perpaduan antara layar yang terkembang dan dayung sudah menjadi cara terbaik yang bisa dilakukan. Kapal layar tidak digerakkan oleh mesin. Sepenuhnya memanfaatkan alam dan kecerdasan manusia. James hanya berusaha percaya kepada orang-orang yang disewanya. Tentu saja tidak sedikit uang yang diberikan kepada pelaut-pelaut berkulit cokelat tersebut.

"Tuan James," Kapten Muhsin masih berusaha tenang, "jika anda dihadapkan kepada keadaan serba terjepit, apa yang anda lakukan?"

James mempertanyakan arti penting pertanyaan dari si kapten. Namun, belakangan dia mengerti jika begitulah cara berkomunikasi pemilik kapal ini. "Saya akan memutuskan untuk bertindak."

"Tindakan apa?"

"Menghindari atau menghadapi."

"Aha, sebuah jawaban yang cerdas."

James mengangkat alis sambil tersenyum.

"Sepertinya, aku memutuskan jika kita harus menghadapi mereka."

Anak buah kapal yang sedang mendayung, menengok ke belakang. Kapten Muhsin mulai merasakan jika mereka diliputi ketakutan.

"Ini resiko pekerjaan, Saudaraku!"

Mendengar Kapten Muhsin bicara agak sopan menjadi pertanda jika laki-laki itu benar-benar peduli dengan nasib anak buahnya. Dia seakan sedang memberikan pidato perpisahan. James sering mendengar hal itu ketika dia bergabung dengan militer. Seorang komandan akan menyemangati prajuritnya sekaligus menyampaikan kata-kata perpisahan.

"Mereka mencegah kita masuk ke muara sungai, Tuan!" Iskandar selalu menjadi informan yang baik.

"Berarti, keputusanku tepat. Kita hadapi mereka!"

James bersiap untuk menembak. Dia berjongkok di tepi geladak. Membidik seseorang atau siapa pun yang bisa dilumpuhkan.

"Kita hampir mencapai muara!" Iskandar kembali memberi kabar. Matanya masih tajam wajar jika dia selalu ditugaskan untuk memantau keadaan. "Ada lima orang yang membidik kapal kita, Tuan."

Apa yang dikatakan oleh Iskandar memang benar. Ketika dua kapal itu semakin berdekatan, James bisa melihat cukup jelas jika kru kapal itu benar-benar berniat merompak. Terbukti, senapan diarahkan ke kapal Bintang Timur.

"Mereka punya meriam!" Iskandar masih mampu menjadi pengamat meskipun tangannya sibuk mendayung.

"Sialan!"

Sebuah bendera hitam dikibarkan. Dipasang di tiang layar. Pertanda celaka bagi para pelaut.

"Dayung lebih kencang!"

Percuma, sekencang apa pun mendayung, kapal perompak itu sudah lebih dekat dengan muara.

Dor!

Suara tembakan peringatan melambung ke udara.

"Tahan tembakan, Tuan James." Muhsin tahu jika tangan James sudah gatal.

James membidik seseorang yang berdiri di geladak kapal perompak. Dia berdiri dengan berkacak pinggang.

"Sekarang!"

Aba-aba itu tampaknya telat. Kapal mereka lebih dahulu bertabrakan dibandingkan letupan senapan.

Braakk!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status