Share

4. Badai

"Kenapa Nona, nyalimu ciut?" James meledek Samantha.

"Hei, jaga ucapan anda, Tuan!"

James meledek Samantha karena melihat gadis itu tengah menatap jauh ke depan. Dia berdiri tanpa bicara sedikit pun. Wajahnya memang terlihat cemas ketika memperhatikan awan comulonimbus yang semakin membesar. Sesekali terlihat kilatan cahaya diantara gulungan hitam. Memang cukup membuat khawatir setelah Kapten Muhsin memberitahu jika hal demikian menjadi pertanda akan adanya badai.

Kapten Muhsin tertawa terbahak-bahak mendengar percakapan Samantha dan James.

"Kenapa, adakah hal lucu, Tuan?"

"Tidak ada, Nona. Saya hanya ingat putri saya."

"Dia seusia saya?"

"Justru tidak. Dia masih balita. Tetapi, kelakuannya sama persis seperti Nona."

"Maksudmu? Saya seperti anak balita?"

"Oh, bukan begitu." Si Kapten bersemangat ketika menceritakan putrinya. "Dia senantiasa merajuk ingin ikut melaut denganku."

Samantha tertarik mendengar cerita si Kapten yang berdiri di balik kemudi. Meskipun pandangannya jauh ke depan, tetapi dia sanggup membagi pikiran agar orang-orang yang ikut bersamanya tidak merasa gugup.

"Anak itu menyangka jika laut sebagai tempat bermain yang menyenangkan. Jika aku menakut-nakutinya, dia akan marah karena merasa diremehkan."

Samantha tersenyum. Dia bisa membayangkan bagaimana lucunya seorang balita ketika tengah berbicara.

"Tapi, Nona. Anak itu ada benarnya juga. Laut ini memang tempat bermain yang menyenangkan." Si Kapten tertawa terbahak-bahak.

Tawa yang diikuti oleh para kru. Walaupun Samantha kurang mengerti kenapa para kru tertawa.

Gadis itu kembali memandangi langit yang semakin menghitam. Rambut keriting nan pirang yang dimilikinya bergoyang-goyang tertiup angin. Tubuhnya tampak naik turun mengikuti gelombang laut yang menggoyangkan kapal.

"Pakai benda ini," James memberikan sebuah tali kepada Samantha.

"Untuk apa?"

"Ikat rambutmu, jangan sampai menyusahkanku dalam bergerak."

"Terima kasih."

Mereka berdua bertatapan beberapa saat.

"Permisi," si Iskandar membuyarkan momen yang terasa aneh bagi Samantha. "Tenang, masih banyak waktu." Iskandar memberi saran agar kedua orang itu bersiap menghadapi badai nan jauh di sana. Laki-laki bertubuh pendek itu menyiapkan ember dan tali andaikan barang-barang itu diperlukan.

Samantha memegang tiang layar. Dia mulai merasa gugup ketika awan hitam itu semakin jelas terlihat. Semakin dekat, tidak mungkin lagi untuk menjauh.

Suara gemuruh semakin santer terdengar. Gelombang laut terasa semakin besar. Kapal layar laksana dedaunan kering di tengah kolam besar yang tengah tertiup angin. Hanya sebuah benda kecil ketika diterpa kekuatan besar.

Bllrr! Kilat menyambar sehingga cahayanya membuat langit lebih terang.

"Naikkan layar!" sang Kapten memberi perintah.

Perintah itu dilaksanakan segera oleh kru kapal yang sigap. Tak ada satu orang pun yang berani membantah. Sungguh bisa mengundang bahaya jika anak buah kapal berani membantah pimpinannya.

Tak ada cara untuk menghindari badai.

Ketika kapal sedang berlayar di tengah laut, hal yang paling mungkin dilakukan adalah mengikuti arus dan gelombang agar kapal tidak kalah oleh energi yang jauh lebih besar. Ketika alam menghempaskan kekuatannya, manusia hanya sanggup menyesuaikan diri tanpa maksud melawannya.

"Nona, kau bisa mendayung?" Kapten Muhsin bertanya dengan berteriak.

Samantha agak terkejut dengan pertanyaan dari Muhsin. Dia masih gugup. "Akan saya coba, Tuan."

"Bagus!" Kapten Muhsin tahu jika Samantha tidak bisa mendayung. Dia hanya mengajak gadis itu untuk berpikir. Apa yang akan dilakukan jika menghadapi keadaan seperti saat ini?

"Iskandar, siapkan dayung!"

"Baik, Tuan Kapten!"

Tubuh kecil Iskandar bisa masuk ke dalam lambung kapal dengan cekatan. Dia mengeluarkan dayung-dayung dengan ukuran panjang dan besar.

"Bagikan!"

Setiap orang mendapatkan posisi untuk mendayung. Tidak terkecuali James dan Samantha.

Hujan benar-benar turun. Malam yang diharapkan akan menghadirkan gemintang, malah menjadi malam paling mengerikan yang pernah disaksikan oleh Samantha. Lampu petromak yang tergantung di tiang layar tidak sanggup mengalahkan kegelapan malam yang pekat.

"Bersiap untuk mendayung!"

Kepemimpinan Kapten Muhsin benar-benar teruji malam itu. Dia harus memutuskan harus bertindak seperti apa. Kapan melawan gelombang serta kapan mengikutinya. Pengetahuan akan dunia pelayaran menjadi bekal penting.

"Berhenti mendayung!"

Nampaknya sang kapten merasa jika bukan saatnya gelombang untuk dilawan. Dalam waktu singkat, Samantha bisa belajar untuk mengerti bagaimana mengemudikan kapal layar di tengah gelombang besar.

Gadis itu menatap James yang duduk sejajar dengannya. Dia pun tampak gugup. Air hujan yang mengenai wajah belum sanggup menyembunyikan kegugupan itu.

"Kembali mendayung!"

Ketika aba-aba terdengar, maka Ali menjadi orang yang menjaga ritme agar semua kru mendayung dengan tempo yang sama. "Dorong ... tarik ... dorong ... tarik ...!" begitu seterusnya.

Lama-kelamaan Samantha mulai kelelahan. Dia tidak biasa mendayung. Pekerjaan 'berat' baginya hanya memanggul senapan. Itu pun terpaksa dilakukan karena sang ayah memintanya demikian. Bagaimana pun tenaga dia tidak sekuat para lelaki. Muhsin yang berdiri tidak jauh, bisa tahu jika anak buah yang baru direkrutnya mulai kehabisan tenaga.

"Nona, mundur! Biar aku yang mendayung!"

"Lantas, apa tugasku?"

"Kau berdiri di belakang kemudi!"

Ketika Samantha berdiri, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana gelombang laut begitu besar. Bentuknya seperti bukit-bukit yang bergerak. Bedanya, bukit-bukit yang terlihat adalah air yang siap menghempaskan siapa pun di sana.

"Hei, kau jangan melamun!"

Samantha tersadarkan oleh teriakan Muhsin.

"Apa yang harus kita lakukan?!"

Samantha berpikir sejenak, "terus mendayung!"

"Kau yakin?"

"Ya, lakukan saja! Gelombang di depan sangat besar!"

Benar saja. Ketika anjungan menabrak gelombang, air pun tumpah ke lantai geladak. Tangan kecil Samantha berusaha menjaga kemudi agar tetap lurus dan dalam jalur yang diinginkan.

***

Samantha membuka mata, ternyata hari sudah siang. Dia terbangun oleh suara gaduh dari hentakan kaki di lantai geladak. Tidak ingin berlama-lama tidur dalam lambung kapal yang pengap, Samantha pun keluar melalui pintu yang sejajar dengan lantai.

"Selamat siang, Nona," Iskandar menyapa sembari membawa sebuah ransel. Entah ransel milik siapa, tetapi Samantha bisa menerka benda itu berisi begitu banyak perbekalan.

"Kalian hendak ke mana? Tampaknya melakukan banyak persiapan."

"Daratan ada di depan, Nona. Kita akan segera bersandar."

Samantha senang karena sebentar lagi akan mencapai daratan. Hal itu berarti pelabuhan Pontianak yang dituju akan segera sampai.

"Hei, aku tidak melihat ada dermaga."

Ketika mendengar kalimat itu semuanya tertawa.

"Saya tidak bilang jika kita akan segera tiba di Pontianak."

Samantha terheran-heran.

"Badai membuat kita berubah arah, Nona."

Samantha pun gusar.

"Kau jangan marah. Kami akan segera mengantarmu setelah Tuan James turun lebih dahulu."

"Oh, di mana?"

"Rencananya, aku akan turun di hulu sungai."

Samantha mengangguk.

"Mungkin membutuhkan waktu perjalanan dua hari."

Samantha mengepalkan tangan, dia semakin kesal. "Apa?!"

Semua orang menatap gadis itu. Sebuah tatapan aneh. Namun, dia tahu jika tatapan demikian harus dibalas dengan tatapan yang lebih tajam untuk menunjukkan jika dia tidak menjadi wanita yang lemah diantara para lelaki yang baru saja dikenalnya.

"Kenapa? Kalian hendak berniat jahat kepadaku?" Samantha mulai memegang pisau yang terselip di pinggang. "Aku tidak akan diam saja ...."

"Tidak, tidak, Nona. Anda jangan berpikir demikian. Kami bukan orang jahat." Kapten Muhsin mengerti akan kekhawatiran satu-satunya wanita di kapal Bintang Timur. "Orang jahat di tengah lautan itu hanya perompak. Dan, kami bukan perompak."

"Lantas kenapa kalian membawaku jauh ke tepi hutan?"

Mendengar pertanyaan demikian, James pun "gatal" ingin menjelaskan, "mereka sudah memberikan alasan. Badai menghempaskan kita jauh ke sini! Lagipula, seharusnya kau menyalahkan dirimu sendiri! Bukankah kau yang mengemudi ketika badai terjadi?"

Samantha pun tersindir. Dia memalingkan wajah.

Suasana menjadi hening. Hanya angin yang terdengar menerpa kain layar. Angin membawa kapal mengarah ke tempat yang ingin dituju.

Samantha berdiri di tepi geladak. Tidak ada kehidupan di tengah lautan biru. Terkecuali dia menyelam ke dalamnya walaupun hal demikian tidak perlu dilakukan.

"Bersiaplah, semuanya!" Muhsin memberi aba-aba.

"Baik, Kapten. Kita bersiap untuk mendarat!" Iskandar bicara paling lantang.

"Bukan, Nak. Kita bersiap berhadapan dengan tamu yang datang!" Muhsin bicara sambil meneropong ke suatu titik nan jauh di cakrawala.

"Tamu, siapa, Tuan?"

Muhsin menyimpan teropongnya, "sepertinya perompak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status