"Kenapa Nona, nyalimu ciut?" James meledek Samantha.
"Hei, jaga ucapan anda, Tuan!"James meledek Samantha karena melihat gadis itu tengah menatap jauh ke depan. Dia berdiri tanpa bicara sedikit pun. Wajahnya memang terlihat cemas ketika memperhatikan awan comulonimbus yang semakin membesar. Sesekali terlihat kilatan cahaya diantara gulungan hitam. Memang cukup membuat khawatir setelah Kapten Muhsin memberitahu jika hal demikian menjadi pertanda akan adanya badai.Kapten Muhsin tertawa terbahak-bahak mendengar percakapan Samantha dan James."Kenapa, adakah hal lucu, Tuan?""Tidak ada, Nona. Saya hanya ingat putri saya.""Dia seusia saya?""Justru tidak. Dia masih balita. Tetapi, kelakuannya sama persis seperti Nona.""Maksudmu? Saya seperti anak balita?""Oh, bukan begitu." Si Kapten bersemangat ketika menceritakan putrinya. "Dia senantiasa merajuk ingin ikut melaut denganku."Samantha tertarik mendengar cerita si Kapten yang berdiri di balik kemudi. Meskipun pandangannya jauh ke depan, tetapi dia sanggup membagi pikiran agar orang-orang yang ikut bersamanya tidak merasa gugup."Anak itu menyangka jika laut sebagai tempat bermain yang menyenangkan. Jika aku menakut-nakutinya, dia akan marah karena merasa diremehkan."Samantha tersenyum. Dia bisa membayangkan bagaimana lucunya seorang balita ketika tengah berbicara."Tapi, Nona. Anak itu ada benarnya juga. Laut ini memang tempat bermain yang menyenangkan." Si Kapten tertawa terbahak-bahak.Tawa yang diikuti oleh para kru. Walaupun Samantha kurang mengerti kenapa para kru tertawa.Gadis itu kembali memandangi langit yang semakin menghitam. Rambut keriting nan pirang yang dimilikinya bergoyang-goyang tertiup angin. Tubuhnya tampak naik turun mengikuti gelombang laut yang menggoyangkan kapal."Pakai benda ini," James memberikan sebuah tali kepada Samantha."Untuk apa?""Ikat rambutmu, jangan sampai menyusahkanku dalam bergerak.""Terima kasih."Mereka berdua bertatapan beberapa saat."Permisi," si Iskandar membuyarkan momen yang terasa aneh bagi Samantha. "Tenang, masih banyak waktu." Iskandar memberi saran agar kedua orang itu bersiap menghadapi badai nan jauh di sana. Laki-laki bertubuh pendek itu menyiapkan ember dan tali andaikan barang-barang itu diperlukan.Samantha memegang tiang layar. Dia mulai merasa gugup ketika awan hitam itu semakin jelas terlihat. Semakin dekat, tidak mungkin lagi untuk menjauh.Suara gemuruh semakin santer terdengar. Gelombang laut terasa semakin besar. Kapal layar laksana dedaunan kering di tengah kolam besar yang tengah tertiup angin. Hanya sebuah benda kecil ketika diterpa kekuatan besar.Bllrr! Kilat menyambar sehingga cahayanya membuat langit lebih terang."Naikkan layar!" sang Kapten memberi perintah.Perintah itu dilaksanakan segera oleh kru kapal yang sigap. Tak ada satu orang pun yang berani membantah. Sungguh bisa mengundang bahaya jika anak buah kapal berani membantah pimpinannya.Tak ada cara untuk menghindari badai.Ketika kapal sedang berlayar di tengah laut, hal yang paling mungkin dilakukan adalah mengikuti arus dan gelombang agar kapal tidak kalah oleh energi yang jauh lebih besar. Ketika alam menghempaskan kekuatannya, manusia hanya sanggup menyesuaikan diri tanpa maksud melawannya."Nona, kau bisa mendayung?" Kapten Muhsin bertanya dengan berteriak.Samantha agak terkejut dengan pertanyaan dari Muhsin. Dia masih gugup. "Akan saya coba, Tuan.""Bagus!" Kapten Muhsin tahu jika Samantha tidak bisa mendayung. Dia hanya mengajak gadis itu untuk berpikir. Apa yang akan dilakukan jika menghadapi keadaan seperti saat ini?"Iskandar, siapkan dayung!""Baik, Tuan Kapten!"Tubuh kecil Iskandar bisa masuk ke dalam lambung kapal dengan cekatan. Dia mengeluarkan dayung-dayung dengan ukuran panjang dan besar."Bagikan!"Setiap orang mendapatkan posisi untuk mendayung. Tidak terkecuali James dan Samantha.Hujan benar-benar turun. Malam yang diharapkan akan menghadirkan gemintang, malah menjadi malam paling mengerikan yang pernah disaksikan oleh Samantha. Lampu petromak yang tergantung di tiang layar tidak sanggup mengalahkan kegelapan malam yang pekat."Bersiap untuk mendayung!"Kepemimpinan Kapten Muhsin benar-benar teruji malam itu. Dia harus memutuskan harus bertindak seperti apa. Kapan melawan gelombang serta kapan mengikutinya. Pengetahuan akan dunia pelayaran menjadi bekal penting."Berhenti mendayung!"Nampaknya sang kapten merasa jika bukan saatnya gelombang untuk dilawan. Dalam waktu singkat, Samantha bisa belajar untuk mengerti bagaimana mengemudikan kapal layar di tengah gelombang besar.Gadis itu menatap James yang duduk sejajar dengannya. Dia pun tampak gugup. Air hujan yang mengenai wajah belum sanggup menyembunyikan kegugupan itu."Kembali mendayung!"Ketika aba-aba terdengar, maka Ali menjadi orang yang menjaga ritme agar semua kru mendayung dengan tempo yang sama. "Dorong ... tarik ... dorong ... tarik ...!" begitu seterusnya.Lama-kelamaan Samantha mulai kelelahan. Dia tidak biasa mendayung. Pekerjaan 'berat' baginya hanya memanggul senapan. Itu pun terpaksa dilakukan karena sang ayah memintanya demikian. Bagaimana pun tenaga dia tidak sekuat para lelaki. Muhsin yang berdiri tidak jauh, bisa tahu jika anak buah yang baru direkrutnya mulai kehabisan tenaga."Nona, mundur! Biar aku yang mendayung!""Lantas, apa tugasku?""Kau berdiri di belakang kemudi!"Ketika Samantha berdiri, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana gelombang laut begitu besar. Bentuknya seperti bukit-bukit yang bergerak. Bedanya, bukit-bukit yang terlihat adalah air yang siap menghempaskan siapa pun di sana."Hei, kau jangan melamun!"Samantha tersadarkan oleh teriakan Muhsin."Apa yang harus kita lakukan?!"Samantha berpikir sejenak, "terus mendayung!""Kau yakin?""Ya, lakukan saja! Gelombang di depan sangat besar!"Benar saja. Ketika anjungan menabrak gelombang, air pun tumpah ke lantai geladak. Tangan kecil Samantha berusaha menjaga kemudi agar tetap lurus dan dalam jalur yang diinginkan.***Samantha membuka mata, ternyata hari sudah siang. Dia terbangun oleh suara gaduh dari hentakan kaki di lantai geladak. Tidak ingin berlama-lama tidur dalam lambung kapal yang pengap, Samantha pun keluar melalui pintu yang sejajar dengan lantai."Selamat siang, Nona," Iskandar menyapa sembari membawa sebuah ransel. Entah ransel milik siapa, tetapi Samantha bisa menerka benda itu berisi begitu banyak perbekalan."Kalian hendak ke mana? Tampaknya melakukan banyak persiapan.""Daratan ada di depan, Nona. Kita akan segera bersandar."Samantha senang karena sebentar lagi akan mencapai daratan. Hal itu berarti pelabuhan Pontianak yang dituju akan segera sampai."Hei, aku tidak melihat ada dermaga."Ketika mendengar kalimat itu semuanya tertawa."Saya tidak bilang jika kita akan segera tiba di Pontianak."Samantha terheran-heran."Badai membuat kita berubah arah, Nona."Samantha pun gusar."Kau jangan marah. Kami akan segera mengantarmu setelah Tuan James turun lebih dahulu.""Oh, di mana?""Rencananya, aku akan turun di hulu sungai."Samantha mengangguk."Mungkin membutuhkan waktu perjalanan dua hari."Samantha mengepalkan tangan, dia semakin kesal. "Apa?!"Semua orang menatap gadis itu. Sebuah tatapan aneh. Namun, dia tahu jika tatapan demikian harus dibalas dengan tatapan yang lebih tajam untuk menunjukkan jika dia tidak menjadi wanita yang lemah diantara para lelaki yang baru saja dikenalnya."Kenapa? Kalian hendak berniat jahat kepadaku?" Samantha mulai memegang pisau yang terselip di pinggang. "Aku tidak akan diam saja ....""Tidak, tidak, Nona. Anda jangan berpikir demikian. Kami bukan orang jahat." Kapten Muhsin mengerti akan kekhawatiran satu-satunya wanita di kapal Bintang Timur. "Orang jahat di tengah lautan itu hanya perompak. Dan, kami bukan perompak.""Lantas kenapa kalian membawaku jauh ke tepi hutan?"Mendengar pertanyaan demikian, James pun "gatal" ingin menjelaskan, "mereka sudah memberikan alasan. Badai menghempaskan kita jauh ke sini! Lagipula, seharusnya kau menyalahkan dirimu sendiri! Bukankah kau yang mengemudi ketika badai terjadi?"Samantha pun tersindir. Dia memalingkan wajah.Suasana menjadi hening. Hanya angin yang terdengar menerpa kain layar. Angin membawa kapal mengarah ke tempat yang ingin dituju.Samantha berdiri di tepi geladak. Tidak ada kehidupan di tengah lautan biru. Terkecuali dia menyelam ke dalamnya walaupun hal demikian tidak perlu dilakukan."Bersiaplah, semuanya!" Muhsin memberi aba-aba."Baik, Kapten. Kita bersiap untuk mendarat!" Iskandar bicara paling lantang."Bukan, Nak. Kita bersiap berhadapan dengan tamu yang datang!" Muhsin bicara sambil meneropong ke suatu titik nan jauh di cakrawala."Tamu, siapa, Tuan?"Muhsin menyimpan teropongnya, "sepertinya perompak."Samantha tahu jika ada perompak di lautan hanya mendengar dari cerita orang-orang. Tentang kekejaman mereka, penampilan mereka atau perlakuan mereka terhadap wanita. Hal-hal buruk selalu disematkan kepada sekelompok orang tak diakui sebagai bagian dari masyarakat. Pikiran gadis itu dihantui hal-hal buruk tersebut. Hal wajar jika ketakutan menggelayuti isi kepala. "Nona, jika mereka mendekat, kau harus segera masuk ke dalam lambung kapal, bersembunyi." Kapten Muhsin memberi arahan."Tuan, saya siap menghadapi ....""Ini perintah. Aku tidak suka dibantah!" Muhsin bicara dengan nada tinggi. "Ini demi keselamatan dirimu.""Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin menjadi beban."Ketika mendengar perkataan dari Samantha, James mengemukakan sebuah alasan. "Itulah alasan kenapa aku tidak kau ikut serta ke dalam kapal ini.""Tuan James, keputusan ada di tanganku. Anda jangan mengungkit lagi masalah itu."Para anak buah kapal hanya memperhatikan percakapan mereka bertiga. Empat lelaki itu hanya me
Samantha bisa merasakan hentakan keras.Dia bertanya-tanya, sebenarnya ada apa? Rasa penasaran mendorong gadis itu untuk mengetahui kejadian apa di luar sana. Dia pun membuka pintu walaupun hanya membentuk celah. Sekedar untuk memberi keleluasaan pandangan. Dia terkejut kala tahu ada sekomplotan orang tak dikenal melompat ke atas geladak. Memang benar apa yang dikatakan Kapten Muhsin, nampaknya mereka memang perompak. "Serahkan harta kalian!" Menyampaikan maksud tanpa basa-basi, apakah memang demikian cara mereka? Orang yang berteriak tadi sungguh manusia tanpa tata krama."Kalau kami menolak, bagaimana?" suara Kapten Muhsin lebih lantang menjawab.Samantha mulai merasa jika situasi timpang. Jumlah mereka yang menyergap lebih banyak daripada kru kapal Bintang Timur. Samantha merasa serba salah ketika harus terus bersembunyi di sana. Namun, membantah perintah Kapten Muhsin juga bukan hal yang baik. "Jika kalian menolak, maka nyawa kalian akan melayang!"Samantha mendengar suara gad
Kapal Bintang Timur meneruskan perjalanan menyusuri sungai. Samantha tidak tahu nama sungai itu serta hendak menuju ke mana. Hal yang disimpulkan dalam pikirannya, sungai ini begitu sepi. "Perompak tadi membuat kehidupan di sini benar-benar mati." Kapten Muhsin seakan tahu isi pikiran Samantha. "Tidak adakah suku asli atau pendatang yang tertarik ....""Awalnya ada. Tetapi mereka memilih pergi menjauh.""Lalu, anda sekalian ....?""Tuan James memaksa kami untuk mendatangi tempat ini."Percakapan keduanya didengar oleh James. "Hei, aku tidak memaksa kalian. Kalian yang menyanggupinya."Samantha mengerti. Sepertinya James membayar mahal pemilik kapal ini. Kalau tidak, mereka tidak mungkin berani mendatangi teluk yang jelas-jelas dihuni oleh perompak. "Tuan James, seberapa penting benda yang anda cari, sehingga mengeluarkan begitu banyak biaya?"James tidak langsung menjawab pertanyaan dari Samantha. Laki-laki itu memilih mengeluarkan cerutu dari kotaknya. "Sangat penting, Nona.""Mun
"Tuan, bukankah orang-orang tidak berani menyusuri sungai ini karena takut kepada perompak?" Samantha bertanya kepada Muhsin."Ya. Saya juga berpikir demikian.""Lantas, kenapa ada kapal yang menyusuri sungai saat malam seperti ini?""Pertanyaan bagus," Kapten Muhsin menoleh kepada Samantha. "Ada dua kemungkinan.""Apakah itu?""Dia memang pemberani atau ... dia berhasil lolos dari perompak."Samantha tidak terlalu mengerti situasi seperti apa yang tengah dihadapi. Apakah bahaya atau keadaan biasa saja? Gadis itu hanya memperhatikan bagaimana orang-orang di sekitarnya bereaksi. Satu hal yang dipelajarinya, jika tidak menyepelekan hal-hal sepele menjadi sangat penting."Semuanya bersiap," Kapten Muhsin memberi aba-aba. "Iskandar, ambil senapan!"Ketika mendengar sang kapten bicara demikian, Samantha terheran-heran. Apakah keadaan begitu bahaya sehingga harus menyiapkan senapan. Padahal, hanya melihat cahaya lampu kerlap-kerlip nan jauh di sana. "Ini bagianmu, Nona." Iskandar menyerahk
"Letnan Felix, apa yang ada dalam pikiran anda?" James menggelengkan kepala. "Diaam! Aku tidak membutuhkan komentarmu!" James ingin sekali menertawakan si serdadu berkumis melengkung yang tengah berdiri di tepi geladak. Apa daya, dia hanya menjadi tawanan yang terikat. James hanya mampu tersenyum kecut. "Aku bertanya sekali lagi," Felix sepertinya naik pitam, "di mana Edmund Anderson?""Kami tidak tahu! Gadis itu pun tidak tahu. Justru dia menumpang kapal ini untuk mencari ayahnya." James bersikukuh dengan jawaban yang sama. "Kenapa kau berpikir kami menyembunyikan orang tua itu?""Dia belum terlalu tua.""Terserah. Hal yang pasti, kami datang ke hutan ini bukan untuk menyembunyikan dia.""Bagaimana bisa aku percaya. Sungguh aneh jika gadis itu bersama kalian ... mencari hingga ke tengah hutan?""Kami diterjang badai. Awalnya, dia meminta untuk diantarkan ke pelabuhan Pontianak. Kami setuju untuk singgah di sana. Tapi, badai malah membawa kami ke teluk Perompak."Felix menatap Jame
Samantha kesulitan bernafas ketika harus membenamkan diri dalam rawa. Tidak ada cara lain untuk menghindari kejaran para tentara anak buah Letnan Felix. Hutan di sana terendam air hingga setinggi pinggang. Andaikan gadis itu terus berjalan maka riak air yang ditimbulkan mudah terdengar. Jika harus bersembunyi di balik pohon, terlalu mudah dikenali karena dia mengenakan baju putih yang kontras dengan alam sekitarnya.Cukup lama Samantha terbenam dalam air. Sesekali dia menghirup udara melalui permukaan air. Satu hal yang dia lupakan jika tempat itu merupakan tempat bekantan atau monyet liar berendam untuk menurunkan suhu tubuhnya. Mata Samantha tidak memperhatikan mereka. Air rawa yang berwarna kehitaman mengharuskan matanya senantiasa terpejam. "Wakkk! Wakkk!"Samantha mulai menyadari jika keberadaannya di sana diketahui oleh monyet-monyet liar. Bulu abu di tubuhnya berdiri menjadi penanda jika segerombolan primata berekor tersebut ketakutan. Gigi makhluk itu tampak putih ketika dip
Samantha terdiam sejenak. Memikirkan hal yang mungkin terjadi selanjutnya. Orang yang ada di depannya masih menodongkan senapan kepada rekannya sendiri. Dua pria berkulit gelap menodongkan senapan kepada pria berkumis tebal. Ditodong oleh senapan memang bukan pengalaman pertama bagi gadis itu. Suatu waktu, dia pernah dibegal di tengah jalan ketika pelesiran ke kota Johor. Waktu itu kegelapan malam menyulitkan dia dan kedua orang tuanya untuk mengenali siapa orang yang berani berbuat jahat. Hal yang dia ingat, merasakan betapa dingin moncong senapan berbahan logam bersentuhan dengan pelipis. Namun, keadaan berbeda dengan saat ini kala tiga pria saling berhadapan dengan senapan di tangan mereka masing-masing. Samantha belum bisa memastikan apakah sebenarnya ada diantara mereka yang memihak kepadanya?"Sebaiknya aku menghindar," Samantha bermaksud menjauh. "Tidak. Kau harus tetap diam di sana!" Lelaki berkumis tebal itu bersikukuh dengan keputusannya."Jangan dengarkan orang ini, Non
James tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya fokus memandangi aliran sungai yang beriak ketika haluan kapal memecah gelombang. "Tuan, apakah anda yakin dengan keputusan anda?" Kapten Muhsin bertanya dengan nada sendu."Tentu saja!" James jengkel dengan pertanyaan yang terdengar merajuk.Kru yang tengah mendayung, menoleh ke arah James. Mereka masih berharap lelaki Kaukasian itu mengubah pendiriannya. James melengos.Keputusan dari James untuk mengabaikan Samantha memang terkesan kejam. Andaikan Samantha mendengar sikap James ini, mungkin dia akan membenci lelaki itu. Ketika seorang gadis tanpa teman di tengah hutan, sungguh si raja tega jika ada lelaki tak berperasaan mengabaikannya."Kami mengkhawatirkannya," Kapten Muhsin memang tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatir, "ya meskipun dia bukan siapa-siapa saya.""Sudahlah. Kalian jangan lemah seperti ini.""Kami tidak bersikap lemah. Hanya saja, beberapa saat bersama Nona Samantha, membuatku merasa dia sudah menjadi bagian dar