Aku mematut diri di depan cermin, pakaian model tunik berwarna maroon dengan celana panjang hitam membalut tubuhku. Ditambah jilbab berwarna senada dengan pakaian yang membingkai kepalaku.
Kuhembuskan napas panjang lalu aku melangkah menuju pembaringan. Duduk di sisi ranjang lalu meraih ponsel yang kuletakkan di atas bantal. Sesaat aku menoleh ke ara Daffa yang kubaringkan di ranjang. Aku mengulas senyum saat bibir mungil itu mengeluarkan suara, suara yang aku sendiri pun tidak tahu apa artinya.
Pandanganku kembali beralih pada ponsel yang saat ini ada di tanganku, kutekan tombol power. Aku tersenyum getir saat baru menyadari wallpaper di ponselku masih foto pernikahan kami saat melangsungkan ijab qabul.
Bergegas kuganti foto wallpaper tersebut dengan foto si kecil tampan dan menggemaskan, Daffa.
Setelah selesai mengganti foto tersebut, cepa
Aku masuk ke dalam mobil di barisan depan tepat di samping Aulia yang akan duduk di belakang kemudi.Di sepanjang perjalanan, kuceritakan pada Aulia soal rencanaku yang akan memasang Cctv di setiap sudut rumah.Aulia mendukung apa yang kurencanakan."Coba telpon suami kamu, barangkali nanti dari ambil gaun langsung ke acara pernikahan kerabatnya."Kuraih ponsel yang ada di dalam tas lalu jemariku menari-nari di atas ponsel tersebut. Kubuka aplikasi berwarna hijau yang bergambar telepon. Kuketik nama Mas Pandu di menu kontak lalu kupilih menu panggil.Tersambung."Halo, Vit," ucap Mas Pandu dari seberang sana setelah panggilan diangkat olehnya pada dering ketiga."Kamu di mana, Mas?" tanyaku."Sekaran
Setelah dua pekerja itu pulang, bergegas aku melangkah ke kamar yang ditempati oleh Mama mertua dan juga Lidya. Memastikan kalau penghuni kamar itu tidak akan menyadari adanya kamera pengintai.Aku menerawang ke atas– ke langit-langit kamar."Sempurna," ucapku.Namun tiba-tiba teringat soal Lidya yang kekeh ingin masuk ke dalam kamarnya. Aku merasa kalau kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu pulang hanya untuk mengambil sesuatu. Karena aku ingat betul, Mama tidak ada di sini. Toh kata Mas Pandu habis dzuhur acara ijab qabul kerabat Lidya akan digelar.Aku menyapu ke segala penjuru kamar. Atas ranjang, atas nakas tak luput dari tangkapan kedua netraku. Namun aku tidak menemukan apapun di sana.Saat langkah ini ingin keluar dari kamar, kuurungkan niatku. Entah kenapa ingin kubuka lac
Setelah tawa ini terhenti, bergegas aku masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa. Aku melirik ponsel yang layarnya berkedip. Kuraih ponsel tersebut.Ternyata ada notifikasi dana masuk sejumlah uang yang biasanya ditranfer oleh Mbak Lita– hasil dari penarikan tagihan kontrakan.Aku mengulas senyum. Setidaknya uang-uang yang memang menjadi hak milik Daffa dan juga aku, aman di genggamanku. Tak kan kubiarkan gund*k suamiku itu bisa menikmati pundi-pundi uangku itu.****Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Mas Pandu beserta kroni-kroninya sudah pulang sejak selepas adzan magrib tadi.Namun sampah detik ini, lelaki itu tak kunjung masuk ke dalam kamar walau hanya sekedar menengok dan menanyakan kabar Daffa."Sepertinya aku perlu mengetes keahlian kamera pengintai itu," lirihku
"Terus ini gimana dong? Mana Mama mertua minta tidur bareng Mama," ucap Mas Pandu."Pindahkan barang Lidya ke kamar Mbok Jum!" seruku yang membuat kedua insan itu serentak menoleh ke arahku dengan memasang wajah terkejut."Gil* ya kamu, bisa-bisanya suruh Lidya tidur di kamar pembantu?!" bentak Mas Pandu. Ada yang nyeri di dalam sini saat mendengar bentakan itu. Namun aku berusaha memasang wajah biasa-biasa saja."Iya, ih, Mbak Vita. Masa iya aku tidur di kamar Mbok Jum?" ucap Lidya dengan kesal."Mau gimana lagi? Mas, kamu mau Mama tahu siapa Lidya sebenarnya?" tanyaku pada Mas Pandu."Jangan sampai tau lah, Vit. Bisa dibawakan golok aku sama Papa kamu," ucap Mas Pandu."Nah, makanya. Ini untuk sementara saja. Toh Mama di sini nggak lama kok. Daripada kalian ketahuan kalau
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Kuajak Mama dan kugendong Daffa menuju taman yang ada di samping rumah melalui ruang tamu. "Kenapa badan Mama gatel semua sih." Terdengar suara keluhan Mama mertua. Membuat langkahku dan juga Mama terhenti seketika. "Sama, Ma. Badan Lidya gatel semua. Lihat Ma, tangan Lidya merah-merah." Aku dan Mama sedikit menyibakkan tirai penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Terlihat dengan jelas mereka menggaruk-garuk tangan. Sedetik kemudian berpindah ke tubuh, tak berselang la pindah lagi menggaruk tangan. Aku dan Mama saling pandang lalu terkikik. "Garukin punggung Mama, Lid," perintah Mama seraya merubah posisinya menjadi memunggungi Lidya. "Lidya juga gatel semua, Ma." Tangan kedua perempuan itu masih menggaruk dan menggaruk. "Salah sendiri. Senjata makan tuan, kan," lirihku lalu terkikik melihat pemandangan di depan mata. "Mama, tangan Lidya lecet semua!" teriak Lidya seraya memperlihatkan kedua lengannya ke arah Mama yang
"Vit, kapan Mama kamu pulang? Acara pernikahan tiga hari lagi loh," ucap Mas Pandu seraya menatapku yang sedang berbaring sembari memainkan ponsel yang ada di tanganku. Pandanganku beralih ke arahnya. "Masih tiga hari lagi, kan? Mama di sini masih dua hari lagi, Mas. Setidaknya saat acara pernikahan kalian digelar, Mama sudah pulang ke rumahnya," ucapku. Mas Pandu menghembuskan napas berat. Sesekali kedua telapak tangannya mengusap wajah dengan kasar. "Kamu keganggu ya ada Mamaku di sini? Kamu nggak suka Mama nginep sementara di sini?" Kini nada suaraku meninggi. Memang kusengaja memancing emosi Mas Pandu. Ini adalah salah satu rencana yang kami susun bersama Mama. "Bukan begitu, Vit. Kamu kan tahu sendiri kalau acara pernikahan tiga hari lagi akan digelar. Acara ijab qabul akan diadakan di sini. Pasti akan gagal dna mundur lagi kalau Mama kamu masih ada di sini," ucap Mas Pandu yang seketika membuatku merubah posisi. Dari semula berbaring menjadi duduk. "Intinya kamu nggak suka
Terlihat Mas Pandu menarik kembali uluran tangannya. Kali ini Lidya berusaha untuk bangkit. Bibir keduanya sering sekali meringis. Mungkin pukulan dari Mama telah meremukkan tulang-tulang mereka. Kini mereka berjalan ke arah depan– di tempat ruang keluarga. Saat tubuh mereka telah menghilang di balik pintu, aku dan Mama saling berpandangan lalu tersenyum. Senyum kemenangan dan kepuasan. "Harusnya tadi kita grebek mereka bareng warga, Ma. Biar mereka diarak," ucapku dengan nada lirih. "Biarlah. Yang terpenting Mama sudah melampiaskan kekesalan Mama. Sekarang akan Mama buat tiga benalu itu keluar dari rumah ini," ucap Mama dengan geram. "Gimana caranya, Ma?"Mama membisikkan serangkai rencananya di telingaku. "Mama yakin?" ucapku dengan sedikit ragu. "Udah, tenang saja. Ikuti saja rencana Mama. Kali ini akan berhasil. Mama jauh lebih banyak merasakan pahit, asin dan manis nya hidup ini.percayalah ...," jawab Mama. Aku mengangguk. "Kita ke depan sekarang," lanjut Mama lagi. Aku
"Ma, kenapa tadi Mama nggak maksa Mas Pandu buat talak aku, Ma," tanyaku saat aku sudah berada di dalam kamar. Ya, setelah kepergian para benalu dan juga Pak RT, aku dan Mama bergegas masuk ke dalam rumah. Pastinya setelah mengunci pintu rumah. "Kalau talak nanti waktu di pengadilan juga bisa, Vit. Yang terpenting para benalu itu sudah keluar dari rumah ini," ucap Mama. Aku mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mama. "Kan memang itu rencana Mama. Biarkan mereka berharap bisa kembali. Padahal sidang pengadilan telah menanti," lanjut Mama lagi. "Iya, sih, Ma. Apa yang Mama katakan memang benar. Selama kepergian Mas Pandu kita bisa melancarkan aksi kita, Ma. Setelah semua aset aman, Vita akan menggugat cerai Mas Pandu," ucapku.Mama mengangguk mendengarkan penuturanku. "Kita akan tinggal di sini sampai semua aset berpindah nama pemiliknya dan kamu sudah menggugat cerai suami kamu. Kapan katanya akan jadi, Vit?" tanya Mama. "Paling lambat katanya sih satu minggu lagi. Kemarin aku tan