Aku memikirkan ucapan yang dilontarkan oleh Lidya. Benar yang dikatakan olehnya. Vita perempuan yang begitu licik. Ya, licik sekali. Mengingat apa yang selama ini ia lakukan padaku untuk mengusirku dari rumah itu. "Kamu yakin kalau rencana itu akan berhasil, Lid?" tanyaku dengan sedikit ragu."Iya, Mas. Vita itu kan begitu mencintai anaknya. Pasti dia rela memberikan harta itu demi keselamatan anaknya," ucap Lidya dengan suara yang begitu meyakinkan. Aku mengangguk-anggukan kepala. Tapi tegakah aku melakukan itu semua pada Daffa?"Tapi aku nggak tega, Lid. Masa iya aku menyakiti Daffa sih," ucapku. "Astaga, Mas ... aku nggak nyuruh kamu buat nyakitin Daffa beneran ya. Gila kali aku jika aku beneran mau nyakitin dia," sahut Lidya yang membuatku menoleh ke arahnya dengan kening yang berkerut."Kita culik saja Daffa. Hanya menculik. Kita minta saja sebagian harta itu sebagai tebusan. Beneran, Mas, aku nggak yakin jika orang yang dipercaya untuk menjalankan kontrakan itu akan mengikuti
"Pak, berhenti di depan sana," ucapku seraya jemari menunjuk ke arah pohon yang tumbuh di depan rumah Vita. Lebih tepatnya di depan gerbang. "Di sini, Pak?" ucap tukang ojek seraya memperlambat laju kendaraannya hingga lambat laun kendaraan terhenti dengan sempurna, tepat di bawah pohon. "Bapak tunggu di sini. Saya cuma sebentar. Nggak ada sepuluh menit," ucapku seraya melepas helm yang membingkai di kepalaku lalu kuserahkan pada tukang ojek itu.Sebelum aku melangkah, kupastikan sudah kukenakan masker untuk menutupi sebagian wajahku. Tentunya supaya tidak ada yang mengenali. Aku berjalan dan berhenti di depan pintu gerbang lalu kepalaku melongok untuk melihat suasana di dalam. Tak kulihat siapa pun di sana. Hanya sebuah mobil hitam yang terparkir di halaman dengan pintu rumah utama yang terbuka dengan lebar. Mataku membelalak sempurna saat melihat sosok lelaki yang begitu asing keluar dari rumah itu. Seorang diri.Lelaki yang kutafsir usianya hampir sama dengan Papaku itu berjal
"Mas! Berhenti!" Cepat kutarik kuat-kuat rem tangan ini saat mendengar pekikan Lidya sembari menepuk pundakku berkali-kali. Karena remnya terlalu mendadak hingga membuat kendaraan sedikit oleng dan hampir saja terjatuh. "Ada apa? Ngagetin saja sih," gerutuku saat kendaraan sudah berhenti di tepi jalan. "Ini anak siapa yang kamu ambil?" tanya Vita dengan posisi tubuh masih berada di atas jok motor. Mendengar pertanyaan itu seketika membuatku mengerutkan kening. "Ya anak Vita lah, anak siapa lagi?" sahutku dengan cepat sembari menoleh ke arah Lidya yang mulai turun dari motor sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Ini bukan Daffa, Mas! Gimana sih kamu, masa sama anak sendiri nggak tau! Parah kamu, Mas!" ucap Lidya dengan nada sedikit geram. Cepat kujagang motor lalu aku turun dari kendaraan roda duaku. Aku melihat ke arah wajah bayi itu. Mataku menyipit, memastikan kembali apa yang diucapkan oleh Lidya. "Nih lihat ada antingnya!" ketus Lidya sembari menyingkap selimut ya
"Kirim nomor rekening kamu," ucapku dengan perasaan kesal. "Ok, Pak ... terima kasih. Senang bekerja sama dengan anda."Tanpa berbasa-basi, bergegas kumatikan panggilan itu. Saat ponsel baru saja kuletakkan di bantal, tiba-tiba benda pipih itu bergetar. Pertanda ada pesan yang masuk. [Ini Pak nomor rekeningnya.] Bunyi pesan itu disertai belasan angka di belakangnya. Aku menghembuskan napas berat. Cepat kusalin nomor rekening milik penjaga kontrakan itu, lalu dengan perasaan kesal yang luar biasa aku membuka aplikasi M-Banking. Kulakukan cek saldo dahulu sebelum kutransaksikan pengiriman dana itu. Aku menghembuskan napas berat saat melihat hanya ada nominal lima juta tiga ratus ribu yang tertera di sana. Jika aku kirim uang lima jutanya, saldo hanya tersisa tiga ratus ribu saja. Dengan perasaan tak rela, aku mulai mentransaksikan pengiriman dana sebesar lima juta itu pada nomor rekening yang dikirim oleh nomor penjaga kontrakan itu. Andai saja buka karena uang sebanyak itu, ogah
Selang beberapa menit, pegawai dengan berkerudung merah itu kembali menghampiri kami, meletakkan kembali liontin itu di atas etalase kaca di depan kami. "Laku berapa, Mbak?" tanya Lidya. "Maaf, Ibu, perhiasannya palsu. Kami tidak memperjualbelikan perhiasan palsu.""Itu asli, Mbak!" pekikku dan Lidya secara serempak. Cepat aku dan Lidya saling berpandangan dengan raut wajah bingung, terkejut menjadi satu. "Iya, Mbak. Pihak kami sudah mengeceknya, bukan hanya satu kali. Jika Mbak dan Mas tidak percaya dengan yang saya katakan, bisa coba menjual ke toko emas yang lain," ucap karyawan toko itu. Aku menghela napas panjang. "Ya sudah, Lid. Kita jual di toko lain saja. Mungkin di sini alatnya kurang canggih, tidak bisa mendeteksi perhiasan mahal," ucapku. Bergegas kuraih tangan Lidya lalu menariknya untuk segera pergi. Tak kupedulikan gerutuan karyawan itu. "Mas, kok bisa palsu ya?""Halah ... jangan percaya dulu, mungkin mereka nggak bisa mendeteksi ini perhiasan asli atau palsu. Seca
Kuhentikan laju kendaraanku di depan pintu gerbang. Bergegas kuketuk dengan telapak tangan terbuka itu untuk memanggil seseorang yang ada di dalam.Beberapa menit menunggu, akhirnya terdengar seseorang sedang berusaha membuka pintu itu. Tak berselang lama pintu itu terbuka, hanya sebatas tubuh perempuan berdaster motif bunga-bunga itu."Cari siapa, Mas?" tanya perempuan itu. Mungkin dia belum mengenaliku, mengingat aku jarang sekali berkunjung ke sini. "Saya pemilik kontrakan ini," jawabku. "Oh, Pak Pandu?" "Hm ...," jawabku sembari menganggukkan kepala. "Syukurlah Bapak cepat sekali datang kesininya. Semua orang di dalam keadaannya sedang kacau. Pada bingung. Untunglah Bapak segera ke sini," ucap perempuan itu sembari membuka pintu gerbang lebih lebar lagi. Aku kembali mencerna kalimat yang keluar dari bibir perempuan itu. Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?Kubawa masuk kendaraan roda duaku. Saat baru saja aku masuk, terlihat dengan jelas, beberapa orang sepert
Pov Lidya*Kejadian ini dimulai saat Lidya meninggalkan Pandu saat akan digelarnya acara pernikahan*Siapa yang tidak terkejut saat mengetahui fakta yang begitu mencengangkan. Fakta yang ternyata Mas Pandu– calon suamiku telah menjadikan aku sebagai jaminan atas hutang-hutangnya. Dan lebih parahnya lagi hutang itu dilakukan pada seorang germ*.Yang menjadikan aku semakin kesal, kenapa Mas Pandu tidak mengatakannya terlebih dahulu kalau hutang itu berurusan dengan seorang germ*. Andai dia mengatakan yang sejujurnya, lebih baik acara pernikahan diadakan secara sederhana saja. Aku merebahkan tubuh dengan posisi membelakangi Mas Pandu. Tak kupedulikan lelaki itu yang terus berusaha membujukku. Aku melihat jam yang ada di dinding, jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Suara dengkuran halus terdengar dari belakangku. Lelaki itu bisa tertidur lelap, sedangkan kedua mataku masih terjaga meskipun rasa kantuk sebenarnya telah mendera. Bayangan buruk terus berkelebatan di kelopak matak
"Ini perintah, bukan tawaran! Semua ini demi kebaikan kamu, Lid!""Kebaikan apa yang akan Lidya peroleh dengan menikahi lelaki tua yang pantasnya menjadi kakek dan akan dijadikan istri kelima itu, Ma?!" Aku mengatakan kalimat itu bersungut-sungut. "Ma ... lihatlah, Lidya masih muda. Apa pantas menikah dengan band*t tua itu?!""Jaga ucapan kamu, Lid!" desis Mama sesaat setelah melirik ke arah depan. Mungkin ia takut jika perkataanku didengarkan oleh tamu agungnya itu. Aku menghembuskan napas kasar. "Lid, semua demi kebaikan kamu. Dengan menikah sama Pak Gunawan, kamu akan terbebas dari ancaman sebagai jaminan hutang itu. Sebagai bonusnya, hidup kamu akan lebih terjamin." Terdengar Mama menghembuskan napas berat. "Sama-sama menjadi madu, kenapa kamu harus menolak?"Seketika emosi langsung naik ke puncak kepalaku. Aku menatap Mama dengan pandangan tak percaya. "Ma ... Mas Pandu sama lelaki tua pilihan Papa dan Mama itu sangat jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi. Lantas apa kata m