"Sekuat apapun kalian membujukku, tak akan bisa mengurungkan niatku. Vit, percayalah Lidya itu perempuan yang baik. Kamu hanya perlu sedikit beradaptasi, seiring berjalannya waktu kamu akan terbiasa dengan posisimu. Kamu hanya perlu belajar untuk sedikit berbagi."
Mendengar ucapan Mas Pandu membuat hati ini terasa nyeri, serasa ada yang meremasnya, kuat. Satu ucapan tapi mampu memporak-porandakan cinta ini. Satu ucapan tapi membuatku seperti terhempas dengan begitu kerasnya.
Apa dia pikir semudah itu membagi seorang suami?
Kukira dengan kedatangan Mama mertua bisa merubah segalanya. Namun semua hanya angan-angan belaka. Ucapan dan kemarahan Mama mertua tidak ada artinya.
Hanya air mata sebagai bentuk betapa sakit dan kecewa nya diri ini.
"Sudah. Tidak perlu berdebat lagi. Sama sekali tidak ada gunanya. Aku pergi, mulai malam ini belajarlah untuk berbagi!"
Mas Pandu beranjak dari tempat duduknya, melenggang pergi begitu saja tanpa memperdulikan Mama mertua yang terus memanggil namanya.
Sesaat kemudian terdengar suara deru mobil menjauh dari halaman rumah.
Tubuhku kembali terguncang dengan hebatnya di pelukan Mama seiring keluarnya suara isakan dan deraian air mata.
Hancur.
Hancur sudah impianku bersama Mas Pandu seumur hidupku.
"Kamu yang sabar ya. Maafin Mama karena nggak berhasil membujuk Pandu," lirih Mama seraya mengelus pundakku.
"Jangan pernah berpikiran untuk bercerai ya, Vit. Selamanya kamu akan menjadi menantu Mama," lanjut Mama dengan tegas. Kurenggangkan pelukan kami, menatap Mama dengan pandangan mengabur.
"Mana mungkin Vita sanggup untuk berbagi suami, Ma? Lebih baik Vita berpisah daripada dimadu."
"Kamu nggak kasihan sama Daffa? Di usianya yang masih hitungan hari harus kehilangan figur seorang ayah?"
Kepalaku menunduk, dalam.
"Vit... terkadang sebagai seorang Ibu, kita perlu mengesampingkan ego, rasa sakit dan kecewa untuk keutuhan rumah tangga dan paling utama demi kebahagiaan Daffa."
Terdengar Mama mertua menghembuskan napas panjang.
"Kamu mau tumbuh kembang Daffa tanpa merasakan kasih sayang seorang ayah?"
Jleb.
Ucapan Mama bagaikan sebuah belati tajam yang menancap tepat di ulu hati. Apakah aku akan menjadi seorang ibu yang egois jika memilih untuk berpisah?
Aku yakin tidak ada seorang pun yang mau memisahkan seorang anak dengan ayahnya. Tak ada seorang pun yang menginginkan kehancuran rumah tangganya, apalagi sampai dimasuki orang ketiga.
"Aku nggak sanggup, Ma, jika harus berbagi suami," ucapku lirih dengan kepala tetap menunduk. Sedetik kemudian tangan mama meraih tanganku, meremasnya, perlahan.
"Kamu perempuan yang kuat. Mama yakin kamu bisa melewati ini semua. Mama punya ide...," ucapan Mama membuat dahiku mengernyit.
"Ide? Ide apa, Ma?" tanyaku.
"Biarkan jika Pandu ingin menikah lagi, tapi kita buat perempuan itu tak betah hingga akhirnya hanya kamulah satu-satunya perempuan yang ada di hatinya."
"Maksudnya?"
"Ya pokoknya kita buat dia tidak betah. Kamu mau tahu caranya?" Aku mengangguk cepat saat mendengar tawaran Mama.
"Mama bisikin," ucap Mama.
Mataku membelalak sempurna saat mendengar rencana yang akan dilakukannya.
"Vita nggak mau, Ma!" Tegas aku menolak usulan Mama.
"Ayolah, Vit.... Dulu memang Mama menginginkan Pandu menikah lagi saat kamu tidak kunjung mendapatkan keturunan, tapi saat ini apa yang Mama inginkan sudah terwujud. Kamu memberi Mama cucu laki-laki yang tampan."
"Kalau caranya seperti itu, yang ada pasti aku bisa gila, Ma."
"Kita coba ya. Beberapa hari saja," ucap Mama dengan raut wajah menghiba.
"Baiklah, Ma," jawabku mengalah.
****
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Mas Pandu tak kunjung pulang. Apakah mulai malam ini ia akan bermalam di rumah perempuan itu? Perempuan yang dielu-elukan kebaikannya oleh Mas Pandu.
Aku menoleh ke arah Daffa yang sedang tertidur tepat di sampingku. Kuusap pelan pipinya.
"Selalu temani Mama ya, Sayang," lirihku.
Terdengar suara ponsel berdering, kuraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Kutekan tombol power, satu pesan diterima dari kontak bernama Aulia.
Cepat kubuka aplikasi berwarna hijau dan berlogo telepon, kutekan unduh saat ternyata sebuah gambar lah yang dikirim oleh Aulia.
Dada ini terasa panas, emosi seketika meluap saat melihat gambar itu ternyata sebuah foto Mas Pandu yang berjalan beriringan dengan seorang perempuan cantik berambut lurus sebatas pinggang. Tangan kanan Mas Pandu memeluk pinggang perempuan bertubuh langsing itu, yang hanya mengenakan gaun tanpa lengan dan hanya sebatas lutut.
Siapapun pasti bisa menebak, ada hubungan di antara mereka. Bahkan mereka terlihat saling melempar senyum. Senyum yang begitu memuakkan.
Tanpa sadar kuremas ponsel itu.
[Suami kamu baru cek out dari hotel]
Pesan masuk dari Aulia membuat dada ini kembali terasa sesak. Mas Pandu meminta izin untuk menikah lagi dengan alasan kalau ia tak ingin berzina. Lantas apa yang dia lakukan saat ini?
[Kamu masih percaya kalau suamimu tidak bermain api di belakangmu?]
Satu pesan kembali masuk, pastinya dari nomor Aulia.
Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
Kuketik pesan balasan untuk Aulia.
[Terima kasih, Aulia.]
Ponsel kembali berdering. Pertanda ada pesan masuk.
[Ya. Sama-sama. Setidaknya mulai saat ini berpikirlah langkah apa yang akan kamu ambil. Kebahagianmu jauh lebih penting daripada mempertahankan seorang pengkhianat.]
Kuletakkan ponsel itu kembali di atas nakas, tanpa membalas pesan masuk dari Aulia.
"Kau telah bermain api di belakangku, Mas. Kau telah torehkan luka di hatiku, kau telah mengkhianati cinta suciku. Aku bersumpah tak akan ada lagi air mata yang keluar hanya untuk menangisi pengkhianatanmu. Tunggu saja pembalasanku, akan kubuat kau hancur dalam rasa penyesalan!"
****
*Keesokan hari, di siang hari*
"Vita! Vit...!" Teriakan dari pemilik suara yang amat kukenal itu terdengar menggelegar memenuhi gendang telinga. Tubuhku menggeliat, melemaskan otot-otot di tubuhku.
Tak berselang lama pintu kamar terbuka dengan kasar. Sedetik kemudian terlihatlah sosok Mas Pandu yang memasang wajah murka, apalagi sorot matanya terlihat penuh amarah.
"Kamu apa-apaan, Vit?!" bentak Mas Pandu saat ia sudah berdiri di sampingku. Pelan aku beringsut dari ranjang lalu duduk di tepi ranjang.
"Kecilin suara kamu, Mas, Daffa masih tidur," ucapku datar.
"Maksud kamu apa melakukan semua itu, ha?!" desis Mas Pandu yang membuat kedua alisku saling bertautan.
"Maksudmu apa, Mas? Aku tidak mengerti. Aku tidak melakukan apapun," jawabku jujur. Tiba-tiba Mas Pandu melemparkan ponsel miliknya dengan kasar tepat di sampingku.
"Kamu kenapa sih, Mas? Aku melakukan apa?"
"Jangan kamu kira aku nggak tahu rencanamu, Vit!"
Tanpa menjawab ucapan Mas Pandu cepat kuambil benda pipih itu. Kutekan tombol power, lalu kuusap layar datar itu ke atas.
Mataku kembali menyipit saat ada beberapa foto yang menampilkan sosok Mas Pandu bersama... Seorang wanita.
Beberapa foto ini diunggah oleh akun yang sepertinya sebuah akun fake, terbukti hanya gambar bunga mawar hitam sebagai pelengkap foto profilnya. Foto-foto ini diunggah satu jam yang lalu, tepat pukul 11.00 wib.
Tunggu!
Sepertinya wanita ini tidak asing.
Ya. Aku ingat, dia adalah perempuan bersama Mas Pandu kemarin yang ada di dalam foto dikirim oleh Aulia.
Kuscroll berkali-kali hingga terpampanglah banyak foto Mas Pandu bersama perempuan itu yang sangat terlihat begitu mesra. Salah satunya saat perempuan itu bergelayut manja di lengan Mas Pandu. Dan masih ada banyak foto lagi yang membuat hati ini semakin... hancur.
Kuhela napas panjang, sejenak kupejamkan mataku. Sudah tak ada tangis dan air mata. Mungkin karena rasa kecewa yang terus mendera, hingga akhirnya aku mati rasa.
Gerakan Mas Pandu saat mengambil ponsel dari tanganku membuat tubuhku tersentak kaget.
"Kau tahu apa akibatnya menyebarluaskan foto ini? Keluarga Lidya menginginkan aku menikahinya secara resmi, Vita. Mereka takut jika Lidya dicap sebagai orang ketiga. Dan semua orang akan tahu kalau bukan hanya kamu saja yang menjadi istriku!" desis Mas Pandu seraya memperlihatkan layar ponselnya.
"Aku tidak melakukan apapun, Mas! Bagaimana mungkin aku bisa mengikutimu lalu mengambil fotomu sedangkan kondisi tubuhku saja masih seperti ini," sungutku tak terima.
"Dan satu lagi, bukankah memang kenyataannya seperti itu kalau Lidya memang seorang Pelakor, pencuri dan orang ketiga? lantas kenapa kalian tak terima?" lanjutku.
Tiba-tiba nama Aulia muncul di kepala. Apakah semua itu ulah Aulia? Apakah dia yang menyebarkan foto itu?
Ya. Aku harus menanyakan soal ini dengannya. Satu yang kusayangkan, kenapa dia tak meminta persetujuanku terlebih dahulu. Bukankah itu sama saja menyebarkan aib rumah tanggaku?
"Kau pikir aku tak tau, Kau menyuruh orang untuk mengikutiku kan?!" geramnya. Aku menggeleng.
Aku beranjak lalu melangkah, aku memandang ke arah luar melalui jendela kamar.
"Nggak ada gunanya aku melakukan hal seperti itu. Bahkan itu membuat diriku malu! Malu karena semua orang akan tahu betapa bej*tnya suamiku," ucapku penuh penekanan.
"Tidak perlu mengelak, Vit. Aku sudah tahu. Kau tak suka dengan Lidya, lalu kau lakukan segala cara untuk mencemarkan nama baiknya!" tuduhnya.
Aku menoleh ke arah Mas Pandu, lalu tersenyum sinis.
"Kenapa aku harus melakukan hal itu jika namanya saja sudah tercemar dengan sendirinya," ucapku dengan enteng.
Mas Pandu berdecak kesal, kemudian pergi begitu saja. Aku tersenyum miris. Baru saja ia datang setelah semalam tidak pulang, dia langsung pergi kembali. Bahkan tidak menanyakan keadaan anaknya sama sekali.
"Sepertinya kamu begitu mencintainya, Mas," lirihku.
Tak berselang lama ponsel terus berdering. Aku melangkah mengambil ponsel. Nama 'Mama' terpampang dengan jelas sebagai pemanggilnya.
Saat ingin kugeser tombol hijau, kuurungkan kembali niatku. Hingga kulakukan beberapa kali.
Rasa bimbang menyelinap, takut jika Mama meneleponku hanya untuk menanyakan soal foto mesra yang tersebar di aplikasi biru.
Akhirnya kuangkat panggilan Mama.
"Halo, Ma ...."
Bersambung, ya.
"Assalamualaikum, Ma...," ucapku setelah kuangkat panggilan itu. Jantung ini terpacu jauh lebih kencang."Waalaikum salam. Vit kamu tahu foto suami kamu yang tersebar di dunia maya?"Deg.Sesaat kupejamkan kedua mataku. Benar dugaanku, soal itulah yang membuat Mama menghubungiku."Fo–foto mana, Ma? Vita nggak tahu," ucapku berbohong."Lihatlah akun faceb**k bernama Senja Mentari, dia memposting beberapa foto suami kamu dengan perempuan lain. Sekarang di mana Pandu?" Terdengar sekali nada suara Mama seperti orang menahan amarah."Mas Pandu sedang bekerja, Ma. Biar nanti kutanyakan sama Mas Pandu sial itu.""Jika suami kamu terbukti selingkuh, tinggalkan dia! Kau mengerti?!""I–iya, Ma. Sudah ya Ma,
Wajah itu terlihat bingung menatapku. Keningnya berkerut dengan alis yang saling bertautan.Kututup mulutku dengan telapak tanganku agar tawa ini bisa terhenti.Bagaimana aku tak menertawakan dirinya, saat ini ia menggunakan dalih agama untuk mendukung niatnya memperistri perempuan lain, sedangkan sebelumnya Mas Pandu telah mencicipi tubuh perempuan yang belum halal untuk disentuhnya?"Kenapa kamu tertawa? Bukankah yang kukatakan itu benar adanya? Bahkan Tuhan menjanjikan surga untuk perempuan yang rela dan ikhlas untuk di madu."Aku mengangguk seraya menahan bibir agar tak lagi menyemburkan tawa. Mas Pandu mengangkat sebelah alisnya."Memang poligami itu diizinkan dalam agama," ucapku terjeda. Mas Pandu mengangguk."Aku pun juga mendukung seorang lelaki diperbolehkan untuk poligami. Bahkan aku jug
"Hai, selamat pagi," sapaku yang membuat Lidya terkesiap. Lidya melihat uluran tanganku yang menggantung di udara. Dengan cepat dia menerima uluran tanganku."Pagi juga, Mbak Vita," ucapnya dengan suara yang dibuat-buat. Aku tersenyum, paksa."Silahkan duduk," ucapku dengan tenang, meskipun gemuruh di dada terasa tak beraturan.Aku berjalan menuju sofa single, lalu menghempaskan tubuhku di sana. Sebenarnya ingin sekali kuhajar perempuan itu, kucakar wajahnya dan kurobek mulutnya itu.Namun sepertinya aku tidak sekejam itu. Aku masih memiliki hati, tidak seperti dirinya.Entah memang mati atau dipaksa mati nurani pada diri Mas Pandu, tanpa memikirkan perasaanku dia duduk tepat di samping Lidya, selingkuhannya itu. Bahkan sesekali mereka saling melirik lalu tersenyum. Aku tahu itu."Seperti permintaan kamu, Vit, aku memba
"Bu ... ini ponsel milik siapa?" Tiba-tiba Mbak Ratih berucap seraya menyerahkan benda pipih yang begitu asing di penglihatanku ke arahku.Kuletakkan sendok yang kugunakan untuk menyuap makanan. Kuterima ponsel itu.Dahiku mengernyit saat kubolak-balik ponsel itu namun tetap tak kukenali siapa pemilik ponsel yang ada di tanganku ini. Ponsel berukuran lima inchi dengan warna putih. Akhirnya kutekan tombol power."Tidak dikunci," lirihku.Saat kuusap layar ponsel itu, foto perempuan yang baru saja bertamu ke rumahku langsung terpampang dengan jelas di layar pipih itu.Ya, aku yakin ini ponsel milik Lidya. Tidak salah lagi. Karena wallpaper tersebut bergambar foto Lidya.Lalu ponsel ini ada di tangan Mbak Ratih?"Apakah ponsel ini tertinggal atau memang sengaja ditinggal?" lirihku.&
RAHASIA YANG TERKUAK******Mobil yang sejenak terparkir di halaman rumah, kembali melaju."Mbok, titip Daffa," teriakku pada Simbok yang entah mendengarnya atau tidak. Aku berjalan menuju di mana kunci mobil berada.Saat aku melangkah ke luar, terlihat Mbak Ratih tergopoh-gopoh berjalan ke arahku."Ada apa, Bu? Nyari simbok?" sesaat kuhentikan langkahku."Bilang ke Simbok, titip Daffa sebentar, Mbak," ucapku."Iya, Bu," jawabnya.Aku melangkah menuju carport. Aku duduk di balik kemudi. Segera kulajukan kendaraanku ke luar dari halaman dan berbelok ke area mana Mas Pandu tadi berbelok.Kutambah kecepatan laju mobil, untuk mencari di mana mobil Mas Pandu saat ini.Usahaku tidak sia-sia. Mobil Mas Pandu melaju tepat di depanku.
Beberapa saat mendengarkan obrolan mereka, menurutku hanya ada beberapa poin yang penting, selebihnya hanya obrolan yang menurutku begitu memuakkan. Daripada kubuang-buang waktuku, aku memutuskan untuk keluar dari restoran, pastinya setelah membayar semua tagihan makanku.Di sepanjang perjalanan menuju di mana mobilku terparkir, pikiran ini terus berkelana kemana-mana. Memikirkan banyak hal yang tentunya membuat kepala ini berdenyut nyeri.Kubuka pintu mobil lalu tubuhku menyelinap masuk dan duduk di belakang kemudi. Kuputar kunci lalu sedetik kemudian suara deru mobil terdengar.Kembali kulajukan kendaraanku menuju rumah dengan perasaan penuh amarah. Meninggalkan mereka yang sedang bersenang-senang.Di sepanjang perjalanan, berkali-kali tanganku memukul setir mobil sebagai bentuk luapan kemarahan yang kini sedang terasa.Aku sungguh tak menyangka,
Di sepanjang malam mata ini terus terjaga. Setiap jam aku terus mengecek suhu tubuh Daffa. Hanya ingin memastikan apa demam Daffa semakin tinggi atau tidak. Kali ini bisa bernapas lega, demam di tubuh Daffa semakin menurun.Aku menoleh ke arah jam yang ada di tembok, jarum jam menunjukkan pukul 21:00 wib. Mas Pandu juga tak kunjung pulang. Jangankan pulang, menghubunhikh walau hanya sekedar menanyakan bagaimana keadaan anaknya yang sedang sakit pun tidak.Jujur saja, sikap Mas Pandu yang seperti itu membuat hati ini terasa nyeri. Serasa ada yang meremasnya. Kuat.Ternyata perempuan itu sudah berhasil mencuri hati Mas Pandu seluruhnya. Kini hanya ada nama Lidya seorang yang bertahta di dalam kerajaan hatinya. Tak ada lagi ruang untuk aku dan juga Daffa.Ponsel yang sedari tadi tergeletak itu bergetar, kuraih benda itu di atas nakas.Satu pesan dit
Perempuan paruh baya itu terlihat keluar dari mobil dengan menenteng tas di tangan kanannya. Perempuan itu tersenyum ke arahku setelah pandangan kami bertemu. Kubalas senyuman itu.Ya, perempuan itu adalah Mama mertuaku.Terlihat ia melangkah ke arahku yang sedang duduk di teras rumah. Dengan terpaksa kucium punggung tangan Mama setelah tangannya terulur ke arahku."Sini Daffa biar Mama gendong."Sebenarnya ada rasa berat saat menyerahkan bayiku pada perempuan tak berhati itu. Namun Mama langsung mengambil alih Daffa dari pangkuanku."Mama dari mana?" tanyaku sesaat setelah Mama menghenyakkan tubuhnya di kursi yang ada di sampingku. Pandangannya tertuju pada Daffa."Dari rumah tadi," ucapnya tanpa menoleh ke arahku.Memang jarak rumah kami tidak jauh, hanya membutuhkan waktu tempuh 45 menit saja.