Share

Bab 7

"Sekuat apapun kalian membujukku, tak akan bisa mengurungkan niatku. Vit, percayalah Lidya itu perempuan yang baik. Kamu hanya perlu sedikit beradaptasi, seiring berjalannya waktu kamu akan terbiasa dengan posisimu. Kamu hanya perlu belajar untuk sedikit berbagi."

Mendengar ucapan Mas Pandu membuat hati ini terasa nyeri, serasa ada yang meremasnya, kuat. Satu ucapan tapi mampu memporak-porandakan cinta ini. Satu ucapan tapi membuatku seperti terhempas dengan begitu kerasnya.

Apa dia pikir semudah itu membagi seorang suami?

Kukira dengan kedatangan Mama mertua bisa merubah segalanya. Namun semua hanya angan-angan belaka. Ucapan dan kemarahan Mama mertua tidak ada artinya. 

Hanya air mata sebagai bentuk betapa sakit dan kecewa nya diri ini. 

"Sudah. Tidak perlu berdebat lagi. Sama sekali tidak ada gunanya. Aku pergi, mulai malam ini belajarlah untuk berbagi!" 

Mas Pandu beranjak dari tempat duduknya, melenggang pergi begitu saja tanpa memperdulikan Mama mertua yang terus memanggil namanya. 

Sesaat kemudian terdengar suara deru mobil menjauh dari halaman rumah.

Tubuhku kembali terguncang dengan hebatnya di pelukan Mama seiring keluarnya suara isakan dan deraian air mata.

Hancur.

Hancur sudah impianku bersama Mas Pandu seumur hidupku. 

"Kamu yang sabar ya. Maafin Mama karena nggak berhasil membujuk Pandu," lirih Mama seraya mengelus pundakku.

"Jangan pernah berpikiran untuk bercerai ya, Vit. Selamanya kamu akan menjadi menantu Mama," lanjut Mama dengan tegas. Kurenggangkan pelukan kami, menatap Mama dengan pandangan mengabur.

"Mana mungkin Vita sanggup untuk berbagi suami, Ma? Lebih baik Vita berpisah daripada dimadu."

"Kamu nggak kasihan sama Daffa? Di usianya yang masih hitungan hari harus kehilangan figur seorang ayah?"

Kepalaku menunduk, dalam.

"Vit... terkadang sebagai seorang Ibu, kita perlu mengesampingkan ego, rasa sakit dan kecewa untuk keutuhan rumah tangga dan paling utama demi kebahagiaan Daffa."

Terdengar Mama mertua menghembuskan napas panjang.

"Kamu mau tumbuh kembang Daffa tanpa merasakan kasih sayang seorang ayah?" 

Jleb.

Ucapan Mama bagaikan sebuah belati tajam yang menancap tepat di ulu hati. Apakah aku akan menjadi seorang ibu yang egois jika memilih untuk berpisah?

Aku yakin tidak ada seorang pun yang mau memisahkan seorang anak dengan ayahnya. Tak ada seorang pun yang menginginkan kehancuran rumah tangganya, apalagi sampai dimasuki orang ketiga.

"Aku nggak sanggup, Ma, jika harus berbagi suami," ucapku lirih dengan kepala tetap menunduk. Sedetik kemudian tangan mama meraih tanganku, meremasnya, perlahan.

"Kamu perempuan yang kuat. Mama yakin kamu bisa melewati ini semua. Mama punya ide...," ucapan Mama membuat dahiku mengernyit.

"Ide? Ide apa, Ma?" tanyaku.

"Biarkan jika Pandu ingin menikah lagi, tapi kita buat perempuan itu tak betah hingga akhirnya hanya kamulah satu-satunya perempuan yang ada di hatinya."

"Maksudnya?" 

"Ya pokoknya kita buat dia tidak betah. Kamu mau tahu caranya?" Aku mengangguk cepat saat mendengar tawaran Mama. 

"Mama bisikin," ucap Mama.

Mataku membelalak sempurna saat mendengar rencana yang akan dilakukannya. 

"Vita nggak mau, Ma!" Tegas aku menolak usulan Mama.

"Ayolah, Vit.... Dulu memang Mama menginginkan Pandu menikah lagi saat kamu tidak kunjung mendapatkan keturunan, tapi saat ini apa yang Mama inginkan sudah terwujud. Kamu memberi Mama cucu laki-laki yang tampan."

"Kalau caranya seperti itu, yang ada pasti aku bisa gila, Ma."

"Kita coba ya. Beberapa hari saja," ucap Mama dengan raut wajah menghiba.

"Baiklah, Ma," jawabku mengalah.

****

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Mas Pandu tak kunjung pulang. Apakah mulai malam ini ia akan bermalam di rumah perempuan itu? Perempuan yang dielu-elukan kebaikannya oleh Mas Pandu.

Aku menoleh ke arah Daffa yang sedang tertidur tepat di sampingku. Kuusap pelan pipinya. 

"Selalu temani Mama ya, Sayang," lirihku.

Terdengar suara ponsel berdering, kuraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Kutekan tombol power, satu pesan diterima dari kontak bernama Aulia.

Cepat kubuka aplikasi berwarna hijau dan berlogo telepon, kutekan unduh saat ternyata sebuah gambar lah yang dikirim oleh Aulia.

Dada ini terasa panas, emosi seketika meluap saat melihat gambar itu ternyata sebuah foto Mas Pandu yang berjalan beriringan dengan seorang perempuan cantik berambut lurus sebatas pinggang. Tangan kanan Mas Pandu memeluk pinggang perempuan bertubuh langsing itu, yang hanya mengenakan gaun tanpa lengan dan hanya sebatas lutut. 

Siapapun pasti bisa menebak, ada hubungan di antara mereka. Bahkan mereka terlihat saling melempar senyum. Senyum yang begitu memuakkan.

Tanpa sadar kuremas ponsel itu.

[Suami kamu baru cek out dari hotel]

Pesan masuk dari Aulia membuat dada ini kembali terasa sesak. Mas Pandu meminta izin untuk menikah lagi dengan alasan kalau ia tak ingin berzina. Lantas apa yang dia lakukan saat ini?

[Kamu masih percaya kalau suamimu tidak bermain api di belakangmu?]

Satu pesan kembali masuk, pastinya dari nomor Aulia.

Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.

Kuketik pesan balasan untuk Aulia.

[Terima kasih, Aulia.]

Ponsel kembali berdering. Pertanda ada pesan masuk.

[Ya. Sama-sama. Setidaknya mulai saat ini berpikirlah langkah apa yang akan kamu ambil. Kebahagianmu jauh lebih penting daripada mempertahankan seorang pengkhianat.]

Kuletakkan ponsel itu kembali di atas nakas, tanpa membalas pesan masuk dari Aulia.

"Kau telah bermain api di belakangku, Mas. Kau telah torehkan luka di hatiku, kau telah mengkhianati cinta suciku. Aku bersumpah tak akan ada lagi air mata yang keluar hanya untuk menangisi pengkhianatanmu. Tunggu saja pembalasanku, akan kubuat kau hancur dalam rasa penyesalan!" 

****

*Keesokan hari, di siang hari*

"Vita! Vit...!" Teriakan dari pemilik suara yang amat kukenal itu terdengar menggelegar memenuhi gendang telinga. Tubuhku menggeliat, melemaskan otot-otot di tubuhku.

Tak berselang lama pintu kamar terbuka dengan kasar. Sedetik kemudian terlihatlah sosok Mas Pandu yang memasang wajah murka, apalagi sorot matanya terlihat penuh amarah. 

"Kamu apa-apaan, Vit?!" bentak Mas Pandu saat ia sudah berdiri di sampingku. Pelan aku beringsut dari ranjang lalu duduk di tepi ranjang.

"Kecilin suara kamu, Mas, Daffa masih tidur," ucapku datar. 

"Maksud kamu apa melakukan semua itu, ha?!" desis Mas Pandu yang membuat kedua alisku saling bertautan.

"Maksudmu apa, Mas? Aku tidak mengerti. Aku tidak melakukan apapun," jawabku jujur. Tiba-tiba Mas Pandu melemparkan ponsel miliknya dengan kasar tepat di sampingku.

"Kamu kenapa sih, Mas? Aku melakukan apa?" 

"Jangan kamu kira aku nggak tahu rencanamu, Vit!"

Tanpa menjawab ucapan Mas Pandu cepat kuambil benda pipih itu. Kutekan tombol power, lalu kuusap layar datar itu ke atas.

Mataku kembali menyipit saat ada beberapa foto yang menampilkan sosok Mas Pandu bersama... Seorang wanita.

Beberapa foto ini diunggah oleh akun yang sepertinya sebuah akun fake, terbukti hanya gambar bunga mawar hitam sebagai pelengkap foto profilnya. Foto-foto ini diunggah satu jam yang lalu, tepat pukul 11.00 wib.

Tunggu!

Sepertinya wanita ini tidak asing.

Ya. Aku ingat, dia adalah perempuan bersama Mas Pandu kemarin yang ada di dalam foto dikirim oleh Aulia.

Kuscroll berkali-kali hingga terpampanglah banyak foto Mas Pandu bersama perempuan itu yang sangat terlihat begitu mesra. Salah satunya saat perempuan itu bergelayut manja di lengan Mas Pandu. Dan masih ada banyak foto lagi yang membuat hati ini semakin... hancur. 

Kuhela napas panjang, sejenak kupejamkan mataku. Sudah tak ada tangis dan air mata. Mungkin karena rasa kecewa yang terus mendera, hingga akhirnya aku mati rasa.

Gerakan Mas Pandu saat mengambil ponsel dari tanganku membuat tubuhku tersentak kaget.

"Kau tahu apa akibatnya menyebarluaskan foto ini? Keluarga Lidya menginginkan aku menikahinya secara resmi, Vita. Mereka takut jika Lidya dicap sebagai orang ketiga. Dan semua orang akan tahu kalau bukan hanya kamu saja yang menjadi istriku!" desis Mas Pandu seraya memperlihatkan layar ponselnya.

"Aku tidak melakukan apapun, Mas! Bagaimana mungkin aku bisa mengikutimu lalu mengambil fotomu sedangkan kondisi tubuhku saja masih seperti ini," sungutku tak terima.

"Dan satu lagi, bukankah memang kenyataannya seperti itu kalau Lidya memang seorang Pelakor, pencuri dan orang ketiga? lantas kenapa kalian tak terima?" lanjutku.

Tiba-tiba nama Aulia muncul di kepala. Apakah semua itu ulah Aulia? Apakah dia yang menyebarkan foto itu?

Ya. Aku harus menanyakan soal ini dengannya. Satu yang kusayangkan, kenapa dia tak meminta persetujuanku terlebih dahulu. Bukankah itu sama saja menyebarkan aib rumah tanggaku?

"Kau pikir aku tak tau, Kau menyuruh orang untuk mengikutiku kan?!" geramnya. Aku menggeleng.

Aku beranjak lalu melangkah, aku memandang ke arah luar melalui jendela kamar.

"Nggak ada gunanya aku melakukan hal seperti itu. Bahkan itu membuat diriku malu! Malu karena semua orang akan tahu betapa bej*tnya suamiku," ucapku penuh penekanan.

"Tidak perlu mengelak, Vit. Aku sudah tahu. Kau tak suka dengan Lidya, lalu kau lakukan segala cara untuk mencemarkan nama baiknya!" tuduhnya.

Aku menoleh ke arah Mas Pandu, lalu tersenyum sinis. 

"Kenapa aku harus melakukan hal itu jika namanya saja sudah tercemar dengan sendirinya," ucapku dengan enteng. 

Mas Pandu berdecak kesal, kemudian pergi begitu saja. Aku tersenyum miris. Baru saja ia datang setelah semalam tidak pulang, dia langsung pergi kembali. Bahkan tidak menanyakan keadaan anaknya sama sekali. 

"Sepertinya kamu begitu mencintainya, Mas," lirihku.

Tak berselang lama ponsel terus berdering. Aku melangkah mengambil ponsel. Nama 'Mama' terpampang dengan jelas sebagai pemanggilnya. 

Saat ingin kugeser tombol hijau, kuurungkan kembali niatku. Hingga kulakukan beberapa kali. 

Rasa bimbang menyelinap, takut jika Mama meneleponku hanya untuk menanyakan soal foto mesra yang tersebar di aplikasi biru.

Akhirnya kuangkat panggilan Mama.

"Halo, Ma ...."

Bersambung, ya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status