"Mbok." Panggilanku membuat tubuh Mbok Jum terlonjak kaget, cepat ia menoleh ke arahku. Lalu terlihat Mbok Jum meletakkan serbet yang tadi ia gunakan untuk membersihkan guci di ruangan keluarga. Tepat di depan kamarku.
"Maaf, Bu. Simbok kaget," ucapnya dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Daffa di mana, Mbok?"
"Den Daffa?" tanya Mbok Jum seperti tidak percaya, aku mengangguk. Sedetik kemudian terlihat cairan bening menggenang di kedua pelupuk matanya.
"Mbok?!"
"Eh, iya, Bu. Ibu sudah baikan?"
"Ya. Saya baik-baik saja, Mbok."
Cepat Mbok Jum menghapus buliran bening yang hampir saja terjatuh dari tempatnya.
"Simbok nangis?"
"Enggak, Bu. Sebentar, Bu. Tadi Bu Vita tanya di mana Den Daffa kan? Bu Vita istirahat di kamar saja. Biar Simbok bawa Den Daffa ke kamar Bu Vita."
"Iya, Mbok." Aku berbalik, ingin melangkah kembali masuk ke kamar. Namun aku teringat sesuatu, kuurungkan niatku untuk melangkah, menatap kembali Simbok yang masih terpaku di tempatnya.
"Sekalian bilang ke pengasuh Daffa, suruh ke kamar saya," ucapku dan Mbok Jum mengangguk. Kemudian Mbok Jum berlalu dari hadapanku. Aku kembali melangkah masuk ke dalam kamarku.
Sesaat setelah aku dan Aulia berbincang, hingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Satu yang akan selalu kuingat akan pesannya: Jadikan anak sebagai kekuatan, jadilah wanita yang kuat apapun keadaannya.
Aulia pun beberapa kali berpesan agar aku sering beristighfar. Setidaknya kejadian tadi tidak akan terulang lagi. Ada rasa bersalah yang menyeruak karena sempat membenci Daffa.
Kini aku bertekad, jika aku memang bukan ibu yang sempurna setidaknya aku bisa memberikan hal yang terbaik untuk Daffa, menurutku.
Untunglah kedatangan Aulia mampu menyadarkanku. Aku tidak bisa membayangkan apa dan bagaimana yang akan terjadi andai saja Tuhan tidak mengirimkan sosok sahabatku di waktu yang tepat.
Mungkin aku akan kehilangan Daffa, darah dagingku yang kunantikan kehadirannya dengan begitu lama. Darah daging yang Kulahirkan dengan bertaruh nyawa.
Rasanya aku tidak percaya saat mengingat kejadian tadi pagi, bagaimana mungkin aku menyerahkan bayiku pada orang lain. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan kalau Daffa biar diasuh oleh Mas Pandu dan istrinya.
Betapa b*d*hnya diriku saat menganggap kehadiran suamiku jauh lebih penting daripada anakku.
Benar kata Aulia. Seharusnya Daffa kugunakan sebagai penguat, bukan malah kusalahkan. Ibu macam apa aku ini?!
****
"Simbok boleh keluar," ucapku setelah Mbok Jum menyerahkan Daffa ke pangkuanku. Mbok Jum mengangguk, kini tinggal seorang pengasuh Daffa yang berdiri di depanku dengan kepala menunduk. Pandangannya mengarah pada ujung sepatu yang ia gunakan. Perempuan yang kutafsir berumur 25 tahun itu memainkan ke sepuluh jemarinya, pertanda kalau rasa gugup sedang mendera.
"Siapa nama kamu?" tanyaku memecah keheningan.
"Ratih, Bu," jawabnya dengan kepala masih tertunduk.
Pandanganku beralih pada Daffa yang tertidur berada di pangkuanku. Kutelisik wajah mungil tanpa dosa itu, seketika rasa sesak dan salah semakin menyeruak di dalam dadaku. Bayangan bagaimana saat aku menolaknya, menyalahkannya dan tak mau lagi menyusuinya kembali berkelebatan di pelupuk mataku. Sedetik kemudian ucapan Mas Pandu terngiang-ngiang kembali di telingaku. Ucapan saat ia mengatakan akan menikah lagi. Ucapan saat ia menyebut satu nama wanita. Bahkan bayangan saat aku menolak Daffa tergantikan oleh bayangan Mas Pandu saat memohon agar aku mengizinkannya menikah lagi.
Kini dua peristiwa itu saling memperebutkan perhatianku. Tangis Daffa yang terdengar memekakkan telinga dengan suara Mas Pandu yang saling bersahut-sahutan.
"Astagfirullah!" Aku mengerjap.
Aku mencoba beristighfar di dalam hati, mencoba mengembalikan kesadaran diri. Tak ingin kejadian itu terulang kambali. Aku mengalihkan pandangan, tertuju pada Mbak Ratih yang berdiri di sana.
"Duduklah, Mbak Ratih. Tidak perlu merasa gugup apalagi takut," ucapku dengan halus.
"Di sini saja nggak apa-apa, Bu," jawabnya sopan.
"Ok. Baiklah. Ada yang ingin aku bicarakan." Ucapanku berhasil membuat wajah yang semula tertunduk itu menjadi sedikit terangkat, hingga terlihat dengan jelas bagaimana wajah itu.
Cantik, tanpa polesan. Hanya pewarna bibir berwarna merah muda yang ia gunakan untuk menyempurnakan penampilan pada tubuh yang hanya mengenakan kemeja berwarna merah yang dilengkapi dengan celana panjang berwarna hitam.
"Sebelumnya saya minta maaf atas keputusan yang akan saya berikan. Dengan berat hati terpaksa saya menghentikan Mbak Ratih dari pekerjaan sebagai pengasuh Daffa." Perempuan itu terperangah mendengar ucapanku. Aku memaklumi, ia dihentikan saat hari pertama bekerja. Pasti ia terkejut.
"Sa–saya dipecat, Bu? Apa kesalahan yang saya lakukan?" ucapnya dengan bibir bergetar.
"Enggak. Mbak Ratih nggak melakukan kesalahan apapun. Saya merasa sepertinya saya belum membutuhkan jasa sebagai pengasuh Daffa," jawabku berhati-hati. Tak ingin membuatnya tersinggung. Sepasang kelopak mata itu kini terlihat berkaca-kaca. Sedetik kemudian aku dibuat terkejut, saat tubuh perempuan itu tiba-tiba bersimpuh di kakiku.
"Saya mohon jangan pecat saya, Bu. Saya membutuhkan pekerjaan ini." Kini nada suaranya terdengar parau.
"Kamu masih bisa mencari pekerjaan yang lain. Aku akan memberikan uang lelah untuk hari ini." Mbak Ratih mendongak, menatapku dengan air mata yang bergulir. Kepalanya menggeleng.
"Saya butuh pekerjaan ini, Bu. Saya mohon jangan pecat saya. Tidak mudah bagi saya untuk mendapatkan pekerjaan," ucapnya disela-sela tangisnya.
"Tapi...."
"Jika memang Ibu belum membutuhkan jasa pengasuh untuk Den Daffa, saya bersedia menjadi ART di rumah ini, Bu. Saya bisa membantuk Mbok Jum," ucapnya dengan raut wajah penuh permohonan.
Kuhela napas panjang.
"Kamu dijanjikan gaji berapa oleh suami saya?"
"Tiga juta, Bu," jawabnya.
Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya aku memutuskan sesuatu.
"Tapi setiap bulan kamu nggak mendapatkan gaji sesuai nominal yang dijanjikan oleh suami saya. Mengingat pekerjaanmu hanya membantu Mbok Jum."
"Dua juta rupiah. Kamu mau?"
Perempuan itu mengangguk cepat. Wajah yang semula terlihat mendung, kini kembali cerah. Senyum tercetak jelas di bibir tipis itu.
"Jadi saya nggak jadi dipecat, Bu?" tanya Mbak Ratih memastikan. Aku mengangguk.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih," ucap Mbak Ratih seraya mencium punggung tanganku berulang kali.
****
Suara derit pintu tiba-tiba terdengar, membuatku menoleh ke arah sumber suara.
"Mama?" lirihku saat melihat Mama mertua tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Terlihat perempuan yang kini berusia 50 tahun itu berjalan mendekatiku.
"Maaf ya, Mama nggak ketuk pintu. Takutnya cucu Mama lagi tidur terus terganggu," ucapnya setelah mendaratkan tubuhnya di sampingku.
"Iya, Ma. Nggak apa-apa," jawabku. Kuletakkan Daffa yang telah tertidur di ranjang dengan pelan.
"Vit, tadi pagi Pandu bilang kalau kamu sudah nggak mau menyusui Daffa, dan nggak mau bertemu Daffa. Benar?"
Astaga... ternyata Mas Pandu telah mengadu ke Mama mertua.
"Ya."
"Tapi sekarang Vita baik-baik saja. Vita hanya syok saja kok, Ma...," lanjutku. Terlihat kening Mama berkerut dengan alis yang saling bertautan.
"Syok? Kamu kenapa? Sakit? Atau apa yang terjadi denganmu?" Raut wajah Mama terlihat khawatir.
"Mas Pandu katanya ingin menikah lagi."
"Apa?!" Cepat Mama membungkam mulutnya dengan sebelah tangannya, ketika menyadari begitu kencang suara yang keluar dari bibirnya. Sekilas aku menoleh ke arah Daffa yang sedang tertidur, bayi mungil itu menggeliat pelan. Kuusap-usap pelan pucuk kepalanya, hingga membuat bayi itu kembali nyenyak tidurnya.
"Kok bisa? Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian, Vit? Jujur... Mama pun baru mendengarnya, itu pun dari kamu. Pandu tidak pernah membicarakan soal ini sama Mama. Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian?" Mama memberondong berbagai pertanyaan.
Tak salah kah apa yang diucapkan oleh Mama? Apa benar Mas Pandu tak mengatakan soal ini pada Mama?
"Mas Pandu belum bicara sama Mama?" Mama menggeleng.
Akhirnya kuceritakan apa yang dikatakan oleh Mas Pandu kemarin malam. Tanpa kukurangi ataupun kutambahi ucapannya. Menceritakan kejadian semalam, membuat dada ini kembali terasa sesak. Bahkan hati ini terasa ada yang meremas, hingga timbulah rasa sakit dan nyeri.
Ceritaku diiringi dengan derasnya air mataku. Mama memeluk tubuhku, sesekali terasa tangannya mengelus punggungku.
"Biar Mama yang bicara dengan Pandu. Semoga saja dia mengurungkan niatnya untuk menikah lagi. Meskipun kita tahu, bagaimana peringai suamimu itu."
"Iya, Ma. Vita nggak mau kehilangan Mas Pandu, tapi Vita pun juga nggak rela jika dimadu."
"Iya. Mama sebagai seorang perempuan juga nggak suka jika mendengar seorang suami ingin menikah lagi, apalagi mengkhianati perempuan baik seperti kamu." Terdengar Mama menghembuskan napas panjang.
"Bahkan Mama telah menyesal karena dulu sempat meminta suami kamu menikah lagi. Mama nggak bisa membayangkan kalau Mama akan kehilangan menantu terbaik seperti kamu," lanjut Mama.
"Makasih, ya, Ma. Vita minta tolong ke Mama untuk bujuk Mas Pandu agar tidak menikah lagi. Mudah-mudahan Mas Pandu mau mendengarkan ucapan Mama."
Mama mengurai pelukannya, lalu memegang kedua pundakku. Menatapku dengan memberikan senyum.
"Kita nggak tahu apa yang akan terjadi. Pesan Mama, kamu yang kuat. Demi Daffa. Mama akan berusaha membujuk Pandu, namun jika hasil tidak sesuai yang kita harapkan, Mama minta kamu jangan pergi meninggalkan suami kamu. Mama yakin, kamu adalah perempuan yang tepat untuk mendampingi anak Mama"
"Iya, Ma."
Bersambung.
"Sekuat apapun kalian membujukku, tak akan bisa mengurungkan niatku. Vit, percayalah Lidya itu perempuan yang baik. Kamu hanya perlu sedikit beradaptasi, seiring berjalannya waktu kamu akan terbiasa dengan posisimu. Kamu hanya perlu belajar untuk sedikit berbagi."Mendengar ucapan Mas Pandu membuat hati ini terasa nyeri, serasa ada yang meremasnya, kuat. Satu ucapan tapi mampu memporak-porandakan cinta ini. Satu ucapan tapi membuatku seperti terhempas dengan begitu kerasnya.Apa dia pikir semudah itu membagi seorang suami?Kukira dengan kedatangan Mama mertua bisa merubah segalanya. Namun semua hanya angan-angan belaka. Ucapan dan kemarahan Mama mertua tidak ada artinya.Hanya air mata sebagai bentuk betapa sakit dan kecewa nya diri ini."Sudah. Tidak perlu berdebat lagi. Sama sekali t
"Assalamualaikum, Ma...," ucapku setelah kuangkat panggilan itu. Jantung ini terpacu jauh lebih kencang."Waalaikum salam. Vit kamu tahu foto suami kamu yang tersebar di dunia maya?"Deg.Sesaat kupejamkan kedua mataku. Benar dugaanku, soal itulah yang membuat Mama menghubungiku."Fo–foto mana, Ma? Vita nggak tahu," ucapku berbohong."Lihatlah akun faceb**k bernama Senja Mentari, dia memposting beberapa foto suami kamu dengan perempuan lain. Sekarang di mana Pandu?" Terdengar sekali nada suara Mama seperti orang menahan amarah."Mas Pandu sedang bekerja, Ma. Biar nanti kutanyakan sama Mas Pandu sial itu.""Jika suami kamu terbukti selingkuh, tinggalkan dia! Kau mengerti?!""I–iya, Ma. Sudah ya Ma,
Wajah itu terlihat bingung menatapku. Keningnya berkerut dengan alis yang saling bertautan.Kututup mulutku dengan telapak tanganku agar tawa ini bisa terhenti.Bagaimana aku tak menertawakan dirinya, saat ini ia menggunakan dalih agama untuk mendukung niatnya memperistri perempuan lain, sedangkan sebelumnya Mas Pandu telah mencicipi tubuh perempuan yang belum halal untuk disentuhnya?"Kenapa kamu tertawa? Bukankah yang kukatakan itu benar adanya? Bahkan Tuhan menjanjikan surga untuk perempuan yang rela dan ikhlas untuk di madu."Aku mengangguk seraya menahan bibir agar tak lagi menyemburkan tawa. Mas Pandu mengangkat sebelah alisnya."Memang poligami itu diizinkan dalam agama," ucapku terjeda. Mas Pandu mengangguk."Aku pun juga mendukung seorang lelaki diperbolehkan untuk poligami. Bahkan aku jug
"Hai, selamat pagi," sapaku yang membuat Lidya terkesiap. Lidya melihat uluran tanganku yang menggantung di udara. Dengan cepat dia menerima uluran tanganku."Pagi juga, Mbak Vita," ucapnya dengan suara yang dibuat-buat. Aku tersenyum, paksa."Silahkan duduk," ucapku dengan tenang, meskipun gemuruh di dada terasa tak beraturan.Aku berjalan menuju sofa single, lalu menghempaskan tubuhku di sana. Sebenarnya ingin sekali kuhajar perempuan itu, kucakar wajahnya dan kurobek mulutnya itu.Namun sepertinya aku tidak sekejam itu. Aku masih memiliki hati, tidak seperti dirinya.Entah memang mati atau dipaksa mati nurani pada diri Mas Pandu, tanpa memikirkan perasaanku dia duduk tepat di samping Lidya, selingkuhannya itu. Bahkan sesekali mereka saling melirik lalu tersenyum. Aku tahu itu."Seperti permintaan kamu, Vit, aku memba
"Bu ... ini ponsel milik siapa?" Tiba-tiba Mbak Ratih berucap seraya menyerahkan benda pipih yang begitu asing di penglihatanku ke arahku.Kuletakkan sendok yang kugunakan untuk menyuap makanan. Kuterima ponsel itu.Dahiku mengernyit saat kubolak-balik ponsel itu namun tetap tak kukenali siapa pemilik ponsel yang ada di tanganku ini. Ponsel berukuran lima inchi dengan warna putih. Akhirnya kutekan tombol power."Tidak dikunci," lirihku.Saat kuusap layar ponsel itu, foto perempuan yang baru saja bertamu ke rumahku langsung terpampang dengan jelas di layar pipih itu.Ya, aku yakin ini ponsel milik Lidya. Tidak salah lagi. Karena wallpaper tersebut bergambar foto Lidya.Lalu ponsel ini ada di tangan Mbak Ratih?"Apakah ponsel ini tertinggal atau memang sengaja ditinggal?" lirihku.&
RAHASIA YANG TERKUAK******Mobil yang sejenak terparkir di halaman rumah, kembali melaju."Mbok, titip Daffa," teriakku pada Simbok yang entah mendengarnya atau tidak. Aku berjalan menuju di mana kunci mobil berada.Saat aku melangkah ke luar, terlihat Mbak Ratih tergopoh-gopoh berjalan ke arahku."Ada apa, Bu? Nyari simbok?" sesaat kuhentikan langkahku."Bilang ke Simbok, titip Daffa sebentar, Mbak," ucapku."Iya, Bu," jawabnya.Aku melangkah menuju carport. Aku duduk di balik kemudi. Segera kulajukan kendaraanku ke luar dari halaman dan berbelok ke area mana Mas Pandu tadi berbelok.Kutambah kecepatan laju mobil, untuk mencari di mana mobil Mas Pandu saat ini.Usahaku tidak sia-sia. Mobil Mas Pandu melaju tepat di depanku.
Beberapa saat mendengarkan obrolan mereka, menurutku hanya ada beberapa poin yang penting, selebihnya hanya obrolan yang menurutku begitu memuakkan. Daripada kubuang-buang waktuku, aku memutuskan untuk keluar dari restoran, pastinya setelah membayar semua tagihan makanku.Di sepanjang perjalanan menuju di mana mobilku terparkir, pikiran ini terus berkelana kemana-mana. Memikirkan banyak hal yang tentunya membuat kepala ini berdenyut nyeri.Kubuka pintu mobil lalu tubuhku menyelinap masuk dan duduk di belakang kemudi. Kuputar kunci lalu sedetik kemudian suara deru mobil terdengar.Kembali kulajukan kendaraanku menuju rumah dengan perasaan penuh amarah. Meninggalkan mereka yang sedang bersenang-senang.Di sepanjang perjalanan, berkali-kali tanganku memukul setir mobil sebagai bentuk luapan kemarahan yang kini sedang terasa.Aku sungguh tak menyangka,
Di sepanjang malam mata ini terus terjaga. Setiap jam aku terus mengecek suhu tubuh Daffa. Hanya ingin memastikan apa demam Daffa semakin tinggi atau tidak. Kali ini bisa bernapas lega, demam di tubuh Daffa semakin menurun.Aku menoleh ke arah jam yang ada di tembok, jarum jam menunjukkan pukul 21:00 wib. Mas Pandu juga tak kunjung pulang. Jangankan pulang, menghubunhikh walau hanya sekedar menanyakan bagaimana keadaan anaknya yang sedang sakit pun tidak.Jujur saja, sikap Mas Pandu yang seperti itu membuat hati ini terasa nyeri. Serasa ada yang meremasnya. Kuat.Ternyata perempuan itu sudah berhasil mencuri hati Mas Pandu seluruhnya. Kini hanya ada nama Lidya seorang yang bertahta di dalam kerajaan hatinya. Tak ada lagi ruang untuk aku dan juga Daffa.Ponsel yang sedari tadi tergeletak itu bergetar, kuraih benda itu di atas nakas.Satu pesan dit