Share

Bab 6

"Mbok." Panggilanku membuat tubuh Mbok Jum terlonjak kaget, cepat ia menoleh ke arahku. Lalu terlihat Mbok Jum meletakkan serbet yang tadi ia gunakan untuk membersihkan guci di ruangan keluarga. Tepat di depan kamarku.

"Maaf, Bu. Simbok kaget," ucapnya dengan tubuh sedikit membungkuk.

"Daffa di mana, Mbok?"

"Den Daffa?" tanya Mbok Jum seperti tidak percaya, aku mengangguk. Sedetik kemudian terlihat cairan bening menggenang di kedua pelupuk matanya.

"Mbok?!"

"Eh, iya, Bu. Ibu sudah baikan?"

"Ya. Saya baik-baik saja, Mbok."

Cepat Mbok Jum menghapus buliran bening yang hampir saja terjatuh dari tempatnya.

"Simbok nangis?"

"Enggak, Bu. Sebentar, Bu. Tadi Bu Vita tanya di mana Den Daffa kan? Bu Vita istirahat di kamar saja. Biar Simbok bawa Den Daffa ke kamar Bu Vita."

"Iya, Mbok." Aku berbalik, ingin melangkah kembali masuk ke kamar. Namun aku teringat sesuatu, kuurungkan niatku untuk melangkah, menatap kembali Simbok yang masih terpaku di tempatnya.

"Sekalian bilang ke pengasuh Daffa, suruh ke kamar saya," ucapku dan Mbok Jum mengangguk. Kemudian Mbok Jum berlalu dari hadapanku. Aku kembali melangkah masuk ke dalam kamarku.

Sesaat setelah aku dan Aulia berbincang, hingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Satu yang akan selalu kuingat akan pesannya: Jadikan anak sebagai kekuatan, jadilah wanita yang kuat apapun keadaannya.

Aulia pun beberapa kali berpesan agar aku sering beristighfar. Setidaknya kejadian tadi tidak akan terulang lagi. Ada rasa bersalah yang menyeruak karena sempat membenci Daffa.

Kini aku bertekad, jika aku memang bukan ibu yang sempurna setidaknya aku bisa memberikan hal yang terbaik untuk Daffa, menurutku.

Untunglah kedatangan Aulia mampu menyadarkanku. Aku tidak bisa membayangkan apa dan bagaimana yang akan terjadi andai saja Tuhan tidak mengirimkan sosok sahabatku di waktu yang tepat.

Mungkin aku akan kehilangan Daffa, darah dagingku yang kunantikan kehadirannya dengan begitu lama. Darah daging yang Kulahirkan dengan bertaruh nyawa.

Rasanya aku tidak percaya saat mengingat kejadian tadi pagi, bagaimana mungkin aku menyerahkan bayiku pada orang lain. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan kalau Daffa biar diasuh oleh Mas Pandu dan istrinya.

Betapa b*d*hnya diriku saat menganggap kehadiran suamiku jauh lebih penting daripada anakku.

Benar kata Aulia. Seharusnya Daffa kugunakan sebagai penguat, bukan malah kusalahkan. Ibu macam apa aku ini?!

****

"Simbok boleh keluar," ucapku setelah Mbok Jum menyerahkan Daffa ke pangkuanku. Mbok Jum mengangguk, kini tinggal seorang pengasuh Daffa yang berdiri di depanku dengan kepala menunduk. Pandangannya mengarah pada ujung sepatu yang ia gunakan. Perempuan yang kutafsir berumur 25 tahun itu memainkan ke sepuluh jemarinya, pertanda kalau rasa gugup sedang mendera.

"Siapa nama kamu?" tanyaku memecah keheningan.

"Ratih, Bu," jawabnya dengan kepala masih tertunduk.

Pandanganku beralih pada Daffa yang tertidur berada di pangkuanku. Kutelisik wajah mungil tanpa dosa itu, seketika rasa sesak dan salah semakin menyeruak di dalam dadaku. Bayangan bagaimana saat aku menolaknya, menyalahkannya dan tak mau lagi menyusuinya kembali berkelebatan di pelupuk mataku. Sedetik kemudian ucapan Mas Pandu terngiang-ngiang kembali di telingaku. Ucapan saat ia mengatakan akan menikah lagi. Ucapan saat ia menyebut satu nama wanita. Bahkan bayangan saat aku menolak Daffa tergantikan oleh bayangan Mas Pandu saat memohon agar aku mengizinkannya menikah lagi.

Kini dua peristiwa itu saling memperebutkan perhatianku. Tangis Daffa yang terdengar memekakkan telinga dengan suara Mas Pandu yang saling bersahut-sahutan.

"Astagfirullah!" Aku mengerjap.

Aku mencoba beristighfar di dalam hati, mencoba mengembalikan kesadaran diri. Tak ingin kejadian itu terulang kambali. Aku mengalihkan pandangan, tertuju pada Mbak Ratih yang berdiri di sana.

"Duduklah, Mbak Ratih. Tidak perlu merasa gugup apalagi takut," ucapku dengan halus.

"Di sini saja nggak apa-apa, Bu," jawabnya sopan.

"Ok. Baiklah. Ada yang ingin aku bicarakan." Ucapanku berhasil membuat wajah yang semula tertunduk itu menjadi sedikit terangkat, hingga terlihat dengan jelas bagaimana wajah itu.

Cantik, tanpa polesan. Hanya pewarna bibir berwarna merah muda yang ia gunakan untuk menyempurnakan penampilan pada tubuh yang hanya mengenakan kemeja berwarna merah yang dilengkapi dengan celana panjang berwarna hitam.

"Sebelumnya saya minta maaf atas keputusan yang akan saya berikan. Dengan berat hati terpaksa saya menghentikan Mbak Ratih dari pekerjaan sebagai pengasuh Daffa." Perempuan itu terperangah mendengar ucapanku. Aku memaklumi, ia dihentikan saat hari pertama bekerja. Pasti ia terkejut.

"Sa–saya dipecat, Bu? Apa kesalahan yang saya lakukan?" ucapnya dengan bibir bergetar.

"Enggak. Mbak Ratih nggak melakukan kesalahan apapun. Saya merasa sepertinya saya belum membutuhkan jasa sebagai pengasuh Daffa," jawabku berhati-hati. Tak ingin membuatnya tersinggung. Sepasang kelopak mata itu kini terlihat berkaca-kaca. Sedetik kemudian aku dibuat terkejut, saat tubuh perempuan itu tiba-tiba bersimpuh di kakiku.

"Saya mohon jangan pecat saya, Bu. Saya membutuhkan pekerjaan ini." Kini nada suaranya terdengar parau.

"Kamu masih bisa mencari pekerjaan yang lain. Aku akan memberikan uang lelah untuk hari ini." Mbak Ratih mendongak, menatapku dengan air mata yang bergulir. Kepalanya menggeleng.

"Saya butuh pekerjaan ini, Bu. Saya mohon jangan pecat saya. Tidak mudah bagi saya untuk mendapatkan pekerjaan," ucapnya disela-sela tangisnya.

"Tapi...."

"Jika memang Ibu belum membutuhkan jasa pengasuh untuk Den Daffa, saya bersedia menjadi ART di rumah ini, Bu. Saya bisa membantuk Mbok Jum," ucapnya dengan raut wajah penuh permohonan.

Kuhela napas panjang.

"Kamu dijanjikan gaji berapa oleh suami saya?"

"Tiga juta, Bu," jawabnya.

Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya aku memutuskan sesuatu.

"Tapi setiap bulan kamu nggak mendapatkan gaji sesuai nominal yang dijanjikan oleh suami saya. Mengingat pekerjaanmu hanya membantu Mbok Jum."

"Dua juta rupiah. Kamu mau?"

Perempuan itu mengangguk cepat. Wajah yang semula terlihat mendung, kini kembali cerah. Senyum tercetak jelas di bibir tipis itu.

"Jadi saya nggak jadi dipecat, Bu?" tanya Mbak Ratih memastikan. Aku mengangguk.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih," ucap Mbak Ratih seraya mencium punggung tanganku berulang kali.

****

Suara derit pintu tiba-tiba terdengar, membuatku menoleh  ke arah sumber suara.

"Mama?" lirihku saat melihat Mama mertua tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Terlihat perempuan yang kini berusia 50 tahun itu berjalan mendekatiku.

"Maaf ya, Mama nggak ketuk pintu. Takutnya cucu Mama lagi tidur terus terganggu," ucapnya setelah mendaratkan tubuhnya di sampingku.

"Iya, Ma. Nggak apa-apa," jawabku. Kuletakkan Daffa yang telah tertidur di ranjang dengan pelan.

"Vit, tadi pagi Pandu bilang kalau kamu sudah nggak mau menyusui Daffa, dan nggak mau bertemu Daffa. Benar?"

Astaga... ternyata Mas Pandu telah mengadu ke Mama mertua.

"Ya."

"Tapi sekarang Vita baik-baik saja. Vita hanya syok saja kok, Ma...," lanjutku. Terlihat kening Mama berkerut dengan alis yang saling bertautan.

"Syok? Kamu kenapa? Sakit? Atau apa yang terjadi denganmu?" Raut wajah Mama terlihat khawatir.

"Mas Pandu katanya ingin menikah lagi."

"Apa?!" Cepat Mama membungkam mulutnya dengan sebelah tangannya, ketika menyadari begitu kencang suara yang keluar dari bibirnya. Sekilas aku menoleh ke arah Daffa yang sedang tertidur, bayi mungil itu menggeliat pelan. Kuusap-usap pelan pucuk kepalanya, hingga membuat bayi itu kembali nyenyak tidurnya.

"Kok bisa? Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian, Vit? Jujur... Mama pun baru mendengarnya, itu pun dari kamu. Pandu tidak pernah membicarakan soal ini sama Mama. Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian?" Mama memberondong berbagai pertanyaan.

Tak salah kah apa yang diucapkan oleh Mama? Apa benar Mas Pandu tak mengatakan soal ini pada Mama?

"Mas Pandu belum bicara sama Mama?" Mama menggeleng.

Akhirnya kuceritakan apa yang dikatakan oleh Mas Pandu kemarin malam. Tanpa kukurangi ataupun kutambahi ucapannya. Menceritakan kejadian semalam, membuat dada ini kembali terasa sesak. Bahkan hati ini terasa ada yang meremas, hingga timbulah rasa sakit dan nyeri.

Ceritaku diiringi dengan derasnya air mataku. Mama memeluk tubuhku, sesekali terasa tangannya mengelus punggungku.

"Biar Mama yang bicara dengan Pandu. Semoga saja dia mengurungkan niatnya untuk menikah lagi. Meskipun kita tahu, bagaimana peringai suamimu itu."

"Iya, Ma. Vita nggak mau kehilangan Mas Pandu, tapi Vita pun juga nggak rela jika dimadu."

"Iya. Mama sebagai seorang perempuan juga nggak suka jika mendengar seorang suami ingin menikah lagi, apalagi mengkhianati perempuan baik seperti kamu." Terdengar Mama menghembuskan napas panjang.

"Bahkan Mama telah menyesal karena dulu sempat meminta suami kamu menikah lagi. Mama nggak bisa membayangkan kalau Mama akan kehilangan menantu terbaik seperti kamu," lanjut Mama.

"Makasih, ya, Ma. Vita minta tolong ke Mama untuk bujuk Mas Pandu agar tidak menikah lagi. Mudah-mudahan Mas Pandu mau mendengarkan ucapan Mama."

Mama mengurai pelukannya, lalu memegang kedua pundakku. Menatapku dengan memberikan senyum.

"Kita nggak tahu apa yang akan terjadi. Pesan Mama, kamu yang kuat. Demi Daffa. Mama akan berusaha membujuk Pandu, namun jika hasil tidak sesuai yang kita harapkan, Mama minta kamu jangan pergi meninggalkan suami kamu. Mama yakin, kamu adalah perempuan yang tepat untuk mendampingi anak Mama"

"Iya, Ma."

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status