Jessica yang mampir ke butik Dewi pun, berdandan rapi dan tiba di kantor saat jam menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Dengan memakai blazer panjang tanpa kerah berwarna biru muda yang dipadankan dengan pakaian dalam berwarna putih berikut kerah naik menutupi bagian leher jenjangnya membuat penampilan Jessica terlihat sangat elegan dan berkelas.Rambut panjang yang diwarnai kecokelatan sengaja diurai dengan bagian bawah ikal membuat penampilan Jessica kian memesona. Ditambah, riasan wajah tipis tanpa pewarna wajah membuat kecantikan Jessica terlihat natural. Terlebih alis nya yang saling bertaut menambah ketegasan dirinya dalam bersikap.Pada bagian bibir seksinya, Jessica menampilkan warna merah menyala. Hingga semua yang melihat penampilannya tampak terpukau dengan bagian bibir seksi yang berwarna merah menyala dan membuat wajahnya kian bertambah jelita serta lebih muda dari usianya.“Pagi Buu....,” sapa Intan menyambut kedatangan Jessica dan menatapnya lekat.“Napa kamu
Usai menerima panggilan dari Jessica, Candra yang sedang bersenda gurau dan duduk di ruang keluarga dengan Anjani bersama Sekar dan Gendis, kedua adik kandungnya pun langsung beranjak dari tempat duduknya.“Jani, aku mau bicara...,” ucap Candra dingin dengan wajah tampak kaku.Melihat penampilan Candra yang tampak berubah seketika usai menerima panggilan telepon Jessica, membuat Anjani bisa menebak apa yang dikatakan oleh wanita cantik tersebut. Maka, sesampai di halaman belakang rumah Candra, Anjani langsung menebak apa yang akan ditanyakan oleh Candra.“Napa Can? Istrimu cemburu dan fitnah aku lagi?” tanya Anjani.Dengan memicingkan matanya, Candra memandang Anjani dengan tatapan tajam dan saliva yang ditelannya.“Kamu yang kirim pesan lagi sama dia?! Jawab!” cerca Candra geram sembari memegang pergelangan tangan Anjani.“Apa-apa’an sih kamu?! Lepas! Sakit...!” teriak Anjani kala pergelangan tangannya dipegang kuat.“Kamu itu ya!” sungut Candra mengangkat tangan kanannya dengan tang
Sementara itu, di kantor Jessica terlihat wanita tersebut tengah berbicara dengan Intan sekretarisnya. Usai menghubungi Candra dan mengambil keputusan atas suaminya yang baru dua hari lalu menikahinya. Jessica pun memanggil Intan, saat ia tidak bisa menghubungi Samsuri sopir pribadinya.“Sialan! Kemana sih Samsuri!” Umpatnya masih dengan memegang ponselnya setelah menghubungi Intan dari telepon direct nya.“Permisi Buu,” salam Intan saat dilihat sang bos berdiri mondar-mandir dan sesekali mendengar umpatannya.Melihat kedatangan Intan, Jessica menghentikan langkahnya yang tak jelas dan memandang ke arah sekretarisnya seraya berkata-kata.“Intan, sekarang kamu turun ke tempat parkir mobilku. Cari Samsuri ke lantai bawah. Aku bolak telepon nggak bisa. Mungkin jaringannya bermasalah di bawah. Minta dia ke ruanganku,” perintah Jessica pada Intan dengan wajah penuh kekesalan.“Baik Buu,” jawab Intan berlalu dari ruangan tersebut.Setelah Intan keluar dari ruang kerjanya, Jessica yang hatin
“Silakan Bapak keluar dari ruang kerja Ibu Jessica. Silakan Pak!” Tegas seorang sekuriti bernama Budi memerintahkan Candra untuk keluar dari ruang kerja wanita cantik yang tak lain adalah istrinya sendiri.“Pak! Saya ini suaminya!” Seru Candra melepas pegangan tangan seorang sekuriti dengan tubuh tinggi besar.“Intan! Hubungi pak Sam! Aku akan pulang! Minta dia bersiap di bawah!” Perintah Jessica saat dilihat Candra terus berupaya mendekatinya dan seorang sekuriti yang memegang tangannya untuk tidak mendekati Jessica di dorongnya.Andi rekan bisnis dari Jessica yang mendengar selentingan kabar perihal suami Jessica turun tangan dengan berbicara baik-baik dengan Candra.“Kamu itu ... Harus punya tata krama dalam bertamu ke kantor. Sekali pun ini kantor istrimu. Tempat ini bukan untuk tempat buat film. Jadi nggak bisa juga kamu seenak itu!” hardik Andi dengan tangan diacungkan ke arah Candra.“Kamu yang nggak punya tata krama! Diam-diam berbicara berdua di ruang ini bersama istriku!” ba
Jessica akhirnya menuju hotel bintang lima. Sebelum keluar dari dalam mobil, Jessica kembali menghubungi Dewi, usai dirinya memberitahu Dewi perihal batalnya ia ke rumahnya.“Wi, udah dimana? Gue tunggu di dalam mobil ya. Risi gue masuk hotel sendirian.” Ucap Jessica dalam sambungan telepon.“Lima menit lagi aja sampai. Ya udah elo tunggu gue aja kalau emang kagak biasa,” tutur Dewi sahabat karib Jessica.Baru saja Jessica menutup sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke tas tangannya. Kembali terdengar dering ponselnya. Diraih gawai dari dalam tasnya. Saat melihat Monica menghubunginya, Jessica langsung terkejut bukan kepalang dan teringat atas video yang tersebar luas perihal dirinya yang mendorong Candra.“Aduh! Gawat nih...,” ucap Jessica memandang layar ponselnya.“Ada apa Non?” tanya Samsuri yang mendengar ucapan Jessica sembari menoleh ke kursi belakang.“Nggak ada apa-apa Pak Sam. Cuma mami telepon aku...,” ujar Jessica yang membiarkan teleponnya berhenti berdering.Tak b
Sementara itu, di rumah Jessica terlihat Candra berbicara serius dengan sekuriti yang bernama Ray. Di depan rumah mewah itu, Candra di halau oleh sekuriti untuk tidak menempatkan mobilnya di depan pintu rumah Jessica.“Silakan Bapak meninggalkan rumah ini. Karena Nona Jessica sama sekali nggak ada di dalam rumah. Barusan saya dapat kabar, kalau Nona Jessica menginap di hotel,” ujar Ray pada Candra yang menggedor-gedor dan menekan bel pada rumah mewah tersebut.“Saya nggak percaya! Bagaimana mungkin Nona Jessi belom datang. Dia lebih dulu pergi dari kantor dibandingkan saya. Bapak jangan coba-coba bohongi saya! Biar gini-gini saya suaminya!” hardik Candra pada Ray, sekuriti rumah mewah tersebut.“Terserah Bapak mau percaya atau nggak. Sekarang Bapak pulang aja ... Karena nggak ada gunanya juga teriak-teriak disini. Karena memang pemilik rumah nggak ada di rumah,” ujar Ray kembali menguatkan penjelasannya.Namun, Candra yang sama sekali tidak mempercayai apa yang dikatakannya. Lelaki t
Candra yang tak menyangka akan dihubungi Monica, menjalankan mobilnya dengan kecepatan 80 kilo meter per jam kala telah lepas dari pintu tol Cikampek. Lelaki tampan itu terus memikirkan pertemuannya dengan Jessica esok hari. Dapat di pastikan, ia akan sampai di Ciwidey kira-kira pukul 7 malam, sebab saat memutar arah menuju tol ke Bandung, jalan raya padat merapat. Hal itu dikarenakan bersamaan jam pulang bekerja.Di dalam mobil, Candra terus bernyanyi riang mengikuti alunan musik yang diputarnya. Namun, saat mobilnya keluar dari tol Cikampek untuk menuju arah ke Bandung, terdengar dering panggilan telepon dari ponselnya.“Ya Dis, ada apa?” tanya Candra pada Gendis adik bungsunya seraya memakai earphone dan fokus di jalan tol tersebut.“Kakak jam berapa pulang? Apa kakak masih di rumah Kak Jessi?” tanya Gendis kala sang kakak menanyakan keperluannya.“Kakak besok baru pulang. Apa ada masalah di rumah?” tanya Candra kembali memperlambat laju mobilnya.“Ini Kak ... Ada wartawan ke rumah
Keesokan paginya, sekitar pukul tujuh pagi sebuah mobil mewah memasuki halaman Vila milik Wijaya Atmaja. Terlihat, Jessica keluar dari dalam mobil yang dikendarai oleh sang sopir Samsuri. Kedatangan Jessica di pagi hari itu, disambut oleh kedua pembantu di sana.“Bik! Mami sama Papi belum bangun?” tanya Jessica yang melihat satu mobil diluar garasi dan dibalut oleh penutup mobil. Sedangkan dua mobil yang biasa di pakai Monica dan Wijaya bertengger di garasi samping Vila. Dalam benak Jessica saat itu, kalau keluarganya membeli mobil baru dan belum dibuatkan garasi karena itu, mobil tersebut ditutup oleh sarung mobil tersebut.“Tuan dan Nyonya belum bangun, Nona...,”jawab Bik Ami menganggukkan kepalanya dan membawa tas kerja Jessica.“Jam berapa Nona berangkat dari Jakarta?” tanya Ami.“Selepas subuh, Bik,” jawab Jessica memasuki ruang keluarga.“Non Jessi mau minum susu murni?” tanya pembantu rumah tangga tersebut.“Ya boleh, tapi dihangatkan dulu ya, Bik!” jelas perintah Jessica duduk
Malam di Ubud terasa lebih dingin dari biasanya, meski angin hanya bertiup pelan membawa aroma bunga kamboja. Jessica duduk di tepi ranjang, tangannya meraba perutnya yang semakin membulat. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Candra, kata-katanya yang penuh penyesalan, dan tatapan Andy yang teguh melindunginya. Di sisi lain ranjang, Andy sedang membaca dokumen ekspor, kacamatanya sedikit melorot di hidungnya. Ia sesekali melirik Jessica, tahu bahwa istrinya sedang bergulat dengan pikiran yang tak diucapkannya.“Jess, kamu nggak apa-apa?” tanya Andy lembut, meletakkan dokumennya ke meja samping ranjang.Jessica menoleh, tersenyum kecil untuk menenangkan suaminya. “Aku baik-baik aja, Andy. Cuma… aku nggak nyangka Candra bakal dateng ke sini. Aku pikir dia udah lupain aku, lupain semua yang pernah ada di antara kami.”Andy merangkak mendekat, tangannya meraih tangan Jessica, menggenggamnya erat. “Dia nggak punya hak atas kamu, Jess. Nggak atas kamu, nggak atas anak kita. Aku janji, a
Langit Bali pagi itu cerah, awan tipis berarak pelan di cakrawala. Di vila kecil di pinggir Ubud, Jessica duduk di teras dengan secangkir teh jahe, tangannya sesekali mengusap perutnya yang kian membesar. Andy, yang baru selesai memeriksa dokumen bisnis di ruang kerja, keluar membawa sepiring pisang goreng. Ia meletakkan piring itu di meja kayu, lalu mencium kening Jessica dengan lembut.“Pagi, cantik. Ini camilan buat kamu sama Arjuna,” godanya, matanya berbinar.Jessica tersenyum lebar, memukul lengan Andy pelan. “Bunga, maksud kamu! Belum tentu Arjuna, lho. Eh, makasih, ya, pisangnya kelihatan enak.”Andy tertawa, duduk di samping Jessica sambil mengambil sepotong pisang. “Bunga atau Arjuna, yang penting sehat. Kamu udah ke dokter minggu ini, kan? Apa kata dokter?”“Semuanya baik-baik aja,” jawab Jessica, menyeruput tehnya. “Bayinya aktif, katanya. Mungkin nanti malah jadi penutup sawah kayak bapaknya, suka jalan-jalan di ladang.”Andy terkekeh, tangannya meraih tangan Jessica. “At
Langit Bali di senja hari berwarna jingga keemasan, menyapa Ubud dengan lembut. Angin sepoi-sepoi membelai dedaunan sawah yang mengelilingi vila kecil tempat Jessica berdiri. Wanita itu mengenakan kebaya putih sederhana, rambutnya digelung rapi dengan hiasan bunga melati yang harum. Ia menatap cermin kecil di tangannya, mencoba meyakinkan diri bahwa keputusan ini adalah langkah yang tepat. Di perutnya, anak yang kini berusia lima bulan tumbuh sehat, dan setiap tendangannya mengingatkan Jessica akan kehidupan baru yang menanti. Tapi di hatinya, bayang-bayang Candra masih sesekali muncul, meski kini hanya seperti angin lalu.Di sudut lain vila, Andy sedang mempersiapkan diri. Pria itu mengenakan beskap putih yang serasi dengan kebaya Jessica, wajahnya tenang tapi matanya penuh harap. Ia memandang ke arah sawah, mengingat percakapan panjangnya dengan Jessica tiga bulan lalu, saat ia tiba di Bali dengan hati penuh keberanian. Andy tak pernah membayangkan bahwa Jessica, wanita yang selama
Langit Bali di pagi hari menyapa Jessica dengan lembut. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah jendela vila kecil di Ubud, menggambar garis-garis emas di lantai kayu. Jessica duduk di teras, memegang cangkir teh jahe yang masih mengepul, menatap hamparan sawah yang berkilau oleh embun. Udara segar mengisi paru-parunya, dan untuk sesaat, ia merasa damai. Tapi di balik ketenangan itu, pikirannya masih bergulat dengan bayang-bayang Candra, Anjani, dan anak yang kini tumbuh di rahimnya. Ia menyentuh perutnya, berbisik pelan, “Kita bakal baik-baik aja, ya, Nak.”Di Jakarta, suasana berbeda menyelimuti Andy. Pria berusia 40 tahun itu duduk di kantornya yang sederhana, dikelilingi tumpukan dokumen ekspor-impor. Layar laptopnya menampilkan laporan keuangan, tapi matanya kosong, pikirannya melayang ke Jessica. Sudah dua hari sejak pesan singkatnya ke Jessica, dan balasan “Makasih, Andy. Aku bakal kabarin” masih terngiang di kepalanya. Ia tahu Jessica sedang terluka, dan meski ia hanya
Pagi di apartemen Jessica dan Candra terasa seperti ruang tanpa udara. Aroma kopi yang biasanya mengisi ruang tamu kini hilang, digantikan hawa dingin dan sunyi. Jessica duduk di sudut sofa, matanya sembab, menatap koper yang sudah ia siapkan semalam. Keputusannya bulat: ia akan pergi ke Bali, meninggalkan Jakarta, Candra, dan semua luka yang kini menggerogoti hatinya. Di tangannya, ia memegang tiket pesawat yang dipesan secara impulsif tengah malam, ketika air matanya tak lagi bisa dibendung.Berita tentang kehamilan Anjani, ditambah foto kebersamaan Candra dan Anjani yang dikirim Gendis, masih menghantui pikirannya. Jessica mencoba mengalihkan perhatian dengan memeriksa email terkait bisnis ekspor-impornya, tapi setiap kata di layar ponselnya terasa kabur. Pikirannya terus kembali ke Candra—pria yang ia pikir akan menjadi suaminya, tapi kini hanya menyisakan rasa sakit. Yang lebih membebani, Jessica baru saja mengetahui dirinya hamil. Anak Candra. Tapi ia memutuskan untuk merahasiak
Bab 4: Pertengkaran Jessica dan CandraMalam telah larut, tapi apartemen Jessica dan Candra masih dipenuhi ketegangan yang tak kunjung reda. Cahaya lampu di ruang tamu menyala redup, mencerminkan suasana hati Jessica yang kacau. Ia duduk di sofa, menatap kotak cincin pertunangan di meja dengan mata kosong. Setiap kilau berlian itu kini terasa seperti pengingat akan janji yang telah dilanggar. Di kamar tamu, Candra masih terjaga, berjalan mondar-mandir dengan ponsel di tangan, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan semua kekacauan ini. Ia tahu, ia tak bisa terus bersembunyi. Malam ini, ia harus menghadapi Jessica.Dengan langkah ragu, Candra keluar dari kamar tamu dan menuju ruang tamu. “Jess,” panggilnya pelan, berdiri di ambang pintu. Jessica tak menjawab, hanya melirik sekilas dengan mata penuh luka sebelum kembali menatap kotak cincin itu. Candra mendesah, lalu melangkah masuk dan duduk di kursi di depannya. “Aku tahu aku salah. Aku cuma minta kesempatan buat jelasin semuany
Pagi itu, apartemen Jessica dan Candra masih diselimuti kesunyian yang menusuk. Aroma kopi yang biasanya mengisi udara pagi kini tak tercium, digantikan oleh ketegangan yang hampir bisa diraba. Jessica, berusia 30 tahun, duduk di meja makan, menatap ponselnya dengan wajah pucat. Foto yang dikirim Gendis semalam masih terpampang di layar, menggambarkan Candra dan Anjani dalam keakraban yang tak bisa ia abaikan. Setiap kali ia mencoba menutup aplikasi, gambar itu seolah membakar pikirannya, mengingatkannya pada janji-janji Candra yang kini terasa seperti dusta.Jessica menggenggam ponselnya erat, jari-jarinya gemetar. Sebelum foto itu sampai ke tangannya, Candra bersumpah bahwa hubungannya dengan Anjani hanyalah profesional, bagian dari dunia syuting yang penuh rumor. “Jess, percaya aku, itu cuma kerja,” katanya berulang-ulang, dengan mata yang tampak tulus. Tapi foto itu—dan pesan Gendis—mengoyak semua kepercayaan yang tersisa. Jessica merasa dadanya sesak, seolah dunia yang ia bangun
Keesokan pagi, apartemen Candra dan Jessica yang biasanya dipenuhi aroma kopi dan tawa ringan kini terasa dingin. Jessica duduk di sofa ruang tamu, menatap ponselnya dengan mata sembab. Berita tentang skandal Candra dan Anjani masih bergema di kepalanya, dan setiap notifikasi baru dari media sosial terasa seperti tusukan. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, mengurusi dokumen ekspor-impor yang menumpuk, tapi pikirannya terus kembali ke pengkhianatan Candra. Di sisi lain, Candra, yang baru pulang dari syuting pagi, masuk dengan langkah ragu. Ia tahu Jessica sudah menunggunya, dan konfrontasi tak bisa dihindari.“Jess,” panggil Candra pelan, berdiri di ambang pintu ruang tamu. Jessica tidak menjawab, hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap ponselnya. Candra mendesah, lalu duduk di kursi di depannya. “Aku tahu aku salah. Aku cuma minta kesempatan buat jelasin semuanya.”“Jelasin apa, Can?” tanya Jessica, suaranya dingin. “Semua udah jelas. Foto kamu sama Anjani ada di mana-mana. Ber
Di sudut ruang tamu apartemen yang masih gelap, Candra menekan nomor Anjani. Telepon baru berdering sekali, Anjani sudah mengangkat. “Bintang, akhirnya lo hubungin gue,” kata Anjani dengan suara parau, seolah menahan emosi.“Gila! Apa-apa’an elo tuduh gue seperti itu!” seru Candra dengan suara ditekan sekecil mungkin, takut Jessica mendengar dari kamar mandi.“Gue selama ini nggak pernah berhubungan intim sama siapa pun, kecuali elo, Bintang. Jadi pastilah yang gue kandung anak lo!” ungkap Anjani di ujung telepon, nadanya penuh kepastian.“Jani! Gue emang pernah tidur sama elo! Tapi selalu pakai pengaman. Jadi, elo jangan asal tuduh! Ingat! Jangan sesekali elo kirim pesan ke gue, karena gue kagak mau rumah tangga gue hancur berantakan. Intinya, gue selalu pakai pengaman. Titik!” bantah Candra, suaranya bergetar karena campuran rasa takut dan marah.“Gue yang tahu siapa anak dari kehamilan gue ini. Makanya gue hubungi elo. Pokoknya, gue mau kita bertemu dan berbicara masalah ini. Kalau