Elvario, dokter muda jenius, yang tewas diracun sahabatnya saat misi kemanusiaan. Tapi darahnya membangkitkan cincin giok kuno, segel kutukan yang menjebaknya di dalam ruang terlarang. Di sana, ia menjadi murid Tabib Terkutuk—ahli medis hitam-putih yang dibuang dunia karena terlalu berbahaya. Tiga tahun kemudian, Elvario kembali. Ia kini menguasai seni pengobatan langka, racun mematikan, hingga formasi medis bertarung. Namun dunia tak lagi mengenalnya—klinik keluarganya dirampas, tunangannya menikah dengan si pengkhianat, dan musuh lamanya menguasai dunia medis. Kini, waktunya balas dendam... dengan ilmu yang tak bisa dilawan.
View MoreDi sebuah rumah sakit di kota Samara, terjadi sebuah keajaiban yang membuat para dokter dan perawat geger.
Bagaimana tidak—seorang pasien mati otak yang telah dinyatakan meninggal malam sebelumnya, tiba-tiba saja hidup kembali. Bahkan kini, pasien itu telah sadar sepenuhnya. “Bagaimana ini bisa terjadi?” “Tidak mungkin... ini pasti mimpi. Tolong cubit aku!” Keributan pun tak terelakkan. Semua merasa apa yang mereka lihat pagi ini bertentangan dengan logika medis. “Jangan-jangan... dia yang melakukannya,” gumam salah satu perawat, cukup lantang hingga didengar yang lain. “Siapa maksudmu?” tanya rekannya. “Kalian lupa? Semalam ada dokter baru yang datang—katanya ingin memeriksa jenazah pasien sebelum dibawa ke ruang pendingin. Apa mungkin... dia?” Para perawat saling pandang, tatapan mereka berubah gugup. Mereka memang mengingat pria itu. Dokter asing dengan wajah tenang dan sorot mata tajam yang muncul entah dari mana. Tapi... mungkinkah dia? “Jangan konyol! Pasien itu sudah mati otak. Semua alat penunjang sudah dilepas!” “Lalu, siapa yang melakukannya?” tanya si perawat kembali. Tak ada yang menjawab. Hening menggantung di udara. Bahkan dokter senior yang biasanya skeptis, kini berdiri kaku. Bulu kuduk mereka berdiri. Dan saat itulah... suara langkah kaki terdengar di ujung koridor. Semua mata menoleh. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan berjalan tenang di antara mereka. Wajahnya tampan, tapi dingin. Sorot matanya tajam dan karismatik. Jas dokter putih membungkus tubuh tegapnya, membuat sosoknya terlihat lebih gagah dan tak tersentuh. “Dokter?” seru salah satu perawat, nyaris tak percaya. Pria itu hanya tersenyum tipis. Tanpa menjawab, ia melangkah masuk ke ruangan tempat pasien itu dirawat. Semua orang menahan napas. “Bagaimana kondisi Anda?” tanyanya lembut. Pasien itu, yang sebelumnya koma berkepanjangan, tersenyum. Wajahnya pucat, tapi kini dia hidup. “Terima kasih, Dokter... Anda menyelamatkan saya,” katanya penuh haru. Semua yang mendengar itu menegang. Tatapan mereka beralih cepat ke pria yang masih berdiri tenang di sisi ranjang. “Tidak perlu berterima kasih. Menolong orang adalah tugasku.” Ia menoleh sebentar, lalu menambahkan, “Perawat akan melanjutkan perawatan Anda. Dan ... jaga baik-baik tubuh Anda. Saya tidak berniat menyelamatkan orang yang ingin mati dua kali.” Pria itu keluar dari ruangan tanpa menoleh ke belakang dengan langkah tenang. Namanya adalah Elvario, dia baru satu hari menginjakkan kaki di Rumah Sakit Samara. Saat itu, ia melangkah menyusuri lorong dingin rumah sakit ketika telinganya menangkap suara perawat yang sedang berbisik—tentang seorang pasien yang mati otak dan alat penopang hidupnya baru saja dicabut. “Pasien itu... benar-benar sudah tidak ada harapan,” kata salah seorang perawat. Langkah El terhenti. Ia menoleh. “Tidak ada harapan?” gumamnya lirih, hampir seperti ejekan. “Kalian terlalu cepat menyerah.” Karena penasaran, dia ingin melihat langsung pasien tersebut. Dan dalam sekali pandang, dia tahu kalau dirinya bisa menyelamatkannya. Tiba-tiba, langkah El terhenti ketika layar televisi di ruang tunggu menayangkan sebuah berita. “Dokter muda Tama kembali menyabet penghargaan tertinggi untuk Misi Kemanusiaan di wilayah konflik... ” Nama itu. Dada El mengencang. Tangan yang sejak tadi berada di saku jas putih kini mengepal erat. Rahangnya mengeras. Dan matanya... dingin. Tama. Nama yang seharusnya sudah terkubur bersama masa lalunya yang kelam. Elvario membenci nama itu! Ia kemudian menghela napas tajam melirik tampilan Tama di layar. “Kau bahkan tidak layak memakai jas putih itu.” Dulu, El adalah dokter jenius. Ia dikirim dalam misi kemanusiaan bersama Sera—tunangan yang ia cintai, dan Tama—sahabat yang ia percaya. Misi itu seharusnya menyelamatkan banyak nyawa. Tapi ternyata, Tama punya rencana lain. Saat malam itu datang, El merasa tubuhnya aneh setelah meminum minuman yang diberikan oleh Tama. Dunia seperti berputar, lalu rasa perih yang membakar dari dalam organ tubuhnya menyebar dengan cepat. Ia terjatuh, darah menyembur dari mulutnya. Napasnya terputus-putus. Dan di ujung kesadarannya, ia melihat Tama. Pria itu tertawa mengejeknya, bergandengan dengan Sera. Mereka berdua lalu meninggalkannya di tanah penuh lumpur dan darah. Dan sebuah kotak kecil—bekas racun—jatuh dari tangan Tama dan terhempas ke tanah. Sakit di tubuh El tak sebanding dengan luka yang menganga di hatinya. Dalam perjuangan terakhir, tubuh El menggeliat. Darah yang mengalir dari mulutnya menetes ke cincin giok kehijauan yang tersemat di jarinya. Cincin itu adalah hadiah dari pria tua misterius yang pernah ia selamatkan. Dan saat darah menyentuh giok itu... ZRAKK! Cahaya menyilaukan meledak dari dalam cincin. Lalu semuanya gelap. Elvario tidak mati. Ia... terjebak. Ternyata, cincin itu adalah segel kutukan kuno. Dan darah seseorang yang berada di ambang kematian telah membuka gerbangnya. Di dalam cincin itu, El dipertemukan dengan satu-satunya makhluk yang masih hidup—Tabib Terkutuk. Seorang legenda kelam dunia pengobatan, dibuang dan dicap sebagai iblis oleh semua klan medis karena ilmunya terlalu 'berbahaya'. Namun ilmu itu... menyelamatkan El. Selama terjebak di dalam cincin giok itu, El menjadi murid dari Tabib Terkutuk. Ia mempelajari semua pengobatan langka dari Tabib Terkutuk. Bahkan ia bisa mengetahui penyakit seseorang, hanya dari melihat tubuh orang itu. Suara tawa dari televisi kembali menggema, menusuk telinga Elvario. Tama tersenyum lebar di layar, dikerumuni wartawan, mengenakan jas putih kebanggaannya seolah ia pahlawan dunia medis. “Tertawalah selagi bisa, Tama. Kini aku sudah kembali. Dan aku pasti akan membalas semua yang sudah kau lakukan padaku!” El menarik napas panjang. Tangan yang semula terkepal perlahan mengendur, namun kilatan di matanya tetap tak surut. El kemudian memalingkan wajahnya. Tak ada gunanya melihat berita itu lebih lama. Tak lama setelah itu, berita tentang pasien mati otak yang kembali sadar menyebar seperti api. Rumah sakit gempar. Dunia medis geger. Dan tentu saja, kabar itu cepat sampai ke telinga Tama. Setelah acara penghargaan usai, Tama datang tergesa ke rumah sakit bersama rombongan dokter. Namun, begitu melihat langsung kondisi pasien yang kini duduk sadar dan bisa berbicara, semua orang membelalak. "Ini mustahil..." "Siapa yang bisa melakukan ini?" "Ini di luar logika medis!" Para dokter itu terpaku. Kekaguman, kebingungan, dan rasa tidak percaya bercampur dalam sorot mata mereka. Mereka penasaran, tentang orang jenius yang bisa menghidupkan kembali pasien mati otak ini. Tama berdiri membisu. Tangannya terkepal erat. Ia benar-benar tidak bisa mempercayai ini. Siapa orang hebat yang bisa melakukan ini? "Dokter Tama, apakah Anda yang menyelamatkan pasien ini?" "Anda dokter jenius... ini pasti kerja Anda, bukan?" "Lagipula, dia adalah pasien dalam tanggung jawab Anda, kan?" Seketika semua tatapan mengarah padanya. Dengan pandangan penuh kekaguman, dan rasa hormat. Mulut mereka menyebut namanya dengan nada memuja. Tama sempat ragu. Tapi kemudian, ia tersenyum, angkuh dan licik. "Ah... kalian ini. Saya sudah berusaha menyembunyikannya, tapi ternyata kalian tahu juga, ya?" ucapnya tanpa malu, seolah benar-benar pahlawan di balik mukjizat itu.Lampu operasi perlahan diredupkan. Mesin monitor menunjukkan stabilisasi sempurna. Elvario menurunkan pisau bedah untuk kedua kalinya hari ini. Tangannya masih tegap, tidak gemetar sedikit pun, meski sudah lebih dari dua jam berada di bawah sorotan panas lampu bedah.“Pasien stabil,” suara salah satu dokter anestesi terdengar lega.“Pindahkan ke ICU. Pasang observasi tekanan intrakranial. Pantau selama 24 jam pertama. Jangan tinggalkan ruangannya,” ucap El, sebelum melangkah pergi.Semua orang dalam ruangan berdiri diam. Bukan karena kelelahan, tapi karena masih tidak percaya apa yang baru mereka lihat.Dua operasi besar.Dua nyawa yang hampir hilang.Diselamatkan... oleh satu orang.El membuka pintu ruang operasi, menyibak dinginnya AC rumah sakit dengan langkah tenang. Tapi di luar sana, dunia sedang berguncang.Beberapa menit kemudian. “Breaking News! Seorang dokter muda berhasil menyelamatkan dua pasien kritis dalam dua operasi besar hanya dalam satu pagi. Namanya—Elvario. Belum
Roda ranjang berderit pelan di lorong steril menuju ruang ICU. Pasien pria muda yang baru saja keluar dari operasi kini dalam kondisi stabil, wajahnya lebih tenang, meski masih dipenuhi selang dan monitor. Dua perawat mendorong ranjang dengan hati-hati, diapit oleh dua tenaga medis dan satu dokter jaga yang mencatat semua data vital terbaru. El berjalan di belakang mereka. Matanya memandang lurus ke depan. Azalea mengikuti dari samping, masih mengenakan pakaian bedah. Peluh di dahinya belum sempat mengering, tapi sorot matanya kini berbeda. Ada ketegangan, tapi juga rasa percaya diri yang baru tumbuh—karena telah menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Ia benar-benar tidak menyangka, kalau dirinya bisa menjadi asisten dari operasi yang dilakukan oleh dokter El. Begitu ranjang berhenti di ruang ICU, El mendekat, mengecek ulang semua monitor dan selang. Suara bip ritmis terdengar menenangkan. “Nafas spontan mulai kembali. Tekanan intratorakal membaik. Tidak ada tanda infeksi
Pagi itu, langit sedikit mendung. Awan kelabu menggantung di atas gedung tinggi Medical Hospital, seolah menandai bahwa hari ini tidak akan berjalan seperti biasa. Sebuah mobil hitam berkilap berhenti di pelataran utama rumah sakit. Seorang sopir turun cepat, membukakan pintu belakang. Elvario melangkah turun. Penampilannya tetap rapi seperti biasa—kemeja biru gelap dan celana panjang yang pas, dengan jas dokter terlipat di lengannya. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya tajam menelusuri area depan rumah sakit, seperti sedang memetakan medan. Hingga suara sirine memecah rutinitas pagi. Satu. Dua. Tiga ambulans berhenti bersamaan di depan UGD. Pintu-pintunya terbuka serempak, dan suara panik langsung menyambar udara: “Korban kecelakaan lalu lintas! Tabrakan beruntun di tol barat!” “Pasien laki-laki, usia sekitar dua puluh, henti napas sesaat di lokasi!” “Perempuan—perdarahan aktif di perut dan panggul! Jalan napas tidak stabil!” Petugas keamanan membuka jalur. Paramed
Ruangan VVIP itu kini tak lagi sehening kemarin. Beberapa alat bantu medis sudah dilepas, selang oksigen diganti dengan kanula ringan, dan monitor detak jantung yang sebelumnya berdentang cepat kini berbunyi dengan irama normal, nyaris menenangkan. Di atas tempat tidur berlapis linen putih bersih, Bintang—gadis kecil dengan mata teduh dan rambut panjang selembut kapas—terbaring dalam posisi setengah duduk. Ia tampak lemah, tapi sorot matanya sudah kembali jernih. Di sebelah ranjangnya, Tuan Sujana masih setia duduk, tak berpaling sedetik pun. Elvario berdiri di sisi kanan tempat tidur, stetoskop tergantung di lehernya, dan satu tablet medis menyala di tangannya. “Bagaimana rasanya sekarang?” tanyanya, suara lembut tapi tak kehilangan ketegasan. Bintang menoleh pelan, lalu menjawab dengan suara serak yang nyaris tak terdengar, “Agak pusing... tapi nggak sakit, Dok.” El mengangguk. “Itu normal. Jantungmu sedang menyesuaikan diri setelah operasi besar. Tapi kamu kuat. Sangat kuat.”
Kabar itu menyebar lebih cepat dari virus apa pun. Dalam waktu kurang dari dua belas jam sejak operasi penyelamatan cucu Tuan Sujana, nama Elvario sudah menjadi desas-desus hangat di setiap sudut rumah sakit kota Samara. Lorong-lorong yang biasanya dipenuhi suara langkah tergesa dan panggilan medis kini berubah menjadi panggung bisik-bisik samar, saling lempar kabar tak resmi yang semuanya mengarah pada satu hal: Dokter Elvario direkrut langsung oleh Tuan Sujana. “Serius? Dia sekarang dokter pribadi cucu Tuan Sujana?” “Aku dengar dia dikasih apartemen mewah di pusat kota, lengkap dengan mobil dan sopir.” “Gajinya tiga kali lipat dari kita, bahkan katanya bisa minta fasilitas bebas akses ke semua lab.” “Padahal dia cuma dokter bedah saraf, bukan jantung... Tapi yang lain bahkan nggak dikasih kesempatan!” Suara-suara itu mengambang di udara. Tak ada yang berani menyuarakannya terlalu keras, tapi semua orang tahu—rasa iri itu nyata. Membuncah diam-diam di dada para dokter yang m
Tak lama setelah operasi dinyatakan selesai, El melangkah keluar dari ruang operasi. Pakaian bedahnya masih penuh bercak darah kecil, sarung tangan yang belum sempat dilepas meneteskan sisa cairan desinfektan ke lantai berubin putih. Lorong rumah sakit yang biasanya dipenuhi suara langkah kini senyap. Semua mata tertuju padanya, namun tak ada yang berani membuka suara. Para perawat membungkuk cepat, dokter-dokter senior berdiri tegap seolah baru saja menyaksikan kehadiran seorang jenderal yang pulang dari medan perang. Di ujung lorong, Tuan Sujana berdiri dengan tongkatnya, didampingi dua pria berjas hitam. Tatapannya tak beralih dari El sedetik pun. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—tak hanya rasa terima kasih... tapi juga pengakuan. Seperti seorang raja yang akhirnya menemukan ksatria paling setianya, sekaligus paling mematikan. El menghentikan langkahnya tepat di depan pria tua itu. Matanya masih tajam, tapi nadanya tenang. “Cucumu selamat. Untuk sekarang.” Tuan Sujana m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments